Self Improvement - Bentang Pustaka
mitos produktivitas

Jangan Sampai Terjebak 3 Mitos Produktivitas Ini!

Sebenarnya, definisi mitos produktivitas itu apa? Kita sering kali menganggapnya sebagai keberhasilan dari multi-tasking yang kita lakukan. Namun, sebelum menganggap diri produktif karena sibuk dengan banyak hal yang harus dikerjakan, kita harus mengenal 3 mitos produktivitas yang disebutkan Tanya Dalton dalam bukunya, The Joy of Missing Out.

mitos produktivitas

Mitos 1: Saya Lihai Merangkap Tugas

Angkatlah tanganmu apabila kamu pernah menyebutkan “mahir multi-tasking” dalam wawancara kerja, organisasi, kepanitiaan, atau kegiatan volunteer yang kamu lamar. Banyak orang sangat membanggakan kemampuan multi-tasking atau merangkap tugas.

Kita menyebutnya karena itu menjadi semacam lencana kehormatan, sebagai bukti keunggulan produktivitas kita yang seperti ninja. Permasalahannya, otak kita tidak dirancang untuk itu. Setiap bagian dirancang untuk mengerjakan satu hal pada satu waktu.

Berdasarkan hasil penelitian, ketika kita melakukan rangkap tugas, produktivitas kita justru merosot 40 persen. Kita kira itu membuat kinerja lebih cepat, tapi ternyata malah memperlambat dan merusak kualitas kerja kita. Semua orang ingin dianggap mampu, layak dapat pujian dan penghargaan. Pertanyaannya, mengapa kita merasa perlu membuktikannya?

Baca Juga: Capai JOMO dengan Perencanaan 5P

Mitos 2: Saya Tidak Punya Waktu untuk Istirahat

Sadar, tidak? Kita kerap memaksakan diri untuk mengerjakan banyak hal, walau tahu otak dan fisik kita sudah tidak kuat. Terkait dengan hal itu, mungkin kamu pernah dengar tentang ritme sirkadian? Itu adalah sistem waktu internal 24 jam yang digunakan semua makhluk hidup untuk mengatur waktu makan dan tidur. Itulah yang menyuruh kita terjaga selama 16 jam, lalu tidur 8 jam.

Di dalam ritme sirkadian, ada yang disebut ritme ultradian. Itu adalah siklus biologis singkat selama 90—120 menit yang berulang sepanjang hari. Pada paruh pertama ultradian, kita merasa bertenaga dan fokus, tapi setelah 90 menit, otak kita akan meminta istirahat. Otak manusia membutuhkan waktu minimal 20 menit antarsiklus untuk pulih. Para periset Stanford menemukan bahwa produktivitas kita merosot begitu waktu kerja mencapai 50 jam seminggu.

Apa kamu percaya? Pekerja yang lembur sampai 70 jam justru tidak menghasilkan apa-apa dari 20 jam tambahan itu. Mereka hanya membuang waktu, bekerja lebih lama, tapi menghasilkan lebih sedikit. Ini yang perlu dicatat, yang terpenting bukan lamanya waktu yang kita gunakan, melainkan kualitas waktunya.

Mitos 3: Teknologi selalu lebih baik

Ada sebuah pemahaman keliru yang umum, bahwa teknologi dibutuhkan untuk menjadikan segalanya lebih baik. Itu tidak benar. Teknologi memang lebih cepat, tapi mencatat ide dan rencana di kertas lebih efektif, lho! Saat kita mengambil pensil atau pulpen, reaksi otak kita akan berbeda dengan saat kita mengetik.

Menulis memicu sistem aktivasi reticular (SAR) yang memberi sinyal ke otak kita untuk memperhatikannya. SAR menjadi filter yang memeriksa seluruh informasi yang masuk ke otak. SAR juga mengarahkan fokus otak kita. Nah, menulis memicu SAR untuk menyuruh otak agar tetap siaga—informasi itu penting dan perlu disimpan supaya bisa diakses pada masa mendatang.

Sementara mengetik di komputer atau ponsel, tidak melibatkan SAR, maka catatan dan rencana yang diketik lebih mudah dihapus dari memori. Mencatat memang lebih efisien, tapi tidak efektif. Menulis membantumu merekam pikiran dan membentuk ide dan gagasan dengan cara menanamkan informasi.

Kesimpulan Mitos Produktivitas

Ketika dihadapkan dengan setumpuk pekerjaan, apakah kamu akan menyelesaikannya dengan efisien atau efektif? Ingat, efisien berarti banyak bekerja, sedangkan efektivitas mengerjakan yang penting saja. Ketika mengerjakan tugas atau pekerjaan, kita selalu ingin mengerahkan sedikit waktu dan tenaga, tanpa mengorbankan kualitas. Terkadang, kita terlalu tertekan dengan deadline sampai tidak sadar bahwa proses yang kita yakini bisa mempercepat kerja, justru jadi bumerang. Hindari mitos produktivitas tersebut dan temukan rahasia hidup efektif dan efisien di JOMO.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

JOMO: Tertinggal Bukan Bencana

Bukan tanpa alasan sang penulis memilih The Joy of Missing Out sebagai judul untuk buku yang menakjubkan ini. Tanya Dalton mengambil istilah yang dipopulerkan oleh Anil Dash dalam blognya, yaitu JOMO, Joy of Missing Out. JOMO merupakan antitesis dari FOMO, Fear of Missing Out, sebuah istilah yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 2004 di kolom The Harbus dalam majalah Harvard Business School oleh Partrick McGinnis.

FOMO dapat diartikan sebagai kecemasan yang muncul karena takut ketinggalan sesuatu, terutama yang sedang viral. Pada umumnya, orang-orang yang mengalami FOMO merasa gelisah apabila tidak membuka media sosial. Hal ini mengarah pada kecenderungan bahwa mereka tidak bisa menikmati momen saat ini karena terlalu terpaku pada apa yang sedang dilakukan orang lain di luar sana. Sementara itu, JOMO memiliki makna yang menenangkan kita bahwa tertinggal bukanlah sebuah bencana.

Seni Menghadapi Hidup Tanpa Rasa Panik

Maraknya media sosial pada zaman sekarang telah mengakibatkan banyak orang menjadi FOMO yang berujung pada standarisasi negatif, sebab merasa dirinya tidak memiliki momen keren yang bisa diunggah di media sosial sebagaimana following mereka. Sekarang ini, menjadi sulit bagi kita untuk tidak membandingkan diri dengan pencapaian dan pengalaman orang lain yang dipublikasikan di dunia maya.

Selain mengajakmu untuk terlepas dari kegiatan yang membuatmu kewalahan, The Joy of Missing Out juga akan membantumu untuk memiliki perspektif yang baru untuk menyikapi FOMO yang diperparah oleh media sosial. Tidak hanya memberikan pengetahuan baru, arahan, dan saran, The Joy of Missing Out juga dinilai sebagai buku yang sangat aplikatif. Kamu bisa langsung mempraktikkan langkah-langkah yang diberikan Dalton di buku ini dalam kehidupan sehari-hari. Seperti tagline buku ini, The Joy of Missing Out akan memberitahumu seni menghadapi hidup tanpa rasa panik.

JOMO Akan Terbit Versi Bahasa Indonesia

Pernahkah kamu merasa kewalahan ketika harus melakukan banyak hal dalam satu hari? Ya, kewalahan yang menjurus pada kepanikan mengingat begitu banyak tumpukan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Biasanya, orang mengakalinya dengan membuat to-do list guna memastikan tidak ada kegiatan yang lupa untuk dilakukan pada hari itu. Namun, apa benar itu adalah langkah yang tepat  untuk mengatasinya?

The Joy of Missing Out hadir untuk membantumu menyelesaikan permasalahan kita. Jika kamu termasuk salah satu orang yang menganggap bahwa 24 jam sehari tidaklah cukup, maka buku ini cocok untukmu! Meskipun buku ini didedikasikan Dalton kepada para perempuan tangguh yang harus membagi fokusnya antara pekerjaan dan urusan rumah tangga, semua orang bisa membacanya.

 

Berdasarkan testimoni dari orang-orang yang sudah pernah membaca, The Joy of Missing Out mereka kategorikan sebagai buku yang life-changing. Dengan semua keunggulan yang disebutkan di atas mengenai buku ini, Bentang Pustaka merasa bahwa harus lebih banyak orang Indonesia yang membaca buku ini mengingat banyak warga kita yang terperangkap dalam jeratan FOMO. Mulai bulan Maret 2021, The Joy of Missing Out versi bahasa Indonesia sudah bisa kamu pesan! Mari belajar bersama tentang bagaimana mengatakan tidak pada kegiatan yang bukan prioritasmu.

 

Temukan prioritas dan tujuan supaya kamu tidak lagi berusaha mengerjakan “semuanya”. – Tanya Dalton

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Stoisisme Filsafat Yunani

Stoisisme: Filsafat Yunani yang Membantumu Meringankan Beban Hidup

Stoisisme filsafat Yunani dapat membantumu meringkan beban hidup. Seiring berjalannya waktu, muncul permasalahan baru dalam kehidupan sosial manusia. Depresi, baik itu ringan maupun berat, merupakan salah satu dampak dari kekhawatiran individu terhadap masalah-masalahnya. Pada era modern ini, dengan banyaknya bantuan dari teknologi yang bisa kita dapatkan untuk menyelesaikan masalah, kasus depresi justru mengalami peningkatan.

Dalam bukunya, Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya, Jules Evans membahas banyak tentang stoisisme filsafat Yunani. Ia juga menceritakan bagaimana mazhab filsafat Yunani kuno yang dicetuskan oleh Zeno itu membantunya menghadapi trauma, depresi, dan serangan panik yang dialaminya semasa kuliah.

Stoisisme Filsafat Yunani

Stoisisme sebagai Penawar Depresi

Pengikut aliran ini meyakini bahwa stoisisme atau yang akrab disebut stoa merupakan obat manjur penawar depresi. Penawar depresi yang dimaksud dalam konteks ini adalah stoisisme mengajari manusia untuk mengelola ekspektasi, menghadirkan kebahagiaan, dan menikmati dinamika kehidupan.

Filosofi stoic menekankan pada keselarasan alam dan penggunaan nalar manusia demi tercapainya kebahagiaan dalam hidup. Konsep bahagia yang diperkenalkan oleh stoisisme adalah apatheia atau free from suffering, terbebas dari penderitaan. Penderitaan yang ditekankan dalam hal ini ialah penderitaan emosi, sedangkan kunci kebahagiaan bagi kaum stoa adalah tercapainya peace of mind atau ketenangan batin.

Dikotomi Stoisisme

Zeno mendikotomi konsepnya dalam dua hal, yaitu sesuatu yang berada dalam kendali kita dan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Sesuatu yang berada dalam kendali kita contohnya seperti usaha, persepsi pribadi, dan emosi kita. Sementara sesuatu yang tak bisa kita kendalikan contohnya bencana alam, kejutan dalam hidup, dan pendapat orang lain terhadap kita.

Seperti matematika, stoisisme menggunakan netral, positif, dan negatif dalam pemahaman konsepnya. Berikut contohnya. Cemoohan orang lain terhadap kita–hal yang berada di luar kendali–sebenarnya merupakan sesuatu yang netral. Namun, sering kali orang menganggapnya sebagai sesuatu yang negatif karena anggapan bahwa cemoohan tersebut pasti membawa dampak buruk untuknya.

Padahal, kita seharusnya tidak membiarkan hal itu mengganggu pikiran kita. Dengan begitu, kita membiarkan cemoohan tersebut untuk tetap menjadi sesuatu yang netral. Pilihan lain yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah persepsi dan menganggapnya sebagai kritik konstruktif untuk diri kita. Dengan cara ini, berarti kita telah mengubah cemoohan itu menjadi sesuatu yang positif.

Baca Juga: Butuh Terapi Jiwa untuk Atasi Depresi? Henry Manampiring Rekomendasikan Buku Ini

Stoisisme Filsafat Yunani Apakah Masih Relevan dengan Kehidupan Sekarang?

Sejak tadi kita membicarakan betapa manjurnya stoisisme dalam mengurangi beban kehidupan, tapi apa iya filsafat kuno itu tidak terlalu jadul? Jules Evans menyediakan jawaban itu dalam bukunya. Jawaban atas pertanyaan bagaimana filsafat yang berasal dari awal abad ke-3 sebelum masehi itu ternyata masih sangat relevan dengan kehidupan masa kini.

Stoisisme adalah aliran yang sangat praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika masa Zeno memeloporinya maupun pada era milenial sekarang. Era milenial ini tak lepas dari teknologi dan media sosial. Sadar atau tidak, secara tak langsung, media sosial membuat kita membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Gambaran mudahnya seperti ini. Ketika menggulir layar ponsel saat membuka aplikasi Instagram, kita melihat salah seorang teman mengunggah momen hebatnya berfoto bersama artis di depan Menara Eiffel. Lalu muncul sedikit rasa iri dalam hati disertai miris pada diri sendiri karena tidak bisa membagikan foto sekeren itu hingga mendapat banyak suka dan komentar.

Ketika menengok profil sendiri, rasanya tak ada yang bisa dibanggakan, hanya beberapa foto biasa yang bahkan dihinggapi satu dua komentar buruk. Padahal, belajar dari stoisisme, kita tidak perlu memusingkan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Komentar dan tanggapan orang terhadap apa yang kita unggah di media sosial contohnya.

Sadarilah, media sosial mendorong kita untuk berlomba dalam kompetisi tak nyata, sehingga membeli barang dengan uang yang tidak kita miliki, untuk mengesankan orang yang bahkan tidak kita sukai.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta
Shopee bentangofficialshop

Tokopedia Bentang Pustaka
Shopee mizanofficialshop

Jogja
Akal Buku
Buku Akik

Malang
Book by Ibuk

Bondowoso
Rona Buku

Jakarta
Owlbookstore
Tangerang Selatan
Haru Semesta

Wilayah Toko Tautan
Jabodetabek Novely Young
Rangkai Kata
Jawa Barat Calia Buku
Jawa Tengah Tukubooks Group
Cintai Otakmu Books
Jawa Timur Owlbookstore