Mulai Sekolah pada Usia Dini, Why Not?

Sering sekali kita bertanya-tanya, baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada yang lebih mengerti, bahkan kepada para ahli, Berapa usia ideal untuk mulai menyekolahkan anak? Apa iya semakin dini menyekolahkan anak, semakin bagus? Yuk cari tahu jawabannya dalam perspektif Montessori <p style="text-align: justify;">Sering sekali kita bertanya-tanya, baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada yang lebih mengerti, bahkan kepada para ahli, “Berapa usia ideal untuk mulai menyekolahkan anak?” sehingga tercipta <em>mindset</em> bahwa semakin dini menyekolahkan anak, semakin bagus. Sebenarnya, <em>mindset</em> tersebut tidaklah salah, tetapi kekhawatiran kita jika anak akan bosan karena terlalu dini disekolahkan membuat kita takut mengambil keputusan. Terlebih tanggapan orang-orang sekitar yang berkomentar bahwa kita adalah orang tua yang kaku dan cenderung kejam karena menyekolahkan anak ketika umurnya belum genap 3 tahun. Hmmm … sebenarnya apa masalahnya untuk menyekolahkan anak pada usia dini? Jika persepsi sekolah masih membosankan ketika anak hanya duduk sepanjang hari dan mendengarkan serta mempelajari baca tulis hitung (calistung), bisa jadi sebagai orang tua, kita belum pernah mendengar tentang sekolah Montessori. Wah, apa itu? Yuk, kita simak bagaimana memilih sekolah untuk anak usia dini yang tepat karena <a href="https://www.instagram.com/bentangkids/">Bentang Kids</a> akan mengulasnya untuk Anda!</p>

<p style="text-align: justify;">Sebelum kita mengulas tip bagaimana cara memilih sekolah untuk anak usia dini yang tepat, alangkah baiknya kita mengubah pertanyaan kita yang semula “Berapa usia ideal untuk mulai menyekolahkan anak?” menjadi “Sekolah seperti apa yang cocok untuk anak kita?” Nah, untuk menjawab pertanyaan itu, yang pertama harus kita lakukan adalah mengidentifikasi visi dan misi pola asuh atau pengasuhan kita dan dicocokkan dengan sekolah yang mendukung visi misi tersebut. Misalnya, ketika kita lebih menginginkan anak untuk menjadi pribadi yang berorientasi pada agama maka pilihlah sekolah yang mempunyai visi misi sama. Atau, ketika si kecil lebih menyukai menggambar dan seni dan kita mendukung anak secara bebas untuk menentukan yang ia sukai, kita bisa memilihkan sekolah yang sejalan dengan hobi dan visi misi kita tersebut. Sebab, prinsip membesarkan anak dengan metode Montessori adalah metode yang menghargai keputusan anak dan menjunjung tinggi prinsip <em>individual differences</em> dan <em>every child is special</em>. Oleh karena itu, kita harus belajar menyelaraskan minat anak dengan visi misi pengasuhan yang kita pegang dan dikolaborasikan dengan sekolah yang tepat.</p>

<p style="text-align: justify;">Seperti yang dikatakan Vidya Dwina Paramita dalam bukunya <em><span style="color:#0000CD;">J</span><a href="https://mizanstore.com/jatuh_hati_pada_montessori_58793"><span style="color:#0000CD;">atuh Hati pada Montessori</span></a></em><a href="https://mizanstore.com/jatuh_hati_pada_montessori_58793">,</a> Vidya mengatakan bahwa saat memilih sekolah, ingatlah bahwa kita sedang memilih mitra dalam perjalanan mengiringi tumbuh kembang anak. Memilih mitra yang akan mendukung visi misi pengasuhan kita, bukan pihak yang mengambil alih tanggung jawab pengasuhan. Memilih mitra yang dapat bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik, bukan sekadar penyedia jasa yang akan kita tegur jika hasil kerjanya tidak memuaskan harapan kita.</p>

<p style="text-align: justify;">Sering kita temukan fenomena ketika suatu saat anak mogok sekolah dan orang tua hanya bisa menyalahkan satu pihak saja, yaitu sekolah. Padahal, belum tentu kesalahan murni ada pada sekolah. Bisa jadi sebagai orangtua, kita tidak jeli melihat minat anak yang tidak sejalan dengan tipe sekolah tempat ia belajar, atau malah ia merasa bosan dan tertekan dengan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan untuk berproses karena kegiatannya hanya baca tulis hitung yang diulang. Untuk itu, penting sekali bagi kita sebagai orang tua untuk mempertimbangkan berbagai aspek sebelum menyekolahkan anak ke sekolah pilihan. Namun, lagi-lagi perlu ditekankan bahwa tidak ada usia ideal untuk memulai sekolah pada usia dini. Sebab, sebenarnya hal itu bergantung dari kesiapan, minat, dan sekolah yang akan dipilih.</p>

