JOMO: Tertinggal Bukan Bencana

Bukan tanpa alasan sang penulis memilih The Joy of Missing Out sebagai judul untuk buku yang menakjubkan ini. Tanya Dalton mengambil istilah yang dipopulerkan oleh Anil Dash dalam blognya, yaitu JOMO, Joy of Missing Out. JOMO merupakan antitesis dari FOMO, Fear of Missing Out, sebuah istilah yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 2004 di kolom The Harbus dalam majalah Harvard Business School oleh Partrick McGinnis.

FOMO dapat diartikan sebagai kecemasan yang muncul karena takut ketinggalan sesuatu, terutama yang sedang viral. Pada umumnya, orang-orang yang mengalami FOMO merasa gelisah apabila tidak membuka media sosial. Hal ini mengarah pada kecenderungan bahwa mereka tidak bisa menikmati momen saat ini karena terlalu terpaku pada apa yang sedang dilakukan orang lain di luar sana. Sementara itu, JOMO memiliki makna yang menenangkan kita bahwa tertinggal bukanlah sebuah bencana.

Seni Menghadapi Hidup Tanpa Rasa Panik

Maraknya media sosial pada zaman sekarang telah mengakibatkan banyak orang menjadi FOMO yang berujung pada standarisasi negatif, sebab merasa dirinya tidak memiliki momen keren yang bisa diunggah di media sosial sebagaimana following mereka. Sekarang ini, menjadi sulit bagi kita untuk tidak membandingkan diri dengan pencapaian dan pengalaman orang lain yang dipublikasikan di dunia maya.

Selain mengajakmu untuk terlepas dari kegiatan yang membuatmu kewalahan, The Joy of Missing Out juga akan membantumu untuk memiliki perspektif yang baru untuk menyikapi FOMO yang diperparah oleh media sosial. Tidak hanya memberikan pengetahuan baru, arahan, dan saran, The Joy of Missing Out juga dinilai sebagai buku yang sangat aplikatif. Kamu bisa langsung mempraktikkan langkah-langkah yang diberikan Dalton di buku ini dalam kehidupan sehari-hari. Seperti tagline buku ini, The Joy of Missing Out akan memberitahumu seni menghadapi hidup tanpa rasa panik.

JOMO Akan Terbit Versi Bahasa Indonesia

Pernahkah kamu merasa kewalahan ketika harus melakukan banyak hal dalam satu hari? Ya, kewalahan yang menjurus pada kepanikan mengingat begitu banyak tumpukan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Biasanya, orang mengakalinya dengan membuat to-do list guna memastikan tidak ada kegiatan yang lupa untuk dilakukan pada hari itu. Namun, apa benar itu adalah langkah yang tepat  untuk mengatasinya?

The Joy of Missing Out hadir untuk membantumu menyelesaikan permasalahan kita. Jika kamu termasuk salah satu orang yang menganggap bahwa 24 jam sehari tidaklah cukup, maka buku ini cocok untukmu! Meskipun buku ini didedikasikan Dalton kepada para perempuan tangguh yang harus membagi fokusnya antara pekerjaan dan urusan rumah tangga, semua orang bisa membacanya.

 

Berdasarkan testimoni dari orang-orang yang sudah pernah membaca, The Joy of Missing Out mereka kategorikan sebagai buku yang life-changing. Dengan semua keunggulan yang disebutkan di atas mengenai buku ini, Bentang Pustaka merasa bahwa harus lebih banyak orang Indonesia yang membaca buku ini mengingat banyak warga kita yang terperangkap dalam jeratan FOMO. Mulai bulan Maret 2021, The Joy of Missing Out versi bahasa Indonesia sudah bisa kamu pesan! Mari belajar bersama tentang bagaimana mengatakan tidak pada kegiatan yang bukan prioritasmu.

