Tag Archive for: Francis Fukuyama

Identitas Francis Fukuyama

Politik Identitas dan Demokrasi Liberal

Francis Fukuyama, ahli ekonomi politik yang fenomenal lewat buku The End of History and the Last Man kembali dengan karya terbarunya mengusung isu politik identitas.  Buku edisi aslinya terbit 2018 dan edisi Bahasa Indonesia pada Maret 2020. Adanya edisi Bahasa Indonesia ini nampaknya karena Fukuyama termasuk salah satu ilmuwan AS yang pemikiran-pemikiran cukup dikenal di kalangan intelektual kita.

Seperti dikatakannya di bagian awal, penulisan buku Identitas ini dipicu kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS November 2016. Ia terkejut sekaligus terusik akan implikasinya terhadap negara adidaya itu dan dunia. Hasil Pilpres AS tersebut merupakan kejutan elektoral kedua tahun 2016 setelah hasil referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Namun ia tidak sedang membahas “kemurungan” perkembangan demokrasi di AS, Inggris atau Eropa saja. Pada mulanya Fukuyama memang terusik oleh kemenangan Trump, yang tak hanya dianggapnya sebagai produk, tetapi juga kontributor atas fenomena membusuknya lembaga modern yang dapat mengancam prospek konsensus demokrasi liberal. Namun diagnosanya melintas ruang dan waktu menelusuri asal usul masalah yang menjadi ihwal “pembusukan” dimaksud, termasuk di negara yang demokrasinya sudah mapan seperti AS dan Inggris.

Fukuyama banyak menyorot apa yang disebutnya sebagai fenomena bangkitnya identitas dan politik identitas di berbagai belahan dunia. Menurutnya, pasang naik identitas dan politik identitas bermula dari tuntutan pengakuan atas martabat (thymos) pada konteks individu maupun kelompok, yang perspektif sejarahnya ditarik jauh ke zaman Plato, namun menjadi masalah ketika para tokoh nasionalis populis dekade kedua abad 21 mempolitisasinya untuk mendapatkan kekuasaan berbiaya “murah”.

Akibatnya, corak pengakuan universal dalam konsep demokrasi liberal kemudian ditantang oleh bentuk tuntutan pengakuan lebih sempit berdasarkan atas bangsa, agama, sekte, ras, etnis, atau gender yang kemudian justru mengakibatkan munculnya populisme anti-imigran, kebangkitan Islam yang terpolitisasi, serta fraksi-fraksi yang terpecah belah. Ia mengurutnya dari peristiwa gelombang Musim Semi Arab, Brexit, kampanye “American First” Donald Trump hingga Gerakan #MeToo yang memperluas pemahaman populer tentang kekerasan seksual.

Ia mengatakan nasionalisme maupun agama tidak akan menghilang sebagai kekuatan dalam politik dunia, khususnya dalam sistem demokrasi liberal, karena sistem ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah thymos, bagian jiwa yang membutuhkan pengakuan. Fukuyama kemudian “menawarkan” semacam penguatan identitas nasional inklusif yang dapat menjawab tuntutan pengakuan martabat sekaligus meredam potensi merebaknya politik kebencian, khususnya di negara-negara demokrasi liberal dan multikultur.

Fukuyama dan buku ini memang tak kurang mendapatkan kritik. Salah satu pertanyaan muncul: apakah Fukuyama masih konsisten dengan ramalannya mengenai “Akhir Sejarah” sebagai kemenangan demokrasi liberal? Fukuyama membela diri, apa yang dikatakannya seusai Perang Dingin awal 1990-an itu masih terkoneksi dengan pengamatannya atas keadaan politik sekarang. Ia malah menyebut para pengkritiknya tak memperhatikan esai asli tentang “akhir sejarah” memiliki tanda tanya di akhir judul dan di antara mereka tidak membaca bab-bab selanjutnya. Tak mengejutkan, pada ujungnya Fukuyama masih meyakini masa depan demokrasi liberal, sekalipun dengan segala tantangan dan ancamannya.

