Tag Archive for: Raden Saleh

Menapaki Jejak Raden Saleh

Dengan diberi judul berbahasa Jerman ”Historische Tableau die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”, lukisan itu memberikan imajinasi pada kita terhadap peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro yang bersiap memulai perjalanan menuju ke pengasingan. Melihat karya Raden Saleh itu tak bias dimungkiri jika sebagian di antara kita menilainya asli sesuai dengan kejadian.

Raden Saleh menuntaskan penciptaan lukisan berukuran 112 x 178 sentimeter itu pada tahun 1857. Adapun sketsa sebagai rancangan awal lukisan mulai dia goreskan pada tahun 1856. Raden Saleh terinspirasi membuat lukisan tersebut setelah membaca De Javasche Courant edisi 3 Februari 1855 yang mewartakan kematian Pangeran Diponegoro pada 8 Januari 1855 (Harsja Bachtiar dalam Carey, 2002; Kraus&Vogelsang, 2018). Benarkah?

Kabar soal pengasingan Pangeran Diponegoro ke luar Jawa kemungkinan besar sudah diketahui Raden Saleh tahun 1830-an. Bahkan, dia sempat bersua Jenderal Hendrik Merkus de Kock ketika menempuh pendidikan seni lukis di bawah asuhan Cornelis Kruseman. Raden Saleh mengunjungi studio Kruseman pada tahun 1932. Di studio itu, dia berinteraksi dengan masyarakat kelas atas yang menjadi model lukisan Kruseman, salah satunya jenderal yang mengakhiri Perang Jawa (1825-1830) itu.

Sebelum itu, pada tahun 1831, Raden Saleh terenyak ketika diminta mengidentifikasi sebuah keris oleh Reiner Pieter van de Kasteele. Keris itu bukan keris sembarangan, melainkan salah satu keris milik Pangeran Diponegoro bernama Kiai Naga Siluman. Jenderal de Kock menghadiahkan keris itu kepada Raja Willem I (halaman 96-102).

Hubungan dengan Pangeran Diponegoro tanpa jumpa fisik itu setidaknya tidak melenyapkan jejak Raden Saleh dalam ingatan publik Indonesia. Raden Saleh lahir di sebuah desa kecil di Semarang, Terboyo. Tahun kelahirannya simpang-siur. Namun, lahir tahun 1811 lebih sesuai dengan data-data kehidupan Raden Saleh. Orang tuanya menitipkan dia sejak kecil kepada Bupati Terboyo, Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V. Dalam lingkungan keluarga angkatnya itu, Raden Saleh sebenarnya telah menyelami perjuangan Pangeran Diponegoro. Sura Adimenggala V dan kedua putranya kelak menanggung akhir kehidupan memilukan akibat mendukung Perang Jawa.

Bersimpang Jalan

Takdir bagi Raden Saleh memang bersimpang jalan. Kejeniusannya dalam mengayunkan kuas tercium oleh pejabat kolonial. Sekitar usia Sembilan tahun, dia meninggalkan Terboyo untuk mendapatkan kemewahan fasilitas mengembangkan bakat seni melukis. Bermula di Buitenzorg (kini Bogor) dalam asuhan Antoine Auguste Joseph Payen, Raden Saleh selanjutnya belajar melukis di belantara Eropa. Dia menghabiskan masa hidupnya selama 22 tahun di Belanda, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris, serta menjadi bagian dari sejarah kesenian Eropa. Dia pulang ke Jawa dan wafat di Buitenzorg pada tahun 1880. Di makam Raden Saleh tertulis Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kanjeng Raja Walanda.

Penulis novel ini tak bisa menghindar dari fakta pemosisian Raden Saleh dalam sejarah Indonesia. Untuk meramu jejaknya, novel mereka bagi dalam dua arus zaman. Pertama, abad ke-19, masa kehidupan Raden Saleh. Kedua, abad ke-20, masa pergerakan nasional menuju ke kemerdekaan. Dari tokoh Syamsudin dan Syafei dalam novel ini, pembaca bisa mengikuti semarak opini mengenai Raden Saleh. Dari dua tokoh itu, novel ini juga mengalirkan kisah romansa yang menggairahkan.