 

Temukan prioritas dan tujuan supaya kamu tidak lagi berusaha mengerjakan “semuanya”. – Tanya Dalton

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Stoisisme Filsafat Yunani

Stoisisme: Filsafat Yunani yang Membantumu Meringankan Beban Hidup

Stoisisme filsafat Yunani dapat membantumu meringkan beban hidup. Seiring berjalannya waktu, muncul permasalahan baru dalam kehidupan sosial manusia. Depresi, baik itu ringan maupun berat, merupakan salah satu dampak dari kekhawatiran individu terhadap masalah-masalahnya. Pada era modern ini, dengan banyaknya bantuan dari teknologi yang bisa kita dapatkan untuk menyelesaikan masalah, kasus depresi justru mengalami peningkatan.

Dalam bukunya, Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya, Jules Evans membahas banyak tentang stoisisme filsafat Yunani. Ia juga menceritakan bagaimana mazhab filsafat Yunani kuno yang dicetuskan oleh Zeno itu membantunya menghadapi trauma, depresi, dan serangan panik yang dialaminya semasa kuliah.

Stoisisme Filsafat Yunani

Stoisisme sebagai Penawar Depresi

Pengikut aliran ini meyakini bahwa stoisisme atau yang akrab disebut stoa merupakan obat manjur penawar depresi. Penawar depresi yang dimaksud dalam konteks ini adalah stoisisme mengajari manusia untuk mengelola ekspektasi, menghadirkan kebahagiaan, dan menikmati dinamika kehidupan.

Filosofi stoic menekankan pada keselarasan alam dan penggunaan nalar manusia demi tercapainya kebahagiaan dalam hidup. Konsep bahagia yang diperkenalkan oleh stoisisme adalah apatheia atau free from suffering, terbebas dari penderitaan. Penderitaan yang ditekankan dalam hal ini ialah penderitaan emosi, sedangkan kunci kebahagiaan bagi kaum stoa adalah tercapainya peace of mind atau ketenangan batin.

Dikotomi Stoisisme

Zeno mendikotomi konsepnya dalam dua hal, yaitu sesuatu yang berada dalam kendali kita dan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Sesuatu yang berada dalam kendali kita contohnya seperti usaha, persepsi pribadi, dan emosi kita. Sementara sesuatu yang tak bisa kita kendalikan contohnya bencana alam, kejutan dalam hidup, dan pendapat orang lain terhadap kita.

Seperti matematika, stoisisme menggunakan netral, positif, dan negatif dalam pemahaman konsepnya. Berikut contohnya. Cemoohan orang lain terhadap kita–hal yang berada di luar kendali–sebenarnya merupakan sesuatu yang netral. Namun, sering kali orang menganggapnya sebagai sesuatu yang negatif karena anggapan bahwa cemoohan tersebut pasti membawa dampak buruk untuknya.

Padahal, kita seharusnya tidak membiarkan hal itu mengganggu pikiran kita. Dengan begitu, kita membiarkan cemoohan tersebut untuk tetap menjadi sesuatu yang netral. Pilihan lain yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah persepsi dan menganggapnya sebagai kritik konstruktif untuk diri kita. Dengan cara ini, berarti kita telah mengubah cemoohan itu menjadi sesuatu yang positif.

Baca Juga: Butuh Terapi Jiwa untuk Atasi Depresi? Henry Manampiring Rekomendasikan Buku Ini

Stoisisme Filsafat Yunani Apakah Masih Relevan dengan Kehidupan Sekarang?

Sejak tadi kita membicarakan betapa manjurnya stoisisme dalam mengurangi beban kehidupan, tapi apa iya filsafat kuno itu tidak terlalu jadul? Jules Evans menyediakan jawaban itu dalam bukunya. Jawaban atas pertanyaan bagaimana filsafat yang berasal dari awal abad ke-3 sebelum masehi itu ternyata masih sangat relevan dengan kehidupan masa kini.

Stoisisme adalah aliran yang sangat praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika masa Zeno memeloporinya maupun pada era milenial sekarang. Era milenial ini tak lepas dari teknologi dan media sosial. Sadar atau tidak, secara tak langsung, media sosial membuat kita membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Gambaran mudahnya seperti ini. Ketika menggulir layar ponsel saat membuka aplikasi Instagram, kita melihat salah seorang teman mengunggah momen hebatnya berfoto bersama artis di depan Menara Eiffel. Lalu muncul sedikit rasa iri dalam hati disertai miris pada diri sendiri karena tidak bisa membagikan foto sekeren itu hingga mendapat banyak suka dan komentar.

Ketika menengok profil sendiri, rasanya tak ada yang bisa dibanggakan, hanya beberapa foto biasa yang bahkan dihinggapi satu dua komentar buruk. Padahal, belajar dari stoisisme, kita tidak perlu memusingkan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Komentar dan tanggapan orang terhadap apa yang kita unggah di media sosial contohnya.

Sadarilah, media sosial mendorong kita untuk berlomba dalam kompetisi tak nyata, sehingga membeli barang dengan uang yang tidak kita miliki, untuk mengesankan orang yang bahkan tidak kita sukai.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

mengambil risiko

Berada di Zona Nyaman atau Mengambil Risiko?

Zona nyaman atau mengambil risiko? Hidup adalah tentang pilihan. Manusia sering kali merasa dilema terhadap banyak hal entah itu urusan kecil seperti memilih menu makan siang, sampai persoalan besar seperti harus tidaknya kita menikah. Menurutmu, mana yang lebih penting? Memilih sesuatu yang berada dalam jangkauan dan zona nyaman kita atau melompat ke dalam bara api yang penuh risiko?

Mungkin pertanyaan yang tepat bukanlah mana yang lebih penting, melainkan pilihan mana yang lebih bisa membantu kita berkembang. Apa pun pilihanmu, sadarilah bahwa dalam hal ini tidak ada jawaban yang salah atau benar. Semua punya hak untuk memilih. Perlu diingat juga, kita tidak seharusnya menghakimi pilihan orang lain atau berusaha menggurui bahwa satu opsi lebih baik dari yang lainnya.

“Melakukan apa yang kamu suka adalah kebebasan.

Menyukai apa yang kamu lakukan adalah kebahagiaan.”

 

zona nyaman

Mengambil Risiko dalam Zona Nyaman

Maudy Ayunda melalui bukunya, Dear Tomorrow, mengingatkan kita bahwa konsistensi yang perlu kita jaga dalam hidup adalah pertumbuhan positif dan pengembangan diri. Wanita kelahiran 1994 itu menulis bahwa terus-menerus berada di dalam zona nyaman juga ternyata berisiko. Risiko yang ia maksud adalah potensi dirinya untuk tumbuh dan berkembang akan terampas.

Jika sudah begitu maka istilah yang tepat bukan lagi zona nyaman, melainkan zona berbahaya, bukan? Inilah yang harus kita hindari.

Meskipun begitu, bukan berarti kita harus melulu mengambil risiko dalam setiap pilihan hidup kita. Berada di zona nyaman membantu manusia untuk menghargai lingkungan sekelilingnya, memberikan waktu untuk merancang langkah selanjutnya, dan memikirkan risiko apa yang harus kita ambil setelah ini.

Baca juga: Maudy Ayunda Beri Tips Lolos Beasiswa Luar Negeri

Atasi Rasa Takutmu Terhadap Perubahan

Ajukan pertanyaan ini pada dirimu sendiri setiap memulai hari, jika kau hanya bisa melakukan satu hal hari ini, apa yang akau kau lakukan?

Bagi Maudy, justru lebih menakutkan jika kita tidak tumbuh dan berkembang sebagai individu. Ambillah risiko! Ini adalah hak dan pilihanmu untuk memilih, jangan berikan celah bagi orang lain untuk mendikte hidup kita.

Lakukan apa yang membuatmu senang. Hal itu akan memotivasimu untuk melakukannya lagi dan lagi. Beberapa orang menemukan kebahagiaan dari suatu proses yang mereka jalani, tak peduli fakta bahwa mereka hebat atau buruk dalam hal tersebut. Namun bagi beberapa orang lain, kebahagiaan terletak pada hasil akhir yang dicapai. Lagi, tidak ada yang salah dari letak sebuah kebahagiaan seseorang.

Apa pun pilihanmu kelak, pastikan bahwa kamu tidak akan menoleh ke belakang dengan penyesalan. Tengoklah masa lalu dengan senyuman dan berterima kasihlah pada dirimu sendiri karena telah mengambil pilihan itu.

 

Kontributor artikel: Nur Aisyiah Az-Zahra.

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta