Perjalanan Mengheningkan Cinta bersama Adjie Santosoputro
Saya tahu, banyak orang ingin bercerita tentang hidupnya, tetapi tak tahu harus bercerita kepada siapa. Saya kadang merasakan hal yang sama. Kala itu, pada akhir 2018, saya terpapar lagi dengan sosok Adjie Santosoputro di media sosial Twitter dan Instagram. Sosoknya pernah saya kenal dari beberapa buku yang pernah terbit beberapa tahun sebelumnya, dengan nama pena, Adjie Silarus.
Semakin tenggelam dalam pencarian tentang figur karismatik ini, saya pun tahu kalau ia sangat konsisten perihal mengistirahatkan pikiran, kesembuhan luka batin, serta hidup sadar berbahagia. Sebagai lulusan Psikologi UGM, ia menggagas Santosha, yang mengelola sesi pelatihan, seminar, dan konsultasi terkait emotional healing dan hidup bahagia melalui pendekatan “mindfulness”. Adjie rutin mengadakan sesi pelatihan emotional healing di beberapa kota untuk siapa pun yang membutuhkan. Walaupun begitu, ia tak pernah pelit berbagi di beberapa kanal media sosialnya.
Perjalanan Awal Buku Mengheningkan Cinta
Mengenal Adjie Santosoputro membuka gerbang untuk berdiskusi dengan cara yang berbeda. Bagi saya, pengalaman ini berbeda dari pengalaman sebelumnya yang pernah saya lalui bersama penulis. Awalnya, saya belum terbiasa dengan pola komunikasi profesional penulis-editor semacam ini, jadi rasa yang timbul selanjutnya adalah panik. Namanya juga editor, eh, manusia … ada kalanya ingin serbacepat dan berorientasi ke depan. Bersama penulis seperti Mas Adjie, saya diajak bergerak dalam ritme yang lebih lamban. Ide-ide yang kami hasilkan sebelum menjadi sebuah buku, diberinya kesempatan untuk bernapas. Segala luapan eksekusi dan tawaran saya tentang tenggat, seolah diberi jeda.
Pada akhirnya, ketika buku ini meluncur tepat pada awal 2020, hampir setahun lebih lambat dari apa yang saya targetkan. Walaupun begitu, saya bersyukur, kami memperpanjang proses ini selama setahun. Kini, Mengheningkan Cinta menjadi karya yang lahir dari jeda dan momen hening untuk berpikir.
Lantas, apakah yang membedakan buku ini dengan buku-buku lain? Sekali lagi, saya belajar dari Mas Adjie yang selalu rendah hati dalam menyampaikan pesannya. Jawabannya adalah bagaimana pesan-pesan dalam buku ini bisa merangkum kesederhanaan mimpi manusia yang ingin bebas dari bising, riuh, dan gaduh dalam pikirannya sendiri. Kita rindu dengan keheningan dan rindu berbicara dengan Sunyi, sesosok imajiner, yang bisa kita asosiasikan secara bebas. Kita bisa menganggapnya sebagai relung hati terdalam atau teman yang bijak.
Mengheningkan Cinta Sebagai ‘Cara Untuk Hati dan Pikiran Beristirahat’
Buku Mengheningkan Cinta dibuat dari hati untuk kita yang sibuk mengulang masa lalu dalam kepala atau juga mempersiapkan hari-hari yang kelak tiba. Ketika kita begitu terisap ke dalam segala kesibukan, tidak jarang tubuh dan batin terasa lelah, sehingga membuka celah bagi gundah merasuk dalam sukma hingga kita bertanya, di mana adanya bahagia? Nyatanya, yang penting adalah tubuh di sini, pikiran juga di sini, berbekal kesadaran penuh kehadiran utuh di sini-kini. Sehat jiwa, sehat raga.
Adakah saya merasa buku ini sangat pas untuk situasi krisis seperti sekarang ini? Entah bagaimana cerita-cerita dalam buku ini merupakan suatu pencerahan. Bagaimana tidak? Beberapa pekan terakhir, situasi seperti tak mengizinkan kita untuk bernapas lega. Berita demi berita tentang wabah yang berdampak global ini berseliweran, yang pelan-pelan menumbuhkan khawatir, lalu menyuburkan bibit panik.
Situasi sulit yang kita hadapi saat ini tak ubahnya dengan masalah-masalah yang dibahas dalam buku Mengheningkan Cinta. Semuanya terkait dengan kegagalan, perpisahan, patah hati, penolakan, maupun sakit hati. Dalam buku ini, Adjie dan Sunyi mengingat kembali obrolan cara-cara sederhana untuk mengistirahatkan hati dan pikiran kita. Di sini, kita diajak untuk mengenali diri dengan cara yang paling dasar, dengan menyadari hal sesederhana bernapas. Sering kali, kita bernapas tidak secara sadar, tergesa-gesa, mengakibatkan kegelisahan terus ada di kepala. Buku ini mengajak kita berlatih, bernapas dengan sadar, berada di situasi di sini, kini.
Terlepas dari semua ajaran dan ujarannya, Adjie Santosoputro hanyalah manusia biasa, seorang teman seperjalanan dalam sunyi, dengan sekumpulan tulisan yang masuk ke diri kita masing-masing. Baginya, perjalanan bahagia adalah perjalanan bersama untuk berlatih mengikhlaskan. Mari belajar memulihkan batin, belajar bahagia dengan sederhana, dan alami perjumpaan dengan diri sendiri, bersama Adjie Santosoputro.
Salam dari teman seperjalananmu dalam hening,
Baiq Nadia
Editor Bentang Pustaka
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!