Anak-anak sedang belajar bersama mengenyam pendidikan

Kesempatan Mengenyam Pendidikan, Sebenarnya untuk Apa dan Siapa?

Kesempatan mengenyam pendidikan layaknya menjadi barang mahal yang hanya bisa diperebutkan segelintir orang. Minimnya akses anak-anak untuk melambungkan dan meraih mimpi kiranya hanya menjadi fantasi. Padahal, untuk mendapatkan kesempatan belajar secara formal dan mengimplementasikan minat bakat menjadi hak setiap anak yang patut dijunjung tinggi.

Kemiskinan yang tak luput dari sorotan

Sudahlah, kamu ikut ibu bekerja saja. Ibu dan bapakmu tak punya uang lagi untuk menyekolahkanmu.

Problematika kemiskinan benar-benar belum bisa berhenti dari pola ke-semrawut-an pendidikan di Indonesia. Mimpi-mimpi yang harusnya dilambungkan tinggi, kini hanya sebatas digantung diri. Akses beasiswa dan program kartu pintar dari pemerintah juga masih sering salah sasaran. Kebanyakan, orang-orang yang punya kuasa merebut terlebih dahulu akses kesempatan tersebut. Alhasil, yang tersingkirkan menjadi benar-benar tersingkir, yang miskin akan benar-benar menjadi pukulan rata.

Daerah perkotaan dan pedesaan sama-sama masih banyak terdapat anak yang putus sekolah karena kemiskinan. Orang tua sudah tak memiliki biaya lebih untuk menyisihkan uang anaknya untuk mengenyam pendidikan bekal masa depan. Kok jauh-jauh ngobrolin pendidikan dan masa depan, yang terpenting besok dan lusa bisa makan saja sudah syukur. Seketika menjadi problematika fundamental masyarakat Indonesaia jika akses untuk menilik masa depan saja rasanya suram.

Ketimpangan Pendidikan

Kesempatan mengenyam pendidikan menjadi garis merah jika orang tua menjadi bagian dari limitasi kemampuan anak untuk melangkah pendidikan yang lebih tinggi. Kualitas pendidikan di daerah harusnya juga menjadi fokus pemerintah. Miminmnya perhatian pemerintah mengakibatkan banyak anak lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan ke daerah kota yang notabenenya akses pendidikan lebih mudah, kualitas terjamin, dan diperhatikan.

Sebuah ketimpangan dalam pendidikan begitu nyata jika pendidikan di daerah disandingkan dengan di daerah kota. Tercetak jelas bagaimana infrastruktur yang belum berjalan semestinya: baik itu infrastruktur fisik berupa bangunan dan fasilitas penunjang, serta infrastruktur SDM-nya.

Kritik pendidikan yang dijanjikan akan segera merata dalam segala hal menjadi bualan semata. Banyak suara-suara dari daerah pinggiran yang masih dijajah oleh negeri sendiri. Rasa-rasanya, pendidikan hanyalah untuk orang yang memiliki kantong tebal dengan uang. Menjadi pemisah antara anak-anak yang berpendidikan mudah dan anak-anak yang berpendidikan susah payah.

Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Pada faktanya, anak belum bisa mendapatkan haknya secara penuh. Bagaimana anak bisa menyalurkan segala hal yang bisa mengembangkan potensi diri, namun terhimpit oleh jejalan kemiskinan dan faktor lingkungan luar yang menjadi-jadi.

Anak menjadi produk sosial yang berguna bagi masyarakat sosial merupakan harapan bangsa. Pun anak dipersiapkan menjadi aset berharga untuk reformasi juga merupakan impian negara. Namun, bagaimana jika hal-hal tersebut terkekang oleh keadaan yang sama sekali tak diinginkan?

Pamungkas Adiputra

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta