Bagaimana Islam Memuliakan Perempuan?

Islam adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Di dalam Al-Quran, cukup banyak kisah yang menggambarkan betapa Islam memuliakan kaum perempuan. Hal itu juga membuktikan bahwa Islam adalah agama yang tidak membeda-bedakan. Islam tidak mendiskriminasi salah satu jenis kelamin seperti banyak opini yang berkembang. Banyak orang yang kurang memahami Islam memandang Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap kaum perempuan dengan segala batasan yang diberlakukan kepada mereka.

Beberapa kisah dalam Al-Quran membuktikan bahwa Islam benar-benar agama yang memuliakan kedudukan seorang perempuan, di antaranya kisah Maryam binti Imran, Khaulah binti Tsa’labah, kisah Ibunda Nabi Musa, serta kisah Aisyah radhiyallahu anha yang tidak lain adalah istri Nabi Muhammad Saw.

Maryam binti Imran

Maryam merupakan satu-satunya perempuan yang namanya disebut oleh Allah di dalam Al-Quran. Bahkan, ada satu surah, yaitu surah ke-19 di dalam Al-Quran yang dinamai Maryam. Selain di dalam surah Maryam, nama Ibunda Nabi Isa itu juga disebut dalam Surah Ali-Imran, Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Ma’idah, At-Taubah, Al-Mukminun, Al-Ahzab, Al-Hadid, As-Shaff, dan surah At-Tahrim.

Maryam sempat dicemooh dan dituduh telah melakukan zina karena mengandung Nabi Isa as. tanpa seorang suami. Ketika orang-orang di sekitarnya meragukan kesucian keturunan Nabi Daud as. itu, Allah sendiri yang kemudian menjamin kesucian dan kehormatan Maryam. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Surah Ali-Imran ayat 42 yang berarti “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).’”

Maryam merupakan seorang perempuan yang sangat memelihara kehormatannya, karena itu Allah meniupkan roh ke dalam rahimnya yang kemudian lahirlah Nabi Isa a.s. Al-Quran menggambarkan Maryam sebagai seorang perempuan yang suci dan terhormat sehingga Allah meninggikannya.

Khaulah binti Tsa’labah

Kisah lain yang menggambarkan bagaimana Islam memuliakan perempuan terdapat pada Surah Al-Mujadilah ayat pertama. Surat itu turun ketika seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah mengajukan gugatan kepada Nabi Muhammad Saw. tentang zhihar yang diakukan suaminya, Aus bin Ash Shamit. Khaulah mengeluhkan sikap kasar suaminya yang sudah tua kepada Nabi. Namun, Nabi justru menyuruh Khaulah untuk kembali ke rumahnya dan berbakti kepada suaminya yang sudah tua itu.

Saat itulah turun Surah Al-Mujadilah ayat pertama yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan, Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Nabi kemudian membenarkan sikap Khaulah. Begitu juga dengan para sahabat yang mengakui juga keutamaan perempuan tersebut. Para sahabat selalu diam mendengarkan perkataannya sebagai penghormatan terhadap perempuan yang telah didengar pengaduannya oleh Allah. Hal itu membuktikan bahwa Islam juga memiliki hukum yang adil untuk perempuan, tidak mendiskriminasi seperti yang sebagian orang sangkakan.

Ibunda Nabi Musa

Kisah berikutnya menceritakan tentang seorang perempuan, ibunda Nabi Musa as, Yokhebed. Saat melahirkan anak laki-lakinya, Fir’aun, penguasa saat itu tidak mengizinkan kelahiran anak laki-laki. Apabila ada anak laki-laki bani Israil, Fir’aun akan membunuhnya. Kisah ini diceritakan dalam Al-Quran di dalam Surah Al-Qassas ayat 7 yang artinya “Dan, kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan, janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”

Sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan anak yang sangat dicintainya, perintah tersebut sungguh berat bagi Yokhebed. Namun, keimanan dan ketaatannya kepada Allah mengalahkan segala rasa sedih dan khawatir, ia pun dengan tabah dan tawakal akhirnya memasukkan Musa ke dalam peti dan menjatuhkannya ke sungai Nil sehingga terbawa arus.

Kisah selanjutnya sudah kita kuasai, Musa kecil kemudian diselamatkan sendiri oleh Fir’aun atas permintaan istrinya. Dan, kemudian Musa-lah yang meruntuhkan pemerintah tiran Fir’aun.

Aisyah radhiyallahu‘anha

Kisah terakhir datang dari istri Nabi Saw, Aisyah radhiyallahu anha. Kisah tersebut terjadi ketika Aisyah dituduh berzina dengan seorang sahabat bernama Shafwan bin Muaththal oleh seorang munafiq bernama Abdullah bin Ubay. Berita tersebut dengan cepat tersebar, tetapi kemudian Allah sendiri yang membela Aisyah. Bahkan, melalui 10 ayat di dalam Surat An-Nur.

Allah juga memperingatkan kepada orang-orang yang memfitnah Aisyah berzina tersebut. Seperti yang disebutkan dalam ayat ke-17 yang artinya “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”

Beberapa kisah di atas membuktikan bahwa Islam adalah agama yang begitu memuliakan perempuan. Islam tidak membeda-bedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam artian yang diskriminatif. Sebaliknya, Islam sangat menjunjung kesetaraan melalui banyaknya kisah-kisah para perempuan terhormat yang Allah ceritakan di dalam Al-Quran.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

Mengenal Tokoh Mufasir Indonesia

Tokoh mufasir Indonesia ternyata diakui sampai ke luar negeri. Mufasir merupakan seorang yang ahli dalam bidang tafsir ayat-ayat suci Al-Quran.

Dalam buku Tafsir Al-Quran di Medsos, Nadirsyah Hosen menyebutkan beberapa tokoh mufasir Indonesia. Berikut sedikit penjelasan mengenai mereka.

Syaikh Abdurrauf As-Sinkili

Ulama besar asal Aceh, Syaikh Abdurrauf As-Sinkili (1615—1693) adalah pelopor tafsir di Nusantara. As-Sinkili merupakan ulama Nusantara yang memiliki reputasi internasional. Adapun karya As-Sinkili yang paling tersohor adalah Tarjuman al-Mustafid, sebuah kitab tafsir berbahasa Melayu-Jawi atau Arab-Pegon. Pada saat itu, bahasa Melayu dipakai dalam birokrasi pemerintahan, intelektual, hubungan diplomatik antarnegara, hingga perdagangan.

K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani

Pada masa yang lebih modern, ada juga K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani. Dia adalah guru para ulama di pengujung abad 19. Kiai Soleh, sapaan akrabnya, menulis sebuah kitab tafsir berjudul Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an, berkat dorongan R.A. Kartini yang juga merupakan muridnya. Awalnya, Kiai Soleh enggan untuk menafsirkan Al-Quran. Ia paham syarat menjadi seorang mufasir sangatlah berat. Namun, setelah dibujuk oleh muridnya tersebut, Kiai Soleh akhirnya luluh dan bersedia menuliskan kitab tafsir berbahasa Jawa. Kitab tersebut kali pertama dicetak di Singapura pada 1894. Kiai Soleh Darat yang merupakan guru K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan telah menandai salah satu fase perkembangan tafsir Al-Quran di Nusantara.

K.H. Abdul Sanusi

Pada 1930-an, ulama asal Sukabumi, K.H. Abdul Sanusi juga menulis kitab tafsir lengkap 30 juz yang berjudul Raudlatul Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an. Kitab tafsir itu ditulis dalam bahasa Sunda. Kiai Sanusi menulis 75 kitab dengan beragam perspektif keilmuan.

Buya Hamka

Sosok Buya Hamka muncul sebagai mufasir Indonesia pada masa setelah kemerdekaan. Buya Hamka menulis beberapa kitab tafsir. Salah satu yang paling tersohor adalah Tafsir al-Azhar. Ia mulai rintis penulisannya melalui pengajian subuh di Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta pada 1958. Karya monumentalnya itu ia terbitkan pada 1967.

K.H. Bisri Mustofa

Ayahanda K.H. Mustofa Bisri, K.H. Bisri Mustofa, juga turut menandai perkembangan tafsir Nusantara. Bisri Mustofa, mufasir asal Rembang, Jawa Tengah tersebut sebenarnya bukan nama asli. Nama aslinya adalah Mashadi, baru pada 1923 setelah pulang dari Mekah menunaikan ibadah haji, ia mengganti namanya menjadi Bisri Mustofa.

Karyanya yang paling monumental adalah al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an al-Aziz yang berjumlah 30 juz. Pengerjaan kitab tafsir itu kurang lebih empat tahun sejak 1957 sampai 1960. Kitab berbahasa Jawa ini juga telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Sunda, Indonesia, bahkan Belanda, Inggris, dan Jerman.

Kitab ini juga mendapat pujian dari beberapa ulama seperti Habsy Ash-Shiddiqi, Khadijah Nasution, serta sarjana Belanda, Martin van Bruinessen. Seorang profesor muda ahli tafsir dan hadis keturunan India, Muhammad Shahab Ahmed, juga tertarik mempelajari Tafsir al-Ibriz. Ia bahkan merekomendasikan kitab tersebut sebagai salah satu koleksi di perpustakaan Universitas Harvard.

Muhammad Quraish Shihab

Saat ini, Indonesia juga memiliki ulama dengan reputasi internasional, yakni Muhammad Quraish Shihab. Ia dikenal sebagai seorang pakar tafsir kontemporer yang merupakan jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir. Dari beberapa karyanya di bidang tafsir, Tafsir Al-Misbah yang terdiri atas 15 judul bisa dikatakan sebagai karyanya yang paling monumental. Dalam menafsirkan Al-Quran, K.H. Quraish Shihab selalu membandingkan pendapat dari pakar yang satu dengan lainnya. Beberapa pakar yang kerap menjadi rujukan K.H. Quraish Shihab ketika menafsirkan Al-Quran di antaranya Ibnu Faris, Tabatabai, serta beberapa Syaikh dari Al-Azhar.

Itulah beberapa tokoh mufasir Indonesia dalam Tafsir Al-Quran di Medsos. Sebenarnya masih banyak tokoh lain yang juga memiliki kontribusi besar. Misalnya, di Minangkabau tercatat ada lima ulama yang menuliskan kitab tafsir berbahasa lokal. Hal tersebut menunjukkan adanya orientasi pragmatis di antara mereka, yaitu agar tafsir lebih mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Beberapa mufasir Nusantara lainnya yang terkenal di antaranya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dari Banten, Syekh Muhammad Yunus, Ustadz A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, Abdurrahim Haitami, K.H. Abdul Mu’in Yusuf, Anregurutta Daud Ismail, Hasbi Asshiedqy, dan Prof. K.H. Didin Hafiduddin.

 

Kontributor: Widi Hermawan

 

Berikut, Orang-Orang yang Dilupakan Allah

Dalam ayat suci Al-Quran disebutkan salah satu golongan yang akan dilupakan Allah adalah golongan orang-orang munafik. Dalam Surah At-Taubah ayat (9) yang mengatakan bahwa orang munafik itu telah lupa kepada Allah hingga Ia pun akan melupakan mereka. Itu artinya, siapa saja yang meninggalkan Allah, maka Allah pun akan menjauh darinya.

Lantas, Siapa Orang-orang Munafik Itu?

Ada sebuah hadis yang sangat tersohor yang menjelaskan ciri-ciri orang munafik. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Kitab Al-Iman hadis nomor 33. Dalam hadis itu disebutkan ada tiga ciri-ciri orang munafik, di antaranya jika berbicara maka dia berdusta, jika berjanji dia akan mengingkari, dan apabila diberi amanah maka dia akan berkhianat.

Dalam Al-Quran, kata al-munafiqun sendiri disebutkan sebanyak 27 kali, sedangkan kata nifaq yang merupakan bentuk masdar-nya disebutkan sebanyak tiga kali. Bahkan, ada surah di dalam Al-Quran yang bernama al-munafiqun, yaitu surah ke-63. Surah ini turun ketika pasukan Nabi tengah berperang di tempat Bani Mustaliq. Di tengah peperangan tersebut, ada seorang dari kaum Anshar bernama Abdullah bin Ubay. Ia mencoba menghasut orang-orang Anshar untuk tidak menyokong kaum Muhajir tinggal di Madinah sampai mereka berpisah dari Nabi Muhammad.

Akan tetapi, ketika ditanya oleh Nabi, Abdullah bin Ubay dan teman-temannya bersumpah tidak pernah melakukan hal tersebut, bahkan ia sampai bersumpah atas nama Allah. Keesokan harinya, turunlah surah al-Munafiqun sehingga Nabi menjadi tahu hal yang sebenarnya.

Sementara itu, Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa ciri-ciri orang munafik di antaranya jika melihat penampilan mereka maka kita akan terpesona. Jika mereka berbicara maka orang lain akan mendengarkan karena manisnya mulut mereka. Pada intinya mereka lebih mementingkan aspek lahiriah sehingga membuat orang lain terpikat.

Akan tetapi, sebenarnya hati mereka kosong dari iman, seperti kayu mati yang bersandar, tidak ada kehidupan dalam diri mereka. Mereka selalu mengira setiap teriakan yang keras, kebenaran yang nyata, maupun peringatan yang jelas sebagai bencana yang ditujukan kepada mereka. Hal tersebut karena orang yang kerap berdusta, hati kecilnya akan selalu takut kebohongannya akan terbongkar, walhasil mereka menjadi paranoid.

Cara Memperlakukan Orang Munafik

Orang-orang munafik juga memandang orang lain sebagai musuh, padahal merekalah musuh sebenarnya bagi umat Islam. Mereka sangat senang membolak-balikkan kebenaran, bahkan mereka tidak segan berdusta atas nama Allah. Alih-alih mencari maslahat, mereka justru lebih gemar mencari tipu muslihat.

Meski ciri-ciri orang munafik sudah tergambar baik di dalam hadis maupun di dalam Al-Quran, jangan sampai kita mudah menganggap orang lain munafik. Justru dengan adanya ciri-ciri itu seharusnya membuat kita mawas diri, bukan malah digunakan untuk menyerang sesama Muslim. Di samping itu, memberi label kepada orang lain adalah hak prerogatif Allah.

Sayangnya saat ini, banyak orang yang begitu mudah menuduh orang lain munafik hanya karena persoalan perbedaan pilihan politik. Di media sosial, bahkan dengan mudahnya orang bertanya dengan nada yang seolah meragukan keislaman seseorang hanya karena perbedaan pendapat. Bahkan, saat sedang panas-panasnya gejolak pemilu lalu, sangat ramai ajakan untuk tidak menshalatkan jenazah mereka yang memilih pemimpin non-Muslim karena dianggap munafik.

Padahal, para ulama salaf sangat berhati-hati dalam menilai keimanan seseorang. Selama seseorang tampak secara lahiriah bahwa mereka shalat, menikah secara Islam, berpuasa Ramadan, mereka cukup dihukumi sebagai seorang Muslim secara lahiriah. Sementara itu untuk urusan hati, apakah ibadah mereka diterima Allah, hanya Allah sendiri yang tahu, dan orang lain tidak punya hak apa pun untuk memberikan penilaian kepadanya.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta