Jl. Pesanggrahan No.8 RT/RW : 04/36, Sanggrahan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, 55584.
Bentang Pustaka terus berkomitmen untuk memperkaya pengalaman membaca masyarakat dan menjadi bagian penting dari ekosistem penerbitan buku di Indonesia.
. . . . .
Bahagia Mendampingi Anak Belajar di Rumah
/in Artikel, Parenting/by Bentang PustakaSudah satu bulan ini kegiatan anak di sekolah ditiadakan, dan kita harus mendampinginya belajar di rumah. Bagaimana rasanya? Sebagian orang tua ada yang menikmatinya, tetapi sebagian ada juga yang stres dengan rentetan tugas yang harus disetor ke sekolah.
Lalu, bagaimana sih, langkah yang tepat mendampingi anak belajar di rumah berdasarkan metode Montessori?
Sebelumnya, langkah pertama yang harus dilakukan sebagai orang tua adalah kita harus menerima kondisi ini dengan tenang. Ada beberapa ketakutan dan kekhawatiran yang tersebar di luar sana. Jangan sampai itu menular ke anak kita. Yakini bahwa dengan belajar di rumah adalah langkah terbaik yang bisa melindungi anak dan keluarga kita.
Kita juga harus memberi kepercayaan pada anak bahwa dengan di rumah saja, mereka pasti mempelajari sesuatu yang penting dan berguna untuk kehidupannya kelak. Masa depan anak tidak hanya sebatas kemampuan akademik, pintar membaca, jago menggambar, atau pintar berhitung, tetapi aktivitas sehari-hari yang kita lakukan bersamanya juga bisa menjadi bekal untuknya.
Baca juga: Belajar Montessori: Haruskah Punya Aparatus Montessori
Pada hari-hari awal belajar di rumah, beberapa sekolah memindahkan aktivitas belajar-mengajarnya melalui video conference. Sayangnya, mungkin kita lupa dengan screen time ideal untuk anak usia dini. Rentang waktu terbaik untuk anak-anak memandang gawai maksimal adalah 30 menit. Jadi, berlama-lama memandang layar tablet, ponsel, atau laptop tentu tidak baik untuk kesehatan mereka.
Selain itu, ada pula siswa-siswa TK yang mendapatkan tugas-tugas yang cukup padat. Tidak terhindarkan ketika orang tua menjadi berlomba-lomba mengirimkan hasil tugas terbaik anaknya. Atau, mungkin memaksakan anak untuk mengerjakan tugas padahal bisa jadi mereka sedang lelah dan tidak ingin mengerjakannya sekarang.
Mengapa kita tidak mencoba bertanya kepada mereka, apa yang sedang ingin diketahuinya sekarang? Dieksplor atau dipelajari bersama kita, orang tuanya.
Hal tersebut sangat sejalan dengan prinsip Montessori, “Follow the Child”. Seperti yang dikutip dari buku Jatuh Hati pada Montessori karya Vidya Dwina Paramita.
Jadi, alih-alih mendampingi anak dengan stres, kita bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk bonding bersama mereka. Memahami tumbuh kembangnya, keinginannya, kegelisahannya, serta melakukan aktivitas rumah tangga bersama-sama.
Beraktivitas Montessori di rumah bukan semata-mata memotret kegiatan anak-anak atau hasil karya mereka dan memberinya hashtag #montessoriathome. Lebih daripada itu, ada prinsip-prinsip Montessori yang seharusnya dipegang teguh oleh para orang tua.
Tunjukkan kepada anak-anak bahwa mereka bisa menjadi yang terbaik semampu mereka. Dengan demikian, kita akan selalu mendampinginya belajar di rumah dengan bahagia.
Inilah yang Terjadi Pada Otak Saat Kita Bermain Puzzle
/in Artikel, Parenting/by Bentang PustakaHalo! Seperti yang sudah kita ketahui, puzzle merupakan permainan edukatif yang secara komplet dapat mengoptimalkan berbagai aspek perkembangan manusia. Di postingan yang lalu kita sudah membahas manfaat puzzle untuk anak dari segi kongitif, motorik, dan juga sosial (baca: 7 Manfaat Puzzle untuk Optimalkan Kecerdasan Anak). Nah, pada artikel kali ini kita akan mengulik khusus manfaat puzzle untuk otak kita. Jadi, apakah yang terjadi pada otak saat kita bermain puzzle? Yuk, simak artikel ini sampai selesai.
Menurut Marcel Danesi Ph.D, seorang profesor di bidang semiotika, aktivitas otak seseorang yang sedang bermain puzzle bagaikan otot ketika kita sedang olahraga. Permainan puzzle mengaktifkan baik hemisfer kiri maupun hemisfer kanan pada otak. Dengan kata lain, puzzle ialah permainan untuk olahraga otak. Cari tahu lebih lanjut, yuk, apa yang akan terjadi pada otak saat bermain puzzle:
1. Saat bermain puzzle otak kita bekerja selayaknya detektif
Ketikaseseorang sedang berusaha menyusun potongan puzzle yang acak, otak menangkap bahwa kita sedang memecahkan suatu misteri, lo! Selayaknya seorang detektif yang mencari tahu pelaku penculikan.
