Snack Culture: Pola Konsumsi Baru Generasi Milenia
“Due to the wider use of smartphones, the snack culture is expected to get a boost this year,”
~rilis resmi dari salah seorang pejabat Kementerian Kebudayaan, Olah Raga dan Pariwisata di Korea Selatan, hasil wawancara dengan Korea Times, 2014
Pada 2014 kementerian budaya, olah raga dan pariwisata di Korea Selatan telah menerbitkan sebuah laporan berkaitan dengan serangkaian tren dalam kebudayaan dan kesenian berdasarkan hasil studi Institut Pariwisata dan Kebudayaan Korea. Laporan ini menunjukkan bahwa snack culture atau kebudayaan mengudap [asalnya digunakan untuk mengonsumsi makanan dalam jumlah kecil tetapi sering lalu digunakan untuk menamai gejala kebudayaan populer mengonsumsi konten berbasis web] akan menjadi salah satu tren penting yang diramalkan akan tumbuh melesat. Banyak konten berbasis jaringan seperti drama, film, kartun, dan novel kini dapat dikonsumsi dalam hitungan menit saja. Sebuah akselerasi mengagumkan yang dihasilkan oleh teknologi telepon pintar yang semakin maju, dikombinasikan dengan kecepatan jaringan luar biasa yang dapat menyalurkan konten-konten berkualitas High Definition dengan ukuran file besar tanpa mengalami buffering.
Istilah Snack Culture termasuk sangat kekinian karena terhitung sangat baru dan menariknya muncul dari Korea selatan yang produk-produk elektroniknya kini telah mengubah lanskap produk yang semula dikuasai Jepang. Untuk pasar telepon pintar, rasanya cuma Samsung yang terus membuntuti iPhone dengan serangkaian terobosan canggih dan meninggalkan banyak kompetitor pengguna OS Android lainnya jauh di belakang, termasuk Sony. Pada derasnya minat konsumen menggunakan gawai pintar inilah kebutuhan snack culture berkecambah.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di balik canggihnya iOS, yang membuat penjualannya melesat adalah ekosistem tertutup yang dibuat apple untuk mengisi konten di dalam telepon pintar. Tanpa kehadiran ragam konten yang menarik, sebuah telepon pintar hanya akan berhenti pada fungsi tradisional telepon untuk berkirim sms, percakapan atau fitur broadcast dalam kelompok seperti Blackberry Messenger yang kini wafat ditelan banyak platform messenger lain seperti Whatsapp, WeChat dan lainnya. Apple menyediakan jutaan musik, ribuan film, podcast, aneka permainan interaktif berbasih sentuh, dan ratusan ribu aplikasi yang bisa dikustomisasi untuk kebutuhan pengguna; diet, mengatus arus kas, menabung untuk pelesiran dan masih banyak lagi. Strategi yang sama kemudian diciptakan Google melalui Android dengan menciptakan ekosistem terbuka yang memungkinkan pengguna memiliki kebebasan lebih dibandingkan sistem tertutup yang diterapkan Apple.
Namun, karena sifat teknologi yang selalu mendorong kebaruan, ini ditandai oleh selalu munculnya gadget-gadget baru dengan interval pendek, kebutuhan akan konten pun mengalami transformasi serupa. Siapa yang membutuhkan novel sepanjang 600 halaman ketika harus akrobat di antara lalu lintas kereta, menyeberang jalan, memanfaatkan sedikit waktu di antara janji meeting, atau jeda antara perjalanan bis menuju rumah? Konon, masyarakat digital di Korea Selatan mengonsumsi rata-rata 10 menit untuk satu konten kultural; drama, kartun, novel dalam perjalanan. Keterbatasan waktu memungkinkan kreator konten memproduksi apa pun dalam durasi pendek yang dapat dihabiskan sekali jalan, dari satu titik ke titik. Analoginya, seorang pengguna akan menamatkan satu novel ketika sedang dalam kereta, menghabiskan satu episode drama ketika menyeberang jalan dan melewati beberapa blok gedung perkantoran, dan menamatkan sebuah serial komik web populer ketika mencapai kantor. Semua dikonsumsi on the move.
Dugaan saya, hal yang sama sesungguhnya telah terjadi di Indonesia. Hanya saja, proporsi penggunaan media sosial mungkin masih cukup besar, meskipun ada indikasi semakin surut, dibandingkan konsumsi konten. Masalah utamanya sekarang, mungkin belum lagi banyak kreator di Indonesia yang secara serius-profesional menggarap konten pendek seperti halnya Korea Selatan mempopulerkan snack culture. Kalaupun ada, sifatnya masih sporadis; semisal vlog (video log) beberapa artis atau komika populer, ada tutorial penggunaan kerudung bagi hijaber, video memasak di channel yang lain, ceramah keagamaan, single terbaru sebuah kelompok band, dan masih banyak lagi.
Situasi ini dimanfaatkan juga dengan baik oleh aplikasi e-commerce yang menyediakan sales representative secara live bagi pengunjung gerai fashion online. Sedikitnya waktu, banyaknya produk yang perlu dilihat dan dipilih, memungkinkan pelaku bisnis menyediakan fitur sales person secara live. Mereka ini yang akan memilihkan, merekomendasikan produk, dan memandu pembeli sampai ke kasir secara digital. Sungguh menyenangkan rasanya memiliki asisten digital yang pintar. Untuk mencoba, Anda bisa melayari toko Google Play Store dan mengunduh aplikasi YesBoss misalnya.
Bagaimana dengan buku? Adakah buku akan mengalami transformasi yang sama? Untuk mendapatkan jawabannya kita perlu melihat minimal dua tren penting yang dikenalkan oleh Amazon dan Wattpad. Kehadiran Amazon sebagai peletak dasar e-commerce sungguh menarik. Dari semula pedagang buku on-line hingga menjadi toko segala ada seperti sekarang ini, secara serius Amazon telah membangun lini bisnis penerbitan sendiri. Pada 2011 salah satu terobosannya yang dinamai Kindle Singles sukses besar dengan memperkenalkan format bacaan ringkas sepanjang 5000-30.000 kata. Amazon memantapkan Kindle Singles sebagai genre baru bacaan yang dapat dikudap sekali jalan. Formatnya bervariasi antara novela, esai jurnalisme, atau nonfiksi naratif lainnya berupa kumpulan artikel renyah bergiziyang ringkas.
Tak berbeda jauh dengan Kindle Singles, sebuah platform menulis asal Kanada, Wattpad, didirikan pada 2006 sebagai sebuah ruang digital untuk berbagi artikel, cerita, fan-fiction, atau puisi, tanpa disadari telah menjadikan aplikasinya sebagai bagian dari snack culture. Banyak tulisan dengan jumlah jutaan saat ini semula ditulis secara mencicil. Pembaca pun menikmati ragam bacaan itu dengan cara yang sama: ngemil. Dan kuatnya budaya ngemil ini dapat dilihat dari jumlah pembaca yang dapat mencapai belasan juta setelah beberapa lama berada dalam jaringan. Hebatnya lagi, bagi penulis yang tidak secara resmi didukung oleh Wattpad, seperti sebagian penulis Wattpad asal Indonesia, selain kemampuan menulisnya berkembang, para penulis ini berkembang menjadi pemasar-pemasar jempolan yang dapat menarik minat banyak orang menyukai cerita mereka, membagi cerita itu dengan teman sebaya, dan berpartisipasi dalam menentukan arah cerita atau plot.
Sejumlah perkembangan mengagumkan ini menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi industri buku cetak. Masihkah ada yang membutuhkan buku cetak yang halamannya tebal-tebal itu? Apakah para penerbit buku perlu tunduk pada generasi baru ini yang kini tak lagi menjejak di dunia fisik? Apakah ekosistem buku cetak sebagai medium kreatif dan kontemplatif pada akhirnya harus pindah semua ke wilayah digital? Pertanyaan ini masih bisa diurutkan semakin banyak, akan tetapi seperti yang ditulis Haidar Bagir dalam artikel terbaru Amnesia Buku, tanpa upaya pemerintah mendukung gerakan baca-tulis secara masif dengan kampanye besar-besaran, bukan tak mungkin generasi yang lahir dalam abad digital tak lagi membaca buku. Dan inilah kesimpulan diskusi kita sekaligus tantangan bagi penerbit buku atau pembuat konten: dapatkah Anda membuat kudapan sehat, bergizi tinggi sekaligus mengenyangkan? “Due to the wider use of smartphones, the snack culture is expected to get a boost this year,”
~rilis resmi dari salah seorang pejabat Kementerian Kebudayaan, Olah Raga dan Pariwisata di Korea Selatan, hasil wawancara dengan Korea Times, 2014
Pada 2014 kementerian budaya, olah raga dan pariwisata di Korea Selatan telah menerbitkan sebuah laporan berkaitan dengan serangkaian tren dalam kebudayaan dan kesenian berdasarkan hasil studi Institut Pariwisata dan Kebudayaan Korea. Laporan ini menunjukkan bahwa snack culture atau kebudayaan mengudap [asalnya digunakan untuk mengonsumsi makanan dalam jumlah kecil tetapi sering lalu digunakan untuk menamai gejala kebudayaan populer mengonsumsi konten berbasis web] akan menjadi salah satu tren penting yang diramalkan akan tumbuh melesat. Banyak konten berbasis jaringan seperti drama, film, kartun, dan novel kini dapat dikonsumsi dalam hitungan menit saja. Sebuah akselerasi mengagumkan yang dihasilkan oleh teknologi telepon pintar yang semakin maju, dikombinasikan dengan kecepatan jaringan luar biasa yang dapat menyalurkan konten-konten berkualitas High Definition dengan ukuran file besar tanpa mengalami buffering.
Istilah Snack Culture termasuk sangat kekinian karena terhitung sangat baru dan menariknya muncul dari Korea selatan yang produk-produk elektroniknya kini telah mengubah lanskap produk yang semula dikuasai Jepang. Untuk pasar telepon pintar, rasanya cuma Samsung yang terus membuntuti iPhone dengan serangkaian terobosan canggih dan meninggalkan banyak kompetitor pengguna OS Android lainnya jauh di belakang, termasuk Sony. Pada derasnya minat konsumen menggunakan gawai pintar inilah kebutuhan snack culture berkecambah.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di balik canggihnya iOS, yang membuat penjualannya melesat adalah ekosistem tertutup yang dibuat apple untuk mengisi konten di dalam telepon pintar. Tanpa kehadiran ragam konten yang menarik, sebuah telepon pintar hanya akan berhenti pada fungsi tradisional telepon untuk berkirim sms, percakapan atau fitur broadcast dalam kelompok seperti Blackberry Messenger yang kini wafat ditelan banyak platform messenger lain seperti Whatsapp, WeChat dan lainnya. Apple menyediakan jutaan musik, ribuan film, podcast, aneka permainan interaktif berbasih sentuh, dan ratusan ribu aplikasi yang bisa dikustomisasi untuk kebutuhan pengguna; diet, mengatus arus kas, menabung untuk pelesiran dan masih banyak lagi. Strategi yang sama kemudian diciptakan Google melalui Android dengan menciptakan ekosistem terbuka yang memungkinkan pengguna memiliki kebebasan lebih dibandingkan sistem tertutup yang diterapkan Apple.
Namun, karena sifat teknologi yang selalu mendorong kebaruan, ini ditandai oleh selalu munculnya gadget-gadget baru dengan interval pendek, kebutuhan akan konten pun mengalami transformasi serupa. Siapa yang membutuhkan novel sepanjang 600 halaman ketika harus akrobat di antara lalu lintas kereta, menyeberang jalan, memanfaatkan sedikit waktu di antara janji meeting, atau jeda antara perjalanan bis menuju rumah? Konon, masyarakat digital di Korea Selatan mengonsumsi rata-rata 10 menit untuk satu konten kultural; drama, kartun, novel dalam perjalanan. Keterbatasan waktu memungkinkan kreator konten memproduksi apa pun dalam durasi pendek yang dapat dihabiskan sekali jalan, dari satu titik ke titik. Analoginya, seorang pengguna akan menamatkan satu novel ketika sedang dalam kereta, menghabiskan satu episode drama ketika menyeberang jalan dan melewati beberapa blok gedung perkantoran, dan menamatkan sebuah serial komik web populer ketika mencapai kantor. Semua dikonsumsi on the move.
Dugaan saya, hal yang sama sesungguhnya telah terjadi di Indonesia. Hanya saja, proporsi penggunaan media sosial mungkin masih cukup besar, meskipun ada indikasi semakin surut, dibandingkan konsumsi konten. Masalah utamanya sekarang, mungkin belum lagi banyak kreator di Indonesia yang secara serius-profesional menggarap konten pendek seperti halnya Korea Selatan mempopulerkan snack culture. Kalaupun ada, sifatnya masih sporadis; semisal vlog (video log) beberapa artis atau komika populer, ada tutorial penggunaan kerudung bagi hijaber, video memasak di channel yang lain, ceramah keagamaan, single terbaru sebuah kelompok band, dan masih banyak lagi.
Situasi ini dimanfaatkan juga dengan baik oleh aplikasi e-commerce yang menyediakan sales representative secara live bagi pengunjung gerai fashion online. Sedikitnya waktu, banyaknya produk yang perlu dilihat dan dipilih, memungkinkan pelaku bisnis menyediakan fitur sales person secara live. Mereka ini yang akan memilihkan, merekomendasikan produk, dan memandu pembeli sampai ke kasir secara digital. Sungguh menyenangkan rasanya memiliki asisten digital yang pintar. Untuk mencoba, Anda bisa melayari toko Google Play Store dan mengunduh aplikasi YesBoss misalnya.
Bagaimana dengan buku? Adakah buku akan mengalami transformasi yang sama? Untuk mendapatkan jawabannya kita perlu melihat minimal dua tren penting yang dikenalkan oleh Amazon dan Wattpad. Kehadiran Amazon sebagai peletak dasar e-commerce sungguh menarik. Dari semula pedagang buku on-line hingga menjadi toko segala ada seperti sekarang ini, secara serius Amazon telah membangun lini bisnis penerbitan sendiri. Pada 2011 salah satu terobosannya yang dinamai Kindle Singles sukses besar dengan memperkenalkan format bacaan ringkas sepanjang 5000-30.000 kata. Amazon memantapkan Kindle Singles sebagai genre baru bacaan yang dapat dikudap sekali jalan. Formatnya bervariasi antara novela, esai jurnalisme, atau nonfiksi naratif lainnya berupa kumpulan artikel renyah bergiziyang ringkas.
Tak berbeda jauh dengan Kindle Singles, sebuah platform menulis asal Kanada, Wattpad, didirikan pada 2006 sebagai sebuah ruang digital untuk berbagi artikel, cerita, fan-fiction, atau puisi, tanpa disadari telah menjadikan aplikasinya sebagai bagian dari snack culture. Banyak tulisan dengan jumlah jutaan saat ini semula ditulis secara mencicil. Pembaca pun menikmati ragam bacaan itu dengan cara yang sama: ngemil. Dan kuatnya budaya ngemil ini dapat dilihat dari jumlah pembaca yang dapat mencapai belasan juta setelah beberapa lama berada dalam jaringan. Hebatnya lagi, bagi penulis yang tidak secara resmi didukung oleh Wattpad, seperti sebagian penulis Wattpad asal Indonesia, selain kemampuan menulisnya berkembang, para penulis ini berkembang menjadi pemasar-pemasar jempolan yang dapat menarik minat banyak orang menyukai cerita mereka, membagi cerita itu dengan teman sebaya, dan berpartisipasi dalam menentukan arah cerita atau plot.
Sejumlah perkembangan mengagumkan ini menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi industri buku cetak. Masihkah ada yang membutuhkan buku cetak yang halamannya tebal-tebal itu? Apakah para penerbit buku perlu tunduk pada generasi baru ini yang kini tak lagi menjejak di dunia fisik? Apakah ekosistem buku cetak sebagai medium kreatif dan kontemplatif pada akhirnya harus pindah semua ke wilayah digital? Pertanyaan ini masih bisa diurutkan semakin banyak, akan tetapi seperti yang ditulis Haidar Bagir dalam artikel terbaru Amnesia Buku, tanpa upaya pemerintah mendukung gerakan baca-tulis secara masif dengan kampanye besar-besaran, bukan tak mungkin generasi yang lahir dalam abad digital tak lagi membaca buku. Dan inilah kesimpulan diskusi kita sekaligus tantangan bagi penerbit buku atau pembuat konten: dapatkah Anda membuat kudapan sehat, bergizi tinggi sekaligus mengenyangkan?bentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!