Apa relevansinya dengan Indonesia? Gejala politik yang diangkat dalam buku ini cukup kontekstual dengan fenomena politik yang terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Di negeri kita politik identitas dengan corak baru juga menguat khususnya sejak Pilkada Jakarta 2017 lalu. Tak heran, Fukuyama  dalam bukunya ini juga sekilas menyinggung kasus politisasi agama yang “korban”-nya adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang beragama Kristen dan beretnis Tionghoa (h.86).

Walaupun dalam mengupas bahaya dan ancaman terhadap peradaban politik modern Fukuyama dikritik sangat bias dengan perspektif demokrasi liberal, khususnya AS yang menjadi titik tolak keprihatinannya, tetapi sejumlah argumen pokok dalam buku ini terutama menyangkut penguatan politik identitas dalam spektrum politik populis (kanan) juga menjadi tantangan serius bagi banyak negara demokrasi lainnya, termasuk Indonesia.

 

Israr Iskandar, dosen sejarah FIB Universitas Andalas

*Pernah dipublikasikan di Singgalang Minggu, 28 Juni 2020

Demokrasi Liberal

Petaka Amerika dan Ironi Demokrasi

Kita tak melupa Mark Twain. Pengarang bercerita manusia-manusia dan tempat-tempat di Amerika Serikat dengan lelucon dan derita tak tertanggungkan. Ia memiliki biografi ironis tapi memberi persembahan humor untuk para pembaca cerita di Amerika Serikat dan dunia. Ia ingin Amerika Serikat girang dan tertawa saat memiliki seribu masalah. Kini, Amerika Serikat membesar dengan berita-berita pedih mengenai wabah, rasisme, dan kepongahan Trump. Kita terlalu dihajar berita ketimbang menelusuri lagi jalan-jalan cerita Amerika Serikat. Pada saat menua, Mark Twain berujar untuk warisan Amerika Serikat: “Aku tak memiliki prasangka terhadap warna kulit, kasta, atau kepercayaan.” Ia cuma mengetahui manusia adalah manusia.

Wabah belum rampung, petaka rasial tergelar di Amerika Serikat. Masalah-masalah besar itu turut “merusak” tatanan demokrasi. Kita sudah lama tak mutlak berkiblat demokrasi itu Amerika Serikat. Pada situasi tak keruan, kita berpikiran lagi identitas dan demokrasi mengalami pasang-surut di negara besar dipimpin Donald Trump. Konon, masa depan kebebasan sebagai pijakan demokrasi dipertaruhkan di  Amerika Serikat, melebihi kasus-kasus di negara-negara lain. Di alur sejarah seabad, Fareed Zakaria (2003) mengingatkan: “Kemunculan dan dominasi Amerika Serikat – negara yang politik dan budayanya sangat demokratis – telah membuat demokratisasi tampak tak terelakkan.” Pada masa setelah keberakhiran Perang Dunia II, demokrasi menjangkiti pelbagai negara. Dulu, Amerika Serikat menjadi “kiblat” tapi tak kekal. Misi besar itu menghilangkan ajakan Mark Twain agar Amerika Serikat sering tertawa ketimbang memerintah, menggertak, menghukum, dan menghina negara-negara lain.

Petaka-petaka di Amerika Serikat mula-mula dijelaskan secara sengit oleh Francis Fukuyama melalui buku berjudul Identitas: Tuntutan Atas Martabat dan Politik Kebencian. Bacaan bagi kita di rumah berlagak mengamati Amerika Serikat sedang kelimpungan menanggulangi wabah dan mendapat “kutukan” demokrasi. Buku tipis, tak semegah seperti buku The End Histoty and the Last Man. Buku terbaru mengingatkan orang-orang tentang politik identitas berlaku di Amerika Serikat, menular ke pelbagai negara di naungan demokrasi. Konon, buku berjudul Identitas diakui “mendesak” dan “wajib” dibaca mumpung Amerika Serikat semakin bermasalah rumit gara-gara omongan dan pelbagai kebijakan Trump. Episode negara besar kekurangan dan kehilangan tawa. Negara itu sangar.