<p style="text-align: justify;">Ada satu lagi sekolah yang patut <em>Moms</em> & <em>Dads</em> pertimbangkan menjadi pilihan, yaitu Sekolah Montessori. Untuk selengkapnya, <em>Moms</em> & <em>Dads</em> bisa membacanya di dalam buku<span style="color:#0000CD;"> </span><a href="https://mizanstore.com/jatuh_hati_pada_montessori_58793"><span style="color:#0000CD;"><em>Jatuh Hati pada Montessori</em></span></a><span style="color:#0000CD;"> </span>yang sudah tersedia di seluruh toko buku kesayangan atau di <a href="http://www.mizanstore.com/"><span style="color:#0000CD;">www.mizanstore.com</span></a><span style="color:#0000CD;">.</span> Mulai sekolah pada usia dini, <em>why not</em>?</p>

<p style="text-align: justify;"> </p>

<p style="text-align: justify;">Buku ini telah memasuki cetakan kelima dan sudah bisa didapatkan diseluruh toko buku Indonesia</p>

<p style="text-align: justify;">Dapatkan juga diskon 15% dengan melakukan pembelian hanya di <a href="https://mizanstore.com/"><span style="color:#0000CD;">mizanstore.com</span></a></p>

<p style="text-align: justify;"> </p>

<p style="text-align: justify;"> </p>

<p style="text-align: justify;">Diolah dari buku <a href="https://mizanstore.com/jatuh_hati_pada_montessori_58793"><span style="color:#0000CD;"><em>Jatuh Hati pada Montessori</em> </span></a>karya Vidya Dwina Paramita.</p>

<p style="text-align: justify;"><em>Sumber gambar : www.unsplash.com</em></p>Larasati M

MEMAKSIMALKAN POTENSI THE GOLDEN AGE PADA SI KECIL

Seberapa sering kita sebagai ibu mendengar tentang golden age? Apa, sih, golden age itu? Mungkin kita sudah akrab dengan begitu banyak istilah yang menggunakan kata golden mulai dari golden hour hingga golden ways, tetapi bagaimana dengan the golden age? Sebagai orang tua siaga dan cerdas, wajib banget, nih, untuk kita mencari tahu tentang the golden age. Apalagi sebagai orang tua milenial jaman now. Yuk Moms, kita kenalan lebih dekat tentang golden age pada si kecil! <p style="text-align: justify;">Seberapa sering kita sebagai ibu mendengar tentang <em>golden age</em>? Apa, sih, <em>golden age</em> itu? Mungkin kita sudah akrab dengan begitu banyak istilah yang menggunakan kata <em>golden</em> mulai dari <em>golden hour</em> hingga <em>golden ways</em>, tetapi bagaimana dengan <em>the</em> <em>golden age</em>? Sebagai orang tua siaga dan cerdas, wajib banget, nih, untuk kita mencari tahu tentang <em>the</em> <em>golden age</em>. Apalagi sebagai orang tua milenial <em>jaman now</em>. Yuk Moms, kita kenalan lebih dekat tentang <em>golden age</em> pada si kecil!</p>

<p style="text-align: justify;">Sebagai orang tua, tentu kita ingin semua yang terbaik untuk anak-anak kita. Mulai dari gizi, pendidikan, sampai fasilitas yang ekstra pun rela kita berikan agar si kecil tumbuh menjadi pribadi yang sempurna. Banyak sekali hal-hal yang harus kita pahami agar kita tidak “kecolongan” masa-masa penting dan bahkan masa-masa penentu. Contohnya dengan mengenal dan memahami tentang “<em>The Golden age</em>”.</p>

<p style="text-align: justify;"><em>The</em> <em>golden age</em> adalah masa keemasan yang terjadi pada anak pada rentang umur 2–4 tahun ketika segala kelebihan atau keistimewaan yang dimilki anak pada masa ini tidak akan dapat terulang kali kedua. Maria Montessori, seorang tokoh pendidikan anak usia dini terkenal, menyatakan bahwa pada rentang usia lahir sampai 6 tahun anak akan mengalami masa keemasan yang merupakan masa ketika anak mulai peka/sensitif menerima berbagai rangsangan. Selama masa periode sensitif inilah, anak begitu mudah menerima stimulus-stimulus dari lingkungannya yang sangat berperan dalam menentukan kualitas diri seorang manusia dan penentu bagi kehidupan selanjutnya.</p>

<p style="text-align: justify;">Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa memaksimalkan potensi si kecil ketika “<em>The</em> <em>Golden Age</em>” ini berlangsung? Terdapat banyak aspek yang wajib kita perhatikan agar masa <em>golden age</em> anak berlangsung secara efektif, di antaranya sebagai berikut.</p>

<ol>
<li style="text-align: justify;">Aspek Fisik</li>
</ol>

<p style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Pada masa <em>golden age</em>, perkembangan motorik kasar pada anak akan berkembang lebih cepat daripada motorik halusnya. Untuk itu, latihan memegang pensil, buku, atau krayon akan membantu mengembangkan 2 tipe motorik ini. Memegang dan membolak-balik buku-buku berukuran kecil dan ringan juga bisa membantu mengembangkan motorik halusnya, lo, Moms.</p>

<ol>
<li style="text-align: justify;" value="2">Aspek Sosial</li>
</ol>

<p style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Anak yang sedang berada pada masa <em>golden age</em> akan cenderung lebih aktif untuk menyampaikan gagasan-gagasan kecil seperti ingin makan apa, ingin main apa, ingin pakai baju apa. Nah, sebagai orang tua yang demokratis, alangkah lebih baiknya kita belajar tentang memercayakan pilihan pada anak. Selain akan merasa dihargai, anak juga akan tumbuh menjadi pribadi yang demokratis, menghargai pilihan orang lain, dan belajar berempati mulai dari hal-hal kecil.</p>

<ol>
<li style="text-align: justify;" value="3">Aspek Emosi</li>
</ol>

<p style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Anak-anak pada masa <em>golden age</em> cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka dan tugas kita sebagai orang tua sekaligus sahabat terbaiknya adalah dengarkan setiap keluhan, pertanyaan, komentar, dan beri respons dengan bijak. Seperti ketika si kecil rewel karena ingin punya mainan baru maka responslah dengan alasan yang masuk akal dan mudah dimengerti oleh anak seperti “Kemarin Kakak, kan, sudah beli mainan, kalau beli mainan terus nanti rumah kita penuh. Kita beli mainannya kapan-kapan lagi, ya.”</p>

<ol>
<li style="text-align: justify;" value="4">Aspek Kognitif</li>
</ol>

<p style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Menurut tokoh psikologi perkembangan, John Piaget, anak pada masa <em>golden age</em> lebih mudah memahami kata-kata dengan gambar. Oleh karena itu, untuk mengasah aspek kognitifnya, kita bisa mulai mengenalkan anak pada buku dongeng bergambar yang bermuatan nilai-nilai mendasar seperti Seri <a href="https://mizanstore.com/cerita_anak_jagoan_aku_60886">Cerita Anak Jagoan</a> dari <a href="https://www.instagram.com/bentangkids/">Bentang Kids</a> yang bisa didapatkan di toko buku seluruh Indonesia.</p>

<ol>
<li style="text-align: justify;" value="5">Aspek Kepribadian</li>
</ol>

<p style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Kondisi dan pengasuhan anak di rumah sangat memengaruhi kepribadian anak. Pengasuhan anak di dalam keluarga umumnya berlangsung dalam lingkungan yang <em>over protective</em> dari orang tua, terutama Ibu karena anak dipandang sebagai sosok yang tidak berdaya. Seperti apa-apa dilayani dan semua aktivitas harus ditemani dan dibantu. Padahal, masa <em>golden age</em> bisa dimanfaatkan oleh kita sebagai orang tua untuk menumbuhkan kemandirian anak seperti membiasakan bisa tidur sendiri, merapikan mainan sendiri, makan sendiri, maupun memakai baju sendiri.</p>

<p style="text-align: justify;">Nah, bagaimana Moms? Apa saja nih yang sudah Moms terapkan dirumah? Jangan sampai “<em>The</em> <em>Golden age</em>” pada anak terlewat dengan sia-sia dan begitu saja ya Moms.</p>

<p style="text-align: justify;"> </p>

<p style="text-align: justify;">Diolah dari berbagai sumber</p>

<p style="text-align: justify;">Sumber gambar : www.tumblr.com</p>Larasati M

Keluarga sebagai Sumber Belajar bagi Anak Lewat Observational Learning

Anak-anak merupakan peniru ulung. Mereka diibaratkan seperti spons yang mampu menyerap semua hal yang mereka lihat maupun mereka dengar. Kemampuan ini tentu saja memberikan dampak positif pada fase pembelajaran anak pada usia dini. Maka tidak heran, sebagai orang dewasa, kita diminta untuk sangat berhati-hati ketika bersikap dan berperilaku di depan anak-anak. Namun di sisi lain, kita justru bisa menjadi role model bagi anak-anak. Ini akan menjadi keuntungan tersendiri bagi kita yang ingin melatih anak-anak untuk belajar dari segala macam hal di sekitarnya.

Keluarga menjadi sumber belajar anak-anak usia dini sebab di dalam rumah mereka bisa belajar apa pun, kapan pun, di mana pun, dan dengan siapa pun. Anak-anak biasanya akan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah daripada di sekolah. Situasi ini dapat dimanfaatkan oleh para orang tua untuk menanamkan nilai-nilai sosial pada anak, sekaligus membentuk ikatan emosional antara anak dan orang tua. Tidak dapat dimungkiri, keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan yang utama bagi anak. Lalu, bagaimana keluarga menjadi tempat belajar yang efektif bagi anak?

Pada anak-anak usia dini, mereka memiliki pikiran yang mudah menyerap informasi yang dilihat atau didengarnya. Dalam teori Montessori, hal ini disebut dengan absorbent mind. Anak-anak tanpa sadar akan mudah menangkap informasi dari lingkungan di sekitarnya, kemudian mempelajari semua itu dengan cepat. Dengan kemampuan anak yang demikian, langkah tepat untuk menjadikan keluarga sebagai sumber belajar adalah melalui observational learning. Anak-Anak bisa memperlajari hal-hal baru lewat hal yang dilakukan orang tuanya di rumah.

Ada empat komponen penting dalam proses observational learning. Pertama, attention process, kegiatan meniru atau modeling. Anak-anak akan menaruh perhatian pada model yang akan ditiru. Kedua, retention process, setelah memperhatikan dan mengamati model, kemudian akan disimpan dalam bentuk simbol-simbol yang tidak hanya diperoleh melalui pengamatan visual saja, tetapi juga melalui verbalisasi. Hasil pengamatan ini biasanya akan berbentuk meniru perilaku model. Komponen ketiga, motor reproduction process, agar bisa mereproduksi tingkah laku secara tepat, peniru tadi sudah bisa memperlihatkan kemampuan-kemampuan motorik yang meliputi kekuatan fisik. Komponen terakhir adalah ulangan-penguatan dan motivational processes, yang bertujuan untuk mengaplikasikan tingkah laku dalam kehidupan nyata dan ini bergantung pada kemauan serta motivasi yang didapat. Proses peniruaan tingkah laku memerlukan penguatan agar memperkuat ingatan dan bisa memperlihatkan tingkah laku dari hasil meniru.

Empat komponen dalam proses observational learning tadi sebenarnya secara tidak sadar sudah dilakukan oleh anak-anak di rumah. Para orang tua perlu memperlihatkan perilaku baik agar bisa ditiru oleh anak, bahkan diaplikasikan dalam aktivitas sehari-seharinya. Contoh sederhananya seperti ini, orang tua selesai makan segera membereskan piring, sendok, dan gelas yang telah digunakan, kemudian segera membawanya ke tempat cuci piring. Anak-anak yang melihat hal ini akan memprosesnya di dalam otak. Pada awalnya, orang tua harus meminta mereka terlebih dahulu untuk melakukan hal yang sama, tetapi jika kegiatan itu dilakukan secara berulang, anak-anak akan melakukannya dengan lebih terbiasa. Tidak heran jika ada pepatah yang mengatakan bahwa anak-anak lebih membutuhkan contoh nyata agar mereka bisa langsung meniru dan mengaplikasikannya.

Dalam buku anak pertama karya Maudy Ayunda berkolaborasi dengan ilustrator Kathrin Honesta yang berjudul Kina and Her Fluffy Bunny melatih anak untuk belajar dari hal-hal yang ada di sekitarnya dan menjadikan orang tua mereka sebagai role model. Melalui observational learning, anak-anak juga akan diasah untuk menjadi pribadi yang inisiatif.

Sumber gambar

Parenting.dream.co.id

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta