Mengenal Metode Tafsir Al-Quran

Metode Tafsir Al Quran

Perbedaan penafsiran suatu konteks sangat sering terjadi di tengah masyarakat. Misalnya, cara seseorang memahami teks akan sangat mungkin berbeda dengan pemahaman orang lain. Meski membaca teks yang sama, tetapi penafsiran yang dihasilkan dapat sangat mungkin berbeda tergantung siapa, di mana, dan bagaimana pembacanya. Ini juga berlaku untuk tafsir Al-Quran.

Celakanya, dampak dari perbedaan tafsir bisa sampai mengakibatkan pertumpahan darah, terutama jika yang ditafsirkan adalah Kitab Suci. Banyak orang saling bunuh atas nama Ayat Suci. Padahal, sikap mereka itu sebenarnya sama sekali bukan atas nama Kitab Suci, melainkan atas nama penafsiran yang mereka anggap sama-sama suci dan sama-sama benarnya dengan Kitab Suci.

Tafsir memang seperti dua sisi mata uang, di satu sisi ia dapat menggerakkan seseorang untuk mengeklaim sebuah kebenaran. Namun di lain sisi, tafsir juga dapat menggerakkan seseorang untuk bersikap ramah, toleran, inklusif, dan pluralis terhadap keberagaman tafsir itu sendiri.

Dalam Islam, secara umum metode tafsir Al-Quran terbagi menjadi dua, yaitu Tafsir bir Riwayah dan Tafsir bir Ra’yi.

Tafsir bir Riwayah

Tafsir yang dalam memahami kandungan ayat Al-Quran lebih menitikberatkan pada ayat Al-Quran dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode Tafsir bir Riwayah penuh dengan riwayat hadis, dan jarang sekali pengarang tafsirnya menaruh pemikirannya sendiri. Tafsir At-Thabari misalnya, dianggap mewakili corak penafsiran model ini.

Tafsir jenis ini menggunakan ayat Al-Quran untuk menafsirkan ayat Al-Quran lainnya, itulah kelebihan metode ini. Metode Tafsir bir Riwayah juga dibagi lagi menjadi dua macam bentuk penafsiran, yaitu Tafsir At-Tahlili dan Tafsir Maudhu’i. Tafsir At-Tahlili artinya mufasir memulai kitab tafsirnya dari Al-Fatihah sampai An-Nas. Ia menguraikan tafsirnya berdasarkan urutan surah dalam Al-Quran, model ini diikuti oleh semua kitab tafsir klasik.

Sementara itu, Tafsir Maudhu’i atau tematis berarti sang mufasir tidak memulai dari surah pertama sampai terakhir seperti model pertama. Mufasir lebih memilih satu tema dalam Al-Quran untuk kemudian menghimpun seluruh ayat yang berkaitan dengan tema, baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut.

Konon, model Tafsir Naudhu’i ini pertama diterapkan oleh Muhammad Al-Biqa’i. Dari kalangan Syi’ah, yang menganjurkan metode model ini adalah Muhammad Baqir As-Shadr. Sementara di Indonesia, model ini kali pertama dikenalkan oleh K.H. Quraish Shihab.

Tafsir bir Ra’yi

Kebalikan dari Tafsir bir Riwayah. Metode tafsir yang kedua ini lebih menitikberatkan pada pemahaman akal (rakyu) dalam memahami kandungan nash (segala sesuatu yang tampak). Namun, bukan sama sekali menghilangkan ayat dan hadis dalam menafsirkannya. Ayat dan hadis tetap dipakai, tetapi porsinya lebih sedikit daripada penggunaan akal.

Adapun contoh tafsir model ini adalah Tafsir Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari dari kalangan Mu’tazilah, Tafsir Fakh Al-Razi, Tafsir Al-Manar, dan lain-lain.

Tafsir bir Ra’yi juga dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu Tafsir bil ‘Ilmi, Tafsir Falsafi, serta Tafsir Sastra. Tafsir bil ‘Ilmi dilakukan dengan seperti menafsirkan fenomena alam dengan merujuk ayat Al-Quran. Sementara Tafsir Falsafi dilakukan dengan memakai filsafat untuk membedah ayat Al-Quran. Sementara pada Tafsir Sastra lebih menekankan aspek sastra dari ayat Al-Quran. Model ini sekarang dikembangkan oleh Aisyah Abdurrahman atau terkenal dengan nama Bintusy Syathi.

Kendati terbagi menjadi dua, penggolongan secara konservatif dan ketat antara Tafsir bir Riwayah dan bir Ra’yi sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Misalnya, pada tafsirnya Bintusy Syathi yang ternyata penuh kandungan ayat Al-Quran untuk memahami ayat lain. Sementara pada Tafsir Al-Manar yang menggunakan metode bir Ra’yi pada sebagian ayatnya terlihat keliberalan penulisnya, tetapi pada ayat lain justru terlihat kekakuan penulisnya. Labih lanjut, Tafsir model Maudhu’i (tematis) juga tak bisa secara kaku dianggap sebagai Tafsir bir Riwayah semata.

Sebagai penutup, mengutip perkataan Syekh Abdullah Darraz, Al-Quran itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut mana pun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja Anda berikan kesempatan kepada rekan Anda untuk melihat kandungan ayat Al-Quran, boleh jadi ia akan melihat lebih banyak daripada yang Anda lihat.

Oleh karena itu, tidak perlu khawatir mana metode tafsir yang terbaik sebab semua metode tafsir di atas bertujuan untuk menyingkap cahaya Al-Quran.

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos (Edisi Diperkaya), karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

 

Kontributor: Widi Hermawan

2 replies

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] Indonesia ternyata diakui sampai ke luar negeri. Mufasir merupakan seorang yang ahli dalam bidang tafsir ayat-ayat suci […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta