Alasan Ingin Hidup Bahagia dan Menghindari Sengsara. Kamu Pilih Mana?
Alasan ingin hidup bahagia itu beragam. Semuanya berawal dari: ada yang tidak ingin kesusahan di dalam hidupnya, ingin mengentaskan kemiskinan, atau mungkin juga mengakhiri penderitaan yang sudah mendera bertahun-tahun lamanya.
Bagaimana pun bentuk alasan orang ingin hidup bahagia, itu semua tercakup dalam sebuah rasa yang tak bisa dikontrol. Keinginan untuk lebih, lebih, dan lebih merasa bahagia dari yang lainnya. Bahkan, ada juga yang merasa dirinya sudah paling terjajah dan paling rendah. Memang, ada sebagain yang bisa dikontrol, namun tetap yang mendominasi ialah hasrat untuk memiliki sesuatu yang melebih dari batasan kita yang semestinya.
Beberapa poin di bawah ini menjelaskan alasan orang ingin hidup bahagia berupa sarkasme dari buku Filosofi untuk Hidup Bentang Pustaka. Mari kita simak sejenak.
Kita Butuh Validasi dari Orang Lain
Sejatinya, tak bisa dimungkiri, kita hidup di dunia makin ke sini ingin adanya sebuah pengakuan dari masyarakat. Hampa dan hambar rasanya jika sesuatu yang sudah kita miliki dan raih tidak dilihat oleh orang lain. Maka dari itu, salah satu cap agar diri kita lebih bahagia dengan membeberkan segala hal yang dipunyai untuk ditunjukkan ke publik.
Kalau meminjam isi dari buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya, katanya kita ingin sebuah penerimaan dari masyarakat. Tinggal di metropolitan yang padat memaksa kita untuk sopan. Jika ingin memasuki kota, jika ingin menjadikan diri sesuatu, kita harus mempertimbangkan pengaruh perilaku kita pada jutaan orang di sekitar.
Alasan Ingin Hidup Bahagia Tak Lain Adanya Rasa Ingin Berkuasa
Manusia yang manusiawi itu seperti apa, sih?
Mengenakan kemeja berlengan panjang, memasang segala perhiasan, membusungkan dada dengan gagap, dan menyuarakan hanya dirinya yang boleh ambil alih keputusan dengan lantang.
Berdasarkan kondisi alamiah manusia yang memiliki kehendak, membuat manusia beralih menjadi insan yang aktif dalam kehidupannya di dunia. Keaktifannya yang dijadikan sebagai media, lalu memberikan manusia kemampuan untuk menciptakan dan menata dunia sebagai hasil dorongan yang dimilikinya.
Meminjam filsafat Nietzche, bahwa manusia sedang belajar mengembangkan dirinya. Pentingnya arti nilai keberadaan manusia sebagai entitas diri, bukan kekuatan lain yang berada di luar dunia. Nietzche menganggap, dunia ini merupakan sebuah permainan yang tidak memiliki kebenaran utuh––tak berawal hingga bahkan terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan dengan kehendak yang dimiliki manusia.
Tak Ingin Ditelan Era
Alasan ingin hidup bahagia yang terakhir yaitu tidak ingin ditelan era atau tergerus dalam ketertinggalan zaman. Semakin dunia ini banyak modenya, semakin gencar pula hasrat kita ingin menunjukkan eksistensi terhadap dunia. “Ini, loh, aku ada.” Begitu kurang lebihnya.
Tanpa disadari, perlahan namun pasti, kita akan kehilangan keunikan diri alias jati diri. Mengingat kita terus bergantung pada faktor luar untuk meraih eksistensi diri. Rasanya kepopuleran kita perlu digali dari luar dan ditunjukkan pula ke dunia luar. Hampa rasanya jika jiwa dalam diri manusia seperti botol yang tak ada tutupnya.
Salah seorang filsuf, Diogenes namanya, pernah bercuit bahwa rasa malu kita sudah terlalu diasah oleh masyarakat lain, sehingga kita menjadi cemas, neurotik, terasing, takut menciptakan kesan buruk di mata orang lain. Kita mengerahkan seluruh energi untuk berusaha tampil menarik di depan orang asing, mengenakan topeng kesantunan yang dirawat dengan baik, sambil menyembunyikan apa saja dari mata publik tentang kesan tak tahu adat, kasar, atau primitif.
Masih ada kesempatan untuk kalian memiliki buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui lama bit.ly/pesanfilosofi hingga 11 Oktober 2020, ya!
Pamungkas Adiputra.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!