Toko Kelontong Selatan: Mengintip Kehidupan Masyarakat Tiongkok pada Masa Reformasi Ekonom
Empat dekade lalu, Tiongkok adalah negara yang mengalami kemiskinan cukup parah. Bahkan, memenuhi kebutuhan pokok harian pun sulit. BBC (2018) mengatakan bahwa pada tahun 1978, tingkat kemiskinan di Tiongkok hampir mencapai 100%. Tidak hanya kesulitan memenuhi kebutuhan harian, kualitas sumber daya manusia pun tidak memadai. Selain kondisi kesehatan yang buruk, sebagian besar masyarakat Tiongkok tidak dapat menempuh pendidikan yang layak. Saat itu, GDP Tiongkok hanya sebesar 148,2 Miliar USD saja. Wajar saja, saat itu Tiongkok mendapatkan gelar salah satu negara termiskin di dunia.
Namun, satu langkah kecil berhasil mengubah perekonomian Tiongkok. Di saat semua negara komunis menutup diri, Deng Xiaoping yang kini dikenal sebagai Bapak Reformasi Ekonomi Tiongkok, membawa perekonomian negaranya menjadi lebih terbuka. Tiongkok mulai membuka diri terhadap hubungan luar negeri. Sejak saat itu, perekonomian tumbuh rata-rata sepuluh persen tiap tahunnya. Kualitas sumber daya manusia pun menjadi lebih baik setelah Tiongkok mengirimkan banyak mahasiswanya untuk belajar di berbagai universitas terbaik di dunia. Setelah lulus, mereka pulang kembali ke negaranya untuk mengabdi. Setelah memperbaiki kualitas dari segala aspek, perlahan-lahan Tiongkok bangkit dari kemiskinan.
Mengagumkan memang, satu keputusan kecil yang dibuat oleh Deng Xiaoping berhasil membuat negaranya yang semula terpuruk, kini menjadi negara adidaya hanya dalam waktu empat dekade saja. Lalu, bagaimana dengan kehidupan masyarakat biasa di Tiongkok? Bagaimana mereka menjalani kehidupan di era dengan krisis ekonomi yang membuat segalanya menjadi sulit?
Melalui Novel Mandarin berjudul Toko Kelontong Selatan, Zhang Ji selaku pengarang akan mengajak pembaca kembali ke masa lalu, menyaksikan dinamika sosial di Tiongkok pada masa reformasi. Qiulin, seorang pemuda yang bekerja di pedesaan sebagai pegawai toko kelontong, harus berjuang untuk berdamai dengan kenyataan yang penuh luka. Teman-teman lulusan sekolahnya mendapatkan rekomendasi bekerja di pabrik-pabrik besar, ia juga jadi merasa “dipinggirkan” karena ayahnya terlibat masalah politik yang berujung pidana. Bertemu dengan bosnya, Tuan Ma, membuat Qiulin mempelajari banyak hal yang berharga.
Selain Qiulin, dibahas pula tokoh-tokoh lain dengan berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Zhang Ji sangat piawai dalam membuat novel multikarakter. Toko Kelontong Selatan juga membahas ketidakadilan terhadap perempuan, seperti budaya patriarki, KDRT, serta perjodohan. Membaca Toko Kelontong Selatan, pembaca tidak akan disuguhkan dengan plot yang meledak-ledak. Novel ini bagaikan film dokumenter yang berjalan apa adanya. Menarik, bukan? Tertarik untuk mengadopsi novel ini?
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!