Tag Archive for: emha ainun nadjib

Mbah Nun Bertutur: Ungkapan Emha tentang Jati Diri Bangsa yang Terkikis

Emha Ainun Nadjib dalam karya terbarunya yang berjudul Mbah Nun Bertutur mengungkapkan bahwa tanpa disadari, kita telah kehilangan jati diri bangsa. Jati diri bangsa Indonesia sudah dikikis total oleh sekularisme negara yang kita jalankan.

Baca juga: Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Salah satu penyebabnya adalah rakyat manut saja karena tidak pernah diberi tahu beda kasus antara sekularisme dan sekularisasi. Banyaknya konflik kepentingan yang beradu dalam menjalankan negara juga menjadi faktor yang memperparah keadaan.

Bangsa Indonesia Tidak Punya Pemimpin

Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah punya pemimpin di negaranya, begitu tutur Mbah Nun dalam bukunya yang terbit April 2021 lalu. Tidak pernah ada kepemimpinan dengan kematangan nilai-nilai kehidupan, kearifan dalam kebersamaan, kecanggihan dalam kedamaian, komprehensif-dialektis dalam menangani keragaman. Bahkan, sekadar profesional di bidangnya pun tidak. Mbah Nun beropini bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermain-main ketika memilih pemimpin, bahkan dengan berani memain-mainkan nilai-nilai kehidupan, meremehkan ketergantungan dan kebutuhan manusia terhadap harmoni.

Implementasi Pancasila yang Gagal

Sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun dianggap tidak benar-benar diterapkan dalam praktik kehidupan bernegara. Tak ada kesungguhan dari pemerintah, kaum ilmuwan, para negarawan, dan kelas menengah untuk mengelaborasi sila pertama menjadi aplikasi dan implementasi dalam bidang sosial, politik, hukum, dan budaya. Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 1945 hingga sekarang, Mbah Nun menilai bahwa setiap orang, tokoh, dan kelompok, memfokuskan langkahnya demi pelampiasan kepentingan golongannya sendiri.

Mayoritas Bangsa Indonesia Muslim, Seharusnya…

Jika mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam, seharusnya kehidupan bangsa Indonesia ini penuh keteduhan budaya, kelembutan perilaku, kedamaian sosial, keseimbangan berpikir, keutuhan kepribadian, kematangan manajemen, ketertataan bermasyarakat dan negara. Apabila sebuah negara mayoritas warganya beragama Islam, mestinya kebaikan, kebenaran, dan keindahan menguasai wilayah-wilayahnya. Sementara keburukan, kebrutalan, pencurian, korupsi, dan segala macam yang munkar tersingkir dan terpinggirkan. Namun, mengapa bukan pemandangan seperti itu yang kita jumpai di Indonesia? Bahkan, ada kecenderungan sebaliknya?

 

Bangsa Indonesia menggembor-gemborkan Pancasila sebagai dasar negara, tapi semua perilaku kenegaraan dan langkah-langkah pemerintah adalah copy-paste sekularisme global. Tidak ada konteks martabat sebagai bangsa dan manusia. Dalam wacana pemerintahan dan kenegaraan Indonesia, tidak ada urusan dengan harga diri bangsa.

Jika, kalau, bila, dan andaikan… Harus berapa pengandaian lagi yang disebutkan untuk menggambarkan Indonesia? Kapan bangsa kita akan sampai pada titik kata-kata pengandaian itu tak lagi diperlukan?

Baca selengkapnya tulisan terbaru Emha Ainun Nadjib dan opininya terhadap Indonesia dalam Mbah Nun Bertutur. Dapatkan segera bukunya di sini. Ikuti informasi terbaru tentang buku-buku Emha dari Instagram Pustaka Cak Nun.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Apakah kamu termasuk salah satu orang yang kerap memikirkan kondisi negeri? Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar, terwujudnya persatuan dan kesatuan adalah hal yang kita impikan bersama. Namun, tentu saja itu tidak mudah dicapai.

Baca juga: Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat merupakan satu dari sekian syarat agar Indonesia bisa menjadi negara demokratis yang utuh. Emha Ainun Nadjib, dalam karya terbarunya Mbah Nun Bertutur, mengemukakan opininya terhadap kondisi Indonesia dengan gamblang.

Indonesia Gagal Mengelola Perbedaan

Mbah Nun dengan berani menyatakan bahwa Indonesia di era modern adalah negara yang gagal mengelola perbedaan, kecuali mengatasinya dengan otoritarianisme radikal, pembubaran, pembunuhan, atau de-eksistensi konstitusional. Menurut sang penulis, bahasa yang digunakan akhir-akhir ini untuk mengalamatkan hal itu sangatlah radikal. Makar, sempalan, ekstremis, teroris, dan anti adalah beberapa di antaranya.

Tak hanya itu, Indonesia kini diperkokoh oleh aktivis-aktivis Islam yang berpikir datar dan linier, sama radikal dan otoriternya. Hampir semua yang tidak sejalan dengan mazhab yang dipercaya oleh golongan mereka dituding haram, bidah, syirik, tagut, atau kafir. Perbedaan dan diversitas dipandang sebelah mata. Oleh beberapa pihak, justru dianggap sebagai pedang pemecah belah. Toleransi? Sepertinya bangsa kita memerlukan pemaknaan baru untuk itu.

Semboyan Indonesia: Bhinneka Gagal Ika?

Mbah Nun melihat bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak mengerti nasib mereka, tidak memahami apa yang sedang menimpa mereka, apalagi yang akan menimpa mereka pada masa depan. Rakyat sama sekali tidak mendapat peluang pendidikan politik dan kenegaraan pada pratik nyatanya. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan umumnya hanya berfokus pada menghafal Undang-Undang Dasar (UUD), Pancasila, dan sederet pasal. Namun, pemaknaannya nihil.

