Tag Archive for: Yogyakarta

no_exit

Rasakan Nuansa Horor Melalui Tempat Angker di Indonesia

Layaknya sensasi horor dalam novel No Exit karya Taylor Adams, kalian bisa merasakan nuansa horor dan menegangkan seperti tokoh Darby Thorne. Tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri, nyatanya di Indonesia juga terdapat tempat-tempat angker yang akan memberikan nuansa No Exit untuk diri kalian. Berikut tempat angker di Indonesia yang dapat kalian kunjungi.

Pantai Parangkusumo

Pantai ini berada di daerah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selayaknya sebuah pantai, pantai ini terkenal dengan pasirnya yang hitam dan ombaknya yang kuat. Namun di balik itu konon katanya, pantai satu ini merupakan tempat di mana portal gaib menuju kerajaan Ratu Selatan, Nyi Roro Kidul berada. Letak pantai ini juga bersebelahan dengan pantai Parangtritis. Hal-hal spiritual tersebut juga didukung dengan kerap kali diselenggarakannya ritual adat di pantai ini yang membuatnya terkenal menjadi tempat angker.

Gunung Kawi

Gunung Kawi terletak di Jawa Timur. Terkenal dengan panorama alam yang indah, namun ternyata gunung tersebut sangat kental dengan cerita mistisnya. Menurut kabar yang beredar, gunung ini terkenal sebagai tempat pesugihan. Selain itu juga dikenal sebagai tempat memberikan tumbal. Secara nyata banyak orang yang datang dari berbagai daerah untuk melakukan ritual pemujaan. Para pelaku ritual tersebut percaya bahwa dengan melakukan petapaan di Gunung Kawi akan memberikan kekayaan secara instan. Tentunya hal-hal tersebut membutuhkan bayaran yang tidak sedikit.

Lawang Sewu

Terletak di Semarang, Jawa Tengah, tempat ini dahulu menjadi kantor administrasi Indische Spoorweg Maatscappij (NIS), perusahaan kereta api swasta asal Belanda. Kemudian selain itu, bangunan Lawang Sewu juga merangkap menjadi penjara di masa penjajahan Jepang. Kisah sejarah masa lalu tersebut kemudian dengan bentuk bangunan dengan pintu yang banyak (sebanyak 429 pintu) menjadikan Lawang Sewu sebagai tempat angker di Indonesia yang cukup terkenal. Pesona horor yang menarik minat wisatawan juga semakin meledak ketika dahulu terdapat program acara televisi yaitu uji nyali yang dilakukan di penjara bawah tanah.

Taman Nasional Alas Purwo

Tempat angker satu ini terletak di Kebalenan, Banyuwangi, Jawa Timur. Seperti hutan pada umumnya, tempat ini terkenal dengan pesona wisata alamnya. Namun tak hanya itu, Alas Purwo dikenal sebagai salah satu kerajaan gaib besar di Nusantara. Banyaknya kasus pengunjung yang tersesat di dalam hutan kerap kali dikaitkan dengan gangguan dari makhluk gaib.

Hotel P.I. Bedugul

Tempat angker kali ini sesuai dengan namanya, terletak di daerah Bedugul, Bali. Meskipun disebut sebagai hotel, jangan kaget kalau kamu tidak akan bisa memesan kamar. Hotel ini sudah tidak beroperasi sejak lama. Sehingga bangunan dengan nuansa Bali yang lengkap dengan segala perabotan perhotelan terbengkalai dan ditinggalkan selama beberapa dekade ini. Tempat ini dirasa angker juga karena menurut laporan warga sekitar sering mendengar suara keramaian dari dalam hotel kosong tersebut. Bahkan beberapa orang mengatakan kerap melihat sosok perempuan berambut pendek yang berkeliling di area hotel. Tempat angker ini bahkan dijuluki sebagai Ghost Palace Hotel.

Dari sekian tempat angker di Indonesia di atas, mana yang kalian akan kunjungi? Berani mencobanya?

