Tips Menghindari Hoaks Atas Nama Agama di Media Sosial
Pemilu 2019 memang sudah berlalu, tetapi gaungnya masih dapat kita rasakan sampai kini. Pemilu yang sejatinya adalah pesta rakyat penuh dengan kegembiraan, cenderung berubah menjadi sebuah kontestasi politik penuh dengan kebencian. Terlebih oleh sebagian pihak digunakan sebagai alat pemecah belah, jika pilihannya berbeda maka dianggap sebagai lawan. Apa saja yang keluar dari pihak yang berseberangan, hanya akan berakhir salah dalam anggapan pihak yang lain.
Pemilu 2019 terasa semakin panas tatkala agama digunakan secara serampangan untuk mendukung pilihan politik. Agama tak lagi dipahami secara objektif, penafsiran dalil asal comot dan tempel, dan bahkan pemalsuan sumber agama pun dilakukan demi mendukung pilihan politiknya dan menyerang lawan. Kasus terbaru, sesaat setelah KPU mengeluarkan hasil penghitungan suara, muncul tafsir sesat Surah An-Nisa ayat 108. Tak berhenti di situ, disusul pemalsuan nama sahabat Nabi Saw. demi menyerang lawan politik.
Perlu kiranya kita untuk berhati-hati menerima bahasan agama di media sosial agar kita tidak meyakini informasi yang salah. Jangan sampai kita menjadi bagian dari penikmat dan penyebar informasi agama yang menyesatkan hanya karena kita berada pada pihak pilihan politik yang sama. Seharusnya pilihan politik apa pun tak mengurangi kehati-hatian kita dalam belajar dan membaca pesan agama. Lalu, bagaimana kita menyikapinya?
Gus Nadir memberikan tips dalam menangkal hoaks atas nama agama di media sosial lewat buku Saring Sebelum Sharing. Jika yang datang kepada kita adalah bahasan mengenai sebuah hadis, secara ringkas ikuti langkah metodologi berikut:
- apakah hadis tersebut terdapat dalam sembilan kitab hadis utama?
- jika ya, bagaimana komentar ulama dalam kitab syarah utama mengenai hadis tersebut?
- jika keterangan tersebut belum cukup, bagaimana kitab hadis sekunder dan kitab syarah sekunder bicara mengenai hadis tersebut?
Akses umat terhadap Al-Quran dan hadis sebenarnya selalu terbuka sepanjang masa. Siapa pun boleh membaca dan mempelajarinya. Ulama mengajarkan Al-Quran dan hadis, bukan membatasi. Yang dibatasi itu adalah untuk beristinbat dari kedua sumber utama ini. Menggali hukum dan menafsirkannya serta mengajarkannya itu jelas membutuhkan kualifikasi. Tanpa kualifikasi, orang bisa sembarangan dan seenaknya mengatakan orang lain salah dan sesat.
Jika kita tidak memiliki kualifikasi untuk menafsirkan Al-Quran dan hadis, sebaiknya kita menunggu jawaban dan tabayun kepada orang yang memiliki kualifikasi tersebut. Jangan sampai kita ikut menafsiri dan mendukung tafsir-tafsir sesat di media sosial. Selengkapnya mengenai bahasan tafsir Al-Quran dan hadis dapat kamu baca dalam buku Saring Sebelum Sharing karya Nadirsyah Hosen. Dapatkan bukunya di http://bit.ly/orderbukusss.
Sumber gambar: http://www.redaksigma.com
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!