2. Saat bermain puzzle otak kita menghasilkan siraman dopamin!
Puzzle ialah permainan yang rumit, menantang, sekaligus menyenangkan. Ketika seseorang berhasil menyusun potongan acak menjadi sebuah gambaran bermakna, otak akan menginstruksi nukleus akumbens yang berfungsi memproses sistem reward untuk memproduksi dopamin. Nah, dopamin ialah hormon yang bertanggung jawab atas rasa senang. Itulah sebabnya, saat berhasil menyelesaikan puzzle kita merasa sangat girang.
3. Saat bermain puzzle kapasitas konsentrasi di otak meningkat
Saat bermain puzzle kita membutuhkan konsentrasi yang lebih untuk memahami apakah satu potongan akan cocok jika dipasangkan dengan potongan lain. Oleh karena itu, bagian otak yang mengaktivasi konsentrasi seseorang akan lebih aktif. Jika dilakukan secara rutin, otak akan terlatih untuk dapat berkonsentrasi lebih lama saat menyelesaikan sebuah masalah.
4. Saat bermain puzzle otak kita mengalami neurogenesis
Manusia mengalami proses pembentukan sel otak baru yang disebut neurogenesis. Neurogenesis berhubungan dengan proses rekognisi, pengontrolan kemampuan motorik, juga pengurangan stress. Proses neurogenesis dapat terjadi saat kita melakukan aktivitas asah otak secara rutin, seperti bermain puzzle. Orang yang sering melakukan asah otak seperti bermain puzzle akan merasakan manfaat dari neurogenesis, seperti meningkatkan memori, perhatian, dan kemampuan pengambilan keputusan.
Wah, ternyata bermain puzzle lebih dari sekadar memasang-masangkan bentuk yang cocok, ya! Banyak sekali hal yang terjadi pada otak kita saat sedang memecahkan puzzle. Oh iya, puzzle bermanfaat untuk segala usia, lo! Yang membedakan hanyalah tingkat kesulitannya. Nah, sebentar lagi Bentang Pustaka akan meluncurkan produk puzzle untuk anak-anak, yaitu “My First Hijaiyah Floor Puzzle”. Nantikan produknya, ya! (Rahma)
Write Before Read! Tahapan Pramembaca Efektif Gaya Montessori
/in Artikel, Parenting, serial montessori/by Bentang PustakaDi dalam artikel sebelumnya (baca: Read Aloud! Kegiatan Pramembaca yang Asyik ) kita sudah berbicara mengenai aktivitas reading aloud sebagai bagian dari proses tahapan pra-membaca. Pada tulisan kali ini, kita akan menyorot tahapan pramembaca ala montessori selanjutnya, yaitu “writing before reading” atau “menulis sebelum membaca”. Terdengar janggal dan tidak sreg? Wajar. Selama ini kita belajar dengan cara sebaliknya, membaca baru kemudian menulis.
Menurut Dr. Montessori , menulis merupakan proses anak sejak menggores sebuah permukaan dengan alat tulis, mencoret-coret, menggambar simbol atau objek, menyalin kata hingga mencongak, menulis sebuah kata hingga mengarang cerita. Adapun membaca merupakan proses anak membunyikan huruf yang terangkai dan memahami maknanya. Berdasarkan pendekatan Montessori, aktivitas membaca jauh lebih kompleks dibanding aktivitas menulis. Maka, yang seharusnya didahulukan adalah belajar menulis.
Empat Cara “Writing Before Reading”
Lalu, bagaimana proses belajar menulis sebelum membaca berlangsung? Di dalam artikel ini akan terangkum beberapa poin dari tahapan pramembaca gaya montessori yang secara lengkap telah dikaji dalam buku Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja.
Anak dapat merasakan sendiri bentuk huruf dan mengenal bunyi huruf. Proses meraba merupakan bentuk tracing yang merupakan bagian dari proses menulis yang bisa menanamkan gambaran mental mengenai bentuk dan bunyi huruf.
Ajak anak untuk menulis huruf yang telah ia kenali bentuk dan bunyi hurufnya. Meskipun anak belum bisa merangkai huruf-huruf, otak anak akan berusaha mengaitkan antara bentuk huruf yang ia lihat, tulis, dan bunyi huruf yang ia dengar.
Guru atau orang tua menyebutkan kata yang sudah anak kenali, kemudian meminta anak untuk menuliskan huruf-huruf yang ia dengar bunyinya dalam kata tersebut.
Setelah anak bercerita, dorong ia untuk menggambarkan pengalaman tersebut pada sebuah kertas, yang juga merupakan proses menulis.
Berdasarkan tulisan di atas, dapat diketahui bahwa anak diperkenalkan dengan bunyi suatu huruf, bukan dengan nama huruf. Menurut penulis buku, Vidya Dwina Paramita, jika stimulasi menulis tersebut secara terus-menerus dilakukan maka akan terbentuk pemahaman adanya hubungan antara sebuah kisah, gambar, dan tulisan. Dengan demikian, anak menjadi lebih paham dengan makna dari sebuah kata. Akibatnya, proses belajar membaca akan lebih menyenangkan karena anak mempelajari sesuatu yang ia ketahui tujuannya. (rahma)