Tag Archive for: Politik

politik di rapijali

Memandang Dunia Politik Lewat Rapijali

politik di rapijali

Dunia politik di Rapijali tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Manusia hidup dalam tataran masyarakat yang terstruktur dan tertib dengan dipimpin oleh seorang pemerintah. Hal itu dekat sekali dengan politik. Namun, ketika pembahasan tentang politik muncul, sering yang terbayang oleh kita adalah pembahasan yang pelik, besar, dan alot.

Dunia Politik dalam Rapijali

Melalui novel Rapijali 2: Menjadi, Dee Lestari seolah sedang berusaha untuk membantah stigma bahwa politik di Rapijali adalah pembahasan yang sulit. Guntur, salah satu tokoh dalam Rapijali 2: Menjadi, adalah seorang politikus yang sedang mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta. Pembaca Rapijali 2: Menjadi akan diajak untuk melihat kehidupan politikus melalui tokoh Guntur. Pembaca juga akan mengetahui tentang tantangan-tantangan yang dirasakan seorang politikus dalam menyusun kampanye.

Menariknya, pembahasan tentang politik ini dikemas oleh Dee Lestari menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Selain itu, Dee Lestari tidak hanya menggambarkan sisi Guntur sebagai politikus, tetapi juga sisinya yang manusiawi sebagai manusia apa adanya.

Guntur yang Manusiawi

Sebagai seorang politikus, seseorang tentu harus memiliki personal branding yang bagus. Ia sepatutnya memiliki wibawa dan siap tampil di depan umum kapan saja. Karena perannya adalah sebagai pemimpin, seorang politikus tidak jarang harus selalu mampu terlihat kuat di depan banyak orang terlepas dari masalah pribadi yang ia hadapi. Kurang lebih demikianlah penggambaran tokoh Guntur dalam novel Rapijali 2: Menjadi. 

Bagian yang menarik adalah Dee Lestari tidak hanya menggambarkan keseharian Guntur sebagai politikus. Dee Lestari juga menceritakan Guntur dalam kehidupan sehari-seharinya sebagaimana manusia pada umumnya. Ada part di mana Guntur merasa sedih atas masalah yang dihadapi. Ada pula masa ketika Guntur hanyut dalam perasaan sepi. Dalam beberapa bagian, tampak bahwa Guntur mengalami masalah dalam urusan rumah tangganya. Masalah yang paling besar tentu adalah fakta bahwa Guntur merupakan ayah kandung Ping.

Penceritaan tokoh Guntur yang apik dalam novel Rapijali 2: Menjadi ini menunjukkan pada pembaca bahwa manusia, siapa pun itu, juga tetap memiliki sisi manusiawi. Tidak ada manusia yang sempurna tentunya. Semua orang punya masa lalu, masalah, emosi, dll.

Penasaran dengan kisah Guntur? Simak selengkapnya hanya di Rapijali 2: Menjadi.

 

-Putri Maulita

 

 

investigasi noam chomsky

Noam Chomsky dalam Investigasi Intelektual

investigasi noam chomsky

Dunia mengenal investigasi Noam Chomsky sebagai sosok cendekiawan yang banyak berpengaruh di dunia global. Sebagai seorang profesor emeritus linguistik, dunia mengenal sosoknya sebagai seorang linguis ternama, bahkan memiliki julukan “Bapak Linguistik Dunia”. Dari penamaan tersebut, tidak mengherankan bahwa  hasil penelitian dan gagasan ilmuwan satu ini begitu dipercaya oleh banyak orang. Selain berkiprah di bidang linguistik, Noam Chomsky juga aktif di bidang politik dan sosial. Seperti dalam cuplikan karya Noam Chomsku melalui artikel berikut ini. Beliau banyak mengkkritisi fenomena-fenomena dunia yang terjadi. Kritiknya yang tajam itu tidak diungkap dengan tanpa dasar, sering kali ia menarik garis dengan kejadian historis.

Investigasi Noam Chomsky

Serangkaian investigasi Noam Chomsky telah banyak beredar secara umum. Selain perihal teori linguistik kognitif yang diampunya, beberapa tulisan Chomsky berfokus pada investigasi intelektual yang mengkritisi politik global. Karya Chomsky terhitung sebanyak 150 buku dengan topik-topik yang variatif, seperti linguistik, perang, politik, dan media massa. Beberapa artikelnya terpublikasikan secara bebas di media massa, tetapi beberapa lainnya hadir dalam satu inti substansi yang terhimpun menjadi satu buku. Salah satu karya besarnya yang memiliki pengaruh yakni Who Rules The World.

Who Rules The World adalah salah satu investigasi intelektual Chomsky yang berisikan kritik tajam dan pedasnya terhadap kedaulatan Amerika Serikat. Amerika Serikat selama ini dianggap memiliki pamor yang begitu besar di kancah global. Seolah ingin menetralkan anggapan tersebut, Chomsky memaparkan banyak hal yang tak kasat mata dan ditutupi oleh media. Tidak hanya itu, segala pemaparannya begitu detil dan menakjubkan!

Hadir dalam Bahasa Indonesia

Who Rules The Wold hadir sebagai suatu celah untuk melihat dunia dari sisi yang lebih mendasar. Untuk kamu yang ingin menyelami investigasi politik milik Chomsky, sudah tidak ada alasan lagi untuk merasa kesulitan dengan pengantar bahasanya. Sekarang telah hadir versi bahasa Indonesia dari buku tersebut diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Kamu bisa mendapatkannya di sini. Jadilah salah satu pembaca investigasi berpengaruh satu ini.

Demokrasi Liberal

Petaka Amerika dan Ironi Demokrasi

Kita tak melupa Mark Twain. Pengarang bercerita manusia-manusia dan tempat-tempat di Amerika Serikat dengan lelucon dan derita tak tertanggungkan. Ia memiliki biografi ironis tapi memberi persembahan humor untuk para pembaca cerita di Amerika Serikat dan dunia. Ia ingin Amerika Serikat girang dan tertawa saat memiliki seribu masalah. Kini, Amerika Serikat membesar dengan berita-berita pedih mengenai wabah, rasisme, dan kepongahan Trump. Kita terlalu dihajar berita ketimbang menelusuri lagi jalan-jalan cerita Amerika Serikat. Pada saat menua, Mark Twain berujar untuk warisan Amerika Serikat: “Aku tak memiliki prasangka terhadap warna kulit, kasta, atau kepercayaan.” Ia cuma mengetahui manusia adalah manusia.

Wabah belum rampung, petaka rasial tergelar di Amerika Serikat. Masalah-masalah besar itu turut “merusak” tatanan demokrasi. Kita sudah lama tak mutlak berkiblat demokrasi itu Amerika Serikat. Pada situasi tak keruan, kita berpikiran lagi identitas dan demokrasi mengalami pasang-surut di negara besar dipimpin Donald Trump. Konon, masa depan kebebasan sebagai pijakan demokrasi dipertaruhkan di  Amerika Serikat, melebihi kasus-kasus di negara-negara lain. Di alur sejarah seabad, Fareed Zakaria (2003) mengingatkan: “Kemunculan dan dominasi Amerika Serikat – negara yang politik dan budayanya sangat demokratis – telah membuat demokratisasi tampak tak terelakkan.” Pada masa setelah keberakhiran Perang Dunia II, demokrasi menjangkiti pelbagai negara. Dulu, Amerika Serikat menjadi “kiblat” tapi tak kekal. Misi besar itu menghilangkan ajakan Mark Twain agar Amerika Serikat sering tertawa ketimbang memerintah, menggertak, menghukum, dan menghina negara-negara lain.

Petaka-petaka di Amerika Serikat mula-mula dijelaskan secara sengit oleh Francis Fukuyama melalui buku berjudul Identitas: Tuntutan Atas Martabat dan Politik Kebencian. Bacaan bagi kita di rumah berlagak mengamati Amerika Serikat sedang kelimpungan menanggulangi wabah dan mendapat “kutukan” demokrasi. Buku tipis, tak semegah seperti buku The End Histoty and the Last Man. Buku terbaru mengingatkan orang-orang tentang politik identitas berlaku di Amerika Serikat, menular ke pelbagai negara di naungan demokrasi. Konon, buku berjudul Identitas diakui “mendesak” dan “wajib” dibaca mumpung Amerika Serikat semakin bermasalah rumit gara-gara omongan dan pelbagai kebijakan Trump. Episode negara besar kekurangan dan kehilangan tawa. Negara itu sangar.

Francis Fukuyama lugas mengajukan penjelasan berkaitan identitas dan politik identitas sedang seru menjadi isu global. “Pada mulanya, identitas tumbuh sebagai pembeda antara diri seseorang dan dunia luar, dengan segenap aturan dan norma sosial yang tidak cukup mampu mengenali nilai atau martabat diri seseorang tersebut,” tulis Francis Fukuyama. Di tatanan mengaku demokrasi, identitas perlahan memicu konflik-konflik. Semua dipengaruhi omongan dan ulah penguasa, diimbuhi sekian kebijakan mulai diskriminatif. Perlawanan atau kekacauan tercipta tapi mengalami tekanan mengacu ke ilusi-ilusi demi keberlangsungan kekuasaan. Politik identitas pun menguak aib-aib dan gejala keruntuhan demokrasi telanjur lama diagungkan.

Pada 2010, tragedi besar dialami Mohamed Bouazizi, memicu perlawanan berubah menjadi Musim Semi Arab. Para diktator di Dunia Arab dilawan dan dijatuhkan. Semua berlu dari tindakan polisi merampas dagangan sayur di gerobak milik Bouazizi. Peristiwa itu menjadi berita cepat beredar ke sembarang arah. Bouzazizi membakar diri. Unjuk rasa digelar di pelbagai tempat: mengubah sejarah (demokrasi) abad XXI. Francis Fukuyama mengingatkan: “negara tidak memperlakukan Bouazizi sebagai manusia.” Siapa saja patut mendapat rasa hormat dan perlakuan adil. Tindakan sembrono dan khianat atas demokrasi menghasilkan petaka besar. Kini, lakon polisi semena-mena terhadap warga berkulit hitam memicu gegeran di Amerika Serikat.

Abad XXI memiliki lakon-lakon mengejutkan dalam masalah identitas dan demokrasi. Segala kejutan mungkin harus mengacu lagi ke sejarah Revolusi Prancis. Episode itu mengakui martabat dasar manusia. Pengakuan menjadi pokok gerakan demokratis. Negara wajib menjamin hak-hak secara rasional demi membenarkan demokrasi. Pada situasi mutakhir, kita justru melihat dan mendapatkan berita demokrasi tampak di mulut dan lembaran kertas sebagai omong kosong. Di pelbagai negara, suguhan diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan, rasisme, dan lain-lain terus menodai “roman” demokrasi ingin dipamerkan Amerika Serikat dan negara-negara besar.

Pada gairah membesar dan arah berbeda, Francis Fukuyama mengamati: “Salah satu karakteristik yang mencolok dari politik global pada dekade kedua abad XXI adalah kekuatan baru yang dinamis yang membentuknya terdiri atas partai dan politisi nasionalis atau agama, dua wajah politik identitas….” Pengamatan mengarah ke Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Timur. Kita pun bisa menaruh pengamatan itu terjadi di Indonesia atau negara-negara di Asia Tenggara. Masalah-masalah rumit memicu konflik sering bermunculan berkitan tata cara demokrasi dan sosok-sosok penguasa. Kita mungkin bosan dan capek melihat dan mengikuti kiprah Trump. Dunia memang memberi “panggung” untuk segala pementasan Trump ingin menjadikan Amerika Serikat terampuh dan selalu menangan terhadap negara-negara lain.

Pada abad “menonton” melalui layar-layar, kita gampang mengetahui Amerika Serikat berkaitan demokrasi, politik identitas, Trump, dan lain-lain. Situasi mutakhir di Amerika Serikat bisa dilihat sambil diselingi membaca halaman-halaman di buku berjudul Identitas. Francis Fukuyama sempat membuat kita mengingat persembahan novel pernah memberi nubuat masa depan bergantung teknologi. Demokrasi berseru kebebasan, kebahagiaan, dan kesetaraan kadang sulit terbukti. Pembaca diajak menengok ke novel berjudul 1984 (George Orwell) dan Brave New World (Aldous Huxley) untuk mengerti kontrol dan perlawanan. Pada “roman” demokrasi berlangsung abad XXI, kita pun mengerti ada kabar buruk selain mimpi-mimpi terlalu lama dimiliki demi dunia. Begitu.

Bandung Mawardi

*Pernah dipublikasikan di Suara Merdeka, 12 Juli 2020

Buku Pandji Pragiwaksono ‘Septictank’ Jadi Bacaan Segar Jelang Pilpres 2019

Jakarta – Pandji Pragiwaksono merilis buku terbaru ‘Septictank’ pada 30 Maret di Yogyakarta. Buku yang diterbitkan Bentang Pustaka, Pandji bicara buka-bukaan soal pengalaman nyemplung ke politik.

Buku berjudul lengkap ‘Septictank: Pengalaman Nyemplung ke Kolam Politik’ menceritakan alasan Pandji tertarik dengan dunia politik sampai nyemplung ke dalamnya.

“Setelah absen setahun dari menulis buku, saya hadir kembali dengan buku saya yang terbaru judulnya ‘Septictank: Pengalaman Nyemplung ke Kolam Politik’. Saya cerita tentang pengalaman hidup saya terkait politik, membantu pemerintahan, terlibat kampanye politik sampai melihat politik dari dekat,” ujar Pandji dalam keterangan pers yang diterima detikHOT, Jumat (29/3/2019).

Buku yang rilis jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 diakui Bentang Pustaka bakal menjadi bacaan yang segar saat masa kampanye terbuka. Pembaca pun seakan ditawarkan wawasan baru dalam merespons Pemilu dan menjalani demokrasi.

“Melalui buku ini, Pandji mengajak para pembaca untuk tidak apatis dengan politik. Karena politik memegang kendali di berbagai aspek kehidupan. Baginya tidak menyukai politik tidak apa-apa, tapi untuk tidak peduli dengan politik, itu yang kenapa-kenapa,” tulis Bentang Pustaka.

Pada 30 Maret mendatang, materi-materi yang ada dalam buku ‘Septictank’ akan dipentaskan Pandji dalam show ‘Stand Up Comedy Special: Septictank’. Pentasnya berlangsung di Auditorium Driyakara, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

 

Sumber berita: https://hot.detik.com/book/d-4489019/buku-pandji-pragiwaksono-septictank-jadi-bacaan-segar-jelang-pilpres-2019

© Copyright - Bentang Pustaka