Tag Archive for: Tionghoa Muslim

Sebagian Walisongo Keturunan Tionghoa?

Sejarah terkait beberapa Walisongo adalah keturunan Tionghoa masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Meskipun demikian, dengan catatan sejarah yang ditemui, rasa-rasanya sulit membantah kalau beberapa dari Walisongo merupakan keturunan Tionghoa.

Hew Wai Weng, dalam bukunya yang berjudul Berislam ala Tionghoa mengungkapkan setidaknya ada empat dari sembilan Walisongo yang merupakan keturunan Tionghoa. Mereka adalah Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan Bonang, serta Sunan Muria.

Seorang sejarawan Jawa, Slamet Muljana, yang merujuk pada Malay Annals dan sumber-sumber sejarah lokal lainnya seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda mengungkapkan dalam bukunya bahwa Tionghoa Muslim memiliki andil penting dalam pembentukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Bahkan beberapa dari Walisongo memiliki asal-usul Tionghoa.

Mbah Pringgis alias So Khing Hok, seorang musisi amatir dan peramal yang juga Tionghoa Muslim di Semarang membuat lagu berbahasa Jawa yang jika diartikan ke bahasa Indonesia, liriknya berbunyi: Sebelum zaman Belanda, Sam Poo Tay Jin (Cheng Ho) dari Cina mendarat di Jawa untuk berdagang dan syiar Islam. Menjalin kasih Cina dan Jawa.

Menurut Mbah Pringgis, lirik lagu berjudul “Tembang Dulur Tuwa” ini menggambarkan perjalanan Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok dalam menyebarkan Islam di Jawa. Arti dari Dulur Tuwa (saudara lama) dalam lagu tersebut adalah Cheng Ho.

Peran Cheng Ho dalam Dakwah Islam

Para pendakwah Tionghoa Muslim, seperti Tan Mei Hwa, juga selalu menyinggung peran Cheng Ho dalam dakwah Islam. Mereka menekankan bahwa beberapa dari Walisongo di Jawa adalah keturunan Tionghoa. Dalam sebuah ceramah di Surabaya pada 2008, dia menyampaikan: Di antara mereka yang kali pertama membawa Islam ke Jawa adalah Laksamana Cheng Ho. Cheng Ho memang diperintahkan kembali ke Tiongkok, tetapi sejumlah pengikutnya tinggal di Jawa. Salah satunya adalah Bun Sui Ho. Anak dan cucu laki-lakinya, Sunan Bonang dan Sunan Ampel adalah anggota Walisongo yang dihormati yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Nama asli Sunan Bonang adalah Bun An, tetapi dalam bahasa Jawa berbunyi Bonang. Ini adalah fakta sejarah yang tidak dapat ditolak.

Bahkan dalam sebuah artikel di Suara Baru, majalah dua bulanan yang diterbitkan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), menyebutkan 8 dari 9 Walisongo merupakan keturunan Tionghoa. Dalam sebuah ceramah pada Oktober 2008, Tan Mei Hwa juga memberikan argumen yang menguatkan bahwa Tionghoa Muslim memiliki andil penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.

Berislam ala Tionghoa

Nabi Muhammad menganjurkan kepada kita untuk mencari ilmu hingga ke negeri Tiongkok. Namun, karena sudah banyak orang Tionghoa yang menetap di Indonesia, umat Islam di Indonesia cukup beruntung. Kita dapat belajar dari mereka tanpa harus berkunjung ke negeri Tiongkok,” ujar Tan Mei Hwa dalam ceramah tersebut.

Akan tetapi, dakwahnya ini bukan tanpa kontroversi. Beberapa pihak melontarkan kritikan atas materi yang dibawakan oleh Tan Mei Hwa. Bahwa materi-materi tersebut lebih bersifat menghibur ketimbang untuk berdakwah. Di samping itu, latar belakang pendidikan agama Tan Mei Hwa yang dianggap kurang kuat juga tidak luput dari kritikan. Terlebih lagi dia adalah seorang perempuan.

Sementara itu, Hew Wai Weng berpandangan bahwa dengan mempromosikan peran Laksamana Cheng Ho dalam penyebaran Islam dan mengeklaim bahwa sebagian dari Walisongo adalah keturunan Tionghoa, Tionghoa Muslim mencoba mendefinisikan ulang posisi mereka sebagai minoritas, mendakwahkan Islam kepada non-Muslim, dan untuk memperluas makna ketionghoaan.

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info selengkapnya tentang buku tersebut di sini.


Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: RomaDecade

Sejarah Tionghoa Muslim di Indonesia

Secara garis besar, sejarah Tionghoa Muslim di Indonesia dapat dikelompokkan dalam lima periode. Dalam setiap periode menunjukkan transformasi kaum Tionghoa Muslim. Sejarah Tionghoa Muslim di Indonesia bisa ditarik dari periode budaya hibrida Tionghoa-Jawa Muslim pada abad ke-15 dan 16 hingga kemerosotannya selama periode kolonial Belanda. Kemudian periode pengorganisasian perkumpulan-perkumpulan Tionghoa Muslim selama periode awal kemerdekaan hingga penghapusan segala sesuatu yang berbau Tionghoa di bawah rezim Orde Baru. Serta yang paling belakangan adalah kemunculan ekspresi budaya Tionghoa Muslim di Indonesia pasca 1999.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Tionghoa Muslim dan keterlibatan mereka dalam penyebaran Islam di Jawa sudah ada sejak awal abad ke-15. Sejarawan Lombard dan Salmon (2001) mengungkapkan interaksi antara orang-orang Tionghoa dan budaya lokal pada saat itu digambarkan dalam gaya arsitektur masjid. Dengan menyebutnya sebagai “subkultural Muslim Peranakan”, mereka melihat interaksi tersebut sebagai bentuk “persekutuan suci” kosmopolitan, yang mengombinasikan antara peran-peran positif teologi Islam dan teknik-teknik Tionghoa.

Masa Sebelum Kolonialisme

Beberapa peneliti juga mengatakan sebelum masa kolonial Belanda, sudah terdapat etnis Tionghoa di Jawa, dan mereka adalah Muslim. Mereka adalah Cheng Ho dan pengikutnya. Mereka disebut-sebut memegang peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan dari sumber-sumber sejarah lokal seperti Babad Tanah Jawa dan Serat Kanda, Tionghoa Muslim memiliki andil penting dalam berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Beberapa wali di Jawa, Walisongo juga memiliki asal-usul Tionghoa, kendati hal tersebut masih menjadi perdebatan sampai sekarang.

Al Qurtubi (2003) menambahkan bukti lain pengaruh Tionghoa Muslim pada era itu, yakni adanya pengaruh kuat dalam arsitektur di masjid-masjid dan makam-makam tua di Jawa, seperti makam Sunan Giri di Gresik, desain Keraton Cirebon, dan arsitektur Masjid Demak di Jawa Tengah. Di Jakarta, Masjid Angke dan Masjid Kebon Jeruk juga memiliki ornamen Tionghoa di pintu gerbang dan atapnya.

The (2003) mengungkapkan sebelum kedatangan Belanda, sudah banyak orang Tionghoa yang memeluk Islam sebagai cara mereka untuk membaurkan diri ke dalam masyarakat Jawa. Mereka juga mengadopsi nama-nama Jawa agar bisa naik kelas secara sosial dan politik. Juga bukan hal yang luar biasa bagi mereka untuk berasimilasi ke dalam kelompok mayoritas lokal.

Era Kolonialisme Hindia Belanda

Akan tetapi, seiring perkembangan politik yang dibawa kolonialisme Belanda, bentuk budaya antara orang-orang Tionghoa dan Muslim ini mengalami kemunduran. Oleh karena itu, generasi Tionghoa Muslim setelahnya mengalami kesulitan untuk melacaknya lagi. Sebagian besar dari mereka yang telah terasimilasikan dan budaya Tionghoa-Jawa pun mengalami kemunduran. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut di antaranya adalah meningkatnya kekuasaan rezim kolonial Belanda, perubahan politik di Tiongkok, perkembangan Islam semakin ortodoks, serta meningkatnya kedatangan perempuan-perempuan Tionghoa dan lahirnya nasionalisme di Tionghoa. Hal ini membuat etnis Tionghoa pada masa berikutnya sebagian besar adalah non-Muslim dan dinilai sebagai “orang lain” yang berbahaya dan “orang asing” yang tidak mampu membaur.

Ketika rezim kolonial Belanda berkuasa, kebijakan-kebijakannya semakin memecah belah. Rezim menciptakan batas-batas yang lebih tegas antara orang Tionghoa dan penduduk asli. Dampaknya, semakin kecil jumlah orang Tionghoa yang memeluk Islam. Kebijakan tersebut misalnya adanya pembagian warga dalam tiga kategori rasial, masing-masing memiliki hak hukum dan hak istimewa yang berbeda-beda. Orang-orang Eropa berada di posisi teratas, orang-orang Timur Asing (terutama Tionghoa, Arab, dan India) berada di tengah-tengah, serta orang pribumi berada di strata terbawah.

Status ini kemudian menimbulkan penilaian di kalangan Tionghoa, bahwa status mereka lebih tinggi dari orang pribumi. Karena Islam rata-rata dipeluk oleh penduduk asli Indonesia, banyak orang Tionghoa beranggapan jika mereka memeluk Islam, sama saja dengan merendahkan derajat mereka. Kendati demikian, masih ada beberapa orang Tionghoa yang memeluk Islam yang sebagian besar karena alasan keamanan dan ekonomi.

Perubahan Situasi Politik

Pasca pembantaian massal penduduk Tionghoa oleh Belanda pada 1740, banyak orang Tionghoa kemudian masuk Islam untuk menghindari kemungkinan menjadi korban. Ada juga yang masuk Islam agar diperlakukan sebagai pribumi dan dikenakan pajak lebih rendah. Hal tersebut kemudian membuat Belanda mencegah konversi keagamaan bagi etnis Tionghoa karena menimbulkan kehilangan yang besar bagi pemerintah kolonial.

Kendati terdapat ketegangan-ketegangan tersebut, keputusan memeluk Islam di kalangan Tionghoa tidak berhenti. Bahkan, beberapa dari mereka ikut terlibat dalam berbagai gerakan anti kolonial dan keagamaan di tingkat lokal. Pada awal 1930-an, ada kegiatan penyebaran Islam yang meningkat oleh Tionghoa Muslim kepada Tionghoa non-Muslim untuk masuk Islam. Bahkan di Sulawesi, Ong Kie Ho mendirikan Partai Islam yang membuatnya kemudian diasingkan ke Jawa pada 1932.

Meski demikian, pergerakan tidak berhenti. Pada 1933, didirikan Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII), tujuannya untuk mengangkat status etnis Tionghoa dengan cara masuk Islam. Di Medan, bersama beberapa pengikutnya Yap A Siong atau Haji Abdussomad mendirikan Persatuan Islam Tionghoa (PIT) pada 1936. Mereka berusaha mewujudkan keislaman dan identitas ketionghoaan mereka secara bersamaan.

Pasca kemerdekaan, PIT yang saat itu dipimpin Abdul Karim Oei Tjeng Hien pindah ke Jakarta dan menggabungkan diri dengan perkumpulan Tionghoa Muslim yang berbasis di Bengkulu. Mereka bergabung dan mendeklarasikan diri menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada 1961. Namun karena situasi politik pasca 1965, PITI kemudian menghapuskan identitas Tionghoa di namanya.

Masa Orde Baru

Soeharto secara sistematis melarang semua bentuk ekspresi identitas etnis, budaya, dan keagamaan Tionghoa. Pada waktu bersamaan dia meminggirkan etnis Tionghoa dalam arena-arena sosial, pendidikan, dan politik. PITI mengubah namanya menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Tidak hanya harus mengubah namanya, Soeharto juga memasukkan orang-orang militer di jajaran petinggi PITI.

Bisa dikatakan, masa Orde Baru merupakan periode gelap dalam sejarah PITI. Angin segar bagi PITI baru berembus pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Pada pertengahan Mei 2000, di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang terkenal sangat plural, PITI diperbolehkan menggunakan kata Tionghoa lagi sebagai namanya. Sejak saat itu, orang-orang Tionghoa Muslim bisa lebih leluasa dalam menjalankan ibadah maupun budaya mereka. Mereka juga menghidupkan kembali sejarah dan merawat ikatan mereka dengan umat Muslim di Tiongkok.

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia, karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info tentang buku tersebut di sini.


Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: Kumparan

Eksistensi Tionghoa Muslim Indonesia Masa Belanda

Eksistensi Tionghoa Muslim di Indonesia mengalami pasang surut dari masa ke masa. Satu fase yang menarik untuk dibahas adalah Tionghoa Muslim di Indonesia pada masa pendudukan Belanda.

Menurut Al-Qurtuby, keberadaan Tionghoa Muslim di Jawa sudah dimulai sejak abad ke-15. Pada masa itu, kolaborasi kehidupan antara Tionghoa Muslim dengan masyarakat Jawa digambarkan dengan gaya arsitektur masjid. Lombard dan Salmon (2001) menyebut hal ini sebagai subkultur Muslim Peranakan, terlihat interaksi sebagai bentuk “persekutuan suci” kosmopolitan yang mengombinasikan antara peran-peran positif teologi Islam dan teknik-teknik Tionghoa.

Akan tetapi, masuknya kolonial Belanda ke Indonesia membuat eksistensi Tionghoa Muslim dan hubungannya dengan budaya lokal mengalami kemerosotan. Banyak kebijakan Belanda yang bersifat memecah belah sehingga menciptakan batas-batas yang lebih tegas antara orang-orang Tionghoa dan penduduk asli Indonesia. Misalnya, ketika Belanda membagi warga ke dalam tiga kategori rasial yang masing-masing memiliki hak hukum dan hak istimewa berbeda-beda. Orang-orang Eropa berada di posisi teratas, orang Timur Asing (terutama Tionghoa, juga Arab dan India) berada di tengah-tengah, dan orang pribumi berada di posisi terbawah.

Islam dan Politik Etnis

Hew Wai Weng dalam bukunya Berislam ala Tionghoa mengungkapkan pembagian kasta-kasta tersebut memunculkan stigma di kalangan etnis Tionghoa kalau orang-orang asli Indonesia berkedudukan lebih rendah. Karena agama Islam mayoritas dipeluk oleh orang-orang pribumi, banyak orang Tionghoa yang berpandangan jika ia memeluk Islam maka status sosialnya akan turun, karena sama dengan orang-orang pribumi. Di samping itu, kebijakan Belanda juga terkesan mempertahankan etnis Tionghoa supaya tidak membaur dengan orang-orang pribumi. Bersamaan dengan itu, banyak orang pribumi juga yang menanamkan stigma negatif terhadap etnis Tionghoa. Misalnya mengatakan kalau orang Tionghoa hidup secara eksklusif dan mengeksploitasi sumber-sumber daya di Indonesia.

Kendati demikian, masih ada orang Tionghoa yang memeluk Islam. Sebagian besar dari mereka yang memeluk Islam karena alasan keamanan dan ekonomi. Terutama pasca pembunuhan massal etnis Tionghoa oleh serdadu Belanda di Jakarta pada 1740. Ada juga yang masuk Islam supaya tidak dikenakan pajak tinggi. Hal ini membuat Belanda bertindak, karena hal tersebut membuat pendapatannya menurun. Belanda kemudian melarang konversi keagamaan bagi etnis Tionghoa.

Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga takut kalau orang-orang Tionghoa dengan penduduk lokal membaur, hal tersebut akan mengancam kekuasaan mereka. Untuk mencegah pembauran tersebut, Belanda mengangkat seorang Kapitan sebagai pemimpin para kaum Tionghoa Muslim dan membangunkan masjid untuk mereka, salah satunya masjid Krukut yang khusus digunakan untuk komunitas Tionghoa.

Masa pendudukan Belanda di Indonesia disebut-sebut sebagai periode paling gelap dalam perkembangan Tionghoa Muslim di Indonesia. Keadaan tersebut makin memburuk ketika Meletus Perang Jawa (1825—1830) dan penyerangan Sarekat Islam pada 1912. Lombard dan Salmon menuliskan bahwa selama puncak Perang Jawa, Diponegoro, seorang tokoh Jawa mengambil sikap tidak mau kompromi dengan etnis Tionghoa. Bahkan, di beberapa daerah tertentu, Diponegoro memberlakukan sebuah aturan yang ditujukan kepada orang-orang Tionghoa untuk masuk Islam atau menghadapi hukuman mati.

Berdirinya Sarekat Dagang Islam

Kemudian pada 1905, para pengusaha Muslim Pribumi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuannya untuk melindungi kepentingan bisnis mereka menghadapi para pedagang Tionghoa yang lebih mapan. SDI kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada 1912 dan melakukan boikot terhadap pedagang-pedagang Tionghoa yang berakhir rusuh di sekitar Solo.

Peristiwa-peristiwa tersebut semakin menguatkan stereotip negatif di kalangan pribumi. Bagi sejumlah orang Tionghoa Indonesia, Islam dipandang sebagai agama yang tidak cocok dengan ketionghoaan dan bahkan “anti-Tionghoa”. Sementara, bagi orang-orang Indonesia sendiri, orang-orang Tionghoa diasosiasikan dengan eksklusivitas sosial dan dominasi ekonomi.

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info selengkapnya tentang buku tersebut di sini.


Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: berdikarionline

Apa Itu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)?

Pada 14 April 1961, umat Tionghoa Muslim di Indonesia mendirikan sebuah wadah yang menaungi mereka. Wadah tersebut bernama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Adapun tokoh-tokoh utama yang mendirikan organisasi tersebut antara lain Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong, serta Kho Goan Tjin.

PITI adalah gabungan dari organisasi umat Muslim Tionghoa yang sudah lahir terlebih dulu di Indonesia. Organisasi itu adalah Persatuan Islam Tionghoa (PIT) yang saat itu dipimpin oleh Abdusomad Yap A Siong. Kedua,  Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) pimpinan Kho Goan Tjin.

Saat itu, PIT dan PMT masih bersifat lokal atau kedaerahan sehingga belum begitu dirasakan oleh umat Muslim Tionghoa di Indonesia secara luas. Adapun daerah-daerah tumbuhnya PIT dan PMT saat itu adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, serta Lampung.

Pindah Kantor

Dengan alasan untuk memperkuat ukhuwah islamiah antara umat Muslim Tionghoa di Indonesia, dua organisasi yang bermarkas utama di Medan, akhirnya pindah ke Jakarta. Mereka bergabung dan mendeklarasikan diri menjadi PITI. Sampai saat ini, kantor pusat PITI beralamat di Jl. Gunung Sahari Raya No. 28 D, Lantai 3, Jakarta Pusat.

Dalam perkembangannya, PITI menganut paham Ahlussunah wal Jamaah yang metodologi dalam bidang tauhid atau ketuhanannya merujuk pada pemikiran ulama salaf yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Sementara itu, dalam bidang fiqh mereka ber-mahzab Imam Syafi’i. Dalam bidang tasawuf, PITI berpedoman pada metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi yang mengintegrasikan antara tasawuf dan syariat.

Saat awal berdirinya, PITI banyak mengampanyekan tentang orang Tionghoa untuk masuk Islam. Selain itu juga mempromosikan hubungan baik antara orang Tionghoa dan Muslim Indonesia.

Perubahan Nama

Pada 15 Desember 1972, PITI sempat mengubah namanya menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Kondisi politik saat itulah yang memaksa mereka mengubah namanya. Saat itu, pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), pemerintah tengah menggencarkan gerakan nation and character building serta persatuan dan kesatuan bangsa. Akibatnya, simbol-simbol atau identitas yang sifatnya disosiatif atau menghambat persatuan, misalnya bahasa, istilah, dan budaya asing dilarang oleh pemerintah.

PITI pun terkena imbasnya karena di dalamnya menggunakan nama Tionghoa. Akhirnya, para pimpinan PITI saat itu memutuskan untuk menghilangkan kata Tionghoa dalam namanya supaya organisasi tersebut tetap boleh berdiri. Sejak saat itu, nama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia berganti nama menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.

Dikutip dari buku Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya Hew Wai Weng, pada masa itu juga, pimpinan PITI yang semula hampir semua orang Tionghoa mulai dimasuki orang-orang militer. Tokoh-tokoh militer banyak dimasukkan sebagai Dewan Penasihat PITI sehingga mengakibatkan percampuran etnis di komposisi dewan pimpinannya. Tokoh-tokoh yang menjadi anggota baru PITI di antaranya Letjen H. Sudirman yang dijadikan ketua serta Buya Hamka sebagai penasihat.

Masa Reformasi

Hampir tiga dekade, mereka menggunakan nama tersebut untuk organisasinya. Hingga pada pertengahan Mei 2000, ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang terkenal sangat pluralis, mereka diizinkan kembali untuk menggunakan nama Persatuan Islam Tionghoa Islam, seperti nama semula mereka.

Sejak saat itu, budaya Tionghoa Muslim di Indonesia pun mulai diterjemahkan dalam simbol-simbol, media populer, serta ritual. Misalnya masjid-masjid berarsitektur Tionghoa, pendakwah Tionghoa, sampai perayaan Imlek. Tokoh-tokoh Tionghoa Muslim juga mengusung identitas mereka yang unik dengan cara menghidupkan kembali sejarah dan merawat ikatan mereka dengan umat Muslim di Tiongkok. Hingga saat ini, PITI terus berkembang. Bahkan, kantor-kantornya sudah menjangkau di banyak kabupaten dan kota di Indonesia.

Ketahui lebih banyak tentang PITI dalam buku Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info selengkapnya tentang buku tersebut di sini.


Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: Hew Wai Weng/2008

muslim tionghoa

Tokoh Tionghoa Muslim di Indonesia

Pasca-Reformasi merupakan angin segar bagi perkembangan komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia. Hampir tidak ada lagi pengekangan-pengekangan dan aturan-aturan yang mendiskreditkan komunitas Tionghoa Muslim seperti pada era kolonial Belanda dan Orde Baru. Hasilnya, mulai lahir tokoh-tokoh Muslim keturunan Tionghoa di Indonesia. Beberapa dari mereka bahkan menjadi sosok yang berpengaruh, bukan hanya di kalangan keturunan Tionghoa, tapi juga bagi umat Muslim di Indonesia secara luas. Beberapa dari mereka juga tidak jarang muncul di layar kaca. Sebut saja Felix Siauw.

Felix Siauw adalah seorang mualaf keturunan Tionghoa yang lahir di Palembang, 31 Januari 1984. Sebelum masuk Islam, karena lahir dan besar di tengah keluarga yang memeluk Katolik, ia pun memeluk Katolik sampai kelas 3 SMP. Ia mendapati banyak hal yang tidak masuk akal dengan ajaran agamanya. Bahkan, ia sempat berada pada fase tidak memercayai adanya Tuhan. Selama beberapa tahun berjalan, akhirnya ia menemukan Islam sebagai agama yang menurutnya paling sesuai dengan logika dan sains. Hingga saat ia kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), ia mulai mendalami ajaran Islam.

Perlahan ia mulai populer sebagai penceramah, terlebih ia merupakan mantan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selanjutnya dilarang oleh pemerintah karena dinilai tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Karena itulah namanya juga cukup kontroversial.

Gaya berceramah Felix Siauw juga banyak disukai terutama oleh kalangan anak-anak muda karena ia kerap menyinggung isu-isu yang bersentuhan langsung dengan mereka. Misalnya, isu tentang pacaran. Selain berceramah, Felix Siauw juga aktif menulis. Beberapa buku yang sudah berhasil ia tulis seperti Udah Putusin Aja, Yuk Berhijab, The Chronicles of Ghazi: Rise of the Ottomans, Khilafah, How to Master Your Habits, Beyond the Inspiration, serta Muhammad Al-Fatih 1453 yang cukup banyak dicari orang.

Tokoh Tionghoa Muslim yang tidak kalah populer adalah Haji Muhammad Ustman Ansori, atau masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Koko Liem. Sama dengan Felix Siauw, Koko Liem adalah seorang mualaf. Ia dididik dan dibesarkan di tengah keluarga Hindu yang sangat taat. Bahkan, sang ayah adalah seorang aktivis Klenteng.

Ketertarikan Koko Liem pada Islam sudah dimulai sejak kelas 2 SD. Ketika ada pelajaran Pendidikan Agama Islam, Koko Liem tidak meninggalkan kelas seperti para siswa non-Muslim lain. Ia justru sangat antusias mengikuti pelajaran tersebut meski berbeda dengan keyakinan yang dianutnya. Koko Liem paling suka ketika mendengar kisah nabi-nabi yang diceritakan oleh guru agamanya. Pun ketika ia masuk SMP, kebiasaan itu masih saja ia lakukan. Meskipun ia tetap aktif bersembahyang di Vihara.

Akhirnya setelah berkonsultasi dengan kakeknya, Muhammad Abdul Nashir alias Liem Hai Seng yang sudah lebih dulu masuk Islam, Koko Liem memutuskan untuk masuk Islam saat ia naik ke kelas 3 SMP.

Tidak seperti Felix Siauw yang mendapat dukungan dari keluarganya ketika ia masuk Islam, ayah Koko Liem marah besar dan mengusirnya ketika tahu anaknya sudah menjadi mualaf. Koko Liem akhirnya pindah ke Duri, Riau dan diasuh oleh seorang ulama bernama K.H. Ali Muchsin, pengasuh Pondok Pesantren Jabal Nur di Kandis.

Suka duka setelah masuk Islam dilalui oleh Koko Liem. Meski begitu, ia tetap bersikukuh mempelajari agama Islam sebaik-baiknya. Hingga namanya mulai terkenal sebagai penceramah.

Koko Liem sempat mengisi acara di berbagai stasiun televisi swasta maupun negeri Nasional dan memiliki pengaruh yang cukup besar, tidak hanya di kalangan Tionghoa Muslim, tapi juga umat Muslim secara luas.

Tokoh Tionghoa Muslim lain yang juga cukup populer adalah Anton Medan. Latar belakang Anton Medan yang bernama asli Tan Kok Liong ini adalah seorang preman kelas kakap di Jakarta. Berkali-kali ia keluar masuk penjara. Berbagai aksi kriminal mulai dari menjambret, bandar judi, transaksi narkoba, sampai merampok sudah akrab dengan kehidupan masa mudanya.

Ketika bebas dari penjara untuk kali pertama, Anton Medan yang lahir pada 1 Oktober 1957 ini pulang ke kampung halamannya di Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Namun, karena pernah dipenjara, keluarganya tak mau lagi menerimanya dan mengusir Anton. Hanya beberapa jam di kampung halaman, Anton Medan berangkat lagi ke Jakarta untuk mencari alamat sang paman dengan uang seadanya. Berbulan-bulan ia menggelandang sebelum akhirnya berhasil menemukan alamat sang paman.

Celakanya, sang paman yang dulu begitu menyayanginya juga sudah tidak mau lagi menerima Anton. Berada di tengah keputusasaan, Anton kembali lagi menempuh dunia kelam. Pertama ia menjambret, kemudian merampok, menjual obat-obatan terlarang, sampai bandar judi dia lakukan. Berkali-kali juga ia masuk bui.

Ia akhirnya mendapatkan hidayah ketika kalah judi sampai miliaran. Ia memutuskan untuk belajar agama Islam, setelah sebelumnya ia juga pernah memeluk agama Buddha dan Katolik. Kepada Ustaz Zainuddin M.Z.-lah ia berguru. Hingga Anton dibantu Zainuddin M.Z., Nur Muhammad Iskandar, dan Mayjen Hendro Prijono memutuskan untuk mendirikan sebuah majelis taklim Atta’ibin.

Majelis taklim ini ia tujukan untuk menampung dan membina para mantan napi dan pengangguran. Ia juga dikenal kerap berceramah dari penjara ke penjara untuk menyiarkan agama Islam. Beberapa kali ia juga tampil dalam acara televisi.

Felix Siauw, Koko Liem, dan Anton Medan hanya contoh kecil tokoh Tionghoa Muslim yang cukup berpengaruh di Indonesia. Masih banyak tokoh Tionghoa Muslim lain yang juga terus menyiarkan agama Islam, terutama pasca-Reformasi ketika mereka tidak lagi mendapat kekangan dari pemerintah.

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan segera di http://mizanstore.com atau di toko buku kesayanganmu.


 

Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: republika.co.id

© Copyright - Bentang Pustaka