Teladani Akhlak Nabi Muhammad di Zaman Media Sosial
PEMILU serentak 17 April 2019 sudah lewat. Tapi gaungnya masih terasa. Kenapa? Karena hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei dan hasil perhitungan sementara Komisi Pemilihan Umum sudah terlihat. Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul atas pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hitung cepat lembaga survei ini dianggap kubu Prabowo tidak kompeten. Padahal hasil real count yang dilakukan internal Prabowo-Sandi bahkan mencapai 62 persen. Penegasan ini disampaikan Prabowo di depan awak media. Lalu mana yang benar? Tentu saja hasil resmi Pemilu 2019 menjadi kewenangan KPU. Semua pihak harus menghormatinya. Kendati yang terjadi saat ini saling klaim kemenangan boleh-boleh saja dilakukan, asalkan didukung dengan data valid, bukti otentik serta fakta yang benar.
Oleh sebab itulah, serangan demi serangan mengarah kepada KPU. Kinerja KPU disorot sedemikian masif, kecurangan-kecurangan dikupas habis. Terlebih lagi, Pemilu serentak kali ini merenggut seratusan korban jiwa dari pihak kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dan perangkatnya. Serangan demi serangan itu menjalar cepat di media sosial. Opini dibentuk untuk mengarahkan pada post truth atau penyangkalan kebenaran. Lantas bagaimana kita perlu menyikapi hal tersebut?
Ada satu contoh sederhana. Jika di kerumunan pasar tiba-tiba ada yang berteriak, “Copeeet!!!!” sambil menunjuk ke arah Anda, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Kerumunan orang akan menghakimi Anda, tanpa sempat lagi melakukan verifikasi; benarkah Anda copetnya, atau yang lebih krusial lagi, benarkah dompet orang di sebelah Anda itu hilang karena dicopet atau orang tersebut ketingggalan dompetnya di rumah?
Celakanya skenario di atas juga terjadi di dunia media sosial. Pada hakikatnya, fenomena yang terjadi saat ini adalah kita tidak lebih dari kerumunan di media sosial yang bersikap reaktif tanpa sempat melakukan verifikasi atau klarifikasi. Dalam bahasa agama, kita gagal melakukan tabayun terebih dahulu sebelum bereaksi yang konsekuensinya bisa merugikan orang lain.
Tabayun pada Era Media Sosial ini adalah salah satu topik menarik dari penggalan buku karya Nadirsyah Hosen berjudul Saring Sebelum Sharing: Pilih Hadis Sahih, Teladani Kisah Nabi Muhammad Saw., dan Lawan Berita Hoaks yang diterbitkan Bentang Pustaka. Gus Nadir, begitu Prof. Nadirsyah Hosen akrab disapa oleh warga NU, mengisahkan ajaran Nabi Muhammad Saw. yang ternyata masih relevan diterapkan hingga kini, yang serba digital dan dibumbui kegaduhan di media sosial.
Menurutnya, dalam sekali pencet di layar smartphone, sejumlah ajaran akhlak yang diajarkan Nabi dilanggar seketika, di antaranya harus tabayun, jangan gibah (bergosip), jangan mencari-cari kesalahan saudaramu, jangan memberi label atau panggilan yang buruk, jangan mudah mengafirkan orang, jangan menuduh saudaramu, jangan merusak kehormatannya dengan mempermalukannya di depan umum, jangan debat kusir, jangan bersikap kasar dan sombong, jangan menganggap dirimu suci dan seterusnya.
“Diskusi di media sosial menjadi sama riuh dan berisiknya seperti diskusi di pasar. Gayanya saja kita pakai smartphone saat diskusi, padahal cara kita berkomunikasi masih berupa kerumunan yang saling berteriak dan memunculkan mekanisme pertahanan diri,” sindir Gus Nadir, Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama di Australia dan New Zealand yang aktif di Twitter tersebut.
Saat ini, masyarakat cenderung mempercayai sesuatu yang memang masyarakat ingin percayai. Jika ada berita jelek atau berita baik tentang seorang tokoh, tanpa berpikir dua kali, kita langsung forward atau share berita tersebut, sesuai isi hati kita yang senang atau benci dengan tokoh tersebut. Jadi, lanjut Gus Nadir, yang menentukan itu bukan benar atau tidaknya isi berita, melainkan apakah kita senang atau benci dengan tokoh yang dibicarakan itu. Ini yang namanya bias.
Anehnya lagi, kalau ada kiai atau guru besar yang posting di media sosial, banya sekali yang bertanya, “Mana dalilnya? Ada referensinya ada tidak? Itu ceritanya ada di kitab apa? Itu hadisnya sahih, tidak? Kalau soal agama, sibuk bertanya dalil, tetapi kalau menyebar hoaks atau berita bohong, tak bertanya lagi tentang dalil, tapi langsung share atau menyebarkannya. Maka, posting-an agama yang mengajarkan kebaikan menjadi kalah cepat dengan posting-an yang menghembuskan kebencian.
Gus Nadir merasa prihatin, karena persoalan ini bukan semata-mata soal dalil, melainkan soal perasaan kita saja, yakni senang atau benci. Maskipun didatangkan bukti sepuluh kitab tafsir yang lengkap dengan tangkapan layar (screenshot) teks Arab langsung, kita tidak akan percaya. Namun, hanya dengan satu gambar meme yang mengolok-olok dan cocok dengan isi hati kita, kita langsung klik share tanpa peduli apakah itu gambar editan atau asli. Mantranya di media sosial: tidak cocok, tanyakan dalilnya; kalau cocok maka tidak usah klarifikasi dan verifikasi, langsung sebar saja.
“Dalam kerumunan, sering sekali kita terpaksa harus membela diri menggunakan logika kerumunan yang sama. Kita harus lebih smart dari ketimbang smartphone kita. Tidak bisa polos dan lugu,” ujarnya.
***
Ada upaya memecah belah kerukunan bangsa. Hadis perang itu tipu daya terus dilakukan. Narasi yang misalnya, disampaikan adalah pemerintah kafir sehingga tak layak ditaati. Setelah itu mereka menyerang tokoh dan ulama. Presiden dekat dengan ulama, ulamanya dicaci maki. Mereka tak ingin ulama dan umara (pemimpin pemerintahan) bersatu. Mereka tak ingin melihat pemerintah dekat dengan umat. Setelah banyak yang termakan dengan narasi ini, mulailah mereka menganggap bahwa saat ini mereka berperang melawan pemerintah kafir, ulama su’ (ulama yang buruk), tokoh liberal dan para pendukungnya. Berlakulah hadis di atas bahwa perang itu tipu daya.
Pada topik agak berat ini, Gus Nadir mencoba menganalis upaya perang itu tipu daya yang menggunakan hadis. Menurutnya, untuk menggoreng isu, memfitnah, menebar berita hoaks, mereka membuat akun anonim yang masif dan terstruktur. Perbuatan yang sudah diharamkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut oleh mereka dihalalkan dengan hadis perang itu tipu daya. Semua hal yang jelek berubah menjadi boleh atas nama membela Islam.
“Saya ingin menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu keliru atau salah besar. Tidak benar kita sedang berperang. Pemerintah tidak memerangi umat Islam. Kita sesama umat Islam tidak sedang berperang di Indonesia. Kita tidak pula berperang dengan non-Muslim sesama warga negara Indonesia,” paparnya di halaman 314.
Gus Nadir melanjutkan, tidak benar cara mereka mengkafir-kafirkan sesama umat Islam hanya karena berbeda pilihan politik. Hadis sahih mengingatkan untuk tidak sembarang menuduh orang lain sebagai kafir karena tuduhan tersebut bisa berbalik padanya.
Barang siapa memangil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, tuduhan itu akan kembali ada penuduh. (HR Bukhari dan Muslim)
NKRI sudah disepakati para ulama dan pejuang kemerdekaan. Tidak benar ini pemerintahan tagut. Ini pemerintahan yang sah dan telah dipilih melalui mekanisme pemilu yang disepakati bersama. Tidak benar pemerintah ini anti terhadap syariat Islam.
Ia melanjutkan, “Tengoklah, semua pihak bisa beribadah. Kita mau salat tidak dilarang. Mau puasa, bayar zakat pergi haji juga tidak dihambat. Masak yang begini dibilang antisyariat?”
Mari kita ciptakan narasi bahwa umat Islam bisa maju dengan iqra’ (menumbuhkan budaya literasi), bukan dengan boikot sana sini atau menebar berita bohong.
“Terhadap mereka yang terus mengutip hadis perang itu tipu daya, mari kita katakan pada mereka bahwa hadis itu sahih, tapi pemahaman Anda yang keliru. Kita tidak sedang berperang. Ulama dan pemerintah sedang bergandengan tangan membangun negeri ini dengan jalan damai. Semua tipu daya dalam kondisi damai, haram hukumnya!” serunya.
***
Dari banyak persoalan tersebut, Gus Nadir teringat dengan tiga keistimewaan Nabi Muhammad yang pantas diteladani, yaitu pertama akhlak, kedua akhlak, dan ketiga akhlak. Muhammad secara terang-terangan menjelaskan misinya yakni untuk menyempurnakan akhlak mulia. Beliau tidak mengatakan akhlak sebelumnya jelek atau hancur. Beliau tidak hendak mengoreksi, apalagi mencaci dan menghakimi seperti kebanyakan para dai saat ini. Muhammad datang untuk “menyempurnakan” akhlak yang “mulia”. Luar biasa.
Untuk mengemban misi ini, Muhammad harus membuktikan diri pantas sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik). Allah SWT memberi beliau kita suci Alquran. Inilah mukjizat Muhammad, nabi terakhir yang keteladanannya harus melintasi batas ruang dan waktu, tidak bisa hanya temporer atau lokal seperti mukjizat para nabi sebelum beliau.
Musa menghadapi zaman ketika penyihir begitu ditakuti maka mukjizat Musa pun cocok untuk zaman itu. Namun mukjizat Muhammad harus melampaui zamannya sendiri.
Misi utama Muhammad yang hendak menyempurnakan perdaban manusia yang berakhlak mulia sebagai rahmat untuk semesta alam diwujudkan dalam wahyu pertama. Ketika menerima pertintah pertama di Gua Hira, isinya berupa iqra’ (bacalah!). Inilah cikal bakal munculnya peradaban Islam.
Lewat ilmu pengetahuan, misi Muhammad melintasi batas wilayah, zaman, dan generasi. Itulah sebabnya, Muhammad Iqbal, cendekiawan besar dari Pakistan, menulis bahwa “Muhammad adalah mukadimah bagi alam semesta”.
Penulis: Harian Merapi
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!