Pembebasan Perempuan Dimulai dengan Revolusi Hati

Pembebasan Perempuan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan punya beragam persoalan tentang kesetaraan gender yang menghambat upaya pembebasan perempuan. Mulai dari persoalan hubungan tak setara dalam pernikahan, terbatasnya akses pendidikan, maraknya pernikahan dini terhadap anak perempuan, kerja reproduktif tak berbayar, hingga persoalan timpangnya angka partisipasi perempuan di parlemen.

Perempuan berdaya

Credit : Picsart

Dari segudang persoalan tersebut, perlu adanya wadah bagi perempuan untuk berbagi keluh kesah dan merancang langkah-langkah strategis untuk mengubah budaya masyarakat yang patriarkis menjadi lebih setara.

Ketika perempuan memiliki wadah untuk berkumpul dan berbagi cerita, perempuan merasa saling memiliki satu dengan yang lain. Lalu, ketika perasaan itu tumbuh, perempuan akan menghargai diri sendiri sehingga dapat mendorong bersatu dan menuntut hak-haknya.

Perempuan tidak lagi manusia terasing, tetapi orang yang sadar akan kekuatan dan potensi dirinya sendiri. Ia dapat menciptakan budaya baru yang lebih manusiawi dan setara. Dari sana, ia memiliki keluarga dan rumah untuk berpulang. Dan, perlahan-lahan mereka mulai berusaha menghilangkan ilusi yang didesakkan oleh masyarakat patriarkis tentang ketidakberdayaannya.

Kekuatan dari Perdamaian dengan Hati

Selain dengan gigih membentuk wadah untuk menyusun langkah strategis, ada satu prinsip dasar yang coba ditawarkan oleh Melinda Gates dalam membebaskan perempuan dari ketimpangan gender. Prinsip tersebut adalah revolusi hati dengan cara berdamai dengan perasaan sakit.

Ketika seorang perempuan terluka, ketika ia sakit hati, ketika ia marah kepada masyarakat atas perbuatan mereka padanya, hanya ada satu jalan untuk mengakhiri semua perasaan ini, yaitu dengan menerima perasaan-perasaan itu. Pelajaran tersebut didapatkan Melinda dari para perempuan dalam gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia. Untuk mewujudkan revolusi hati, kita harus merelakan hati kita terluka dan melebur dalam kesakitan yang mendasari kemarahan.

Akan tetapi, penerimaan bukan berarti menerima dunia apa adanya tanpa berusaha mengubah keburukan di dalamnya. Artinya, berdamai dengan rasa sakit, kita dapat membedakan mana motif balas dendam dan mana motif keadilan.

Para pemimpin besar tidak pernah mencampuradukkan motif penegakan keadilan dengan keinginan untuk membalas dendam. Para pemimpin yang dapat mengendalikan rasa sakitnya telah menanggalkan kepentingan pribadi demi berkumandangnya nilai-nilai kemanusiaan.

Seorang perempuan yang memiliki keteguhan hati seperti itu dapat membebaskan masyarakatnya dari cengkeraman budaya yang merendahkan perempuan. Lewat kemampuannya menggalang solidaritas dan keluasan hatinya, akan ada banyak perlawanan dan kemajuan. Dan, kemajuan ini bukan berasal dari perjuangan menggunakan kekuatan fisik, melainkan pendekatan moral.

Saat kita memperjelas bias gender yang tersamar, akan ada lebih banyak laki-laki dan perempuan melihat bias di tempat yang tak mereka duga, dan akan berdiri untuk menentangnya. Itulah cara kita mengubah norma-norma yang menyembunyikan bias-bias yang tidak kita ketahui. Kita melihatnya, dan kita mengakhirinya. (Zahra)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta