Tag Archive for: Tafsir Al Quran di Medsos

Trade in buku

Tukar Buku Bagi Manfaat

Trade in buku

Trade in buku

Sebenarnya sudah cukup lama saya merasa “terbebani” dengan buku-buku yang berdebu. Buku itu bukannya tidak pernah dibaca, melainkan beberapa sudah khatam berkali-kali sehingga ketika datang buku baru, beberapa judul tersisih ke pojokan, dan mungkin diam-diam sesenggukan. Saya kira, fenomena ini juga lazim terjadi pada kawan-kawan yang terlalu cinta buku, sampai menambah rak-rak lemari ke bagian dinding rumah yang masih absen dari dekorasi, kecuali lemari buku.

Untungnya beberapa tahun silam, saya menemukan kawan-kawan yang bersedia menampung buku-buku, istilah keren sekarang disebut pre-loved. Buku-buku ini adalah barang berharga yang pernah kita bela dengan menabung beberapa waktu, sebagian bahkan didapat dari hasil “swap” dengan teman yang sama-sama senang membaca, sebagian lagi didapat dengan susah payah karena harus mengerjakan tugas-tugas kuliah. Buku-buku ini sudah pasti telah memberikan mata baru bagi saya, sebagian besar saya tularkan isinya lewat laku, praktik, maupun sekadar berbagi gagasan dengan teman di kantor, atau saat wedangan disambi makan gedang goreng. Tak terkecuali, saya menuliskannya kembali sambil dibumbui di sana sini agar makin terasa nikmat dikunyah: tanpa micin tentu saja.

Pengalaman saya yang pendek ini cukup efektif mengurangi koleksi buku yang sudah saatnya dipindah-tangankan. Barangkali, ada banyak, sebagian besar, atau beberapa buku yang kita bagikan mendarat di tangan-tangan mungil yang haus cerita. Buku-buku yang kelak mengubah jalan hidup mereka. Nah, kini, saya ingin mengajak kawan-kawan yang memiliki buku-buku berharga, masih layak digunakan, dan tentu saja akan memberi manfaat baru kepada mereka yang belum membaca untuk mendapatkan berkah yang sama. Bersama Bentang Pustaka, saya sedang mengumpulkan buku-buku pre-loved ini untuk ditukarkan dengan 1 (satu) eksemplar buku baru karya Prof. Nadirsyah Hosen, Ph.D. berjudul Tafsir Al-Quran di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci pada Era Media Sosial.

Buku sumbangan dari pembaca bersama dengan Bentang Pustaka, nantinya akan disumbangkan ke sejumlah Taman Bacaan Masyarakat, pesantren, dan pegiat literasi lainnya.

Bagaimana caranya? Secara teknis, pembaca dapat menyumbangkan buku bekas layak baca terbitan Bentang Pustaka melalui beberapa toko buku Togamas pilihan (Togamas Buah Batu, Supratman, Malang, Petra, Diponegoro, Margorejo, Solo, Affandi, dan Kotabaru). Selanjutnya, pembaca yang telah menyumbangkan buku dapat memperoleh diskon 20% untuk setiap pembelian buku Tafsir Al-Quran di Medsos karya Prof. Nadirsyah Hosen edisi hardcover dan bertanda tangan. Pembaca yang menukarkan buku pada minggu pertama akan mendapatkan free e-book dari Bentang Pustaka. Pada periode selanjutnya, pembaca akan mendapatkan merchandise sebagai ucapan terima kasih. Program ini berlangsung mulai 1—30 Oktober 2019.

Berita baiknya, bagi teman-teman yang sudah tak sabar “membersihkan” koleksi buku dan menukar manfaatnya, program “Berbagi untuk Negeri” ini akan kami lakukan secara berkala hingga terus mencapai angka 10.000 eksemplar.

 

Salam,
Salman Faridi
CEO Bentang Pustaka

Menukar Buku Bagi Manfaat

Sebenarnya sudah cukup lama saya merasa “terbebani” dengan buku-buku yang berdebu. Buku itu bukannya tidak pernah dibaca, melainkan beberapa sudah khatam berkali-kali sehingga ketika datang buku baru, beberapa judul tersisih ke pojokan, dan mungkin diam-diam sesenggukan. Saya kira, fenomena ini juga lazim terjadi pada kawan-kawan yang terlalu cinta buku, sampai menambah rak-rak lemari ke bagian dinding rumah yang masih absen dari dekorasi, kecuali lemari buku. Sudah saatnya menukar buku itu dengan yang baru.

Untungnya beberapa tahun silam, saya menemukan kawan-kawan yang bersedia menampung buku-buku, istilah keren sekarang disebut pre-loved. Buku-buku ini adalah barang berharga yang pernah kita bela dengan menabung beberapa waktu, sebagian bahkan didapat dari hasil “swap” dengan teman yang sama-sama senang membaca, sebagian lagi didapat dengan susah payah karena harus mengerjakan tugas-tugas kuliah. Buku-buku ini sudah pasti telah memberikan mata baru bagi saya, sebagian besar saya tularkan isinya lewat laku, praktik, maupun sekadar berbagi gagasan dengan teman di kantor, atau saat wedangan disambi makan gedang (pisang) goreng. Tak terkecuali, saya menuliskannya kembali sambil dibumbui di sana sini agar makin terasa nikmat dikunyah: tanpa micin tentu saja.

Pengalaman saya yang pendek ini cukup efektif mengurangi koleksi buku yang sudah saatnya dipindahtangankan. Barangkali, ada banyak, sebagian besar, atau beberapa buku yang kita bagikan mendarat di tangantangan mungil yang haus cerita. Buku-buku yang kelak mengubah jalan hidup mereka. Nah, kini, saya ingin mengajak kawan kawan yang memiliki buku-buku berharga, masih layak digunakan, dan tentu saja akan memberi manfaat baru kepada mereka yang belum membaca untuk mendapatkan berkah yang sama. Bersama Bentang Pustaka, saya sedang mengumpulkan buku-buku pre-loved ini untuk ditukarkan dengan 1 (satu) eksemplar buku baru karya Prof. Nadirsyah Hosen, Ph.D. berjudul Tafsir Al-Quran di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci pada Era Media Sosial.

Buku sumbangan dari pembaca bersama dengan Bentang Pustaka, nantinya akan disumbangkan ke sejumlah Taman Bacaan Masyarakat, pesantren, dan pegiat literasi lainnya. Bagaimana caranya? Secara teknis, pembaca dapat menyumbangkan buku bekas layak baca terbitan Bentang Pustaka melalui beberapa toko buku Togamas pilihan (Togamas Buah Batu, Supratman, Malang, Petra, Diponegoro, Margorejo, Solo, Affandi, dan Kotabaru). Selanjutnya, pembaca yang telah menyumbangkan buku dapat memperoleh diskon 20% untuk setiap pembelian buku Tafsir Al-Quran di Medsos karya Prof. Nadirsyah Hosen edisi hardcover dan bertanda tangan.

Pembaca yang menukar buku pada minggu pertama akan mendapatkan free e-book dari Bentang Pustaka. Pada periode selanjutnya, pembaca akan mendapatkan merchandise sebagai ucapan terima kasih.

Program ini berlangsung mulai 1—30 Oktober 2019. Berita baiknya, bagi teman-teman yang sudah tak sabar menukar buku dan menukar manfaatnya, program “Berbagi untuk Negeri” ini akan kami lakukan secara berkala hingga terus mencapai angka 10.000 eksemplar.

Bagaimana Islam Memuliakan Perempuan?

Islam adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Di dalam Al-Quran, cukup banyak kisah yang menggambarkan betapa Islam memuliakan kaum perempuan. Hal itu juga membuktikan bahwa Islam adalah agama yang tidak membeda-bedakan. Islam tidak mendiskriminasi salah satu jenis kelamin seperti banyak opini yang berkembang. Banyak orang yang kurang memahami Islam memandang Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap kaum perempuan dengan segala batasan yang diberlakukan kepada mereka.

Beberapa kisah dalam Al-Quran membuktikan bahwa Islam benar-benar agama yang memuliakan kedudukan seorang perempuan, di antaranya kisah Maryam binti Imran, Khaulah binti Tsa’labah, kisah Ibunda Nabi Musa, serta kisah Aisyah radhiyallahu anha yang tidak lain adalah istri Nabi Muhammad Saw.

Maryam binti Imran

Maryam merupakan satu-satunya perempuan yang namanya disebut oleh Allah di dalam Al-Quran. Bahkan, ada satu surah, yaitu surah ke-19 di dalam Al-Quran yang dinamai Maryam. Selain di dalam surah Maryam, nama Ibunda Nabi Isa itu juga disebut dalam Surah Ali-Imran, Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Ma’idah, At-Taubah, Al-Mukminun, Al-Ahzab, Al-Hadid, As-Shaff, dan surah At-Tahrim.

Maryam sempat dicemooh dan dituduh telah melakukan zina karena mengandung Nabi Isa as. tanpa seorang suami. Ketika orang-orang di sekitarnya meragukan kesucian keturunan Nabi Daud as. itu, Allah sendiri yang kemudian menjamin kesucian dan kehormatan Maryam. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Surah Ali-Imran ayat 42 yang berarti “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).’”