Francis Fukuyama lugas mengajukan penjelasan berkaitan identitas dan politik identitas sedang seru menjadi isu global. “Pada mulanya, identitas tumbuh sebagai pembeda antara diri seseorang dan dunia luar, dengan segenap aturan dan norma sosial yang tidak cukup mampu mengenali nilai atau martabat diri seseorang tersebut,” tulis Francis Fukuyama. Di tatanan mengaku demokrasi, identitas perlahan memicu konflik-konflik. Semua dipengaruhi omongan dan ulah penguasa, diimbuhi sekian kebijakan mulai diskriminatif. Perlawanan atau kekacauan tercipta tapi mengalami tekanan mengacu ke ilusi-ilusi demi keberlangsungan kekuasaan. Politik identitas pun menguak aib-aib dan gejala keruntuhan demokrasi telanjur lama diagungkan.

Pada 2010, tragedi besar dialami Mohamed Bouazizi, memicu perlawanan berubah menjadi Musim Semi Arab. Para diktator di Dunia Arab dilawan dan dijatuhkan. Semua berlu dari tindakan polisi merampas dagangan sayur di gerobak milik Bouazizi. Peristiwa itu menjadi berita cepat beredar ke sembarang arah. Bouzazizi membakar diri. Unjuk rasa digelar di pelbagai tempat: mengubah sejarah (demokrasi) abad XXI. Francis Fukuyama mengingatkan: “negara tidak memperlakukan Bouazizi sebagai manusia.” Siapa saja patut mendapat rasa hormat dan perlakuan adil. Tindakan sembrono dan khianat atas demokrasi menghasilkan petaka besar. Kini, lakon polisi semena-mena terhadap warga berkulit hitam memicu gegeran di Amerika Serikat.

Abad XXI memiliki lakon-lakon mengejutkan dalam masalah identitas dan demokrasi. Segala kejutan mungkin harus mengacu lagi ke sejarah Revolusi Prancis. Episode itu mengakui martabat dasar manusia. Pengakuan menjadi pokok gerakan demokratis. Negara wajib menjamin hak-hak secara rasional demi membenarkan demokrasi. Pada situasi mutakhir, kita justru melihat dan mendapatkan berita demokrasi tampak di mulut dan lembaran kertas sebagai omong kosong. Di pelbagai negara, suguhan diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan, rasisme, dan lain-lain terus menodai “roman” demokrasi ingin dipamerkan Amerika Serikat dan negara-negara besar.

Pada gairah membesar dan arah berbeda, Francis Fukuyama mengamati: “Salah satu karakteristik yang mencolok dari politik global pada dekade kedua abad XXI adalah kekuatan baru yang dinamis yang membentuknya terdiri atas partai dan politisi nasionalis atau agama, dua wajah politik identitas….” Pengamatan mengarah ke Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Timur. Kita pun bisa menaruh pengamatan itu terjadi di Indonesia atau negara-negara di Asia Tenggara. Masalah-masalah rumit memicu konflik sering bermunculan berkitan tata cara demokrasi dan sosok-sosok penguasa. Kita mungkin bosan dan capek melihat dan mengikuti kiprah Trump. Dunia memang memberi “panggung” untuk segala pementasan Trump ingin menjadikan Amerika Serikat terampuh dan selalu menangan terhadap negara-negara lain.

Pada abad “menonton” melalui layar-layar, kita gampang mengetahui Amerika Serikat berkaitan demokrasi, politik identitas, Trump, dan lain-lain. Situasi mutakhir di Amerika Serikat bisa dilihat sambil diselingi membaca halaman-halaman di buku berjudul Identitas. Francis Fukuyama sempat membuat kita mengingat persembahan novel pernah memberi nubuat masa depan bergantung teknologi. Demokrasi berseru kebebasan, kebahagiaan, dan kesetaraan kadang sulit terbukti. Pembaca diajak menengok ke novel berjudul 1984 (George Orwell) dan Brave New World (Aldous Huxley) untuk mengerti kontrol dan perlawanan. Pada “roman” demokrasi berlangsung abad XXI, kita pun mengerti ada kabar buruk selain mimpi-mimpi terlalu lama dimiliki demi dunia. Begitu.

Bandung Mawardi

*Pernah dipublikasikan di Suara Merdeka, 12 Juli 2020

Demokrasi Liberal

Ketimpangan dalam Demokrasi Liberal

Dalam demokrasi liberal modern, prinsip kedua, kesetaraan, jarang dipahami untuk menyiratkan komitmen terhadap kesetaraan ekonomi atau sosial yang substantif. Rezim sosialis yang mencoba menjadikannya kenyataan segera mendapati diri mereka sendiri bertentangan dengan prinsip pertama, kebebasan, yang diperlukan ketika mereka melakukan kontrol negara besar besaran atas kehidupan warga masyarakat.

Ekonomi pasar bergantung pada upaya mengejar kepentingan pribadi tiap individu yang mengarah pada ketimpangan kekayaan karena kemampuan orang yang berbeda-beda dan kondisi kelahiran mereka. Kesetaraan dalam demokrasi liberal modern selalu lebih berarti semacam kesetaraan kebebasan. Ini berarti kebebasan negatif dari kekuasaan pemerintah yang kejam dan kebebasan positif yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sendiri dan pertukaran ekonomi.

Demokrasi liberal modern melembagakan prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan itu dengan menciptakan negara yang cakap yang dibatasi aturan hukum dan akuntabilitas demokratis. Aturan hukum membatasi kekuasaan dengan memberikan warga negara hak-hak dasar: dalam wilayah tertentu seperti bicara, pergaulan, properti, dan keyakinan agama, negara tidak boleh membatasi pilihan individu. Aturan hukum juga melayani prinsip kesetaraan dengan menerapkan aturan-aturan tersebut secara merata kepada semua warga negara, termasuk mereka yang memegang jabatan politik tertinggi dalam sistem.

Demokrasi Liberal

Kebebasan dan kesetaraan yang digaungkan ternyata hanya bualan semata.

Kontradiksi dalam Kelas Kapitalis

Pada era kapitalisme transnasional ini, kontradiksi dalam kapital pun semakin tajam. Pertama, karena kompetisi oligopolistik antara perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Corporations/TNCs) yang meningkat sejak 1970-an dan kedua, karena TNCs telah menjadi tantangan besar bagi korporasi yang lebih kecil, yang notabene perusahaan-perusahaan nasional. Korporasi transnasional dapat mengakumulasikan kapital dengan menarik keuntungan dari korporasi kecil (nasional) melalui beberapa cara. TNC biasanya memilih pemasoknya dari perusahaan-perusahaan nasional yang bersaing satu sama lain dan saling menurunkan harga agar terpilih. Padahal, perusahaan nasional ini memiliki teknologi produksi yang lebih rendah dan menanggung biaya tenaga kerja yang relatif lebih tinggi.

Kondisi ini tentunya menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih kecil bagi perusahaan pemasok nasional, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan dan investasi teknologi mereka. Pada sisi lain, kondisi ini membawa keuntungan bagi perusahaan transnasional yang dapat menjual produk mereka (misalnya, teknologi canggih) dengan harga monopoli ke perusahaan-perusahaan nasional. Sebagai akibatnya, perusahaan transnasional menjadi lebih besar dan mampu membayar karyawan mereka dengan upah lebih tinggi, sementara perusahaan nasional dengan kapital yang lebih kecil “dipaksa” oleh kekuatan pasar untuk menekan upah dan mencoba menghindari pajak.

Baca juga: Politik Identitas dan Demokrasi Liberal

Konsekuensi Demokrasi Liberal

Konsekuensinya adalah munculnya keberadaan tenaga kerja yang tidak dinyatakan (undeclared) dan tidak dilaporkan (unreported) terlibat dalam “ekonomi bayangan” (Schneider, 2013). Meskipun biasanya yang menopang ekonomi bayangan ini adalah bisnis kecil, mereka melakukannya di bawah tekanan perusahaan-perusahaan transnasional. Harga dan upah yang lebih rendah dari ekonomi bayangan berkontribusi secara tidak langsung dalam membatasi kenaikan upah dalam ekonomi formal yang “dinyatakan”, saat aktor utamanya adalah perusahaan-perusahaan trasnasional. Semakin lemah modal nasional suatu negara, semakin besar pula kontribusi ekonomi bayangannya terhadap PDB-nya. Inilah faktor yang membuat tingkat upah rata-rata di suatu negara turun.

Di negara-negara periphery, TNC dapat mewujudkan tingkat laba yang lebih tinggi dibandingkan di negara-negara core yang memiliki ekonomi bayangan yang lebih kecil. Jadi, penerima manfaat terbesar dari penghindaran pajak perusahan-perusahaan kecil justru adalah perusahaan-perusahaan transnasional. Di samping itu, mereka juga menikmati pembebasan pajak substansial (substantial tax exemptions) yang umumnya disediakan oleh negara tuan rumah untuk merangsang penanaman modal asing (PMA).

Ketimpangan yang Terjadi

Karena ketimpangan ini, pemilik modal kecil cenderung menganggap pemilik modal besar sebagai “penindas”. Karena perusahaan besar ini biasanya TNC atau “perusahaan asing”, dan perusahaan kecil biasanya “perusahaan nasional”, konflik antara kepentingan pemilik modal besar dan kecil mudah diterjemahkan sebagai kontradiksi antara kapital “asing” dan “nasional”. Pemerintah dan politisi yang melayani kepentingan yang pertama, biasanya disebut elite “komprador”, sementara mereka yang menyatakan kepentingannya untuk mendukung yang terakhir disebut “nasionalis”.

Baik elite komprador maupun nasionalis, keduanya sama-sama diikat oleh keuntungan finansial yang mengalir dari pihak yang mereka dukung. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh pemilihan presiden di Amerika Serikat dan referendum di Inggris pada 2016, kepentingan pemilik modal “nasional” pada batas tertentu menjadi tumpang tindih dengan kepentingan mereka yang tidak memiliki modal, karena pertama, pengembangan modal domestik berarti pengembangan basis produksi dalam negeri, dan kedua, perusahaan terkecil seperti UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro) dalam situasi aktualnya tidak jauh berbeda dengan penerima upah.

Kontradiksi dalam Kelas Pekerja

Pengurangan wage share merefleksikan sebuah mekanisme “rata-rata” yang menyembunyikan ketimpangan upah di dalamnya. Perbedaan upah ini telah meningkatkan jumlah kelompok rentan dalam dekade terakhir, terutama sejak krisis 2008 di banyak negara, termasuk di negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang menurut Fukuyama, memungkinkan perwujudan bentuk masyarakat yang paling baik.

Deregulasi pasar tenaga kerja, aliran bebas kapital dan peningkatan migrasi telah menyebabkan munculnya kelas bawah dari kelas pekerja, “prekariat”, yang tidak hanya terjadi di pinggiran, tetapi juga di pusat-pusat kapitalisme global. Istilah prekariat merupakan perpaduan antara “precarious” (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan. Istilah baru yang dipopulerkan oleh Guy Standing ini umumnya merujuk pada para pekerja yang terlibat dalam pola ketenagakerjaan yang “tidak permanen” dan “fleksibel” seperti sistem kontrak, outsourcing, part-time, freelance, dan teleworking (Polimpung, 2018).

Ketimpangan ekonomi dan ketidakstabilan sosial yang semakin dirasakan masyarakat di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Mereka secara alami telah meningkatkan dahaga sebagian besar masyarakat akan “perubahan”. Kehidupan yang lebih baik dan “ketertiban umum”, tidak peduli apakah perubahan tersebut ditawarkan sayap kiri atau kanan.