Mengutip dalam Mbah Nun Bertutur, bangsa Indonesia melahirkan buzzer-buzzer perusak kehidupan, pengkhianat sejarah, dan pembunuh nilai-nilai dasar kemanusiaan. Bagi Emha, Indonesia adalah bangsa yang pemerintahnya selalu sombong dan omong besar tentang persatuan serta kesatuan, padahal tidak punya ilmu dan wibawa untuk mempersatukan. Selalu omong kosong tentang Bhinneka Tunggal Ika, padahal praktiknya selalu Bhinneka Gagal Ika.

 

Mbah Nun Bertutur memang berisi banyak tentang cerita kehidupan Emha muda, tetapi kritik dan opini terhadap situasi negara yang tak pernah luput dituangkannya dalam setiap karyanya menjadikan buku ini bacaan yang reflektif dan kontemplatif. Meskipun periode prapesan telah berakhir, Mbah Nun Bertutur masih dapat ditemukan dalam katalog Bentang Pustaka di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Membincang fenomena Emha (meminjam istilah Halim HD) memang tak pernah ada habisnya. Pemikirannya selalu menembus batas-batas demarkasi intelektual, dimensi spiritual, bahkan standar moral di tengah-tengah masyarakat. Gerakan sosialnya pun menarik karena naluri aktivismenya yang selalu memposisikan diri di luar arus dan pagar mainstream. Energi hibrida agamawan-budayawan-aktivis-penulis-oratornya membuatnya tak pernah absen dari upaya memadukan aneka rupa senyawa estetika, religiusitas, sosial, politik, dan kultural kedalam sebuah bejana kehidupan yang tidak hanya harmonis, tetapi juga puitis dan terkadang magis.

Sebagai mahluk multidimensi yang langka, tidak mengherankan jika ia sering disalahpahami oleh banyak kalangan. Tak jarang frekuensi kepentingan orang-orang di kursi kuasa, di pucuk kharisma, dan di hulu-hilir niaga terganggu oleh dentingan Saron dan Bonang serta lautan tinta kritisisme seorang Emha. Tak sedikit pula dari mereka yang pernah aktif di lingkaran utama towaf dan jalur sa’i sosial-budaya sang ‘Kiai Mbeling’ ini datang dengan puja dan cinta namun pergi dengan iri dan dengki semata karena salah menilai Emha.

Kesalahpahaman itu mungkin wajar terjadi. Pertama karena memang ada kecenderungan kronis di masyarakat kita, ketika memandang sebuah fenomena budaya, sosial, bahkan politik dengan kacamata kuda. Kedua karena Emha ini memang tipe manusia ruang yang mampu menampung, bukan perabot yang selalu membutuhkan tempat bernaung. Trajektori hidupnya bukan sekolah-kuliah-harta melimpah-hidup mewah, tetapi nyantri-berpuisi-berdramaturgi-jalan sunyi. Ini membuat upaya untuk memahaminya harus dilakukan dengan dua pendekatan sekaligus. Dari sudut pandang etic yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh para kritikus dan khalayak. Juga dari sisi emic yang mencoba menggali relung-relung terdalamnya yang selama ini tersembunyi.

Mbah Nun Bertutur, buku terbaru Emha yang diterbitkan Bentang Pustaka April 2021 ini menawarkan narasi emic yang sedikit berbeda tentang fenomena Emha. Buku ini bisa juga disebut autoethnography atau otoetgrafis karena seluruh isinya merupakan hasil self-reflection atas pemikiran dan pengalaman Emha sendiri sejak kecilnya hingga tiga perempat abad perjalanan hidupnya. Dari judulnya saja, ada dua nuansa utama yang tersirat. Pertama Mbah, sebuah panggilan dalam khazanah budaya Jawa yang mengisyaratkan hubungan lintas generasi, tetapi juga mengandung nilai ‘keramat’, penghormatan, tetapi juga kasih-sayang terutama dari para cucunya. Kedua bertutur, ini juga idiom Jawa yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna amelioratif dari sekedar bercerita atau bercakap-cakap. Ada Nuansa reflektif si Mbah yang amat merindukan cucu-cucunya, dan sebaliknya, saling bertutur di gardu tengah desa menjelang senja.

Dan nampaknya, momentum pandemi Covid-19 yang sudah berlangusng lebih dari setahun ini memberikan ruang kontemplatif yang begitu tenang dan dalam bagi Emha. Berbagai macam untold stories yang selama ini tertimbun oleh padatnya jadwal keliling dan seluruh aktivitas publik yang ia jalani tanpa henti terselip di buku ini. Sejak masa kecil di Jombang, nyantri di Gontor, masa muda di Jogja yang begitu transformatif, hingga pergumulan di hampir semua arena teater sosial Indonesia di semua cita-rasa presiden yang memimpinnya, bahkan ‘penggelandangan’ pribadi dan pentas-pentasnya bersama Kiaikanjeng di seluruh benua, hampir semua tertutur singkat di sini. Ada banyak anekdot, pemaknaan baru, bahkan pengakuan faktual di sana-sini yang membuat pembaca buku ini lebih ngeh, sambil sesekali menganggukkan kepala seraya bergumam “oh…ternyata…”

Kekhasan buku-buku Emha selama ini memang seperti jembatan. Isinya kumpulan essai yang dirangkai menjadi satu buku tematis yang dalam beberapa kesempatan ia sebut berposisi diantara puisi dan artikel. Dan format ini memungkinkan jangkauan pembaca yang lebih inklusif. Namun demikian, keberpihakannya kepada wong cilik nampak tetap sangat jelas dari hampir semua judul yang diangkat di banyak bukunya, termasuk di buku ini. Sehingga kaum elit yang meskipun secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati subliman pesan-pesan mendasar dari beragam tulisan Emha, mereka akan enggan mengonfirmasinya ke publik bahwa inspirasinya dinukil dari sana.

