Pernikahan Dini: Bencana bagi Perempuan
Pernikahan dini bagi perempuan adalah sebuah penderitaan atau sebuah bencana. Bagaimana tidak disebut sebagai bencana manakala ia dapat memupuskan harapan seorang anak perempuan mengembangkan bakat dan meraih cita-citanya?
Seorang anak yang masih penuh mimpi dan cita-cita besar terpaksa menikah dan dituntut mengerjakan pekerjaan domestik yang melelahkan. Sementara jikalau ia hamil, ia harus menanggung risiko kematian sebab tubuhnya belum terlalu kuat untuk mengandung. Di dunia ini, terdapat jutaan anak perempuan terpaksa berhenti bersekolah karena berbagai hal, salah satunya adalah karena pernikahan dini.
Salah satu kisah yang dibagikan Melinda Gates lewat bukunya The Moment of Lift adalah kisah perjalanannya ke India 20 tahun silam. Di sana, ia melihat potret kemiskinan paling muram dan keras di seluruh India. Kebanyakan dari mereka hidup dari mengumpulkan botol, mencari kepingan uang logam di jalanan, dan tentu saja dengan mencopet.
Sebagaimana jamaknya hidup di daerah tertinggal, angka pernikahan dini meroket tajam. Anak-anak yang baru pubertas akan dipaksa untuk meninggalkan bangku sekolah dan menikahi seseorang yang dipilihkan orang tuanya. Setelah menikah, tak jarang mereka dipukuli dan diancam oleh suaminya sendiri untuk dijual atas alasan pihak keluarga si anak memberikan maskawin yang jumlahnya kurang. Alasannya, menurut adat istiadat di India waktu itu, pihak perempuan yang harus memberikan mahar maskawin.
Kisah itu terpatri dalam ingatan Melinda sebagai pengalaman traumatik dan tragis atas pernikahan di bawah umur. Baginya, pernikahan dini merupakan kemitraan yang timpang dan berlawanan dengan kemitraan setara yang dapat meningkatkan kesehatan, kemakmuran, dan kemajuan manusia.
Kemitraan setara dapat mengangkat derajat suami dan istri di dalam hubungan rumah tangga dan hubungan sosial di masyarakat. Pernikahan di bawah umur membuat hubungan menjadi hierarkis sehingga bersifat merendahkan salah satu pihak.
Hubungan Tak Setara Berakibat Penganiayaan
Ketika seorang anak perempuan dipaksa untuk menikah pada usia dini, ia akan terjebak dalam situasi sulit yang membuatnya tertekan. Dalam konteks pernikahan dini di India, misalnya. Semakin muda usia perempuan, semakin rendah pendidikannya, semakin sedikit pula maskawin yang harus dibayarkan keluarga perempuan itu.
Dalam situasi seperti ini, pasar memperjelas bahwa semakin lemah si gadis, semakin menarik dirinya bagi keluarga yang menerimanya. Mereka tidak menginginkan gadis yang punya suara, keterampilan, atau ide-ide. Perempuan ibarat barang dagangan sekaligus seorang hamba yang patuh dan tidak melawan.
Keadaan yang demikianlah yang dimanfaatkan oleh sang suami untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap sang istri. Mereka harus kehilangan keluarga, teman, sekolah mereka, dan segala kemungkinan untuk berkembang.
Bahkan, saat usianya yang baru genap 10 tahun, mereka sudah dihadapkan pada kenyataan hidup yang pahit—harus memasak, bertani, membersihkan rumah, memberi makan ternak, dan mengambil air—untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari.
Jika penderitaan seorang perempuan yang dipaksa menikah, kehilangan cita-cita dan masa depan, dipaksa untuk melakukan kerja berat, dan senantiasa terancam untuk dianiaya tidak bisa kita sebut sebagai tragedi, bisakah kita menyebutnya sebagai suatu bencana bagi kemanusiaan? (Tejo)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!