Kondisi Politik yang Terjadi

Kondisi ini mencerminkan bahwa bahkan rakyat di negara maju yang didasarkan pada demokrasi liberal sekalipun tidak dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Hal ini tidak saja disebabkan oleh alasan politik—karena demokrasi liberal sejak awal memang dibangun dalam bentuk perwakilan. Ketika seseorang dengan menggunakan hak pilihnya menyerahkan haknya untuk menentukan nasibnya sendiri ke tangan orang lain—tetapi juga alasan ekonomi. Bahwa semua produk yang diproduksi oleh rakyat pekerja, tidak dapat dijangkau mereka secara langsung. Mereka yang memproduksi barang-barang itu sendiri harus membelinya di pasar. Dalam hal ini, rakyat teralienasi baik dari hak mereka untuk menentukan nasibnya sendiri maupun dari produk yang mereka hasilkan sendiri.

Sayangnya, perubahan dan ketertiban yang didambakan sebagian besar rakyat memiliki karakter yang sama sekali berbeda dari ketertiban yang diinginkan oleh kelas penguasa. Namun, tentu saja perbedaan ini tetap tersembunyi. Terutama ketika krisis terjadi dan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan “penghematan”. Yang pada akhirnya memperburuk permasalahan sosial demi menyelamatkan segelintir individu pemilik modal.

Hal ini terjadi karena kapitalisme global secara terang-terangan merepresentasikan ketidakadilan dalam memperoleh keuntungan kumulatif. Masyarakat yang mengalami kekalahan dan kerentanan ini dengan mudah mengantagoniskan kapitalis global. Ia dianggap sebagai biang atas ketimpangan dan ketidakpastian hidup yang mereka alami.

Masa Depan Demokrasi Liberal

Demokrasi liberal dapat diperkuat dengan mengurangi ketimpangan, tapi penanganan ketimpangan mensyaratkan pembatasan terhadap kekuatan pasar, kompetisi, dan akumulasi kapital. Begitu juga sebaliknya, meningkatkan kebebasan pasar secara otomatis akan memperparah ketimpangan yang berimplikasi pada pembatasan demokrasi. Jika masalah kepemilikan (ownership) dibiarkan tidak terselesaikan, demokrasi hanya berfungsi untuk melayani akumulasi kapital.

Titik akhir pembahasan dalam tulisan ini adalah bahwa kontradiksi mendorong perkembangan sejarah. Jika tidak ada kontradiksi antara dan di dalam pasar bebas dengan demokrasi liberal, tatanan masyarakat seharusnya telah mencapai bentuk akhirnya. Namun, kontradiksi demi kontradiksi terus bermunculan baik antara sistem pasar bebas dan demokrasi, maupun di dalam masing-masing komponen pembentuknya. Logika yang melekat dari mekanisme pasar bebas menimbulkan ancaman bagi demokrasi. Sementara perluasan demokrasi tidak bisa tidak akan membatasi kebebasan pasar dan menghentikan roda akumulasi kapital.

Di penghujung wawancaranya dengan The Washington Post (2017), Fukuyama membiarkan pintu “sejarah” terbuka untuk ketidakpastian pada masa depan, ia berujar “Perhaps this very prospect of centuries of boredom at the end of history, will serve to get history started once again” (Tharoor, 2017). Pernyataan Fukuyama ini dan perkembangan dunia yang penuh kontradiksi. Menegaskan kembali kepada kita bahwa perubahan bentuk tatanan masyarakat pasca-kapitalisme adalah hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Dapatkan bukunya di sini.

Sumber :

Chen, S., and Ravallion, M. (2013) ‘More Relatively-Poor People in a Less Absolutely-Poor World’, Review of Income and Wealth, Vol. 59, Issue 1, pp. 1-28.

Fukuyama, Francis. Identitas. 2020. Bentang Pustaka: Yogyakarta.

ONS. (2017). People In Employment on a ZeroHours Contract [online].

Polimpung, H. Y. (2018). Ngomong-ngomong Apa itu Pekerja Prekariat [online].

Tharoor, I. (2017) The Man Who Declared The ‘End of History’ Fears for Democracy’s Future [online].

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

© Copyright - Bentang Pustaka