 

Baca juga : No Exit 

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

4 Ikon Bersejarah Yogyakarta yang Disebut dalam Buku Terbaru Cak Nun

Yogyakarta selalu memiliki tempat di hati orang-orang yang pernah singgah. Penduduknya yang santai dalam menjalani hidup hingga lokasi wisata yang tersebar di segala penjuru, membuat kota ini begitu “hidup”. Bahkan, dengan begitu banyaknya pelajar dari berbagai provinsi yang merantau demi menuntut ilmu, Yogya kerap disebut sebagai miniatur Indonesia.

Akan tetapi, keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada kemeriahan maupun keberagaman suasananya. Hal paling mendasar yang membuat kota ini begitu istimewa adalah para warga Yogya sangat memperhatikan patrap [pedoman perilaku] sebagai atlas nilai kehidupan.

Oleh karena itu, tak heran jika Cak Nun mendedikasikan kehangatan dan keistimewaan Yogyakarta dalam buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Dalam memaparkan nilai hidup tersebut, Cak Nun mengilustrasikannya ke dalam empat ikon bersejarah yang bisa kita kunjungi dan nikmati berikut ini.

  1. Gunung Merapi

Bagi warga sekitarnya, Gunung Merapi adalah sumber kehidupan. Saking sakralnya peran gunung ini, setiap kali erupsi, masyarakat enggan menyebut peristiwa tersebut dengan kata meletus. “Merapi sedang duwe gawe [punya hajat],” demikian pesan almarhum Mbah Maridjan, sang juru kunci.

Manunggaling kawula lan Gusti [konsep tentang bersatunya antara rakyat dan pemimpin atau hamba dan Tuhannya] juga tecermin pada posisi Gunung Merapi. Berdasarkan penuturan sejarah, Pangeran Mangkubumi menemukan garis lurus antara puncak Merapi ke tiang pancang balairung di bangunan samar di Laut Selatan. Inilah khatulistiwa kosmologi Ngayogyakarta Hadiningrat. Garis lurus itu merupakan proporsi kosmologis ditatanya Negeri Ngayogya. Pada titik-titik dalam garis itu, terdapat penyatuan dan kemenyatuan antara Tuhan, alam, dan manusia.

 

  1. Malioboro

Para wisatawan dari dalam maupun luar Yogya pasti selalu menyempatkan diri mengunjungi area ini. Malioboro memang dikenal sebagai pusat perbelanjaan dan tempat berkumpul warga. Menurut kesaksian Cak Nun, Malioboro dulu adalah kawah Candradimuka yang melatih para penyair, cerpenis, dan novelis. Bisa dikatakan, Yogya adalah mercusuar kesenian nasional. Untuk waktu yang sangat lama, berpuluh-puluh tahun, Yogya adalah laboratorium utama dunia seni rupa, bersaing dengan Bandung. Yogya adalah barometer dunia teater dan kekuatan utama potensi dan aktualisasi kesusastraan Indonesia. Dan, melalui Malioboro inilah, berbagai karya dan komunitas seni melahirkan dirinya dan bergerak.

 

  1. Angkringan

Dalam buku ini, Cak Nun mengenang salah satu angkringan legendaris yang ramai dikunjungi puluhan tahun silam, Wedangan Mbah Wongso. Tepatnya di sebelah barat perempatan Wirobrajan selatan jalan. Bagi Cak Nun, angkringan bukan hanya warung kaki lima, melainkan juga sebuah simbol penerimaan diri. Mbah Wongso—yang karakter ini juga mudah kita temui pada bakul angkringan lainnya—tidak peduli pada detail dan jumlah dagangannya. Jika ada yang mengambil tempe lima bilang dua, atau kerupuk tujuh bilang tiga, tidak pernah menjadi masalah. “Mbah Wongso bukan kapitalis. Mbah Wongso menjalani darma hidup. Beliau sangat menikmati setiap malam melayani siapa saja yang butuh sruput-sruput, anget-anget, dan nyaem-nyaem. Beliau punya kesadaran untung dan rugi, tetapi itu bukan perhitungan utama kehidupannya,” tulis Cak Nun.

 

  1. Wedang Uwuh

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri. Namun saat ini, kita bisa menemukan kemasan wedah uwuh siap seduh di berbagai pasar di Yogyakarta.

Dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman dan uwuh adalah sampah. Meskipun dinamakan minuman sampah, wedang ini memiliki berbagai macam khasiat menyehatkan untuk tubuh karena berisi rempah-rempah.

Menurut Cak Nun, penyebutan wedang uwuh ini justru menunjukkan simbol adanya kebesaran Tuhan. Sebuah pertanda yang sangat jelas bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Hal-hal yang secara kasat mata dianggap tidak berguna oleh manusia, sesungguhnya memiliki pola dauriyah. Tidak ada yang mubazir.

 

Itulah tadi empat filosofi hidup manusia yang tecermin di dalam ikon-ikon bersejarah di Yogyakarta. Untuk mengetahui lebih dalam lagi soal Yogyakarta dalam buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar, kalian bisa memperolehnya di sini.

Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

Gendhon, Beruk, dan Penceng serta Cak Nun di lereng Merapi

Yogyakarta dan Cak Nun dalam Buku Terbaru

Yogyakarta dan Cak Nun: Tak hanya tersusun dari akar “kenangan”, daun “nyaman”, dan buah “rindu”. Lebih daripada itu, Yogyakarta menawarkan filosofi kehidupan yang begitu mendalam saat Cak Nun menuangkan kisahnya dalam buku terbaru.

Yogyakarta dan Cak Nun, sering kali ketika kita mendengar kota tersebut―atau bahkan sudah sering mengunjunginya―akan terbayang dengan segala romantisme yang dibuat oleh masyarakat. Namun, tidak salah, kok, ketika kita menaruh pikiran bahwa Yogyakarta hulu dan hilirnya dari sebuah kerinduan. Bahkan, banyak orang pula yang mengeklaim bahwa Yogyakarta memberikan kenangan yang begitu besar, bisa kenangan baik maupun buruk saat ditinggal pasangan.

Meskipun demikian, satu hal yang perlu tetap kita lekatkan dalam benak bahwa Yogyakarta tersusun pula dari historikal budaya, sejarah, dan banyak angan para pendahulu untuk tetap mengukuhkan segala jati diri, meskipun zaman terus bergerak. Kisah Yogyakarta dalam penuturan Cak Nun dimulai dari kaki Gunung Merapi, bersama ketiga anak-cucunya, Beruk, Gendhon, dan Pèncèng.

Beruk, Gendhon, dan Pèncèng

Yogyakarta dan Cak Nun: Mengambil hari khusus, Cak Nun menyeret ketiga anak-cucunya pada tengah malam untuk naik ke leher Gunung Merapi. Pasukan khusus dan elite SAR-DIY diminta Cak Nun mengantar dan mengawal mereka berempat. Sebab, mustahil bagi Cak Nun dan ketiga anak-cucunya untuk bisa sampai ke sana tanpa bantuan mereka.

Berhenti di suatu titik, mereka berempat duduk di sekitar semak-semak. Cak Nun mempersilakan anak-cucunya duduk melingkar, bersila, berjajar, menghadap ke selatan, mengarahkan pandangan jauh ke depan.

“Dari tempat duduk kita saat ini, semua arah di jagat raya ini serba-remang. Ada banyak sosok makhluk, tetapi samar-samar. Wujudnya bercampur dengan bayangan-bayangan wujud yang terdapat di dalam rekaman urat saraf otak kita. Bayangan itu kita dapatkan dari pengalaman-pengalaman budaya, pengetahuan, dan ilmu kita selama ini,” ucap Cak Nun sebagai awalan diskusi mereka.

Cak Nun beranjak dari tempat duduknya dan berdiri sembari membenahi cara duduk ketiga anak-cucunya itu. Seraya mengatakan, “Pandang lurus ke depan. Jangan mengharapkan cahaya terang akan datang dari seluruh ruang yang kalian pandang. Cahaya hanya bisa kalian terbitkan dari lubuk kedalaman jiwa kalian sendiri.”

Lanjut Cak Nun, “Juga mana wujud nyata mana bayangan, mana kesunyatan, mana khayalan. Jangan andalkan objek-objek itu untuk menginformasikan kepadamu. Berangkatlah dari ‘ainulyaqin batinmu sendiri. Sekarang, temukan garis dari puncak Merapi di belakang ubun-ubun kalian, ke Tugu, jalur Margo Utomo, Malioboro, Margo Mulyo, Pangurakan, Keraton yang di kawal depan belakang oleh dua alun-alun, sampai Nggading. Terus lanjut lurus ke selatan, menyentuh pantai, dan teruskan sampai ke bangunan Keraton jauh di lepas pantai, yang mengambang bukan di atas air samudra, melainkan di tlatah kesadaran nilai dalam diri kalian.”