Etos utama bertuturunya masih sangat kentara, yaitu dengan dua nafas utama. Pertama, dekonstruksi atas doktrin agama, nilai budaya, pakem sosial, formula politik, maupun, collective believe yang berlaku di masyarakat. Kedua, kecenderungan ‘menggugat’ seluruh bentuk institusionalisasi dan formalisasi dari semua dialektika tersebut, yang dalam banyak aspek memang mengkerdirkan logika dasar kemanusiaan, persaudaraaan, dan saling menghargai sesama.

Yang menarik, berbeda dengan banyak sekali buku-buku Emha sebelumnya, buku ini lebih ‘literatif’ menggunakan rujukan tekstual agama dari Alquran maupun hadist. Ini penting untuk dicatat. Banyak intelektual Muslim berangkat dari teks agama di masa mudanya, kemudian baru menemukan pemahaman mendasar dan konteksnya di masa tua. Tetapi Emha, ia menyelami berjuta konteks untuk memahami nilai-nilai substansial agama sejak masa muda, baru kemudian merangkai simpul-simpul justifikasi teksnya di usia senja.

Dan ini mungkin yang membuat narasi bertuturnya lebih mengena, karena basis empiris di kehidupan nyatanya begitu luasnya. Dan ini pula yang barangkali membawanya ke berbagai permakluman dan permaafan kepada kedunguan siapa saja yang mendiskreditkannya, mencatut namanya, dan mengkapitalisasi ide dan kreativitasnya. Perlu diingat, ‘karir’ intelektualnya memang bukan dibangun dari kepiawaiannya menelan teori dan formula, tetapi dari meneliti setiap kata. Buku pertamanya bukan karya akademis yang jelas jarak antara penulis dan yang ditulisnya, tetapi kumpulan puisi tentang frustasi hidupnya. Judulnya saja “M” Frustasi (1975) yang mengisyaratkan betapa “Frustasi”-nya seorang e”M”ha dengan dunia seisinya.

Meskipun ada juga ekspresi-ekspresi kejengkelan atas ulah para milenial manja, atas ketidakseriusan para pemangku hajat anak bangsa, dan atas kesembronoan para cerdik pandai memilih diam seribu bahasa, Emha yang sudah menjadi ‘Mbah’ masih terus menaruh harapan besar kepada para cucunya. Mulai dari mereka yang masih setia bertani di desa-desa, yang terpaksa pergi ke kota demi nafkah keluarga, hingga para kaum papa di jalanan dan di trotoar peradaban dunia maya. Frustrasi itu sebuah energi, yang jika dituturkan akan ada kemungkinan untuk ditransformasikan. Dan energi tak pernah bisa dimusnahkan, karena ia juga tak bisa diciptakan.

Akhirnya, dengan segala analogi, imajinasi, dan empatinya, sangkan paran buku Mbah Nun Bertutur ini sebenarnya bukan tentang Emha yang menuturkan dirinya. Ini buku tentang anak bangsa yang menuturkan masa depan Indonesia.

 

Ulasan buku Mbah Nun Bertutur oleh Ahmad Karim

(Mahasiswa program doktoral Departemen Antropologi Universitas Amsterdam Belanda)

Memaknai Kehidupan dengan Mbah Nun Bertutur

Bukan Emha Ainun Nadjib namanya jika tulisan-tulisannya tidak membuat para pembaca berefleksi. Karya terbarunya, Mbah Nun Bertutur, bukan hanya sebuah memoar yang menceritakan masa muda Emha ketika bertemu dengan berbagai sosok penting dalam hidupnya.

Baca juga: Karya Baru Emha Ainun Nadjib: Mbah Nun Bertutur, Akan Menemanimu pada Bulan Ramadhan!

 

Buku ini tidak hanya berisi catatan ingatan Mbah Nun mengenai bagaimana benih sebuah komunitas dituai dan ditumbuhkan. Mbah Nun Bertutur mengajak kita untuk memaknai kehidupan yang selama ini kita jalani.

Hidup Tidak Sekadar Dijalani

Menurut Habib Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman dan salah satu pembaca pertama Mbah Nun Bertutur, hidup pada dasarnya merupakan perihal makna. Hidup adalah tentang bagaimana kita memaknai, menafsiri, dan memberi nilai pada setiap peristiwa yang kita alami sehari-hari. Namun, makna bukan sesuatu yang bisa kita petik segera setelah sebuah peristiwa kita alami atau selepas diberikan cobaan.

Dalam bukunya, Mbah Nun mengatakan bahwa banyak hal yang semasa usia muda kita perjuangkan, tetapi baru kita sadari esensi maknanya ketika tua. Reflektif. Buku ini mendorong para pembaca untuk kembali membuka kisah pada lembaran-lembaran lama dan merenungkan runtutan peristiwa kehidupan.

Makna Kehidupan Bersifat Personal

Pemaknaan sifatnya sangatlah personal. Contohnya, bahkan jika ada dua orang mengalami kejadian yang sama persis, bagaimana mereka memaknai insiden tersebut jelas akan berbeda. Mungkin, satu orang merasa bersyukur dan seorang lagi menganggapnya sebagai hukuman yang tak adil. Bagaimana kita memaknai peristiwa lampau, akan memengaruhi bagaimana kita bertindak pada masa depan.

Melalui buku ini, selain bisa mengupas cerita Emha semasa muda hingga sekarang ini, kita juga bisa belajar bagaimana cara Mbah Nun memandang peristiwa lampau di kehidupannya, menyerapnya untuk kemudian menemukan nilai-nilai yang membentuk sebuah makna.

“Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya.”

Mbah Nun Bertutur masih dalam periode prapesan. Kamu bisa memilih dua paket prapesan yang ditawarkan. Jika memilih paket 1, kamu akan mendapatkan buku bertanda tangan digital Emha Ainun Nadjib. Apabila menjatuhkan pilihan pada paket 2, kamu bisa memiliki buku bertanda tangan dan kaus eksklusif. Ikuti prapesannya di sini sampai tanggal 18 April 2021! Pantau terus Instagram Pustaka Cak Nun untuk info terbaru karya-karya Mbah Nun!

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Emha Mbah Nun Bertutur

Karya Baru Emha Ainun Nadjib: Mbah Nun Bertutur

Jika kamu bertanya-tanya buku apa yang cocok, karya terbaru Emha Ainun Nadjib adalah jawabannya, berjudul Mbah Nun Bertutur. Penulis yang akrab dipanggil Mbah Nun ini selalu aktif menuangkan buah pikirnya dalam bentuk kolom, artikel, dan esai. Kira-kira, Mbah Nun Bertutur akan membahas tentang apa?

Lanjutan Indonesia Bagian dari Desa Saya?

Ada pertanyaan menarik di sini. Beberapa telah berasumsi bahwa Mbah Nun Bertutur merupakan “sekuel” Indonesia Bagian dari Desa Saya? Tidak, Mbah Nun Bertutur dan Indonesia Bagian dari Desa Saya bukan merupakan buku serial. Namun, karya terbaru ini akan sangat “nyambung” apabila dibaca setelah Indonesia Bagian dari Desa Saya yang terbit tahun lalu.

Bahasan lebih lanjut mengenai modernisme dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya, akan kamu temukan dalam Mbah Nun Bertutur yang menuliskan bahwa modernitas adalah anak sulung dari sekularisme. Melalui buku ini, para pembaca juga akan diperkenalkan dengan karya kesenian, “musik-puisi” yang menghiasi jagat budaya Yogyakarta pada akhir 1970 sampai awal 1980-an.

Musik-Puisi, Keseimbangan yang Ciptakan Harmoni

Jangan salah sangka, ini bukan musikalisasi puisi, puitisasi musik, puisi-musikal, atau pun musik-puitis. Mbah Nun memilih idiom musik-puisi sebab kadar dan peran keduanya dikelola untuk tetap seimbang dan komplementer. Ini bukan bunyi musik yang diaransemen sehingga menjadi puitis. Bukan pula puisi yang dinyanyikan jadi penampilan musikal. Bukan juga pembacaan puisi yang diiringi musik ilustratif. Dan bukan musik yang memimpin. sedangkan puisi jadi pelengkap penderita.

Bahkan, kalau kita menyebutnya “puisi-musik” pun tidak masalah karena keduanya seimbang. Mereka sama-sama berperan, menjadi dasar pertimbangan, dan sumber inspirasi kreatif, musik dan puisi menghiasi satu sama lain hingga menghasilkan harmoni. Penyatuan, keseluruhan, dan keseimbangan. Itu adalah makna dari karya musik-puisi menurut Mbah Nun.

Emha Mbah Nun BertuturMbah Nun Bertutur karya Emha Ainun Nadjib Sudah Hadir

Masih dengan gaya tulisnya yang sama, dicampur dengan istilah bahasa Jawa, disisipkan pengetahuan tentang Islam, dan diselipkan kebudayaan Indonesia, Mbah Nun Bertutur akan menjadi sebuah karya yang membekas di hati para pembaca. Dapatkan bukunya di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Penyadaran Moralitas Kebudayaan Indonesia melalui Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia melalui Indonesia Bagian Desa Saya, buku karya Emha Ainun Nadjib yang diusung dalam kumpulan esainya yang kemudian diterbitkan untuk ketiga kalinya oleh Bentang Pustaka. Seketika buku ini menjadi salah satu buku daftar bacaan utama saya karena terdapat beberapa bagian esai Cak Nun yang selinier atau memiliki kesesuaian dalam kehidupan.

Rupanya, buku Indonesia Bagian dari Desa Saya ini membahas perihal kemajuan zaman yang dipandang dari sudut kehidupan desa. Memaknai kemajuan zaman sebagai produk sosial yang masih belum bisa berdiri tegak sempurna dikarenakan banyaknya aspek yang belum terpenuhi, seperti kegagapan masyarakat desa terhadap kedatangan teknologi, perceraian kekeluargaan dan kebersamaan di dalam kehidupan kita, serta kehidupan saat ini layaknya “dilebih-lebihkan” untuk menjadi yang utama.

Berikut ini saya sajikan beberapa alasan mengapa buku Indonesia Bagian dari Desa Saya sangat patut masuk dalam daftar bacaan kalian yang terlebih menyukai buku-buku sosial budaya dalam pengemasan bahasan yang ringan dan mudah dicerna.

Desa dan Indonesia, seperti apa?

Meminjam kata Cak Nun, “Desa Saya Bagian dari Indonesia” adalah sebuah tataran ilmu. “Indonesia Bagian dari Desa Saya” adalah tataran yang lain, bisa lebih tinggi, bisa lebih luas. Atau kedua-duanya berfungsi sekaligus. Dialektis-dinamis. Ulang-alik dialektika pandangan, kesadaran dan kecerdasan pada saat Cak Nun menginjak usia muda.

Desa menjadi bagian dari Indonesia dan di dalam Indonesia terdapat desa. Kedua elemen tersebut tak dapat dipisahkan. Layaknya sistem sosial, jika ada satu elemen yang tidak berfungsi lagi, maka tatanannya akan berubah. Desa akan menjadi sebuah kerinduan kita semua jika ada sesuatu yang “hilang” dari dalam isinya. Bisa saja dengan adanya modernitas dan globalisasi, desa menjadi tergerus oleh arus-arus transformasi.

Ya, di dalam buku ini akan memaparkan betapa riuh ketimpangan yang sangat mencolok nyata antara desa dan kota, desa dan Indonesia, serta tatanan di dalam sistemnya. Indonesia belum benar-benar ‘hidup’ sesuai apa kata pendahulu. Perlu adanya kesadaran diri dari manusia jika sebuah tranformasi yang menanamkan kaidah ingin tetap ada.

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia: Modernitas era kini

Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya: Saat ini kita sudah berada pada zaman yang menggandrungi hal-hal baru dan terkini. Hal-hal baru tersebut telah membawa kita dalam percepatan informasi. Naif rasanya jika kita tidak atau belum mencicipi kemajuan zaman sekarang ini. Namun, permasalahannya yaitu banyak dampak negatif dari kemajuan–yang katanya modern–yang belum bisa kita alihkan ke arah positif.

Individualitas semakin kentara, pengabaian kebudayaan yang terdahulu menjadi membuat mata semakin melek, sifat keakraban & kekeluargaan menjadi hal asing, dan lebih parahnya modernisasi selalu diikat dengan tali kemewahan. Tak sanggup rasanya jika seisi dunia harus digeneralisasi dengan satu jalan kehidupan saja.

Jika dahulu kita makan hanya dengan menu: nasi, tempe, tahu, telur, dan ayam saja sudah syukur alhamdulillah, kini dalam era modern–tepatnya zaman konsumerisme yang telah muncul ke permukaan–makan dengan menu tersebut tentunya kurang. Akan ada yang lebih, lebih, dan lebih. Pada faktanya, kita belum benar-benar bisa memberikan sikap konsumerisme yang tepat. Kita masih terjebak dalam konsumerisme yang bernilai negatif. Tata ekonomi menjadi amburadul dan bertolak dari rasa susila dan kesamaan sebagai bangsa. Pun sifat kapitalis menjadi tak terelakkan.

Relevan dengan kehidupan

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia dengan buku Indonesia Bagian dari Desa Saya akan masih sangat relevan jika dibaca pada saat sekarang. Melalui buku ini, kita bisa belajar banyak bagaimana cara menanamkan moralitas untuk diri manusia, khususnya anak-anak muda. Mengapa perlu penanaman moral? Menjadi penting ketika kita pada era modern globalisasi ini kita terpapar hal-hal luar yang sebenarnya bisa merusak citra diri dan entitas diri, tetapi kita sering menerima dan meng-iya-kannya. Perlunya filterisasi dan pencerahan melalui buku ini.

Selain itu, buku ini juga menyadarkan kita betapa pentingnya budaya yang telah ada dikukuhkan kembali demi terciptanya sistem sosial yang kuat dan tak mudah goyah diterpa zaman. Boleh dikatakan, sah-sah saja ketika ada kemajuan zaman dan peradaban menjadi kencang, tetapi jangan sesekali menghilangkan tataran baik yang sudah terbentuk dari zaman dulu. Penguncian karakter diri diperlukan agar membuat kita mengerti batasan-batasan dalam berperilaku.

Kita sangat membutuhkan panggilan jiwa agar tak lupa harkat dan martabat kita menjadi manusia. Mengejar kebudayaan modern tak akan ada habisnya, diperlukan juga kontrol diri yang membuat moralitas kehidupan menjadi terimbangi. Semoga dengan adanya menilik lebih dekat buku Indonesia Bagian dari Desa Saya, kita lebih bisa berkaca pada pengalaman hidup dan menemukan jalan terang zaman ini mau dibawa ke arah seperti apa. Kunjungi laman bit.ly/indonesiadesasaya untuk melakukan pembelian bukunya!

Pamungkas Adiputra.

Baca Juga: Tips Pembentukan Karakter Anak Guna Membentuk Pola Ekspresi Diri 

 

Tips Pembentukan Karakter Anak Guna Membentuk Pola Ekspresi Diri

Pembentukan karakter sama halnya dengan penentuan identitas diri. Hal tersebut menjadi penting terlebih saat anak akan memasuki proses kedewasaan. Jika berada dalam tahap proses kedewasaan anak sudah memiliki pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini, maka penentuan identitas diri pun bisa terbentuk dengan baik sesuai dengan tatanan nilai dan norma. Sayangnya, tak semua anak bisa memiliki pembentukan karakter yang baik, beberapa ada yang menyimpang dari tatanan nilai dan norma.

Menjadi suatu gejala sosial jika anak-anak berperilaku menyimpang dari tataran sosial. Ekspresi diri dari perilaku sosial yang menyimpang menunjukkan adanya kurangnya wadah bagi anak-anak muda berkarya dan menuangkan segala aspirasinya. Oleh sebab itu, penyimpangan karakter anak menjadi meluas dan menyebar di lingkungan sosial. Tambahan mengapa penyimpangan karakter masih ada karena disebabkan oleh tatanan nilai yang disebarkan oleh orang tua, masyarakat, dan lingkungan pergaulannya kurang baik dan maksimal.

3 tips di bawah ini bisa dijadikan bahan referensi guna membentuk karakter anak sejak dini demi membentuk pola ekspresi saat dewasa bisa terjalin dengan baik.

Pembentukan karakter dengan penyelarasan orang tua dan anak

Pembentukan karakter untuk anak perlu diselaraskan dengan hubungan orang tua di dalam keluarga. Keluarga menjadi pembimbing dan pembina utama dalam proses pembentukan karakter anak. Berhasil atau tidaknya proses pembentukan karakter anak juga bisa diukur dari seberapa dekat keakraban penyampaian ilmu dari keluarga, terutama orang tua.

Penyelarasan pola pikir, misalnya. Tentunya akan ada perbedaan pendapat saat orang tua dan anak berargumen. Kita, sebagai orang tua tidak boleh langsung memberikan justifikasi negatif ataupun penolakan pendapat dari anak, tetapi harus mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat dari anak. Usahakan untuk menemukan benang merahnya. Jangan sampai berat sebelah–menguntungkan atau memberatkan salah satu pihak. Perlu diingat, orang tua tak bisa mengekang apa yang menjadi kemauan anak, tetapi di sisi lain juga harus memberi batasan yang semestinya (sesuai dengan porsi yang ada).

Dengan penyelarasan pola pikir tersebut, anak akan menjadi pengamat dan pemerhati yang baik untuk respons dan tindakan yang orang tua berikan. Tentunya, hal tersebut akan memengaruhi pola pembentukan karakter anak yang akan dibawa terjun ke dunia masyarakat.

Mengamati perilaku anak di lingkungan sosial

Pembentukan karakter anak setelah dilakukan di dalam keluarga selanjutnya yaitu mengamati perilaku anak di lingkungan sosial. Dalam tahap ini, kuat atau tidaknya nilai-nilai karakter yang ada di dalam diri mulai terlihat. Bagaimana penerimaan nilai karakter dan pengimplementasiannya sudah sesuai atau belum, maka harus diamati.

Pola ekspresi diri yang baik tecermin dari aktivitas keseharian yang dibentuk oleh anak.  Di sinilah peran pihak luar bekerja. Bagaimana caranya proses karakter baik tetap melekat dalam diri anak dan ekspresi diri yang disalurkan bisa sesuai dengan harapan. Mengamati perilaku anak nantinya akan berguna dalam tahap evaluasinya.

Evaluasi pembentukan karakter anak

Akan ada tantangan bagi si anak mengatur tarikan dan embusan kompleksitas permasalahan sosial, hal tersebut memengaruhi bagaimana karakter tercipta dengan baik. Oleh karena itu, peran orang tua yaitu mengevaluasi proses perjalanan pembentukan karakter anak. Jika ada hal-hal yang menyimpang, segera benahi dan dilakukan pembinaan yang lebih terarah dan strategis. Tetap diingat, terapkan pola pembelajaran penanaman karakter yang tidak membuat jemu anak.

Sudah menjadi keharusan, ada motif yang perlu ditelisiki mengapa ekspresi diri anak bisa terjadi sebuah penyimpangan. Tentunya, ada sebuah motivasi sosio-psikologis yang menjadi pemicunya. Maka dari itu, kita semestinya bisa menempatkan diri sesuai dengan posisinya: menjadi pembimbing untuk anak agar bisa memiliki karakter baik dan menjadi anak yang mengerti tindak tanduk yang mengerti batasan.

Harapannya, nilai-nilai moralitas, kultur sosial-budaya yang baik, dan menjadi anak yang dapat memberikan seruan-seruan positif dapat tertanamkan. Saat ini kita hidup di dalam era yang serba “maju”. Pola hidup rasanya dituntut agar ini-itu. Namun, meskipun begitu, kita tetap harus memiliki pendirian yang teguh. Jangan terbawa oleh arus ke sana-ke mari. Pola ekspresi diri harus terbentuk dengan baik. Hal-hal baik dimulai dari penanaman karakter agar tercipta identitas diri yang kuat agar tak mudah goyah dan meminimalisir penyimpangan sosial.

Berkenaan dengan bahasan pembentukan karakter anak demi pola ekspresi diri yang baik, ikuti segera pre-order buku Indonesia Bagian dari Desa Saya karya Emha Ainun Nadjib dari tanggal 1-23 November 2020 melalui laman bit.ly/indonesiadesasaya. Amankan paket hematmu segera, ya.

Pamungkas Adiputra.

Lanjut Baca: Buku Rekomendasi untuk Membentuk Karakter pada Anak

 

 

covid-19 konspirasi

COVID-19: Musibah Atau Konspirasi?

Covid-19: musibah atau konspirasi? Apa yang terlintas di pikiran Anda saat mendengar kata lockdown 309 tahun? Bagaimana rasanya jika akses satu daerah ditutup selama 309 tahun? Atau bagaimana kalau orang-orang dilarang (tidak boleh) beraktifitas di luar dan keluar rumah selama 309 tahun? Mungkinkah itu terjadi? Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan lain yang musykil mendapatkan jawaban pastinya. Untuk menemukan jawabannya, silakan nikmati paparannya dalam buku bersampul putih ini.

Covid-19: Musibah atau Konspirasi

Lockdown 309 Tahun adalah karya esai/buku Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun yang ke-48. Judul lockdown 309 tahun itu sendiri diambil dari kisah ashabul kahfi, yaitu tujuh pemuda berimana yang di-lockdown Allah selama 309 tahun dalam sebuah gua. “Beberapa pemuda yang bersembunyi di gua kahfi itu pendekar semua…Ilmu pengetahuan diri mereka mumpuni ilmu pertarungan mereka canggih. Olah senjata mereka tingkat tinggi. Tapi, Allah menyembunyikan mereka di dalam gua yang semua orang menyangka itu adalah sarang anjing sehingga  tak ada yang memasukinya, sebab di mulut gua itu terjurai dua kaki anjing Qithmir dan Raqim.” (hlm.13)

Buku Lockdown 309 Tahun ini berisi tentang refleksi penulis yang cemas terhadap situasi nasional dan internasional akibat COVID-19. Bisa apapun nuansa dan arah refleksi itu, tetapi yang pasti kasus dahsyat COVID-19 harus menjadi bahan perenungan atau keberangkatan baru untuk memperbaiki hidup manusia. Karena, Coronavirus tidak punya kesalahan dan dosa apapun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan dan keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan umat manusia dimuka bumi. COVID-19 bukan bagian dari jin atau manusia, yang pada ujung zaman kelak harus mempertanggungjawabkan perilakunya di forum hisab Allah. Corona dipancing, dirangsang dan direkayasa sendiri oleh budaya manusia, oleh ilmunya yang angkuh, oleh pengetahuannya yang congkak, dan oleh peradabannya yang penuh kibriya,” demikian penegasan penulis.

Lockdown 309 Tahun

covid-19 konspirasiMaksud dari penulis mengangkat tema ini adalah agar kita sebagai pembaca bisa belajar dari nilai hidup ashabul kahfi terutama dalam hal ketaatan menjalankan perintah Tuhan. Dan manusia mesti menyadari bahwa segala yang berasal dari tuhan pada akhirnya akan kembali. Namun, apa yang berasal dari Wuhan hampir tidak ada yang kembali ke Wuhan. Wuhan adalah tempat asal-usul, tapi bukan tempat kembali. Mungkin dari Wuhan COVID-19 menemani tuan rumahnya hingga ke liang kubur. Tuhan menaburkan rahmat, Wuhan menggali perasaan untuk melaknat. Lalu, Tuhan menanamkan nikmat, Wuhan menancapkan kesumat. Kemudian, Tuhan menyebarkan manfaat, Wuhan memancing kuwalat. Ketuhanan Yang Maha Esa, kewuhanan yang maha malapetaka. Tuhan menganugerahkan kekuatan, Wuhan memperluas kelemahan.

Covid-19 dan Buku Cak Nun

Di buku ini dibahas pula bahwa COVID-19 bukanlah fenomena alam melainkan hasil rekayasa kekuasaan manusia. Lalu, apakah Covid-19 adalah musibah atau konspirasi? Virus ini diciptakan di Universitas North Carolina Chapel Hill dan mereka menerbitkan hasil-hasil penelitiannya pada november 2015.  Dr. Zheng Li Shi, yang mewakili laboratorium spesialis patogen dan biosafety, Institut Teknologi Wuhan China. Dr. Shi adalah sosok sangat penting disini. Dari 2014, Dr. Shi menerima berbagai pendanaan dari pemerintah USA. Juga dari program nasional Basic Research China. Akademi sains China, Badan Nasional Natural Sains China program penelitian prioritas, akademi ilmiah China, untuk membantu mendanai penelitian Coronavirus.

Baca juga: Proses Kreatif Cak Nun dalam Buku Lockdown 309 Tahun

COVID-19 ini diasosiasikan sebagai virus frankestein (Frankestein adalah nama monster yang terdapat dalam cerita “Frankestein the Prometheus” karya Mary Shelly). Awalnya bukan virus yang menjangkiti manusia. Virus ini perlu berevolusi dulu, perlu berubah, dan membutuhkan waktu. Namun seiring berjalannya masa  virus ini dirancang dan direkayasa untuk tujuan tertentu.

Begitulah. Buku yang pembahasannya merakyat ini sungguh buku yang membuat pola berpikir pembacanya terbuka seluas-luasnya untuk menanggapi suatu kejadian. Pembaca diajak untuk menganalisanya bukan hanya dari satu aspek melainkan juga dari berbagai aspek. Sungguh buku yang luar biasa. Selamat membaca. (*)

 

Nabila Maisaroh, anggota Komunitas Pelajar Literasi (Komplit) “Sabha Pena” dan Kru Majalah Pendidikan “Al-Mashalih” di MAN Bondowoso

Muhasabah Diri Jamaah Maiyah

Muhasabah Jamaah Maiyah Selama Pandemi

Muhasabah Jamaah Maiyah: Tawakal dan Waspada

Muhasabah Jamaah Maiyah pernah disinggung Cak Nun dalam buku Lockdown 309 Tahun. Cak Nun menceritakan seluk-beluk virus yang telah membumi ini bersamaan dengan jamaah Maiyah yang dapat membentengi diri.

Berbekal jiwa, pola berpikir dan sikap mental tawakal, Jamaah Maiyah berperilaku sebagaimana biasanya. Mereka pergi ke mana pun sesuai dengan keperluan dan kewajibannya. Jamaah sangat berpasrah diri kepada ketentuan Allah apa pun yang akan menimpa dirinya.

Akan tetapi, pada saat yang sama, jamaah Maiyah memaknai “takwa” terutama pada dimensi “waspada”. Mereka waspada kepada keagungan Allah sehingga mengagumi-Nya. Menyadari dengan sangat kekuasaan Allah sehingga senantiasa menggantungkan diri kepada-Nya. Mereka sangat perhatian kepada dirinya sendiri. Jamaah Maiyah ber-muhasabah setiap saat dan terus-menerus terhadap tipisnya jarak antara–misalnya–tawakal dan takabur, yakin dan gedhe rumongso, bertakwa dan percaya buta, juga iman dan kesembronoan.

Wudu dan Ibadah

Jamaah Maiyah merawat kesehatannya, mengistikamahi wudu dan salatnya, menjaga jiwa takwa dan hati tawakalnya, mewakilkan kepada Allah segala sesuatu dan kemungkinan-kemungkinan yang berada di luar kuasa dan kemampuannya. Mereka memastikan bahwa seluruh keutuhan hidupnya semata-mata kepada Maha Penjaga Ka’bah, “Robba hadzal bait”. Sebab, itulah jalan dan rute untuk mendapatkan gaji langit: dijamin tidak kelaparan dan dipastikan dibebaskan dari rasa takut kepada apa pun kecuali Allah.

Kehidupan jiwa dan kesadaran pikiran jamaah Maiyah berpegangan total kepada Al-Qur’an. Darah daging otot syaraf Al-Qur’an di dalam hidupmu memberimu petunjuk melangkah ke mana, lewat sebelah mana, dan menuju ke mana. Jika sesuatu menempel pada jamaah Maiyah sebagai penyakit maka jiwa Al-Qur’an menyembuhkannya.

Mereka berbekal sejumlah pernyataan Allah, misalnya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Ia akan melindunginya dan memberi jalan keluar atas masalah yang menimpanya.” Dan bahkan, “Menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang di luar perhitungannya.” Arah datangnya kasih sayang Allah bukan di keramaian mal, stasiun, tempat belajar, forum publik, atau di mana pun. Jalan rezeki Allah adalah di jalan takwa setiap orang.

Cekatan dan Sadar Diri

Tidak perlu menunggu dan tergantung langkah pemerintah, Jamaah Maiyah sudah mengerti apa yang harus segera dilakukan. Namun, kalau pemerintah memberikan panduan yang rasional dan realistis, mereka wajib melaksanakannya. Para Maiyah mulai berhitung pada dirinya masing-masing untuk menentukan jangka waktu berdiam diri di dalam rumahnya selama kurang lebih 14 hari, masa inkubasi virus Corona. Dalam jangka dua minggu itu, kalau terjadi gejala-gejala, mereka wajib melakukan ikhtiar dan bergegas ke tenaga medis.

Kalau melewati masa itu tidak terjadi apa-apa pada diri jamaah Maiyah, mereka bisa meyakini bahwa dirinya ke luar rumah takkan mencelakai siapa pun dengan penularan. Namun, mereka tetap harus menjalankan penjagaan diri agar tidak tertulari.

Hakikatnya, ada atau tidaknya virus Corona, jamaah Maiyah dan yang lainnya diwajibkan untuk senantiasa menjaga diri, iman, dan takwa. Mereka diwajibkan untuk selalu menyertakan Allah Sang Maha Pencipta dalam setiap langkah kehidupannya.

Meskipun pandemi belum berhenti, teruslah bermuhasabah diri dengan meminta petunjuk dari Sang Ilahi.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

 

4 Tips Produktif Menulis ala Emha Ainun Nadjib

 

Hingga saat ini, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) telah menghasilkan puluhan judul buku. Dan, dua puluh tiga di antaranya telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Dalam setahun, Cak Nun bisa menerbitkan 3 hingga 5 judul buku sekaligus. Tak hanya mencengangkan dari sisi kuantitas, kualitas tulisan Cak Nun pun tak main-main. Genre yang dilakoninya pun beragam, mulai dari esai, syair, puisi, novel, hingga skenario teater. Tentu banyak yang bertanya-tanya, bagaimana kiat Cak Nun bisa sedemikian produktifnya dalam menghasilkan karya? Berikut ini empat tips produktif menulis yang bisa kita pelajari dari Cak Nun.

 

Peka Mengamati Fenomena Terkini

Pada 2020 ini, tercatat Cak Nun telah menerbitkan 2 buku baru, Lockdown 309 Tahun (Juni) dan Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar (Agustus). Memiliki pengalaman sebagai penulis esai dan jurnalis, Cak Nun rupanya begitu mengikuti informasi terkini. Tulisan-tulisan Cak Nun dalam Lockdown 309 Tahun merupakan refleksi atas merebaknya virus Covid di dunia. Buku ini bahkan bisa disebut sebagai buku pertama di Indonesia yang merespons langsung kegelisahan masyarakat ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar diterapkan pada Maret lalu.

 

Terbuka pada Berbagai Macam Pandangan

Sudut pandang yang sempit terbukti menjadi salah satu penghalang dalam upaya untuk produktif menulis. Hal tersebut dikarenakan persepsi yang dimiliki terbatas. Maka, karya yang dihasilkan pun hanya akan berputar-putar pada satu tema. Penulis pun akan kesulitan untuk melihat fenomena baru.

Tulisan-tulisan Cak Nun menunjukkan keluasan berpikirnya terhadap berbagai macam pandangan. Dalam buku Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar, Cak Nun mengkritisi fenomena fanatisme sempit dan penolakan untuk menerima pendapat yang berlainan. Supaya mudah dipahami pembaca, Cak Nun kerap menggunakan tokoh-tokoh imajiner dalam menanggapi suatu peristiwa. Dan, tokoh yang paling terkenal di antara mereka adalah Markesot. Tak jarang dialog yang ada dalam kisah tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemahaman yang saling bertentangan. Namun, para tokoh itu selalu menemukan jalan untuk tidak berpedoman pada kebenaran versi tunggal, tetapi kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang.

 

Tuliskan Semua yang Ada di Pikiran

Ada beragam teknik menulis yang bisa kita coba. Mulai dari menentukan judul terlebih dahulu, merencanakan outline dengan detail, atau membiarkan semua yang ada di pikiran mengalir deras. Cak Nun rupanya menggunakan metode yang terakhir. Orang-orang terdekatnya mengatakan bahwa ketika menulis, Cak Nun akan sangat fokus. Beliau bahkan tak pernah memencet tombol delete sekalipun. Hal ini menunjukkan kematangan konsep tulisan yang sudah dirancang di dalam pemikirannya.

 

Kreatif dalam Menentukan Judul

Judul yang unik dan ritmis bisa memicu penulis untuk semakin produktif menulis. Ada aura kebahagiaan yang terpancar dari tiap paragraf yang dituangkan. Dan, Cak Nun selalu mampu menemukan judul-judul menarik yang tak lekang waktu. Misalnya, ketika mengamati fenomena pengharaman musik di kalangan umat Islam, Cak Nun menulis esai dengan judul Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai. Esai ini menceritakan seorang kiai yang sangat getol melarang musik diputar di pesantrennya. Namun, suatu ketika terdengar bunyi musik lamat-lamat dari desa seberang, kaki Pak Kiai tak sengaja bergerak secara ritmis.

 

Nah, itu tadi empat tips produktif menulis yang bisa kita pelajari dari Cak Nun. Selamat mencoba!

© Copyright - Bentang Pustaka