Tag Archive for: ramayana

Narasi Panjang: Seni Seno Gumira

Narasi merupakan senjata utama sebuah cerita. Dengannya, penulis biasanya menggambarkan peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Proses penceritaan melalui narasi terasa seperti dongeng menjelang tidur saat kita kecil dulu. Itulah mengapa banyak penulis yang lebih memilihnya daripada deskripsi. Selain terdengar lebih seperti dongeng, iamemiliki kekuatan pada representasi pembaca. Mereka seakan-akan mengalami peristiwa yang ada di dalam cerita. Salah satu penulis yang memiliki gaya narasi khas adalah Seno Gumira Ajidarma. Seno dikenal sebagai penulis naratif yang sering memanfaatkan kalimat panjang untuk cerita-ceritanya. Dalam Kitab Omong Kosong, novel interpretasinya akan kisah Ramayana, ia banyak memanfaatkan narasi panjang sebagai cara penceritaan.

(baca https://bentangpustaka.com/fakta-kitab-omong-kosong/)

Narasi Panjang yang Tidak Membosankan

Narasi panjang terkadang sangat lelah untuk diikuti. Sebagai pembaca, kita akan sangat terpacu untuk terus membaca sebelum titik. Itulah mengapa hak itu terkadang terasa amat membosankan. Berbeda dengan yang ditulis Seno Gumira. Dengan kalimat yang panjang, ia dapat memicu pembaca untuk terus membaca tanpa merasa kelelahan dan bosan. Uniknya, hal ini menjadi salah satu yang disukai darinya. Banyak novel dan cerita pendeknya yang menggunakan kalimat panjang dan malah terasa semakin memantik penasaran. Dalam Kitab Omong Kosong, kalimat berikut akan membantu kita memahami apa yang disebut narasi panjang yang tidak membosankan.

Setiap kali Hanūmān atau sesuatu yang seperti Hanūmān tiba dan melepaskan kainnya Trijata mengerti betapa sebetulnya ia pun tidak terlalu peduli apakah wanara jantan itu suaminya atau bukan suaminya selain betapa ia telah memberikan sesuatu yang dikehendakinya.

Kalimat di atas hanya salah satu contoh kalimat panjang ala Seno Gumira Ajidarma. Kalimat yang demikian itu akan membuat kita terpacu untuk menyelesaikan cerita dengan seringkas-ringkasnya tanpa merasa kelelahan, apalagi bosan. Strategi narasi yang unik dan menarik ini dapat ditemukan dalam cerita-cerita tentang Maneka dan Satya, sepasang pengelana yang mencari makna kehidupan. Selengkapnya dapat kamu baca di Kitab Omong Kosong.

Dapatkan saduran kisah Ramayana ala Seno Gumira Ajidarma di sini

 

Surga dan adagium sejenis

Surga dan Adagium Sejenis

Surga sering kali dianggap sebagai konsep yang abstrak dan utopis. Kedudukannya yang tak kasat mata dan tak maujud material, menjadikannya hanya dapat dipercaya melalui jalan keagamaan. Meskipun demikian, dalam Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, adagium surga diumpamakan dalam peristiwa-peristiwa yang real terjadi. Artinya, ia dapat tampak sebagai sesuatu yang nyata dan benar-benar ada, terlebih, dalam kisah Maneka dan Satya.

Kenestapaan

Kerap kita alami betapa menyedihkannya hidup ini. Kehilangan pekerjaan, putus cinta, keluarga tidak harmonis, dan peristiwa kenestapaan sejenis lainnya. Perasaan ingin mengakhiri hidup menjadi lebih sering muncul ketimbang semangat untuk tetap bertahan. Dalam kisah Maneka dan Satya, adagium ini tampak secara gamblang dalam latar belakang mereka berdua. Dua buah nasib yang beririsan dan membentuk kenestapaan yang serupa. Kita dapat melihat surga dalam wajah keduanya, wajah yang ikhlas menerima takdir tergariskan, wajah yang senantiasa ingin terus hidup meski dibunuh. Sementara, nirwana merupakan tempat merdeka bagi mereka-mereka yang di dunia terkungkung takdir. “Adalah surga bagi mereka yang senantiasa berbahagia meskipun dalam penderitaan.” Maneka dan Satya membuat kita dapat melihatnya dengan jelas, sangat jelas.

Baca juga https://bentangpustaka.com/kitab-omong-kosong-bukan-sekadar-omong-kosong/

Pencarian

Pencarian lebih sering memandu kita pada proses yang membosankan, yang menjenuhkan bukan main. Kita lebih sering berhenti sebelum menemukan apa yang kita cari. Padahal, sebenarnya kita telah menemukan sesuatu dalam pencarian itu sendiri, lewat kesabaran, lewat kekonsistenan. Sekali lagi, Maneka dan Satya membuat kita begitu mewajarkan surga sebagai sesuatu yang dekat. Orang-orang yang mencari itu, pada akhirnya, akan dipertemukan dengan tujuan. Perjalanan sekaligus pencarian akan buntut takdir dalam Kitab Omong Kosong menjadikannya sebuah perjalanan spiritual, perjalanan yang menemukan surga sepanjang rentang peristiwanya. Itulah sebabnya, saat kita mengimani esensi dari sebuah perjalanan, kita akan menemukan surga.

Dengan adanya dua adagium ini, kisah dalam Kitab Omong Kosong menjadi inklusif dan tidak dogmatis. Surga yang lekat dengan ajaran agama, mangklih menjadi hal yang dekat dengan realitas dan memberikan kita visual yang menarik, atau setidaknya memberikan kita kisi-kisi tentang bagaimana surga itu sebenarnya. Kita dapat merasakannya, setidaknya mendapatkan kisi-kisi sedikit gambaran mengenai surga. Masih banyak kisah yang membawa kita menemukannya dalam setiap peristiwa di dalam kisah ini. Selengkapnya dalam Kitab Omong Kosong.

 

Dapatkan di linktr.ee/Bentang dan toko-toko buku kesayanganmu~

Ramayana

Kitab Omong Kosong Bukan Sekadar Omong Kosong

Setiap buku, barangkali, menjadi strategi bagi setiap penulis untuk menciptakan impresi baik pada pembaca melalui judul yang menarik. Tidak terkecuali Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma. Apa yang kita bayangkan jika membaca judulnya? Kekosongan? Kehampaan? Atau mungkin sesuatu yang nihil sama sekali? Kalau membayangkan salah satunya, atau bahkan ketiganya sekaligus, sepertinya kita salah besar. Inilah menariknya. Bagi saya, yang telah membaca sepenuhnya dan mengingat kurang dari separuhnya, Kitab Omong Kosong bukanlah omong kosong belaka. Kok bisa?

Kitab Omong Kosong Bukan Cerita Wayang

Kita selalu berkutat bahwa cerita-cerita wayang yang hampir selalu jatuh pada narasi mainstream itu memiliki nilai yang tetap, sesuatu yang pakem dan tak dapat diubah. Menariknya, meskipun menyadur kisah Ramayana, kita tak dapat menemukan apa yang kita bayangkan sebagai identitas Ramayana itu sendiri. Rama, Sinta, Anoman, atau bahkan Rahwana hanyalah partikel kecil di dalam Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh mayor yang didudukkan dalam dominasi pada kisah Ramayana, dibalikkan menjadi tokoh yang sama sekali tak penting, bahkan tercitrakan jahat. Mereka, yang dalam kisah Ramayana begitu elitis, ditampakkan sisi buruknya. Tokoh-tokoh ningrat yang abai pada rakyat, bahkan cenderung menindas. Kita akan menyaksikannya, dengan amat jelas bahkan, dalam perjalanan panjang Maneka, seorang pelacur yang menjadi korban persembahan kuda.

Bukankah itu semua tidak terjadi dalam cerita-cerita wayang? Atau cobalah kita berjalan-jalan, keluar rumah, barangkali Kitab Omong Kosong itulah hidup yang kita jalani? Atau Maneka barangkali adalah orang-orang di jalanan, tetangga kita,  atau bahkan diri kita sendiri?

Protes Ketuhanan

senja turun di dalam kitab, o

dunia terlipat ke balik huruf

laut dan gunung berdesakan

sehingga ikan ketemu macan

jangan menangis begitu sayang

ada wayang memburu dalang, o!

Tidak. Bagian ini jelas bukan soal ateisme. Ini adalah sebuah wacana besar Maneka dan Satya dalam Kitab Omong Kosong. Bahkan, bisa disebut bahwa inilah jiwa buku ini: protes ketuhanan. Kita mesti membayangkan seseorang yang dalam tatanan sosial direndahkan, atau sebut saja pelacur, menjadi korban persembahan kuda Rama yang barangkali bisa ditafsirkan sebagai gimik saja. Ya, begitulah. Orang yang tertindas telah ditindas berkali-kali. Maneka. Dan, kita akan menyaksikannya mencari dalang kehidupan, seseorang yang menggariskan takdirnya, seseorang yang menghendakinya menderita. Dari sana, semuanya bermula: sebuah pencarian pangkal takdir, sebuah perjalanan spiritual, sebuah pertanyaan tentang kehidupan yang sejati.

Kitab Omong Kosong, sebuah dekonstruksi cerita Ramayana. Dapatkan di sini.

 

Lugas Ikhtiar

 

gambar siluet candi di tengah hutan - Fakta Kitab Omong Kosong, Cerita Ramayana ala Seno Gumira Ajidarma

Fakta Kitab Omong Kosong, Cerita Ramayana ala Seno Gumira Ajidarma

Ada fakta-fakta menarik tentang Kitab Omong Kosong, buku karya Seno Gumira Ajidarma. Walau premis utamanya adalah Ramayana, Seno Gumira mengambil kebebasan untuk memodifikasi kisah Ramayana secara kreatif dan dengan sentuhan khasnya.

Berikut 4 fakta tentang Kitab Omong Kosong:

Baca juga: Kitab Omong Kosong: Buku Seno Gumira Ajidarma yang Akan Terbit Ulang

 

Penulisan Nama dan Latar yang Tidak Konvensional

Kita mengenal Sinta, Rama, Rahwana, Kota Ayodya, dan Hanoman. Namun, di Kitab Omong Kosong, Seno Gumira menuliskan nama-nama tersebut dengan unik. Sinta menjadi Sītā, Rama menjadi Rāma, Rahwana menjadi Rāwana, Ayodya menjadi Ayodhyā, Hanoman menjadi Sang Hanūmān, dan penulisan nama-nama lain yang turut berubah.

Mereka tetaplah tokoh yang sama, tapi penulisan nama yang tidak “konvensional” ini telah menghidupkan ceritanya. Pemakaian aksen pada nama-nama tokoh cerita—yang memang berlatar di zaman dahulu—memperkuat latar cerita dan membangun suasana “Ayodya” tempat berlangsungnya kejadian.

 

Fokus pada Kisah yang Berbeda

Jika Ramayana berputar pada dinamika Rama-Sinta dan Rahwana-Sinta, serta peristiwa pengobongan dan pengasingan Sinta di Hutan Dandaka, Kitab Omong Kosong dimulai dengan upacara Persembahan Kuda.

“Maka berlangsunglah bencana Persembahan Kuda, sebuah upacara untuk dewa-dewa atas nama perdamaian yang menginjak-injak hak asasi manusia.”

Rama, bertahun-tahun setelah mengasingkan Sinta dalam keadaan hamil, melakukan upacara Persembahan Kuda demi menebus rasa bersalahnya. Tapi, semakin ke belakang, kita akan melihat bahwa Rama sesungguhnya tidak melakukan itu demi Sinta. Jangankan melakukan persembahan, Rama saja bahkan tidak berusaha mencari Sinta!

 

Perbedaan Karakterisasi Tokoh Sri Rama

Sri Rama kerap diagung-agungkan sebagai raja yang baik budi, bijaksana, mencintai kerajaan dan rakyatnya. Kitab Omong Kosong berlari dengan penggambaran yang berbeda 180 derajat.

“Saya Sri Rāma, raja yang berkuasa di Ayodhyā, mengadakan Persembahan Kuda. Kerajaan mana pun yang dilewati kuda putih yang kami lepaskan pada malam bulan sabit setelah surat ini disampaikan, harus tunduk kepada kami atas nama perdamaian.”

Rama digambarkan sebagai raja yang ditakuti. Upacara Persembahan Kuda yang menelan jutaan korban dan meluluhlantakkan benua, menciptakan citra sebagai raja arogan. Walmiki, pencerita Ramayana, menembangkan kisah yang mengutuk Rama atas perbuatannya. Sinta kecewa luar biasa dan mengemukakan ratapannya terhadap perbuatan Rama yang tidak adil dan seenaknya.

Singkatnya, sangat susah untuk bersimpati dengan Rama dalam cerita ini.

 

Tokoh Sentral Karangan Seno Gumira

Upacara Persembahan Kuda berubah jadi bencana, memorak-porandakan setiap negeri yang dilewatinya. Masuklah dua tokoh utama kita: Maneka dan Satya, salah dua dari sekian banyak korban upacara tersebt.

Maneka adalah pelacur yang menerima rajah dari si kuda persembahan. Hal ini membuat reputasinya sebagai pelacur melejit pesat. Orang-orang berbondong datang dari sepenjuru negeri untuk tidur dengannya, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Maneka yang awalnya semringah lama-lama menjadi tersiksa.

Dia bertemu Satya, seorang budak berumur 16 tahun. Pertemuan ini membuat Satya berani untuk melarikan diri dari dunia perbudakan. Bersama-sama, mereka pergi mencari Walmiki untuk menanyakan mengapa mereka dimasukkan ke dalam cerita Ramayana.

Di tengah perjalanan, tujuan mereka berubah menjadi mencari Kitab Omong Kosong, sebuah kitab peninggalan Hanoman yang berisi cara menghemat 300 tahun untuk membangun kembali peradaban yang dihancurkan Persembahan Kuda.

 

Kitab Omong Kosong sedang dalam masa prapesan. Pembelian via bit.ly/pesankitabomong sampai tanggal 14 April 2021 akan mendapatkan bonus poster dari Bentang Pustaka. Info lengkapnya dapat diakses di bit.ly/pesankitabomong, Instagram Bentang, atau Twitter Bentang.

 

Kontributor artikel: Anggarsih Wijayanti

© Copyright - Bentang Pustaka