Tiga Sebab Generasi Milenial Wajib Belajar Fikih!

Sobat Bentang, sering ngga nemuin perdebatan perihal agama di media sosial? Segala perdebatan perihal agama berpotensi menimbulkan konflik. Tau sendiri kan penyakit sharing tanpa disaring informasi yang menjangkit banyak netizen di Indonesia, terutama generasi milenial yang sering terpapar info hoax? Sebagai generasi milenial muslim kita wajib menerapkan proses tabayun sebelum menyebarkan informasi baik berupa komentar maupun share postingan.

Photo by dole777 on Unsplash

 

Generasi milenial adalah generasi lekat dengan media sosial. Mereka menghabiskan banyak waktu di media sosial. Ada yang bertujuan mencari dan mengikuti perkembangan informasi, ada yang memang kerjanya di bidang media sosial, dan sebagainya. Sayangnya, di media sosial juga sering muncul perdebatan soal agama yang selalu ramai hingga menimbulkan konflik berupa hate speech dan bullying. 

Di era percepatan teknologi dan informasi manusia sering berinteraksi di media sosial. Oleh karena itu, belajar fikih penting sebagai salah satu keilmuan dalam memahami ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Apalagi bagi generasi milenial yang lebih sering berinteraksi dengan media sosial, belajar fikih diperlukan untuk membangun kepribadian dan karakteristik yang baik. 

Generasi milenial belajar fikih? Emangnya apa yang dipelajari dalam ilmu fikih?

Mendengar kata fiqih (PUEBI:Fikih), ada beberapa hal yang terlintas di kalangan generasi milenial. Mulai dari fatwa yang berkaitan dengan halal-haram, aktivitas ibadah yang lekat dengan wajib-tidak wajib sampai perdebatan atas pandangan dan putusan para ulama yang berbeda. Hal-hal yang berkaitan dengan aturan hukum dalam Islam dikenal sebagai fikih (Fiqh). Mau wajib dan tidak wajib, halal dan haram semua berkaitan erat dengan ilmu fikih. 

 

Dalam buku Ngaji Fikih karya Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), belajar atau ngaji fikih adalah proses tentang bagaimana memahami petunjuk, memahami pandangan ulama, dan mengaplikasikannya dalam konteks kehidupan. Dengan bahasa yang santai dan berfokus pada contoh kasus dan konteks, buku Ngaji Fikih cocok dibaca untuk kalangan milenial. 

Ada tiga hal penting yang perlu dipahami dalam proses belajar atau ngaji fikih. Tiga hal itu yang dapat Sobat Bentang selami lebih detail dalam buku Ngaji Fikih antara lain:

Belajar fikih itu membiasakan diri untuk bersikap bijak 

Apa saja fatwa ulama melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah sobat dengar akhir-akhir ini? Fatwa haramnya joget pargoy oleh MUI Jember? 

Atau fatwa hukum perihal panduan shalat saat pandemi hingga saat virus PMK (Penyakit Kuku dan Mulut)?

Menarik ya, hal-hal yang sedang terjadi atau yang sedang tren di media sosial juga diatur dalam hukum Islam. Padahal, kalau dipikir-pikir istilah joget pargoy yang sedang tren di kalangan generasi milenial ataupun pandemi COVID-19 tidak ada dalam Al-Qur’an dan hadis. Itulah menariknya fikih. Apapun masalahnya bisa dipecahkan untuk kemaslahatan dengan terlebih dahulu memahami petunjuk dari Al-Qur’an dan hadis

Sebelum mengeluarkan fatwa, para ulama ngga bisa sembarangan dalam proses menentukan dan menetapkan aturan. Mereka harus terlebih dahulu mengetahui kaidah untuk menggali hukum dari dalil yang terperinci. Pengetahuan ini bersumber dari disiplin ilmu klasik ushul al-fiqh. Tiada fikih tanpa melalui ushul al fiqh. Kalau ilmu fikih berbicara soal halal dan haram, ilmu ushul al fiqh berbicara soal proses yang mendasari halal-haram tersebut. 

Belajar Fikih itu Mendorong Aplikasi Secara Kontekstual

Mempelajari Fiqih berarti memahami ajaran agama Islam. Sebagai agama yang rahmatan Lil Alamin, ajaran Islam tentu memuat nilai-nilai kebaikan yang bertujuan untuk rahmat bagi seluruh alam, tak hanya manusia. Hukum Islam diputuskan bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Karena tidak hanya berbicara soal akidah dan syariat, fikih ada sebagai salah satu cara menyempurnakan akhlak yang mulia.

Baca Juga: Nadirsyah Hosen Tulis Buku soal Tabayun Info Agama di Medsos

Belajar Fikih Bukan Berarti Belajar Bermusuhan

Dalam salah satu judul bab buku Ngaji Fikih, para sahabat Rasulullah pun berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tidak hanya terjadi akhir-akhir ini apalagi dengan terfasilitasinya media sosial, melainkan juga sudah sejak zaman nabi Muhammad saw. Sebab-sebab perbedaan ulama dalam berpendapat.perbedaan pendapat bukan berarti bermusuhan. Masalah benar dan salah itu bukan ranah para ulama karena dalam Islam hakim yang paling adil hanya Allah swt. Kalau kata Gus Nadir, tugas manusia hanya bersikap adil dan beradab seperti sila kedua pancasila, hehe.

Menarik sekali memahami penjelasan Gus Nadir dalam menjelaskan apa-apa saja yang sering menjadi pertanyaan di benak Sobat Bentang. Dengan bahasa dan fenomena sehari-hari, pembahasan perihal ilmu Fikih jadi mudah dipahami oleh siapapun terutama oleh generasi milenial. 

Sobat Bentang bisa buktikan sendiri dengan membaca buku Ngaji Fikih yang tersedia dengan cover baru, lho. Mana cover-nya ngga keliatan seperti kebanyakan buku bertema Fikih lagi!. Info lebih lanjut bisa langsung mampir ke Shopee Bentang Official Shop ya, selamat memaknai nilai-nilai ajaran Islam dalam buku Ngaji Fikih, Sobat Bentang~

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta