Tag Archive for: Sejarah

Peta batavia

Sejarah Kota-kota di Nusantara pada Abad ke-17

Tinggal di kota tertentu dalam jangka waktu cukup lama belum tentu membuat kita mengerti bagaimana sejarah kota tersebut kan? Apa yang terjadi sepuluh, lima puluh, atau bahkan ratusan tahun lalu padahal bisa jadi memengaruhi banyak hal. Mungkin bisa jadi bahasa, keragaman budaya, sampai struktur dan pola bangunan yang selama ini ada.

Saathi dan dua orang adiknya dalam buku Al-Masih membawa gambaran sejarah kota yang dilaluinya. Pada abad ke-17 mereka bertekad melakukan perjalanan ke Batavia tanpa orang tua untuk sebuah misi. Ada beberapa kota atau tempat yang mereka lalui, apakah kota-kota tersebut masih menggunakan nama yang sama?

Sejarah Kota Batavia

 

Saathi menetapkan tujuannya pada Kota Batavia. Sejarah kota ini amat panjang karena saat ini kota Batavia yang diubah menjadi Jakarta telah berumur 493 tahun. Batavia ternyata menjadi nama kedua yang disematkan kepada kota ini setelah pada abad ke-16 bernama Jaccatra atau Jayakarta. Nama Batavia sendiri diberikan oleh VOC pada abad ke-17 dari sebuah suku yang hidup di dekat sungai Rhine pada zaman Romawi. Kini tempat yang dinamakan Batavia menjadi Jakarta dan dijadikan ibukota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Arsip sejarah kota mencatat hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mendiami daerah tersebut. Ada orang-orang Portugis, Belanda, Cina, hingga Arab yang datang ke kota ini.

Baca juga: BERAGAM LATAR TEMPAT DALAM AL-MASIH: PUTRA SANG PERAWAN

Ommelanden, wilayah luar tembok kota

 

Ommelanden batavia

https://asseta.grid.id/crop/0x0:0x0/700×0/photo/2019/06/03/2245122949.jpg

Ommelanden sering juga disebut wilayah di luar tembok, karena keberadaannya dengan Kota Batavia dipisahkan dengan sebuah tembok panjang.

Beberapa nama yang saat ini kita kenal seperti, Kuningan, Kalibata, Lebak Bulus, dan Pondok Gede (Cililitan) sudah muncul dalam buku-buku dari abad ke-17 dan masuk dalam wilayah ini. Ommelanden memiliki bentuk perkebunan di sekitar bantaran sungai dengan pengelompokan warga berdasarkan etnis atau sukunya, seperti Kampung Jawa dan Kampung Cina (Pecinan).

Karawang

Karawang pada abad ke-17 merupakan wilayah kekuasaan Sultan Agung yang memimpin wilayah Mataram. Namun pada abad yang sama pula, sejarah kota ini berubah karena adanya perebutan wilayah kekuasaan antara Sultan Agung, Sultan Banten dan VOC. Ribuan tentara dikirimkan ke wilayah ini untuk mempertahankan area dari Kesultanan Banten sekaligus bersiap menyerang VOC.

Akibat dua peristiwa besar ini lah, sejarah kota atau wilayah ini berubah. Karawang yang pada saat itu sebagian besarnya masih berupa rawa-rawa dijadikan lahan-lahan pertanian. Hal ini lah yang membuat Karawang sampai saat ini dijuluki sebagai salah satu lumbung padi Indonesia.

The Map of Java 1729

https://2.bp.blogspot.com/_ogg5WCmaP8/ShDi3iZN3XI/AAAAAAAACRk/-XohZ98-MZg/w1200-h630-pknonu/The+Map+of+Java+1729.jpg

Mataram

Wilayah Kesultanan Mataram pada abad ke-17 mencakup sebagian besar kota-kota di Pulau Jawa. Kekuasaan Kerajaan Mataram bahkan meluas hingga Madura dan Kalimantan.Hal tersebut mentebabkan secara tidak langsung, sejarah kota seperti Cirebon, Jepara, Gresik, dan Malang juga dipengaruhi masa kejayaan kerajaan ini. Namun, saat VOC dibentuk dan berkuasa di Batavia wilayah Mataram kemudian dibagi dalam beberapa wilayah.

Pada masa ini lah Saathi dan kedua adiknya pindah dari wilayah Mataram ke Batavia yang terlihat lebih menjanjikan. Mereka membawa identitas suku Jawa dan beragama Islam ke tempat yang lebih beragam. Bagaimana sejarah kota lainnya di Nusantara dan dunia? Simak dalam buku Al-Masih: Putra sang Perawan karya Tasaro GK.

Takut Membuka Masa Lalu

Untuk Kamu yang Masih Takut Membuka Masa Lalu

Apakah kamu takut membuka masa lalu? Diskusi tentang masa lalu atau catatan sejarah sering kali tak ingin dilakukan. Jangan jauh-jauh, urusanmu dengan mantan saja kadang kamu pinggirkan dari bahan obrolan, kan? Padahal disadari atau belum, mereka dan kisah kemarinlah yang membentuk dirimu menjadi sosokmu sekarang. Begitu pun dengan skala sejarah yang lebih besar, sebuah kelompok atau tempat dibangun dengan banyak sekali sejarah yang menyertainya.

Sayangnya, lagi-lagi kita sering tak berkenan mengulik rangkaian peristiwa masa dulu karena merasa tidak relevan dengan hidup kita. Belum lagi, kebiasaan menghafal sejarah melalui tanggal-tanggal dan nama tokoh yang kadang terlalu sulit untuk diucapkan. Kalau sudah begitu, belum juga paham alurnya, otak kita sudah panas duluan. Beberapa cara di bawah ini mungkin patut dicoba untuk mengubah ketakutan itu.

Tilik Sejarah yang Menggelitik

Untuk memulai menjadikan sejarah tidak begitu saja terlewat, kita bisa mengulik dari benda-benda atau kebiasaan yang sering sekali ditemui dan tentu saja menarik bagi kita. Seperti misalnya, mengapa resep makanan tradisional Indonesia menggunakan banyak sekali rempah-rempah dan dimasak dalam waktu yang cukup lama? Atau kenapa sih dari berbagai sistem penanggalan yang ada, penanggalan Masehi menjadi sistem yang saat ini umum digunakan? Rasa penasaran yang menggelitikmu tentang apa yang ada di hari ini bisa terus dikembangkan untuk merunut masa lalu.

Takut Membuka Masa Lalu

Kamu akan terkejut mendapatkan fakta yang berangkat dari sebuah resep masakan yang tercipta di zaman kerajaan ataupun kolonial. Bumbu dan rempah yang digunakan juga bukan sekadar penambah rasa, tapi sebagai pengawet alami karena orang-orang di zaman tersebut tidak setiap hari memiliki kesempatan untuk mendapatkan bahan makanan berupa daging. Bukan hanya sumbernya yang terbatas, harga daging pun hanya bisa dijangkau oleh kalangan ekonomi tertentu. Untuk mengatasi hal tersebut, teknik pengawetan banyak digunakan seperti dikeringkan, diasap, atau bahkan fermentasi yang menghasilkan tempe. Sejarah satu benda dan peristiwa saja bisa terkait ke berbagai hal lain. Seru, kan?

Buka Diri kepada Banyak Pandangan

Sejarah suatu benda atau peristiwa–bukan hanya makanan–juga biasanya ditulis dalam berbagai sisi. Sistem penanggalan Masehi yang paling banyak digunakan di dunia saat ini misalnya, berangkat dari kelahiran Al-Masih yang ditulis sejarahnya dalam berbagai kitab suci. Pembuktian kelahiran sosok yang lahir dari Maryam ini pun ada di berbagai tempat di dunia yang disebut dengan relikui. Kisahnya pun diabadikan dalam berbagai bentuk benda seni. Penuturan kisah Al-Masih sejak sebelum lahir hingga setelah kematiannya juga membuka banyak sekali pandangan, karena banyaknya sumber yang menceritakan. Pikiran yang terbuka dalam menganalisis satu demi satu perbedaannya akan menghubungkan kita pada sejarah lainnya yang terjadi di dunia, mungkin sampai hari ini.

Baca juga: Beragam Latar Tempat dalam Al-Masih: Putra Sang Perawan

Takut Membuka Masa Lalu? Cari Media yang Menyenangkan Hati

Peristiwa sejarah yang sifatnya tidak secara langsung kita alami memang tak bisa begitu saja berkesan bagi kita. Media yang kita pilih untuk memulai petualangan kita ke masa lalu juga akan menentukan. Kita bisa menonton video, mendengarkan rekaman podcast, atau tentu saja membaca buku. Jika buku sejarah terasa membosankan, banyak kok buku-buk fiksi yang didasari dengan fakta sejarah. Ada novel terbaru Tasaro GK salah satunya yaitu Al-Masih: Putra sang Perawan. Novel dengan dua latar waktu dan tempat berbeda akan menjadikan kita berimajinasi di banyak momentum sekaligus dalam satu buku. Buku yang memenangkan ide terbaik se-ASEAN ini pun dikemas dalam gaya naratif yang tidak akan cepat membuatmu terlelap begitu saja. Pepatah juga bilang, tak kenal maka tak sayang, untuk mengenal kembali masa lalu juga harus dimulai dengan hal yang sama dong. Ingat, tidak ada yang benar-benar baru dalam kehidupan ini. Kita bisa belajar mulai sekarang agar lebih banyak hal yang bisa dijaga.

Latar_tempat_Al-Masih

Beragam Latar Tempat dalam Al-Masih: Putra Sang Perawan

Penulis yang melahirkan kesuksesan melalui tetralogi serial novel Muhammad yaitu Tasaro GK akan segera meluncurkan karya terbarunya. Melalui judul Al-Masih: Putra Sang Perawan Tasaro GK akan mengisahkan mengenai kisah Nabi Isa. Namun tidak hanya itu saja, yang akan menjadi sangat menarik adalah penceritaan Nabi Isa ini akan melihat dari tiga perspektif agama yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Bersama dengan Bentang Pustaka, Tasaro GK melalui Al-Masih: Putra Sang Perawan ini akan membentangkan kembali ilmu, kisah, dan sejarah yang dikemas dengan menarik. Hal menarik lainnya adalah beragam latar tempat yang ada dalam cerita. Berikut beragam latar yang terdapat dalam karya terbaru Tasaro GK.

Batavia

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_stad_Batavia_TMnr_3728-537.jpg

Pengisahan di Batavia (sekarang Jakarta) ketika dalam cerita mengisahkan mengenai beberapa tokoh pada abad ke-17. Sekitar tahun 1600-an akan diceritakan juga dinamika, serta pertemuan berbagai pandangan agama di sini. Pengambilan latar tempat di Batavia ini akan menunjukkan bagaimana adanya interaksi antarumat beragama yang dinamis pada masa tersebut. Khususnya kala itu adalah masa di mana daerah Batavia didatangi oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sehingga terjadi pertemuan antarbudaya.

Nazareth

https://www.land-of-the-bible.com/node/903

Selain mengambil garis waktu pada abad ke-17, Al-Masih: Putra Sang Perawan juga akan mengambil latar waktu sebelum masehi, di mana pada kala itu Nabi Isa belum terlahir. Sehingga latar tempat yang selanjutnya terdapat di Nazareth.  Nazareth merupakan kota kuno di bagian utara Israel. Kerap disebut juga sebagai desa Nazareth, merupakan kampung halaman dari keluarga Nabi Isa. Dalam penceritaan nantinya akan mengisahkan bagaimana keluarga Nabi Isa, terkhusus ibunya, Maryam yang berada di kota Nazareth.

Galilea

https://pixabay.com/images/id-3448734/

Masih mengambil latar waktu sebelum masehi, tempat selanjutnya yang terdapat dalam kisah Al-Masih: Putra Sang Perawan adalah Galilea. Galilea merupakan daerah di bagian utara Israel. Jika dibandingkan pada Israel masa kini maka Galilea telah mencakup lebih dari sepertiga wilayah Israel sekarang. Pada latar tempat Galilea ini novel akan mengisahkan bagaimana kehidupan, khususnya pelayanan dari Nabi Isa.

Kasultanan Mataram

https://pin.it/6vBZWtA

Latar lainnya adalah abad ke-17 ketika Kasultanan Mataram sedang berjaya di Nusantara kala itu. Kasultanan Mataram akan menjadi latar tempat selanjutnya di abad ke-17 setelah Batavia. Kasultanan Mataram dikenal juga sebagai Kerajaan Mataram Islam yang sekarang telah terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan juga Kasunanan Surakarta. Kerajaan besar dan berpengaruh di Jawa dan Nusantara ini akan menjadi latar pengisahan dalam Al-Masih: Putra Sang Perawan. Nantikan karya terbaru Tasaro GK yaitu Al Masih: Putra Sang Perawan, ikuti juga pre order dengan berbagai penawaran menarik hanya di @bentangpustaka.

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

al_masih

Al Masih: Putra Sang Perawan Karya Terbaru Tasaro GK

Setelah sukses dengan serial novel Muhammad, sang penulis Tasaro GK akan mengeluarkan novel terbarunya. Kali ini akan kembali mengangkat mengenai sejarah dan juga agama. Al Masih: Putra Sang Perawan, menjadi judul terbaru dari karya Tasaro GK. Kesuksesan serial novel Muhammad, mulai dari Muhammad: Lelaki Penggengam Hujan, Muhammad: Para Pengeja Hujan, Muhammad: Sang Pewaris Hujan, hingga Muhammad: Generasi Penggema Hujan telah terbit di Bentang Pustaka. Kali ini kembali bersama Bentang Pustaka, Tasaro GK akan membentangkan kisah, ilmu, dan sejarah melalui karya Al Masih: Putra Sang Perawan.

Al Masih Berkisah Tentang Apa?

Secara garis besar Al Masih: Putra Sang Perawan akan mengisahkan tentang Nabi Isa. Namun tak hanya itu, kisah Nabi Isa di sini akan mengambil dari berbagai perspektif. Mulai dari pandangan dari 3 agama yang berbeda, kemudian kisah sejarah, hingga sumber kitab yang berbeda-beda. Maka dari itu, kisah Al Masih ini telah melewati riset yang panjang. Penceritaan dalam karya terbaru Tasaro GK ini akan mengambil latar belakang abad ke-17.

Pengambilan latar belakang tersebut guna menunjukkan adanya interaksi antarumat beragama yang dinamis pada masa tersebut. Khususnya di daerah Batavia dan sekitarnya ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) masuk ke Nusantara kemudian terjadi pertemuan antarbudaya, agama kala itu. Selain itu, penceritaan juga akan mengambil garis waktu dan latar belakang sebelum kelahiran Nabi Isa. Tentunya pengisahan mengenai Nabi Isa ini akan sangat menarik. Hal tersebut dikarenakan penceritaan yang mengambil tiga perspektif atau pandangan agama. Mulai dari umat Islam, Yahudi, hingga Kristiani.

Keistimewaan Al Masih: Putra Sang Perawan

Perlu Sahabat Bentang ketahui bahwa ide buku Al Masih: Putra Sang Perawan telah memenangkan pitching naskah di Kuala Lumpur International Book Fair. Maka dari itu, secara ide dan garis besar karya terbaru Tasaro GK ini sudah sangat istimewa. Di dalam buku ini nantinya juga akan melihat dinamika interaksi antar umat beragama. Sehingga sangat diharapkan para pembacanya nanti akan lebih melihat kuatnya toleransi antarumat beragama secara nyata.

Secara khusus Tasaro GK akan menceritakan bagaimana interaksi umat beragama Islam dan Kristen di Batavia pada abad ke-17. Melalui buku ini nantinya kita juga akan mengetahui bagaimana sejarah dua agama tersebut di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Hingga juga melihat bagaimana pergerakan sejarah budaya dan agama di Batavia. Diharapkan bahwa melalui karya terbaru Tasaro GK ini para pembaca akan bisa menerima keberagaman agama beserta penganutnya.

Nantikan karya terbaru Tasaro GK yaitu Al Masih: Putra Sang Perawan, ikuti juga Pre Order dengan berbagai penawaran menarik hanya di @bentangpustaka.

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

Pergerakan Nasional Pangeran Dari TImur

Pergerakan Nasional Melalui Pangeran dari Timur

Pangeran dari Timur merupakan novel karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada 2020. Berlatar belakang abad ke-19 dan ke-20, novel ini mengisahkan kehidupan Raden Saleh, sang maestro seni rupa Indonesia. Kemudian Syamsudin, seorang arsitek awal abad ke-20, menguasai pengetahuan seni yang berkembang pada masanya.

Melalui novel Pangeran dari Timur ini, ternyata juga menggambarkan pergerakan nasional. Dengan latar masa Kolonial, digambarkan kisah Raden Saleh yang menjadi saksi bisu perseteruan pada masa itu. Selanjutnya pada latar belakang abad ke-20, selain Syamsudin, juga terdapat Syafei. Syafei dengan gairah pemberontakannya, menempuh jalan keras menuju cita-cita sebagai bangsa merdeka.

Mereka melengkapi sejarah berdirinya sebuah negeri. Melalui hasrat, ambisi, dan gelora masing-masing. Kemudian, di tengah kekalutan panjang mengenai politik sebuah bangsa terdapat bumbu lain. Di tengah kisruhnya sosial politik sebuah bangsa, kisah cinta memberikan nyala api.

Raden Saleh pada Abad ke-19

Raden Saleh Syarief Bustaman, lahir di Terbaya, Semarang pada tahun 1811. Kelahiran maestro dengan nama kecil Sarip Saleh itu bertepatan ketika Inggris merebut kekuasaan dari Belanda. Kemudian menduduki Hindia (Indonesia) selama 5 tahun. Selama itu Hindia di bawah pemerintahan Thomas Stamford Raffles.

Kebijakan Raffles

Pada kala itu pemerintah Raffles menguntungkan Nusantara sebagai kaum jajahan. Mulai dari menghapus pajak hasil bumi dan pundutan. Menghapus kerja rodi. Menghapus hukuman kejam berupa manusia diadu dengan harimau. Pemerintahan bersifat langsung sehingga menghilangkan peran bupati. Bahkan, hingga meneliti sejarah Jawa, dan menggagas Kebun Raya yang saat ini berada di Bogor.

Akan tetapi pada 1816, Belanda kembali berkuasa. Hal tersebut mengakibatkan Inggris mengembalikan kekuasaan kepada Belanda. Hal tersebut berakibat pada kebijakan Raffles yang dihilangkan.

Perang Jawa

Tahun 1825 hingga 1830 merupakan saat Perang Jawa meledak. Perlawanan terhadap kolonial Belanda di Jawa dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Hingga berakhir pada kekalahan Nusantara dengan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Belanda. Kemenangan Hendrik Merkus de Kock sebenarnya karena kelicikan yang menjebak pasukan Diponegoro untuk genjatan senjata.

Pada 1829 seraya kekalahan Diponegoro, paman Raden Saleh yang merupakan Bupati Semarang kala itu juga terdampak. Kanjeng Paman Bupati Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V berusia 60 tahun. Peperangan menyebar hingga Semarang dan menyebabkan pembuangan Kanjeng Paman Bupati ke Manado beserta dengan pelucutan jabatannya. Raden Saleh yang berusia 19 tahun merasakan kerisauan besar dalam hatinya, kebimbangan tentang apa yang harus dilakukannya

Raden Saleh ke Eropa

Pada akhirnya Raden Saleh mengikuti usulan gurunya yaitu Tuan Payen. Ia pergi ke Eropa dan meninggalkan Tanah Air. Ia berangkat pada tahun 1829. Selama 1830 hingga 1870 Hindia di bawah pemerintahan Kolonial. Melalui Van den Bosch diterapkannya tanam paksa.

Sang maestro seni rupa selama belajar di Eropa tentunya tidak melupakan perjuangan bangsanya di Nusantara. Bahkan ketika di Belanda, tepatnya di Studio Kruseman, Raden Saleh bertemu dengan De Kock. Hendrik Merkus de Kock yang menjebak dan memenangi Perang Jawa. Raden Saleh sempat berkonfrontasi kecil dengan De Kock.

Pulang ke Nusantara

Setelah kesuksesannya di Eropa, Raden Saleh memutuskan untuk kembali dan pulang ke Tanah Air. Pergerakan Raden Saleh membela bangsa tidak berhenti saat itu. Pada 1857, dirinya diwawancarai oleh seorang wartawan. Awal penceritaan menceritakan kunjungan Monsieur De Mollins ke kediaman Raden Saleh di Batavia (sekarang Jakarta). Jurnalis asal Prancis itu merupakan jurnalis majalah perjalanan Le Tour de Monde. De Mollins berniat mewawancarai Raden Saleh yang terkenal atas karya-karyanya baik di Nusantara maupun Eropa.

Ketika itu sang Maestro menjelaskan mengenai lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” oleh pelukis Belanda. Melalui lukisan di Belanda tersebut tergambar sebuah kepalsuan akan fakta yang sebenarnya terjadi. Pada lukisan versi Belanda tersebut tergambar ekspresi Pangeran Diponegoro yang pasrah. Tidak puas akan hal tersebut, Raden Saleh membuat lukisan dengan versinya sendiri.

Sembari diwawancara oleh De Mollins, Saleh melukis peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro tersebut. Lukisan versi Raden Saleh ini kemudian menjadi salah satu karya yang terkenal hingga saat ini. Ekspresi perlawanan Pangeran Diponegoro tergambarkan pada lukisan versi Raden Saleh. Hal tersebut juga yang mengakibatkan munculnya misteri akan dua versi lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”.

Memasuki Abad ke-20

Latar plot kedua dalam penceritaan yang berpusat pada tokoh Syamsudin dan Ratna ini berlatar belakang pada awal abad ke-20. Kelahiran Syamsudin pada 1900, kemudian pada 1901 Ratu Wilhelmina menerapkan Politik Etis berupa balas budi terhadap warga Hindia. Saat itu diterapkan irigasi, imigrasi, dan edukasi pada Indonesia.

Kemudian diceritakan juga latar ketika Budi Utomo berdiri pada tahun 1908. Disusul dengan gerakan nasional lain berupa Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905. Tahun 1912 juga kemudian berdiri Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1919 penceritaan Syamsudin menjalani sekolah arsitektur di Delft, Belanda. Pada saat yang sama diceritakan juga mengenai pergerakan nasional di Indonesia, berupa Insiden Afdeling Garut.

Kemudian sembari mengisahkan kehidupan Syamsudin dan Ratna, juga diceritakan kisah pergerakan nasional kala itu. Mulai dari 1924 PKH berganti menjadi PKI. Hingga ketika dikisahkan Syafei mengirim surat kepada Pit Liong dan Ratna pada tahun 1941 yang bersamaan dengan penceritaan Pearl Harbour diserang oleh Jepang. Hingga proses Proklamasi 1945 dan berujung pada 1953 Syamsudin, Ratna, dan Ahmad Asikin pergi ke Makassar. Yang pada kala itu sudah terjadi nasionalisasi besar-besaran dan Belanda pulang ke negaranya.

“Semua harus diwujudkan dalam kebersamaan. Setiap orang dengan yang  lain harus saling peduli, memikirkan satu sama lain. Tidak ada penindasan. Tidak ada perbedaan atau rasialisme. Jadi … alangkah biadabnya bangsa yang  merendahkan bangsa lain”

Pergerakan Nasional dalam Pangeran dari Timur

Berdasarkan kedua periode tersebut, menggambarkan situasi sejarah kala itu. Kedua periode tersebut merepresentasikan rentetan sebab-akibat yang saling berkait dan berkesinambungan. Benar-benar merajut era penjajahan negara Belanda ke Nusantara. Kedua periode juga menghadirkan peristiwa karakter manusia, dengan respons berbeda. Dalam kaitannya dengan patriotisme dan nasionalisme. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap Kolonial pada masa itu.

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

Misteri Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Oleh Raden Saleh

Raden Saleh dalam Pangeran Dari Timur

Raden Saleh Syarief Bustaman atau dikenal sebagai Raden Saleh merupakan maestro seni rupa nusantara. Kisah Raden Saleh diceritakan melalui novel fiksi karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi berjudul Pangeran Dari Timur. Novel yang membutuhkan proses penulisan 20 tahun ini menceritakan kisah kehidupan Raden Saleh beserta karya-karya Raden Saleh. Diceritakan bahwa Raden Saleh merupakan seorang pelukis handal yang menyandang gelar maestro seni rupa Indonesia. Lahir di Semarang 1811 yang kemudian bersekolah di Buitenzorg atau saat ini dikenal sebagai kota Bogor. Hingga akhirnya kemampuan meluksinya diakui oleh gurunya Antoine Auguste Jean Joseph Payen atau Tuan Payen.

Singkat cerita, Raden Saleh dikirim untuk belajar melukis dan seni lainnya lebih mendalam ke Belanda oleh Tuan Payen. Di Belanda Raden Saleh mendapatkan reputasi yang cukup bagus dan membuat namanya dikenal di berbagai penjuru Eropa pada saat itu. Bahkan ketika di Belanda, Raden Saleh dijadikan sebagai pelukis kerajaan. Ketika pemerintahan Raja Wilem I dan II kemampuan dna keberadaan Raden Salah sangat diakui. Mulai dari diijinkan menetap di Belanda, hingga berkeliling Eropa. Meski begitu, Raden Saleh masih memiliki semangat membela nusantara yang ditunjukkan melalui salah satu karyanya, yaitu lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857).

Misteri Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)

Diantara banyaknya karya Raden Saleh, lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro yang dibuat pada tahun 1857 banyak menarik perhatian. Publik dan masyarakat kala itu bahkan hingga masyarakat modern saat ini dibuat bingung. Kendati terdapat sebuah konspirasi dan misteri terhadap lukisan tersebut.  Kabarnya, lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro terdapat dua versi. Lukisan tersebut menceritkan penangkapan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perlawanan nusantara. Penangkapan dilakukan oleh Hendrik Merkus de Kock yang merupakan salah satu Jenderal Belanda.

De Kock memenangkan peperangan atas tanah Jawa dan membuat lautan darah disana. Lukisan karya Raden Saleh tersebut menggambarkan situasi dan mimic setiap karakter di dalamnya. Misteri mengenai adanya dua versi lukisan tersebut telah tersebar di mana-mana. Pasalnya satu versi menggambarkan wajah dan sikap Pangeran Diponegoro yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian satu versi lainnya menggambarkan sikap pasrah oleh Pangeran Diponegoro terhadap penangkapan oleh De Kock.

Lukisan seharga 100 Milliar rupiah tersebut akhirnya memunculkan banyak misteri dan konspirasi di masyarakat luas. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, manakah versi yang sebenarnya? Bagaimana kejadian yang sebenarnya terjadi? Apakah Raden Saleh memang membuat keduanya atau hanya salah satu. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita temukan melalui novel Pangeran Dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi.

Kebenaran dalam Pangeran Dari Timur

Berlatar belakang tahun 1857 di sebuah Paviliun. Awal penceritaan menceritakan kunjungan Monsieur De Mollins ke kediaman Raden Saleh di Batavia (Jakarta saat itu). Jurnalis asal Perancis itu merupakan jurnalis majalah perjalanan Le Tour de Monde. De Mollins berniat mewawancarai Raden Saleh yang terkenal atas karya-karyanya baik di Nusantara maupun Eropa. Sambutan hangat diberikan oleh Raden Saleh kepada De Mollins.

Kala itu Raden Saleh ingin diwawancarai namun bertempat di Pavilliun kerjanya. Ia ingin diwawancarai sembari mengerjakan salah satu lukisannya. Pembicaraan antara De Mollins dan Raden Saleh begitu panjang. Hampir setiap karya dari Raden Saleh dibahas secara mendalam. Namun pembicaraan antara keduanya tiba-tiba menjadi sangat serius. Saat itu mereka membicarakan lukisan yang ingin dikerjakan oleh maestro seni rupa pada saat itu juga. Raden Saleh menjelaskan bahwa ia ingin melukis salah satu momen dari sejarah perang Nusantara.

Mollins terkesan karena pastinya latar belakang Raden Saleh akan sangat kuat dalam lukisan bersejarah nusantara tersebut. Mollins kemudian menanyakan lukisan macam apa yang ingin dibuat oleh Raden Saleh. Sang maestro menjelaskan, bahwa ini merupakan pelukisan momen penangkapan Pangeran Diponegoro. Rupanya Raden Saleh pernah melihat lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro di Istana Belanda. Namun penangkapan versi Belanda tersebut semata-mata untuk memperlihatkan kemenangan Jenderal De Kock atas perang Jawa. Fakta yang aktual tidak digambarkan melalui lukisan penangkapan versi Belanda tersebut.

Dua Versi Lukisan

Raden Saleh sangat yakin dengan hal itu. Karena pelukis penangkapan versi Belanda tersebut merupakan Nicolaas Pieneman yang juga teman dari guru Saleh, Cornelis Kruseman. Dijelaskan bahwa Pieneman belum pernah sekalipun pergi ke Hindia dan melihat wajah asli Pangeran Diponegoro. Gambaran pada lukisan tersebut semata-mata hanya hasil dari catatan ketentaraan De Kock. Ditambah juga dengan sketsa Pangeran Diponegoro yang dibuat oleh guru Saleh lainnya, Theodoor Bik.

Pada lukisan versi Belanda, penangkapan Diponegoro digambarkan sedemikian rupa sesuai keinginan De Kock. Dimana Pangeran Diponegoro terlihat pasrah. Kemudian para pasukan Pangeran Diponegoro terlihat membawa tombak dan parang. Padahal menurut fakta, kala itu Pangeran Diponegoro dijebak karena telah ditawari genjatan senjata, dan datang tanpa membawa senjata apapun. Hal tersebut yang membuat Raden Saleh geram akan versi tersebut, dan ingin mengubahnya.

Maka dari itu, bersamaan dengan penceritaan Raden Saleh kepada Mollins, ia mulai mengangkat kuasnya. De Mollins sadar bahwa lukisannya ini sangat berbeda dengan versi Belanda. Penangkapan Pangeran Diponegoro versi Raden Saleh menggambarkan sikap tegas dan perlawan sang Pangeran. Kemudian penggambaran tokoh-tokoh Belanda dibuat lebih tebal. Seperti Jenderal De Kock, Kolonel du Perron, Letna Kolonel Roest hingga Mayor Ajudan De Stuers terlihat aneh. Kepala para tokoh tersebut tidak seperti sketsa yang dibuat, namun lebih seperti ikan buntal, menggelembung demikian besar dan tak proporsional dengan tubuh mereka.

Kebenaran Misteri Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro

Melalui penceritaan dalam Pangeran Dari Timur, telah menjawab berbagai pertanyaan. Kehadiran dua versi lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro memang benar adanya. Satu merupakan lukisan versi Belanda yang terdapat di Istana Raja. Merupakan versi dimana ketidakbenaran fakta digambarkan disana. Mulai dari Pangeran Diponegoro yang pasrah hingga para prajurit Diponegoro yang membawa senjata.

Kemudian versi kedua merupakan lukisan karya Raden Saleh. Dibuat pada tahun 1857, bersamaan dengan kedatangan dan wawancara oleh Monsieur De Mollins. Raden Saleh menggambarkan lukisan ini berbeda dengan versi Belanda. Untuk mengangkat fakta dan kebenaran tegas akan sikap Pangeran Diponegoro atas penangkapan dirinya oleh Belanda.

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

Radeb Saleh dalam Pangeran Dari Timur

Pangeran Dari Timur : Representasi Maestro Seni Lukis Raden Saleh

Raden Saleh dikenal sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia. Hal itu berkat karya-karyanya yang dikenal luas oleh masyarakat dunia karena dianggap bernilai tinggi. Dalam sejarahnya banyak masyarakat yang telah mengetahui riwayat dari sang maestro seni tersebut. Namun, tidak banyak pemberitaan mengenai sang maestro yang mendekati kata realistis.

Melalui novel Pangeran dari Timur, Iksaka Banu dan Kurnia Effendi mengangkat kisah Raden Saleh, sang maestro seni rupa pada zamannya. Melalui riset serta observasi yang terbilang cukup lama, yaitu 20 tahun, kedua penulis mengumpulkan data-data yang cukup mendukung untuk penceritaan dalam novel Pangeran dari Timur ini.

Iksaka Banu dan Kurnia Effendi dalam wawancaranya melalui channel YouTube Maraja TV Official dalam judul “RUANG BACA | Part-1 | Pangeran dari Timur, Ditulis 20 Tahun” menjelaskan bahwa sebenarnya ketertarikan mereka terhadap Raden Saleh berawal ketika menemukan sebuah katalog tipis yang mengangkat tema Raden Saleh dan berisi sangat realistis pada waktu itu.

Iksaka Banu menceritakan selama ini Raden Saleh hanya dikenal sebagai maestro seni lukis beserta mitos-mitosnya. Seperti lukisan makanannya yang akan dihinggapi lalat, lukisan bunganya yang akan dihinggapi kupu-kupu. Hingga lukisan tubuh manusia di lantai yang dianggap mayat oleh teman-teman Saleh, saking tampak begitu nyatanya lukisan-lukisan itu. Namun, melalui novel Pangeran dari Timur ini mereka mengangkat kisah Raden Saleh sedemikian rupa beserta kehidupan realistisnya sejak 1811 hingga 1833 berbumbu plot kedua yang menceritakan ketertarikan seorang arsitek awal abad ke-20 pada karya-karya lukisan sang maestro.

Perjalanan Raden Saleh di Nusantara

Banyak yang menuliskan bahwa kelahiran Raden Saleh pada 1807. Namun, melalui observasi penulis yang kemudian tertuang dalam novel Pangeran dari Timur ini menjelaskan bahwa kelahiran sebenarnya pada tahun 1811 di Terbaya, Semarang. Pelukis yang besar dengan nama Sarip Saleh ini telah dipisahkan dari keluarganya menjelang berakhirnya Perang Jawa. Awal penceritaan Raden Saleh atau dikenal juga sebagai Sarip Saleh pada waktu itu bermula ketika kunjungannya ke Kantor Administrasi salah satu daerah bersama pamannya yang seorang Bupati Semarang pada kala itu, yaitu Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V.

Administratiekantoor van’s Lands Plantentuin.” Raden Saleh yang masih berumur 9 tahun kala itu dengan mudahnya melafalkan bahasa Belanda yang berarti Kantor Administrasi pada sebuah bangunan di Buitenzorg atau saat ini dikenal sebagai Kota Bogor. Hal tersebut membuat kagum Mang Ihin yang mengantarkannya saat itu. Kegeniusan Sarip Saleh sudah terpancar sejak umurnya yang belia.

Bertemu Tuan Payen

Semuanya berawal ketika para bangsawan seperti Residen Cianjur pada kala itu. Letnan Kolonel Jonkher Robert Lieve Jasper van der Capellen, yang merupakan adik Godert Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen, yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda membuka sekolah Bumiputera atau juga dikenal sekolah rakyat (Volks-School). Sekolah tersebut sering mendapat titipan dari para bangsawan Jawa yang ingin anaknya mengenyam pendidikan dasar berhitung, membaca, hingga menulis aksara Romawi, Jawa dan Arab. Pada 1819, ketika Baron Van der Capellen bersama Profesor Carl Reinwardt berkunjung ke kediaman Kanjeng Paman Bupati Terbaya, sang Bupati memperkenalkan keponakannya yaitu Sarip Saleh, diperlihatkan hasil-hasil lukisannya yang genius. Hal itu membuat Capellen ingin mengajak dan mengirimkan Saleh kecil ke sekolah misionaris miliknya, dan diperkenalkannya pada Antoine Auguste Jean Joseph Payen atau Tuan Payen.

Singkat cerita, Sarip Saleh dikirim ke Cianjur dan bersekolah di sana, serta mendapat banyak bimbingan melukis dari Tuan Payen hingga kemampuannya diakui dan melakukan magang di Biro Buitenzorg. Pelukis yang berasal dari Tournai, Belgia, tersebut banyak memberi bimbingan terhadap perkembangan melukis Sarip Saleh. Hingga akhirnya ketika Sarip Saleh berusia 19 tahun, Tuan Payen mendesaknya untuk berkemas dan mengikutinya berkeliling Jawa. Sarip Saleh, seiring dengan kedewasaannya kala itu, mengganti namanya menjadi Raden Saleh Syarief Bustaman.

Raden Saleh Ke Eropa

Pada 1829, Perang Diponegoro meledak. Kanjeng Paman Bupati Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V berusia 60 tahun. Peperangan menyebar hingga Semarang dan menyebabkan pembuangan Kanjeng Paman Bupati ke Manado beserta dengan pelucutan jabatan. Raden Saleh yang berusia 19 tahun merasakan kerisauan besar dalam hatinya, kebimbangan apa yang harus dilakukannya, apakah harus pulang ke Semarang menemui ibundanya? Namun, di sisi lain terdapat tawaran untuk belajar di Eropa atas rekomendasi Tuan Payen, pembimbingnya dalam melukis. Akhirnya, atas persetujuan Godert Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen selaku Gubernur Jenderal, ia berangkat dan menetap di Belanda.

Di sana ia menetap di tempat Inspektur Keuangan Belanda de Linge. Ia diharuskan membantu inspektur memahami mengenai segala sesuatu hal yang berhubungan dengan sastra Jawa dan Melayu. Sebagai gantinya selama beberapa bulan Raden Saleh akan diperbolehkan untuk pergi ke berbagai museum dan sanggar pelukis terkenal di Belanda. Selama di Belanda Raden Saleh belajar melalui bimbingan Cornelius Kruseman mengenai melukis potret. Pada tahun 1830 Raden Saleh magang di Studio milik Kruseman. Selama kehidupannya di Belanda pemuda  mengalami gejolak batin. Sebab, ketika itu ia harus bergaul dengan orang-orang yang merayakan kemenangan Hendrik Merkus de Kock yaitu seorang Jenderal Belanda yang memenangi peperangan dan membuat lautan darah di Jawa.

Sampai suatu ketika di Studio Kruseman, de Kock melakukan kunjungan sebagai layaknya tamu museum pada umumnya. Pertikaian hampir terjadi antara Raden Saleh dan de Kock, hingga akhirnya Kruseman memarahi Raden Saleh kala itu. Selepas magang di Studio Kruseman, Raden Saleh sekali lagi memperdalam ilmu lukisnya bersama sang maestro lukisan pemandangan, Andries Schelfhout.

Pulang ke Nusantara

Setelah masa studinya selesai, Raden Saleh tidak langsung kembali ke Nusantara pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, namanya mulai dikenal di Belanda sebagai ahli lukis dari Hindia Belanda yang dapat menguasai teknik lukis Barat. Ia mengajukan permohonan kepada Raja Willem I untuk tetap menetap di Belanda guna mempelajari ilmu lain seperti ilmu pasti, ukur tanah, hingga pesawat, dan permohonannya dikabulkan. Semasa pemerintahan Raja Willem II, Raden Saleh semakin diakui kemampuan melukisnya, dan ia dikirim ke Jerman untuk menambah wawasannya. Hingga akhirnya Raden Saleh kembali ke Belanda dan diangkat menjadi pelukis istana Kerajaan Belanda kala itu. Setelah namanya terus menyebar, sang maestro tak mau berhenti mencari ilmu, ia berkeliling dan menjelajahi Eropa.

Tahun 1844-1851 ia tinggal di Prancis dan mendalami aliran romantisisme kala itu. Hingga akhirnya ia memutuskan kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1851 bersama istrinya yang merupakan seorang wanita Belanda. Meskipun telah mengenyam banyak sekali ilmu dari negeri Barat, Raden Saleh tetap menentang penindasan akan kolonialisme di Hindia Belanda. Hingga idealismenya tergambar pada lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” oleh pemerintah Belanda pada 1857.

Ketika sudah kembali ke Nusantara, sementara menetap di Buitenzorg. Ia ditunjuk sebagai konservator pada Lembaga Kumpulan Koleksi Benda Seni. Di tengah kesuksesannya, pernikahannya harus kandas dengan perceraian. Namun, Ia bertemu dan membangun keluarga kembali dengan seorang gadis dari keluarga Keraton Solo, Raden Ayu Danudireja.

Akhir Cerita

Penceritaan mengenai Raden Saleh dalam novel Pangeran dari Timur berakhir pada tahun 1878, ketika sang istri, Raden Ayu Danudireja, mengalami sakit parah. Kemudian, suaminya telah melakukan segala usaha. Namun, jalan terakhir yang ia ambil adalah mempersiapkan segalanya dengan baik dan matang, seperti tempat pemakaman. Kisah sang maestro berakhir ketika salah seorang pelayannya bernama Emed didapati kabur dan telah mencuri lukisan miliknya.

Berdasarkan sumber lain seperti Serupa.id kematian Raden Saleh menurut rumor yang beredar disebabkan oleh pelayannya tersebut yang telah meracuninya. Meskipun demikian, setelah melalui pemeriksaan medis, terjadi pengendapan aliran darah di jantungnya. Setelah kematiannya, pada tahun 1883 diperingati sebagai 3 tahun kepergiannya dengan memamerkan lukisan-lukisan Raden Saleh di Amsterdam.

Selepas dari semua itu sang maestrojuga mendapatkan banyak penghargaan, khususnya karena reputasinya di Eropa. Seperti bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ridder der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.). Kemudian pemerintah Indonesia pada tahun 1969 melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayan (Depdikbud) memberikan penghargaan berupa piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis Indonesia. Lukisan-lukisan yang terkenal hingga saat ini yaitu, “Perburuan Singa” (1839), “Perburuan Banteng” (1955), dan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857).

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

Sejarah Tionghoa Muslim di Indonesia

Secara garis besar, sejarah Tionghoa Muslim di Indonesia dapat dikelompokkan dalam lima periode. Dalam setiap periode menunjukkan transformasi kaum Tionghoa Muslim. Sejarah Tionghoa Muslim di Indonesia bisa ditarik dari periode budaya hibrida Tionghoa-Jawa Muslim pada abad ke-15 dan 16 hingga kemerosotannya selama periode kolonial Belanda. Kemudian periode pengorganisasian perkumpulan-perkumpulan Tionghoa Muslim selama periode awal kemerdekaan hingga penghapusan segala sesuatu yang berbau Tionghoa di bawah rezim Orde Baru. Serta yang paling belakangan adalah kemunculan ekspresi budaya Tionghoa Muslim di Indonesia pasca 1999.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Tionghoa Muslim dan keterlibatan mereka dalam penyebaran Islam di Jawa sudah ada sejak awal abad ke-15. Sejarawan Lombard dan Salmon (2001) mengungkapkan interaksi antara orang-orang Tionghoa dan budaya lokal pada saat itu digambarkan dalam gaya arsitektur masjid. Dengan menyebutnya sebagai “subkultural Muslim Peranakan”, mereka melihat interaksi tersebut sebagai bentuk “persekutuan suci” kosmopolitan, yang mengombinasikan antara peran-peran positif teologi Islam dan teknik-teknik Tionghoa.

Masa Sebelum Kolonialisme

Beberapa peneliti juga mengatakan sebelum masa kolonial Belanda, sudah terdapat etnis Tionghoa di Jawa, dan mereka adalah Muslim. Mereka adalah Cheng Ho dan pengikutnya. Mereka disebut-sebut memegang peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan dari sumber-sumber sejarah lokal seperti Babad Tanah Jawa dan Serat Kanda, Tionghoa Muslim memiliki andil penting dalam berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Beberapa wali di Jawa, Walisongo juga memiliki asal-usul Tionghoa, kendati hal tersebut masih menjadi perdebatan sampai sekarang.

Al Qurtubi (2003) menambahkan bukti lain pengaruh Tionghoa Muslim pada era itu, yakni adanya pengaruh kuat dalam arsitektur di masjid-masjid dan makam-makam tua di Jawa, seperti makam Sunan Giri di Gresik, desain Keraton Cirebon, dan arsitektur Masjid Demak di Jawa Tengah. Di Jakarta, Masjid Angke dan Masjid Kebon Jeruk juga memiliki ornamen Tionghoa di pintu gerbang dan atapnya.

The (2003) mengungkapkan sebelum kedatangan Belanda, sudah banyak orang Tionghoa yang memeluk Islam sebagai cara mereka untuk membaurkan diri ke dalam masyarakat Jawa. Mereka juga mengadopsi nama-nama Jawa agar bisa naik kelas secara sosial dan politik. Juga bukan hal yang luar biasa bagi mereka untuk berasimilasi ke dalam kelompok mayoritas lokal.

Era Kolonialisme Hindia Belanda

Akan tetapi, seiring perkembangan politik yang dibawa kolonialisme Belanda, bentuk budaya antara orang-orang Tionghoa dan Muslim ini mengalami kemunduran. Oleh karena itu, generasi Tionghoa Muslim setelahnya mengalami kesulitan untuk melacaknya lagi. Sebagian besar dari mereka yang telah terasimilasikan dan budaya Tionghoa-Jawa pun mengalami kemunduran. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut di antaranya adalah meningkatnya kekuasaan rezim kolonial Belanda, perubahan politik di Tiongkok, perkembangan Islam semakin ortodoks, serta meningkatnya kedatangan perempuan-perempuan Tionghoa dan lahirnya nasionalisme di Tionghoa. Hal ini membuat etnis Tionghoa pada masa berikutnya sebagian besar adalah non-Muslim dan dinilai sebagai “orang lain” yang berbahaya dan “orang asing” yang tidak mampu membaur.

Ketika rezim kolonial Belanda berkuasa, kebijakan-kebijakannya semakin memecah belah. Rezim menciptakan batas-batas yang lebih tegas antara orang Tionghoa dan penduduk asli. Dampaknya, semakin kecil jumlah orang Tionghoa yang memeluk Islam. Kebijakan tersebut misalnya adanya pembagian warga dalam tiga kategori rasial, masing-masing memiliki hak hukum dan hak istimewa yang berbeda-beda. Orang-orang Eropa berada di posisi teratas, orang-orang Timur Asing (terutama Tionghoa, Arab, dan India) berada di tengah-tengah, serta orang pribumi berada di strata terbawah.

Status ini kemudian menimbulkan penilaian di kalangan Tionghoa, bahwa status mereka lebih tinggi dari orang pribumi. Karena Islam rata-rata dipeluk oleh penduduk asli Indonesia, banyak orang Tionghoa beranggapan jika mereka memeluk Islam, sama saja dengan merendahkan derajat mereka. Kendati demikian, masih ada beberapa orang Tionghoa yang memeluk Islam yang sebagian besar karena alasan keamanan dan ekonomi.

Perubahan Situasi Politik

Pasca pembantaian massal penduduk Tionghoa oleh Belanda pada 1740, banyak orang Tionghoa kemudian masuk Islam untuk menghindari kemungkinan menjadi korban. Ada juga yang masuk Islam agar diperlakukan sebagai pribumi dan dikenakan pajak lebih rendah. Hal tersebut kemudian membuat Belanda mencegah konversi keagamaan bagi etnis Tionghoa karena menimbulkan kehilangan yang besar bagi pemerintah kolonial.

Kendati terdapat ketegangan-ketegangan tersebut, keputusan memeluk Islam di kalangan Tionghoa tidak berhenti. Bahkan, beberapa dari mereka ikut terlibat dalam berbagai gerakan anti kolonial dan keagamaan di tingkat lokal. Pada awal 1930-an, ada kegiatan penyebaran Islam yang meningkat oleh Tionghoa Muslim kepada Tionghoa non-Muslim untuk masuk Islam. Bahkan di Sulawesi, Ong Kie Ho mendirikan Partai Islam yang membuatnya kemudian diasingkan ke Jawa pada 1932.

Meski demikian, pergerakan tidak berhenti. Pada 1933, didirikan Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII), tujuannya untuk mengangkat status etnis Tionghoa dengan cara masuk Islam. Di Medan, bersama beberapa pengikutnya Yap A Siong atau Haji Abdussomad mendirikan Persatuan Islam Tionghoa (PIT) pada 1936. Mereka berusaha mewujudkan keislaman dan identitas ketionghoaan mereka secara bersamaan.

Pasca kemerdekaan, PIT yang saat itu dipimpin Abdul Karim Oei Tjeng Hien pindah ke Jakarta dan menggabungkan diri dengan perkumpulan Tionghoa Muslim yang berbasis di Bengkulu. Mereka bergabung dan mendeklarasikan diri menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada 1961. Namun karena situasi politik pasca 1965, PITI kemudian menghapuskan identitas Tionghoa di namanya.

Masa Orde Baru

Soeharto secara sistematis melarang semua bentuk ekspresi identitas etnis, budaya, dan keagamaan Tionghoa. Pada waktu bersamaan dia meminggirkan etnis Tionghoa dalam arena-arena sosial, pendidikan, dan politik. PITI mengubah namanya menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Tidak hanya harus mengubah namanya, Soeharto juga memasukkan orang-orang militer di jajaran petinggi PITI.

Bisa dikatakan, masa Orde Baru merupakan periode gelap dalam sejarah PITI. Angin segar bagi PITI baru berembus pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Pada pertengahan Mei 2000, di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang terkenal sangat plural, PITI diperbolehkan menggunakan kata Tionghoa lagi sebagai namanya. Sejak saat itu, orang-orang Tionghoa Muslim bisa lebih leluasa dalam menjalankan ibadah maupun budaya mereka. Mereka juga menghidupkan kembali sejarah dan merawat ikatan mereka dengan umat Muslim di Tiongkok.

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia, karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info tentang buku tersebut di sini.


Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: Kumparan

Bukti Keberadaan Kerajaan Majapahit: Ada atau Hanya Legenda?

Bukti Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha terbesar yang ada di Indonesia. Kerajaan ini didirikan pada 1293-1500 Masehi. Pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya. Majapahit memiliki misi untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaannya. Dengan bantuan patihnya, Gajah Mada, Majapahit berusaha untuk mewujudkan misinya tersebut. Berkat misinya, wilayah kekuasaan Majapahit ini sangat luas dan juga memiliki kekuasaan yang besar sehingga peradaban saat itu makmur dan maju terutama di ibu kota Majapahit bernama Trowulan. Bukti Kerajaan  Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha terbesar yang ada di Indonesia. Kerajaan ini didirikan pada 1293-1500 Masehi. Pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya. Majapahit memiliki misi untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaannya. Dengan bantuan patihnya, Gajah Mada, Majapahit berusaha untuk mewujudkan misinya tersebut. Berkat misinya, wilayah kekuasaan Majapahit ini sangat luas dan juga memiliki kekuasaan yang besar sehingga peradaban saat itu makmur dan maju terutama di ibu kota Majapahit bernama Trowulan.

Bukti Keberadaan Kerajaan Majapahit

Karena termasuk dalam sejarah, banyak masyarakat yang menyangsikan keberadaan Majapahit. Masyarakat Indonesia atau bahkan kamu mungkin bertanya-tanya apa saja buktinya jika keberadaan Majapahit itu dulunya ada. Ada juga yang menganggap bahwa Majapahit ini hanya sebatas legenda. Bagi yang bertanya tentang ada atau tidaknya Kerajaan Majapahit di masa lampau harus tahu jika ternyata keberadaan Majapahit ini bukan sekadar omong kosong karena banyak bukti yang bisa ditemukan untuk membuktikan bahwa kerajaan ini benar-benar ada. Bagi kamu yang ingin tahu bukti Kerajaan Majapahit itu ada, simak beberapa buktinya berikut ini.

Satelit Palapa

Bukti nonfisik lainnya yang bisa kamu temukan adalah satelit Palapa. Nama satelit ini diambil dari sumpah yang pernah diucapkan oleh Gajah Mada yang dikenal dengan Sumpah Palapa

Surya Majapahit

Surya Majapahit merupakan lambang Kerajaan Majapahit yang masih banyak digunakan sampai saat ini. Lambang Kerajaan Majapahit ini banyak ditemukan pada ornamen-ornamen rumah. Orang yang menyukai langgam arsitektur Majapahit sering menggunakan Surya Majapahit sebagai ornamen bangunannya.

Peninggalan fisik

Tidak hanya peninggalan nonfisik yang menjadi bukti Kerajaan Majapahit itu ada. Namun, ada juga bukti fisik yang menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit ini ada. Bukti peninggalan fisik dari Kerajaan Majapahit ini ada di Trowulan yang dulunya menjadi ibu kota Kerajaan Majapahit. Wujud peninggalan fisik sebagai bukti keberadaan Kerajaan Majapahit yaitu berupa candi, pintu gerbang kerajaan, kolam pemandian, bangunan waduk, bangunan kanal, sumur kuno, makam kuno, dan kamu juga akan melihat ratusan ribu artefak Kerajaan Majapahit berwujud koin mata uang yang digunakan pada masa Kerajaan Majapahit, batu bata, batu umpak, batu lumpang, genting, pecahan, dan masih banyak lagi lainnya.

Demikianlah beberapa bukti Kerajaan Majapahit dan peninggalannya yang masih ada sampai sekarang.

 

© Copyright - Bentang Pustaka