Maryam merupakan seorang perempuan yang sangat memelihara kehormatannya, karena itu Allah meniupkan roh ke dalam rahimnya yang kemudian lahirlah Nabi Isa a.s. Al-Quran menggambarkan Maryam sebagai seorang perempuan yang suci dan terhormat sehingga Allah meninggikannya.

Khaulah binti Tsa’labah

Kisah lain yang menggambarkan bagaimana Islam memuliakan perempuan terdapat pada Surah Al-Mujadilah ayat pertama. Surat itu turun ketika seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah mengajukan gugatan kepada Nabi Muhammad Saw. tentang zhihar yang diakukan suaminya, Aus bin Ash Shamit. Khaulah mengeluhkan sikap kasar suaminya yang sudah tua kepada Nabi. Namun, Nabi justru menyuruh Khaulah untuk kembali ke rumahnya dan berbakti kepada suaminya yang sudah tua itu.

Saat itulah turun Surah Al-Mujadilah ayat pertama yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan, Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Nabi kemudian membenarkan sikap Khaulah. Begitu juga dengan para sahabat yang mengakui juga keutamaan perempuan tersebut. Para sahabat selalu diam mendengarkan perkataannya sebagai penghormatan terhadap perempuan yang telah didengar pengaduannya oleh Allah. Hal itu membuktikan bahwa Islam juga memiliki hukum yang adil untuk perempuan, tidak mendiskriminasi seperti yang sebagian orang sangkakan.

Ibunda Nabi Musa

Kisah berikutnya menceritakan tentang seorang perempuan, ibunda Nabi Musa as, Yokhebed. Saat melahirkan anak laki-lakinya, Fir’aun, penguasa saat itu tidak mengizinkan kelahiran anak laki-laki. Apabila ada anak laki-laki bani Israil, Fir’aun akan membunuhnya. Kisah ini diceritakan dalam Al-Quran di dalam Surah Al-Qassas ayat 7 yang artinya “Dan, kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan, janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”

Sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan anak yang sangat dicintainya, perintah tersebut sungguh berat bagi Yokhebed. Namun, keimanan dan ketaatannya kepada Allah mengalahkan segala rasa sedih dan khawatir, ia pun dengan tabah dan tawakal akhirnya memasukkan Musa ke dalam peti dan menjatuhkannya ke sungai Nil sehingga terbawa arus.

Kisah selanjutnya sudah kita kuasai, Musa kecil kemudian diselamatkan sendiri oleh Fir’aun atas permintaan istrinya. Dan, kemudian Musa-lah yang meruntuhkan pemerintah tiran Fir’aun.

Aisyah radhiyallahu‘anha

Kisah terakhir datang dari istri Nabi Saw, Aisyah radhiyallahu anha. Kisah tersebut terjadi ketika Aisyah dituduh berzina dengan seorang sahabat bernama Shafwan bin Muaththal oleh seorang munafiq bernama Abdullah bin Ubay. Berita tersebut dengan cepat tersebar, tetapi kemudian Allah sendiri yang membela Aisyah. Bahkan, melalui 10 ayat di dalam Surat An-Nur.

Allah juga memperingatkan kepada orang-orang yang memfitnah Aisyah berzina tersebut. Seperti yang disebutkan dalam ayat ke-17 yang artinya “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”

Beberapa kisah di atas membuktikan bahwa Islam adalah agama yang begitu memuliakan perempuan. Islam tidak membeda-bedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam artian yang diskriminatif. Sebaliknya, Islam sangat menjunjung kesetaraan melalui banyaknya kisah-kisah para perempuan terhormat yang Allah ceritakan di dalam Al-Quran.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

Mengenal Tokoh Mufasir Indonesia

Tokoh mufasir Indonesia ternyata diakui sampai ke luar negeri. Mufasir merupakan seorang yang ahli dalam bidang tafsir ayat-ayat suci Al-Quran.

Dalam buku Tafsir Al-Quran di Medsos, Nadirsyah Hosen menyebutkan beberapa tokoh mufasir Indonesia. Berikut sedikit penjelasan mengenai mereka.

Syaikh Abdurrauf As-Sinkili

Ulama besar asal Aceh, Syaikh Abdurrauf As-Sinkili (1615—1693) adalah pelopor tafsir di Nusantara. As-Sinkili merupakan ulama Nusantara yang memiliki reputasi internasional. Adapun karya As-Sinkili yang paling tersohor adalah Tarjuman al-Mustafid, sebuah kitab tafsir berbahasa Melayu-Jawi atau Arab-Pegon. Pada saat itu, bahasa Melayu dipakai dalam birokrasi pemerintahan, intelektual, hubungan diplomatik antarnegara, hingga perdagangan.

K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani

Pada masa yang lebih modern, ada juga K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani. Dia adalah guru para ulama di pengujung abad 19. Kiai Soleh, sapaan akrabnya, menulis sebuah kitab tafsir berjudul Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an, berkat dorongan R.A. Kartini yang juga merupakan muridnya. Awalnya, Kiai Soleh enggan untuk menafsirkan Al-Quran. Ia paham syarat menjadi seorang mufasir sangatlah berat. Namun, setelah dibujuk oleh muridnya tersebut, Kiai Soleh akhirnya luluh dan bersedia menuliskan kitab tafsir berbahasa Jawa. Kitab tersebut kali pertama dicetak di Singapura pada 1894. Kiai Soleh Darat yang merupakan guru K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan telah menandai salah satu fase perkembangan tafsir Al-Quran di Nusantara.

K.H. Abdul Sanusi

Pada 1930-an, ulama asal Sukabumi, K.H. Abdul Sanusi juga menulis kitab tafsir lengkap 30 juz yang berjudul Raudlatul Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an. Kitab tafsir itu ditulis dalam bahasa Sunda. Kiai Sanusi menulis 75 kitab dengan beragam perspektif keilmuan.

Buya Hamka

Sosok Buya Hamka muncul sebagai mufasir Indonesia pada masa setelah kemerdekaan. Buya Hamka menulis beberapa kitab tafsir. Salah satu yang paling tersohor adalah Tafsir al-Azhar. Ia mulai rintis penulisannya melalui pengajian subuh di Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta pada 1958. Karya monumentalnya itu ia terbitkan pada 1967.

K.H. Bisri Mustofa

Ayahanda K.H. Mustofa Bisri, K.H. Bisri Mustofa, juga turut menandai perkembangan tafsir Nusantara. Bisri Mustofa, mufasir asal Rembang, Jawa Tengah tersebut sebenarnya bukan nama asli. Nama aslinya adalah Mashadi, baru pada 1923 setelah pulang dari Mekah menunaikan ibadah haji, ia mengganti namanya menjadi Bisri Mustofa.

Karyanya yang paling monumental adalah al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an al-Aziz yang berjumlah 30 juz. Pengerjaan kitab tafsir itu kurang lebih empat tahun sejak 1957 sampai 1960. Kitab berbahasa Jawa ini juga telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Sunda, Indonesia, bahkan Belanda, Inggris, dan Jerman.

Kitab ini juga mendapat pujian dari beberapa ulama seperti Habsy Ash-Shiddiqi, Khadijah Nasution, serta sarjana Belanda, Martin van Bruinessen. Seorang profesor muda ahli tafsir dan hadis keturunan India, Muhammad Shahab Ahmed, juga tertarik mempelajari Tafsir al-Ibriz. Ia bahkan merekomendasikan kitab tersebut sebagai salah satu koleksi di perpustakaan Universitas Harvard.

Muhammad Quraish Shihab

Saat ini, Indonesia juga memiliki ulama dengan reputasi internasional, yakni Muhammad Quraish Shihab. Ia dikenal sebagai seorang pakar tafsir kontemporer yang merupakan jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir. Dari beberapa karyanya di bidang tafsir, Tafsir Al-Misbah yang terdiri atas 15 judul bisa dikatakan sebagai karyanya yang paling monumental. Dalam menafsirkan Al-Quran, K.H. Quraish Shihab selalu membandingkan pendapat dari pakar yang satu dengan lainnya. Beberapa pakar yang kerap menjadi rujukan K.H. Quraish Shihab ketika menafsirkan Al-Quran di antaranya Ibnu Faris, Tabatabai, serta beberapa Syaikh dari Al-Azhar.

Itulah beberapa tokoh mufasir Indonesia dalam Tafsir Al-Quran di Medsos. Sebenarnya masih banyak tokoh lain yang juga memiliki kontribusi besar. Misalnya, di Minangkabau tercatat ada lima ulama yang menuliskan kitab tafsir berbahasa lokal. Hal tersebut menunjukkan adanya orientasi pragmatis di antara mereka, yaitu agar tafsir lebih mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Beberapa mufasir Nusantara lainnya yang terkenal di antaranya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dari Banten, Syekh Muhammad Yunus, Ustadz A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, Abdurrahim Haitami, K.H. Abdul Mu’in Yusuf, Anregurutta Daud Ismail, Hasbi Asshiedqy, dan Prof. K.H. Didin Hafiduddin.

 

Kontributor: Widi Hermawan

 

Berikut, Orang-Orang yang Dilupakan Allah

Dalam ayat suci Al-Quran disebutkan salah satu golongan yang akan dilupakan Allah adalah golongan orang-orang munafik. Dalam Surah At-Taubah ayat (9) yang mengatakan bahwa orang munafik itu telah lupa kepada Allah hingga Ia pun akan melupakan mereka. Itu artinya, siapa saja yang meninggalkan Allah, maka Allah pun akan menjauh darinya.

Lantas, Siapa Orang-orang Munafik Itu?

Ada sebuah hadis yang sangat tersohor yang menjelaskan ciri-ciri orang munafik. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Kitab Al-Iman hadis nomor 33. Dalam hadis itu disebutkan ada tiga ciri-ciri orang munafik, di antaranya jika berbicara maka dia berdusta, jika berjanji dia akan mengingkari, dan apabila diberi amanah maka dia akan berkhianat.

Dalam Al-Quran, kata al-munafiqun sendiri disebutkan sebanyak 27 kali, sedangkan kata nifaq yang merupakan bentuk masdar-nya disebutkan sebanyak tiga kali. Bahkan, ada surah di dalam Al-Quran yang bernama al-munafiqun, yaitu surah ke-63. Surah ini turun ketika pasukan Nabi tengah berperang di tempat Bani Mustaliq. Di tengah peperangan tersebut, ada seorang dari kaum Anshar bernama Abdullah bin Ubay. Ia mencoba menghasut orang-orang Anshar untuk tidak menyokong kaum Muhajir tinggal di Madinah sampai mereka berpisah dari Nabi Muhammad.

Akan tetapi, ketika ditanya oleh Nabi, Abdullah bin Ubay dan teman-temannya bersumpah tidak pernah melakukan hal tersebut, bahkan ia sampai bersumpah atas nama Allah. Keesokan harinya, turunlah surah al-Munafiqun sehingga Nabi menjadi tahu hal yang sebenarnya.

Sementara itu, Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa ciri-ciri orang munafik di antaranya jika melihat penampilan mereka maka kita akan terpesona. Jika mereka berbicara maka orang lain akan mendengarkan karena manisnya mulut mereka. Pada intinya mereka lebih mementingkan aspek lahiriah sehingga membuat orang lain terpikat.

Akan tetapi, sebenarnya hati mereka kosong dari iman, seperti kayu mati yang bersandar, tidak ada kehidupan dalam diri mereka. Mereka selalu mengira setiap teriakan yang keras, kebenaran yang nyata, maupun peringatan yang jelas sebagai bencana yang ditujukan kepada mereka. Hal tersebut karena orang yang kerap berdusta, hati kecilnya akan selalu takut kebohongannya akan terbongkar, walhasil mereka menjadi paranoid.

Cara Memperlakukan Orang Munafik

Orang-orang munafik juga memandang orang lain sebagai musuh, padahal merekalah musuh sebenarnya bagi umat Islam. Mereka sangat senang membolak-balikkan kebenaran, bahkan mereka tidak segan berdusta atas nama Allah. Alih-alih mencari maslahat, mereka justru lebih gemar mencari tipu muslihat.

Meski ciri-ciri orang munafik sudah tergambar baik di dalam hadis maupun di dalam Al-Quran, jangan sampai kita mudah menganggap orang lain munafik. Justru dengan adanya ciri-ciri itu seharusnya membuat kita mawas diri, bukan malah digunakan untuk menyerang sesama Muslim. Di samping itu, memberi label kepada orang lain adalah hak prerogatif Allah.

Sayangnya saat ini, banyak orang yang begitu mudah menuduh orang lain munafik hanya karena persoalan perbedaan pilihan politik. Di media sosial, bahkan dengan mudahnya orang bertanya dengan nada yang seolah meragukan keislaman seseorang hanya karena perbedaan pendapat. Bahkan, saat sedang panas-panasnya gejolak pemilu lalu, sangat ramai ajakan untuk tidak menshalatkan jenazah mereka yang memilih pemimpin non-Muslim karena dianggap munafik.

Padahal, para ulama salaf sangat berhati-hati dalam menilai keimanan seseorang. Selama seseorang tampak secara lahiriah bahwa mereka shalat, menikah secara Islam, berpuasa Ramadan, mereka cukup dihukumi sebagai seorang Muslim secara lahiriah. Sementara itu untuk urusan hati, apakah ibadah mereka diterima Allah, hanya Allah sendiri yang tahu, dan orang lain tidak punya hak apa pun untuk memberikan penilaian kepadanya.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

Allah Menjanjikan Kembalinya Khilafah, Benarkah?

Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan soal khilafah terus memanas, khususnya di Indonesia. Bahkan, pemerintah sempat harus membubarkan sebuah organisasi masyarakat (ormas) yang berpaham khilafah. Ormas tersebut adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap berbahaya bagi keutuhan bangsa. Pasalnya, mereka berusaha untuk menggantikan ideologi Pancasila menjadi khilafah versi mereka.

Adapun ayat andalan yang sering mereka nukil dalam setiap aktivitas dakwahnya adalah Surat An-Nur ayat (55). Ayat tersebut memiliki arti sebagai berikut:

“Dan, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan, barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Lantas benarkah ayat tersebut merupakan janji Allah untuk mengembalikan khilafah di muka bumi?

Perdebatan di antara Mufasir

Nadirsyah Hosen dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Quran di Medsos mengatakan bahwa pihak-pihak yang menukil ayat tersebut dengan misi menegakkan khilafah merupakan kegiatan mengelabui publik. Beberapa golongan berani mengeklaim bahwa jika tidak percaya dengan janji Allah akan kedatangan khilafah sama saja telah murtad. Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa berdasarkan kajian komparasi sejumlah kitab tafsir klasik dan kontemporer nyatanya menunjukkan bahwa pemahaman seperti di atas merupakan pemahaman yang keliru besar.

Adapun janji Allah dalam ayat di atas sebenarnya sudah terpenuhi pada masa Nabi Muhammad Saw. dalam peristiwa Fathu Makkah. Saat itu, Nabi dan pasukannya memasuki Kota Mekah tanpa perlawanan. Sebagian kitab tafsir juga mengatakan bahwa janji tersebut sudah tuntas pada masa Nabi Muhammad dan Kulafaur Rasyidin. Hal tersebut berlandaskan pada hadis sahih Nabi yang mengatakan kekhilafahan hanya berlangsung selama 30 tahun.

Tafsir Al-Razi justru mengatakan bahwa periode khilafah hanya terjadi pada masa tiga khalifah pertama karena pada masa tersebut ekspansi Islam terus meluas, sedangkan pada masa Sayyidina Ali lebih disibukkan pada perpecahan dan perang saudara. Tafsir ini juga menyebutkan adanya pendapat yang menentang memasukkan periode Khulafaur Rasyidin dalam kandungan ayat tersebut. Sebab, penggalan ayat selanjutnya adalah “sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa” padahal kekuasaan sebelum Islam itu tidak datang lewat kekhilafahan. Jadi, ayat hanya mencakup pada periode Nabi Muhammad. 

Ada juga tafsir yang mengatakan bahwa janji Allah pada ayat tersebut konteksnya adalah pada dakwah, alih-alih soal kekhilafahan.

Menariknya, dari sekian tafsir yang ada, tidak satu pun yang menyinggung akan kembalinya ‘ala minhajin nubuwwah seperti yang sering digelorakan oleh kelompok pro-khilafah. Para ulama tafsir itu bahkan tidak mengutip Riwayat Musnad Ahmad mengenai hal ini yang amat populer di kalangan HTI. Sebab, sanadnya pun lemah dan bermasalah.

Khilafah yang Sebenarnya

Dari sekian tafsir yang ada, dapat disimpulkan bahwa konteks Surah An-Nur (55) ini tidak membahas mengenai institusi atau sistem pemerintahan khilafah. Al-Quran memang tidak pernah menyinggung sistem kenegaraan secara detail, begitu pun dengan ayat ini. Tidak ada janji Allah mengenai akan kembalinya sistem khilafah seperti yang banyak dikatakan oleh orang-orang pro-khilafah.

Adapun cara umat Islam dapat berkuasa menurut ayat tersebut dan ayat selanjutnya adalah dengan jalan beriman dan beramal saleh, tidak menyekutukan-Nya, menegakkan salat, membayar zakat, serta taat kepada Rasulullah Saw. Cara itulah yang akan membuat Allah meridai, memberikan rasa aman, serta memberi kita rahmat. Namun, siapa saja yang kufur terhadap nikmat-Nya maka orang-orang itu termasuk orang fasik sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam ayat ini.

Dengan begitu, tidak mensyukuri nikmat tinggal di NKRI yang damai dan tenteram juga termasuk kufur. Oleh karena itu, langkah paling tepat adalah dengan terus bekerja dalam mewujudkan masyarakat yang adil sesuai amanat Pembukaan UUD 1945.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

 

Inilah Kosakata Nusantara yang Ada dalam Al-Quran

Ada pertentangan di kalangan ulama soal bahasa yang dipakai dalam Al-Quran. Ada yang berpendapat bahwa kosakata di dalam Al-Quran sepenuhnya berasal dari bahasa Arab, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa terdapat kosakata yang berasal dari bahasa non-Arab.

Imam Al-Qurthubi misalnya, menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai Al-Quran yang berisikan kata yang disusun dari term dan nama yang berasal dari non-Arab. Imam Al-Qurthubi menyebut beberapa ulama seperti Qadhi Ibn At-Thayyib dan At-Thabari percaya bahwa Al-Quran murni terdiri atas bahasa Arab dan tidak ada kosakata non-Arab di dalamnya. Meskipun ada kata yang tersusun dari bahasa non-Arab hanya terdapat kesamaan antara bahasa Arab dan non-Arab. Misalnya seperti Habasyah, Persia, dan lainnya.

Akan tetapi, Al-Qurthubi menyebutkan ada juga yang berpendapat jika ada kosakata non-Arab, jumlahnya sangat sedikit dan tidak sampai menghapus kenyataan bahwa Al-Quran murni berbahasa Arab.

Soal bahasa-bahasa non-Arab, Ibn ‘Athiyyah memang mengatakan bahwa pada dasarnya bahasa tersebut asing. Namun, orang-orang Arab sudah biasa menggunakannya sehingga kosakata tersebut dianggap juga sebagai bahasa Arab.

Akan tetapi, bahasa adalah sesuatu yang dinamis. Misalnya bahasa Indonesia seperti kata rakyat, musyawarah, wakil, tunggal, mutakhir, adil, introspeksi, dan lain sebagainya. Kosakata tersebut ada yang diserap dari bahasa Arab, Inggris, Sanskerta, Melayu, dan lainnya.

Akan tetapi siapa sangka, ternyata ada kosakata Nusantara yang diadopsi oleh Al-Quran. Kosakata tersebut terdapat pada Surah Al-Insan ayat kelima yang artinya, Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.

Perdagangan Kapur Barus

Sejak abad keempat Masehi kapur barus yang berasal dari daerah Barus di Sumatra telah terkenal di dunia Arab dan Asia. Itulah sebabnya Al-Quran mengadopsi kata kafur dalam ayat di atas. Al-Quran menyebutkan bahwa penduduk surga akan minum dari mata air sejernih, seputih, sewangi, dan sedingin kapur barus. Namun, air tersebut tidak berasa dan berbahaya.

Pada zaman dahulu, kapur barus merupakan komoditas yang sangat mahal, bahkan konon seharga emas. Komoditas ini juga dicari oleh banyak orang. Kafur saat itu digunakan sebagai wewangian, bumbu masak, bahkan untuk keperluan obat-obatan. Nah, nantinya, di surga, minuman yang akan dihidangkan kepada orang-orang beriman ini akan dicampur dengan kafur yang merupakan simbol kemewahan.

Interaksi awal perdagangan kafur antara Nusantara dan dunia Arab bisa dilacak dari diserapnya kosakata ini ke dalam tradisi Arab sehingga turut pula masuk ke bahasa Al-Quran. 

Manfaat dari Kapur Barus

Untuk saat ini, kapur barus di Indonesia dikenal dengan kamper atau camphor. Penggunaan kapur barus sendiri untuk saat ini lebih untuk keperluan wewangian yang biasa digunakan di dalam lemari pakaian. Penelitian University of Texas  mengungkapkan bahwa kamper bisa menyembuhkan batuk, gatal-gatal di kulit, dan bisa pula membantu untuk menumbuhkan rambut. Bahkan, ada orang yang mencampur kapur barus dengan teh supaya bisa menikmati manfaatnya. Namun, para peneliti mengingatkan bahayanya bila konsumsinya tidak terkontrol.

Diserapnya kosakata Nusantara ini ke dalam bahasa Arab juga merupakan salah satu dampak dari hubungan antara bangsa Arab dan Nusantara pada masa silam. Hal tersebut menunjukkan bahwa relasi antara Nusantara dan Arab sudah terjadi sebelum turunnya Al-Quran sebagai wahyu Nabi Muhammad Saw.

Pada lain sisi, diadopsinya kosakata Nusantara oleh Al-Quran juga menunjukkan betapa dinamisnya bahasa itu. Kita melihat banyak kosakata Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, dan kosakata Nusantara juga diadopsi serta diabadikan menjadi salah satu bagian di dalam ayat suci Al-Quran.

Ketahui lebih banyak tentang Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

Metode Tafsir Al Quran

Mengenal Metode Tafsir Al-Quran

Metode Tafsir Al Quran

Perbedaan penafsiran suatu konteks sangat sering terjadi di tengah masyarakat. Misalnya, cara seseorang memahami teks akan sangat mungkin berbeda dengan pemahaman orang lain. Meski membaca teks yang sama, tetapi penafsiran yang dihasilkan dapat sangat mungkin berbeda tergantung siapa, di mana, dan bagaimana pembacanya. Ini juga berlaku untuk tafsir Al-Quran.

Celakanya, dampak dari perbedaan tafsir bisa sampai mengakibatkan pertumpahan darah, terutama jika yang ditafsirkan adalah Kitab Suci. Banyak orang saling bunuh atas nama Ayat Suci. Padahal, sikap mereka itu sebenarnya sama sekali bukan atas nama Kitab Suci, melainkan atas nama penafsiran yang mereka anggap sama-sama suci dan sama-sama benarnya dengan Kitab Suci.

Tafsir memang seperti dua sisi mata uang, di satu sisi ia dapat menggerakkan seseorang untuk mengeklaim sebuah kebenaran. Namun di lain sisi, tafsir juga dapat menggerakkan seseorang untuk bersikap ramah, toleran, inklusif, dan pluralis terhadap keberagaman tafsir itu sendiri.

Dalam Islam, secara umum metode tafsir Al-Quran terbagi menjadi dua, yaitu Tafsir bir Riwayah dan Tafsir bir Ra’yi.

Tafsir bir Riwayah

Tafsir yang dalam memahami kandungan ayat Al-Quran lebih menitikberatkan pada ayat Al-Quran dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode Tafsir bir Riwayah penuh dengan riwayat hadis, dan jarang sekali pengarang tafsirnya menaruh pemikirannya sendiri. Tafsir At-Thabari misalnya, dianggap mewakili corak penafsiran model ini.

Tafsir jenis ini menggunakan ayat Al-Quran untuk menafsirkan ayat Al-Quran lainnya, itulah kelebihan metode ini. Metode Tafsir bir Riwayah juga dibagi lagi menjadi dua macam bentuk penafsiran, yaitu Tafsir At-Tahlili dan Tafsir Maudhu’i. Tafsir At-Tahlili artinya mufasir memulai kitab tafsirnya dari Al-Fatihah sampai An-Nas. Ia menguraikan tafsirnya berdasarkan urutan surah dalam Al-Quran, model ini diikuti oleh semua kitab tafsir klasik.

Sementara itu, Tafsir Maudhu’i atau tematis berarti sang mufasir tidak memulai dari surah pertama sampai terakhir seperti model pertama. Mufasir lebih memilih satu tema dalam Al-Quran untuk kemudian menghimpun seluruh ayat yang berkaitan dengan tema, baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut.

Konon, model Tafsir Naudhu’i ini pertama diterapkan oleh Muhammad Al-Biqa’i. Dari kalangan Syi’ah, yang menganjurkan metode model ini adalah Muhammad Baqir As-Shadr. Sementara di Indonesia, model ini kali pertama dikenalkan oleh K.H. Quraish Shihab.

Tafsir bir Ra’yi

Kebalikan dari Tafsir bir Riwayah. Metode tafsir yang kedua ini lebih menitikberatkan pada pemahaman akal (rakyu) dalam memahami kandungan nash (segala sesuatu yang tampak). Namun, bukan sama sekali menghilangkan ayat dan hadis dalam menafsirkannya. Ayat dan hadis tetap dipakai, tetapi porsinya lebih sedikit daripada penggunaan akal.

Adapun contoh tafsir model ini adalah Tafsir Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari dari kalangan Mu’tazilah, Tafsir Fakh Al-Razi, Tafsir Al-Manar, dan lain-lain.

Tafsir bir Ra’yi juga dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu Tafsir bil ‘Ilmi, Tafsir Falsafi, serta Tafsir Sastra. Tafsir bil ‘Ilmi dilakukan dengan seperti menafsirkan fenomena alam dengan merujuk ayat Al-Quran. Sementara Tafsir Falsafi dilakukan dengan memakai filsafat untuk membedah ayat Al-Quran. Sementara pada Tafsir Sastra lebih menekankan aspek sastra dari ayat Al-Quran. Model ini sekarang dikembangkan oleh Aisyah Abdurrahman atau terkenal dengan nama Bintusy Syathi.

Kendati terbagi menjadi dua, penggolongan secara konservatif dan ketat antara Tafsir bir Riwayah dan bir Ra’yi sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Misalnya, pada tafsirnya Bintusy Syathi yang ternyata penuh kandungan ayat Al-Quran untuk memahami ayat lain. Sementara pada Tafsir Al-Manar yang menggunakan metode bir Ra’yi pada sebagian ayatnya terlihat keliberalan penulisnya, tetapi pada ayat lain justru terlihat kekakuan penulisnya. Labih lanjut, Tafsir model Maudhu’i (tematis) juga tak bisa secara kaku dianggap sebagai Tafsir bir Riwayah semata.

Sebagai penutup, mengutip perkataan Syekh Abdullah Darraz, Al-Quran itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut mana pun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja Anda berikan kesempatan kepada rekan Anda untuk melihat kandungan ayat Al-Quran, boleh jadi ia akan melihat lebih banyak daripada yang Anda lihat.

Oleh karena itu, tidak perlu khawatir mana metode tafsir yang terbaik sebab semua metode tafsir di atas bertujuan untuk menyingkap cahaya Al-Quran.

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos (Edisi Diperkaya), karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

 

Kontributor: Widi Hermawan

© Copyright - Bentang Pustaka