Menulis fiksi sejarah tentu berbeda dari menulis fiksi an sich. Yang paling sulit adalah menentukan cara bertutur yang pas tanpa mengorbankan tulang punggung sejarah ataupun bangunan kisah fiktifnya. Bila terlalu banyak fakta sejarah, novel bias semacam diktat kuliah. Penulis novel yang malang-melintang dalam jagat sastra dan beberapa kali menyabet penghargaan prestisus diyakini lulus meracik fiksi sejarah.

Penulisan novel ini sebenarnya dimulai pada tahun 1999. Di tengah pasang surut penulisan justru muncul anugerah pengayaan literatur sejarah. Tak sekadar riset pustaka, tetapi juga menginjakkan kaki di sejumlah lokasi yang dirambah Raden Saleh. Diskusi suntuk dengan pakar Raden Saleh seperti Warner Kraus tak alpa mereka lakukan. Dengan basis pendidikan seni rupa, penulis novel ini menyuguhkan kepada pembaca geliat sosok dan gaya lukis abad ke-19.

Judul novel ini sebenarnya semacam tanda tanya, siapakah Pangeran dari Timur? Ada tiga sosok yang disematkan dengan julukan itu dalam novel ini. Terlepas dari julukan itu, Raden Saleh tercatat sebagai intelektual mumpuni pada zamannya. Selain sebagai pelukis, dia juga kolektor dokumen etnografi dan arkeologi, arsitek, ahli palentologi, perancang pertamanan, dan pendiri berbagai taman margasatwa

Apakah novel ini kerja besar ketika pada tahun 2020 ini berhasil terbit? Pembaca bisa menilai dengan menelusuri novel setebal 500 halaman lebih ini, ukuran lebar kertas 15 cm dan panjang 23,5 cm. Selamat membaca untuk menambah penasaran.

 

Hendra Sugiantoro, penikmat buku dan pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

*Pernah dipublikasikan di koran Suara Merdeka, Minggu 5 Juli 2020

Pergerakan Nasional Pangeran Dari TImur

Pergerakan Nasional Melalui Pangeran dari Timur

Pangeran dari Timur merupakan novel karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada 2020. Berlatar belakang abad ke-19 dan ke-20, novel ini mengisahkan kehidupan Raden Saleh, sang maestro seni rupa Indonesia. Kemudian Syamsudin, seorang arsitek awal abad ke-20, menguasai pengetahuan seni yang berkembang pada masanya.

Melalui novel Pangeran dari Timur ini, ternyata juga menggambarkan pergerakan nasional. Dengan latar masa Kolonial, digambarkan kisah Raden Saleh yang menjadi saksi bisu perseteruan pada masa itu. Selanjutnya pada latar belakang abad ke-20, selain Syamsudin, juga terdapat Syafei. Syafei dengan gairah pemberontakannya, menempuh jalan keras menuju cita-cita sebagai bangsa merdeka.

Mereka melengkapi sejarah berdirinya sebuah negeri. Melalui hasrat, ambisi, dan gelora masing-masing. Kemudian, di tengah kekalutan panjang mengenai politik sebuah bangsa terdapat bumbu lain. Di tengah kisruhnya sosial politik sebuah bangsa, kisah cinta memberikan nyala api.

Raden Saleh pada Abad ke-19

Raden Saleh Syarief Bustaman, lahir di Terbaya, Semarang pada tahun 1811. Kelahiran maestro dengan nama kecil Sarip Saleh itu bertepatan ketika Inggris merebut kekuasaan dari Belanda. Kemudian menduduki Hindia (Indonesia) selama 5 tahun. Selama itu Hindia di bawah pemerintahan Thomas Stamford Raffles.

Kebijakan Raffles

Pada kala itu pemerintah Raffles menguntungkan Nusantara sebagai kaum jajahan. Mulai dari menghapus pajak hasil bumi dan pundutan. Menghapus kerja rodi. Menghapus hukuman kejam berupa manusia diadu dengan harimau. Pemerintahan bersifat langsung sehingga menghilangkan peran bupati. Bahkan, hingga meneliti sejarah Jawa, dan menggagas Kebun Raya yang saat ini berada di Bogor.

Akan tetapi pada 1816, Belanda kembali berkuasa. Hal tersebut mengakibatkan Inggris mengembalikan kekuasaan kepada Belanda. Hal tersebut berakibat pada kebijakan Raffles yang dihilangkan.

Perang Jawa

Tahun 1825 hingga 1830 merupakan saat Perang Jawa meledak. Perlawanan terhadap kolonial Belanda di Jawa dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Hingga berakhir pada kekalahan Nusantara dengan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Belanda. Kemenangan Hendrik Merkus de Kock sebenarnya karena kelicikan yang menjebak pasukan Diponegoro untuk genjatan senjata.

Pada 1829 seraya kekalahan Diponegoro, paman Raden Saleh yang merupakan Bupati Semarang kala itu juga terdampak. Kanjeng Paman Bupati Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V berusia 60 tahun. Peperangan menyebar hingga Semarang dan menyebabkan pembuangan Kanjeng Paman Bupati ke Manado beserta dengan pelucutan jabatannya. Raden Saleh yang berusia 19 tahun merasakan kerisauan besar dalam hatinya, kebimbangan tentang apa yang harus dilakukannya

Raden Saleh ke Eropa

Pada akhirnya Raden Saleh mengikuti usulan gurunya yaitu Tuan Payen. Ia pergi ke Eropa dan meninggalkan Tanah Air. Ia berangkat pada tahun 1829. Selama 1830 hingga 1870 Hindia di bawah pemerintahan Kolonial. Melalui Van den Bosch diterapkannya tanam paksa.

Sang maestro seni rupa selama belajar di Eropa tentunya tidak melupakan perjuangan bangsanya di Nusantara. Bahkan ketika di Belanda, tepatnya di Studio Kruseman, Raden Saleh bertemu dengan De Kock. Hendrik Merkus de Kock yang menjebak dan memenangi Perang Jawa. Raden Saleh sempat berkonfrontasi kecil dengan De Kock.

Pulang ke Nusantara

Setelah kesuksesannya di Eropa, Raden Saleh memutuskan untuk kembali dan pulang ke Tanah Air. Pergerakan Raden Saleh membela bangsa tidak berhenti saat itu. Pada 1857, dirinya diwawancarai oleh seorang wartawan. Awal penceritaan menceritakan kunjungan Monsieur De Mollins ke kediaman Raden Saleh di Batavia (sekarang Jakarta). Jurnalis asal Prancis itu merupakan jurnalis majalah perjalanan Le Tour de Monde. De Mollins berniat mewawancarai Raden Saleh yang terkenal atas karya-karyanya baik di Nusantara maupun Eropa.

Ketika itu sang Maestro menjelaskan mengenai lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” oleh pelukis Belanda. Melalui lukisan di Belanda tersebut tergambar sebuah kepalsuan akan fakta yang sebenarnya terjadi. Pada lukisan versi Belanda tersebut tergambar ekspresi Pangeran Diponegoro yang pasrah. Tidak puas akan hal tersebut, Raden Saleh membuat lukisan dengan versinya sendiri.

Sembari diwawancara oleh De Mollins, Saleh melukis peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro tersebut. Lukisan versi Raden Saleh ini kemudian menjadi salah satu karya yang terkenal hingga saat ini. Ekspresi perlawanan Pangeran Diponegoro tergambarkan pada lukisan versi Raden Saleh. Hal tersebut juga yang mengakibatkan munculnya misteri akan dua versi lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”.

Memasuki Abad ke-20

Latar plot kedua dalam penceritaan yang berpusat pada tokoh Syamsudin dan Ratna ini berlatar belakang pada awal abad ke-20. Kelahiran Syamsudin pada 1900, kemudian pada 1901 Ratu Wilhelmina menerapkan Politik Etis berupa balas budi terhadap warga Hindia. Saat itu diterapkan irigasi, imigrasi, dan edukasi pada Indonesia.

Kemudian diceritakan juga latar ketika Budi Utomo berdiri pada tahun 1908. Disusul dengan gerakan nasional lain berupa Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905. Tahun 1912 juga kemudian berdiri Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1919 penceritaan Syamsudin menjalani sekolah arsitektur di Delft, Belanda. Pada saat yang sama diceritakan juga mengenai pergerakan nasional di Indonesia, berupa Insiden Afdeling Garut.

Kemudian sembari mengisahkan kehidupan Syamsudin dan Ratna, juga diceritakan kisah pergerakan nasional kala itu. Mulai dari 1924 PKH berganti menjadi PKI. Hingga ketika dikisahkan Syafei mengirim surat kepada Pit Liong dan Ratna pada tahun 1941 yang bersamaan dengan penceritaan Pearl Harbour diserang oleh Jepang. Hingga proses Proklamasi 1945 dan berujung pada 1953 Syamsudin, Ratna, dan Ahmad Asikin pergi ke Makassar. Yang pada kala itu sudah terjadi nasionalisasi besar-besaran dan Belanda pulang ke negaranya.

“Semua harus diwujudkan dalam kebersamaan. Setiap orang dengan yang  lain harus saling peduli, memikirkan satu sama lain. Tidak ada penindasan. Tidak ada perbedaan atau rasialisme. Jadi … alangkah biadabnya bangsa yang  merendahkan bangsa lain”

Pergerakan Nasional dalam Pangeran dari Timur

Berdasarkan kedua periode tersebut, menggambarkan situasi sejarah kala itu. Kedua periode tersebut merepresentasikan rentetan sebab-akibat yang saling berkait dan berkesinambungan. Benar-benar merajut era penjajahan negara Belanda ke Nusantara. Kedua periode juga menghadirkan peristiwa karakter manusia, dengan respons berbeda. Dalam kaitannya dengan patriotisme dan nasionalisme. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap Kolonial pada masa itu.

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

Pangeran dari Timur, Perjuangan Melawan Waktu

Setelah melalui masa proses kreatif yang cukup panjang, novel Pangeran dari Timur akhirnya terbit. Novel ini bercerita tentang sosok pelukis tanah air yang karya-karyanya populer di Eropa dengan ciri khas lukisannya yang mengandung unsur romantisme Jawa. Tidak lupa pula, sisi kontroversial dari sang maestro dikulik oleh Kurnia Effendi dan Iksaka Banu.

Di balik proses kepenulisan novel Pangeran dari Timur sekitar 20 tahun, tentu ada berbagai macam godaan dan hambatan dalam menyelesaikannya.

Perjuangan Melawan Waktu

Kurnia Effendi dan Iksaka Banu kemudian berpikir ulang apakah tidak eman-eman apabila novel ini dihentikan? Berhubung sudah di tengah perjalanan, akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan menulis Pangeran dari Timur dengan catatan mereka saling menyemangati satu sama lain.

Di antara jeda yang cukup lama, sekitar 20 tahun. Novel Pangeran dari Timur ini menjadi ibu dari lahirnya karya-karya mereka yang lain, seperti cerpen, puisi yang masih satu tema tentang Raden Saleh. Dalam poses kepenulisan Pangeran dari Timur membutuhkan banyak literatur, mulai dari tahun 1811 – 1833 dan plot keduanya dari 1900-1953, sehingga banyak sekali bahan yang bisa dipakai untuk lahirnya karya-karya yang lain.

Dan itu salah satu yang memotivasi mereka berdua agar tetap menyelesaikan novel Pangeran dari Timur. Benar-benar Perjuangan!

Tidak Ada di Novel Lainnya

Di dalam kepenulisan novel ini ada beberapa kesepakatan yang ditaati oleh Kurnia Effendi dan Iksaka Banu. Mereka berdua membuat semacam panduan istilah-istilah maupun kosa kata yang tidak mungkin ada di awal abad 20 dan abad 19. Contohnya kata “Anda” yang jelas belum digunakan di abad itu, kata “beliau”, dan lain sebagainya. Jadi, dalam menulis novel ini, bahasa harus disesuaikan dengan latar waktu cerita masing-masing.

Tidak hanya itu, yang menjadi ciri khas unik dari proses kreatif novel ini salah satunya membuat kamus nama-nama jalan. Nama-nama jalan yang terdapat dalam novel ini adalah nama jalan  yang ada di abad 19 dan abad 20.

Yang jelas tujuan adanya kesepakatan tersebut adalah untuk membawa pembaca seakan-akan mereka benar-benar berada di zaman Raden Saleh hidup. Keren, kan? (Rizal)

Pangeran dari Timur Ditulis Selama 20 Tahun

Novel Pangeran dari Timur merupakan karya fiksi berbasis kisah hidup pelukis Raden Saleh. Ditulis bersama oleh Kurnia Effendi dan Iksaka Banu, novel ini membutuhkan waktu 20 tahun dari tahun 1999 sampai tahun 2019. Ada dua panggung sejarah di dalamnya yaitu panggung Raden Saleh dan panggung orang-orang masa pergerakan. Menarik, bukan?

Keputusan mereka membuat novel bersama tentu ada banyak pengaruh dan hambatan, bahkan saling bertentangan antara gaya tulisan dan perspektif mereka yang berbeda. Tapi lambat laun mereka menjadi saling melengkapi.

Iksaka Banu menggunakan literatur semacam koran Belanda untuk mengetahui data Raden Saleh ketika sekolah di Belanda. Bahkan dalam menuntaskan kisah Raden Saleh, Kurnia Effendi pergi ke Belanda dan memastikan data faktual Raden Saleh sebagaimana yang telah mereka temukan di koran Belanda. Tidak mengherankan apabila novel Pangeran dari Timur digarap selama 20 tahun.

Siapakah Raden Saleh?

Raden Saleh adalah seorang pelukis brilian asal Indonesia beretnis Arab-Jawa. Beliau adalah pelopor seni modern Indonesia. Lukisannya merupakan perpaduan romantisme yang sedang popular di Eropa saat itu dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang ciri khas lukisan Jawa

Mitosnya Raden Saleh ketika melukis makanan lalat akan datang. Ketika melukis bunga di kanvas, kupu-kupu tiba-tiba datang. Bahkan ada yang lebih ekstrem yaitu ketika Raden Saleh tidak terlihat sedang bersama-sama temannya lantas temannya menjemputnya di rumah. Ketika membuka pintu rumah, teman-temannya kaget karena melihat mayat di depan pintu rumahnya, padahal itu hanyalah lukisan mayat.

Sebegitu indah dan nyatanya lukisan beliau, sehingga terdapat banyak mitos di kalangan pegiat lukisan.

Bagaimana ya Kolaborasi antara Kurnia Effendi dan Iksaka Banu?

Proses penulisan yang sangat matang hingga mencapai lebih dari 1 dekade. Salah seorang penulis, yaitu Iksaka Banu, adalah peraih Kusala Sastra Khatulistiwa. Dia juga merupakan penulis dengan spesialis cerita bertema kolonial, sementara Kurnia Effendi adalah penulis fiksi kenamaan yang aktif berkegiatan di dunia literasi.

Perbedaan tersebut justru membuat Kurnia Effendi dan Iksaka Banu saling melengkapi. Keunggulan dari novel ini ditulis double plot dengan pembagian yang straight, Iksaka Banu menulis sejarah Raden Saleh dan Kurnia Effendi menulis plot masa pergerakan dengan menghadirkan nuansa pertengkaran yang dapat memancing emosi pembaca. Dan itulah yang menjadi tujuan mereka untuk membuat semacam vonis, siapa sih Raden Saleh itu? maka dibuatlah dua kubu pertentangan sehingga pembaca dapat menginterpretasikan sendiri, siapa Raden Saleh itu?

Kolaborasi keduanya membuahkan karya novel sejarah yang menarik dibaca!

Mahakarya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi

Dua puluh tahun yang lalu, kisah Raden Saleh mulai mengalir dari jemari Iksaka Banu dan Kurnia Effendi.

Berawal dari sebuah sayembara penulisan skenario, Iksaka Banu mengajak Kurnia Effendi untuk duet menulis kisah perjalanan hidup Raden Saleh. Namun karena tenggat waktu yang tidak cukup, skenario yang sudah dirancang pun tidak jadi dikirimkan. Alih-alih melanjutkan skenario, mereka memutuskan menuangkan kisah Raden Saleh ke dalam bentuk novel. Tidak main-main, butuh waktu 20 tahun, lho, untuk menyelesaikan novel sejarah ini!

Siapakah Raden Saleh?

Raden

Raden Saleh
Sumber: wikimedia.org

Pangeran dari Timur bermula dari rasa penasaran Iksaka Banu dan Kurnia Effendi tentang siapa itu Raden Saleh. Raden Saleh atau yang dijuluki “Pangeran dari Timur” merupakan seorang maestro lukisan berdarah Jawa-Arab yang hidup pada era 1800-an. Beliau merupakan salah satu pelukis beraliran Romantisme yang saat itu sedang berkembang di Eropa.

Salah satu ciri khas Raden Saleh yaitu beliau biasa menyertakan gambaran dirinya pada setiap lukisannya. Beliau juga sering kali melukis adegan perburuan satwa liar. Namun, ada satu lukisan Raden Saleh yang berbeda dari lukisannya yang lain, karena tidak biasanya beliau menggambar lukisan sejarah. Lukisan itu tak lain dan tak bukan adalah “Penangkapan Diponegoro.”

“Penangkapan Pangeran Diponegoro” bercerita pengkhianatan Belanda terhadap Diponegoro. Keunikan dari lukisan ini yaitu cara penggambaran Raden Saleh. Di sana Pangeran Diponegoro dan pengikutnya tidak membawa senjata sama sekali. Jenderal De Kock menangkap Pangeran Diponegoro dalam keadaan tidak siap untuk berperang di bulan Ramadhan.

Raden Saleh menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro yang tetap bersikap siaga dengan tangan kiri menggenggam tasbih.  Raden Saleh juga mengambarkan dirinya sendiri yang sedang menyaksikan peristiwa itu dengan sikap penuh empati.

Karya Duet Iksaka Banu dan Kurnia Effendi Terbit di Bulan Desember

Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
Sumber: jakartaglobe.id

Tidak lama lagi, sebuah karya 20 tahun dari Iksaka Banu dan Kurnia Effendi segera bergabung dalam jajaran buku Fiksi Dewasa Bentang Pustaka. Ada banyak kisah menarik dan rahasia-rahasia tak terduga yang terungkap dalam novel bertajuk Pangeran dari Timur ini. Kolaborasi ciamik dari Kurnia Effendi, ahlinya kisah romantis, serta Iksaka Banu yang ahli dalam meramu cerita sejarah tentu menjadikan Pangeran dari Timur menjadi novel sejarah yang menarik untuk disimak.

Sudah siapkah Sahabat Bentang menyambut kedatangan Pangeran dari Timur? Podcast tentang Pangeran dari Timur bisa didengarkan melalui Spotify dan Google Podcast.

© Copyright - Bentang Pustaka