Ketiga anak-cucu Cak Nun sangat khusyuk menjalani panduan dari beliau, meskipun Cak Nun tahu, sebenarnya anak-cucunya itu tidak paham-paham amat. Ketiga anak-cucunya itu tidak pandai, ataupun waskita, tetapi yang paling Cak Nun sukai yaitu, mereka bisa sungguh-sungguh dan tekun dalam menjalani sesuatu. Kesetiaan tidak diletakkan sebagai nilai primer di konstitusi, kurikulum sekolah, serta sistem ilmu apa pun di kalangan kelas orang-orang pandai.

Baca Juga: Petuah Jawa dari Cak Nun: Rumongso Biso atau Biso Rumongso

Patrap dan Atlas Nilai Yogya

Yogyakarta dan Cak Nun: Akhirnya semua bubrah. Jadi, mereka semua sekarang duduk melingkar.

Lalu, tiba-tiba Gendhon menanyakan, mengapa malah mereka di sini membuat atlas? Cak Nun tetap menjawab meskipun sesungguhnya mereka itu sudah paham. Namun, pengetahuan tidak bisa diketahui kebenarannya kalau tidak terletak pada koordinat ruang dan waktu yang tepat. Orang Yogya menyebutnya patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang membumbui keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kelewat pedas, lantas muncul liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Bahkan, kita sudah memasuki era penggandaan pahala, emas, uang, bahkan penggandaan kepribadian: pendirian yang mudah berubah, beda ucapan dengan tindakan, bermalas-malasan, tidak kukuh, hipokritisi, oportunisme, kemunafikan, bajing loncat, dan beratus gejala dan fakta sejarah lainnya.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih kebenaran versi sendiri, ada yang mengeklaim atau memanipulasi kebenaran orang banyak, ada yang tersingkir karena mencari kebenaran sejati, tetapi susah banget untuk sesuai tatkala diterapkan. Sebab, seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

Perihal atlas itu sebenarnya awal dari hilirnya. Atlas, kan, tidak hanya geografis teritorial. Manusia juga sangat memerlukan atlas nilai. Peta nilai yang dipijaknya, yang mengepungnya, kemudian bagian yang dipilihnya. Yogya perlu mengatlaskan kembali tatanan nilai diri ke-Yogya-annya karena Yogya paling berkewajiban dan menyiapkan diri untuk nanti menyelamatkan Indonesia yang sedang semakin kehilangan patrap.

Lembah Masa Depan

Yogyakarta dan Cak Nun: Kata “Yogya” sangat sensitif bagi ketiga anak-cucu Cak Nun. Menggetarkan hati dan menaikkan adrenalin. Kalau mereka berempat berdiskusi dan berkhayal tentang masa depan Yogya, bisa semalaman atau sesiangan atau sekurang-kurangnya berjam-jam. Tidak terbatas pada eksplorasi tafsir tentang keistimewaan Yogya―tentang beda antara Yogya Kota Budaya dan Yogya Ibu Kota Kebudayaan Indonesia.

Beribu dimensi tematik Yogya yang skala besar maupun kecil. Yang substansial maupun yang ilustrasional. Yang prinsipil maupun yang romatis. Yang kultural maupun spiritual. Yang samar-samar maupun yang bersahaja. Yang bumi maupun langit. Sudah Cak Nun bayangkan wilayah-wilayah tugas yang perlu dieksplorasi oleh ketiga anak-cucunya.

Itulah secuplik kisah Yogyakarta dalam tuturan Emha Ainun Najib di buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pra-pesan dari 24 Juli―9 Agustus 2020 di reseller kesayangan kalian atau melalui laman etalase Cak Nun Mencari Kebenaran. Dapatkan harga spesial, totebag, dan tanda tangan digital dari Cak Nun!

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

 

© Copyright - Bentang Pustaka