Merayakan Hidup

Do not go gentle into that good night,
Old age should burn and rave at close of day;
Rage, rage against the dying of the light.
(Dylan Thomas)

Konon, seorang filsuf besar Yunani, Socrates, pernah mengatakan bahwa hidup yang tak dicermati tidaklah layak dijalani. Kehidupan, bagi sang filsuf, pastilah begitu istimewa sehingga setiap momen yang datang adalah momen yang spesial, tidak datang dua kali, apalagi akan terulang berkali-kali, dengan sedikit bekal keyakinan bahwa esok matahari akan tetap terbit di ufuk timur. Dari perspektif ini, dapat dimaklumi  jika kemudian Socrates lebih mengakhiri hidupnya tatkala dipertentangkan dengan keyakinan yang harus dikompromikan menurut keinginan orang banyak. Socrates lebih memilih mengakhiri hidupnya yang berharga di tangannya sendiri … dengan bantuan racun.

Akan tetapi jalan kematian bukanlah pilihan setiap orang. Ada orang-orang yang menolak menyerah bahkan ketika kanker ganas dan atau penyakit terminal lainnya mengintip dari balik jubah malaikat maut. Randy Pausch, seorang profesor di Universitas Carnegie Melon, membuat sebuah postingan video di kanal Youtube yang kemudian menjadi viral dan menyulut sensasi berjudul The Last Lecture: Achieving Your Childhood Dreams. Video yang kemudian dituliskan menjadi sebuah buku dengan judul yang sama dan telah terjual 5 juta kopi, menceritakan akhir hidup sang profesor yang manis. Menyadari bahwa hidupnya tinggal hitungan tahun, Randy Pausch membagi hal penting dalam hidup, yang perlu dicermati, dengan melihat kembali hal-hal luar biasa yang pernah diimpikan ketika masa kanak-kanak.

Lini masa dalam hidup memang linier. Kecuali Anda tokoh yang diperankan Brad Pitt dalam film The Curious Case of Benjamin Button, yang terlahir renta dan mati dalam keadaan bayi, semua manusia mengawali siklus hidupnya dengan menjadi jabang bayi. Bagian di mana orangtua kita ketemu dan saling jatuh cinta bisa kita lewatkan. Intinya, hidup kita selalu bergerak bersama waktu ke masa depan, bukan kembali ke masa lalu. Menariknya, seperti yang ingin disampaikan Randy, ada bagian penting dalam masa kanak-kanak kita yang ikut lenyap, atau sementara terkubur ketika tumbuh dan menua. Ironinya, konon, di antara banyak yang menua tidak semua berakhir dewasa.

Pentingnya memori masa kecil ini mungkin menjadi tema yang ditulis oleh seorang penulis Prancis yang wafat dalam perang dunia kedua, Antoine de Saint-Exupéry, penulis The Little Prince. Narasi yang dibangun dalam buku sang pangeran kecil adalah betapa rapuhnya dunia yang dihuni oleh orang dewasa yang tampaknya telah kehilangan keasyikan bermain layaknya anak-anak. Socrates tentu saja tidak mengajarkan ini, akan tetapi filsuf-filsuf yang datang kemudian semua sama sepakat bahwa anak-anak menyimpan jiwa murni akan pertanyaan-pertanyaan esensial-filosofis tentang hidup yang perlu dicermati.

Suatu kali dalam sebuah cerita animasi samurai jepang yang sangat populer, Samurai X, musuh kenshin yang baru saja dikalahkan segera bersiap harakiri,mengakhiri hidupnya demi kehormatan. Sebuah kekalahan bagi seorang samurai adalah hinaan tak tertanggungkan yang hanya bisa dibayar impas dengan kematian. Konon begitu pulalah yang terjadi ketika jepang menyerah kepada sekutu.

Namun, adegan berikutnya dalam film animasi itu menggetarkan saya, yang kelak saya kenang bahkan sampai saat ini. Dalam hitungan detik ketika si samurai kalah tarung hendak menghabisi nyawanya sendiri, kenshin mencegah dengan kalimat yang bahkan lebih cepat dari kelebat pedang, “mati itu soal mudah … namun untuk hidup butuh keberanian.”

Inilah kalimat pendek bak kilat yang kemudian menghentikan upaya bunuh diri si samurai yang merasa kalah abu. Saya sendiri tidak kalah terperanjat mendapatkan nilai begitu dalam yang dikemas apik dalam tema film kartun laga jepang yang, ternyata, selain disukai anak-anak, juga dinikmati banyak orang dewasa.

Tafsir atas peristiwa dalam scene yang mendebarkan itu sebenarnya tidak rumit. Variasi kematian, bahkan–mengutip agus noor–yang seksi sekalipun, tersedia dengan mudah. Cukup kumpulkan koran ibu kota dalam 7 hari terakhir dan kita akan menemukan beragam cara mati mulai dari menenggak racun, menggantung diri, terjun dari ketinggian di sebuah mall, atau berjalan secara heroik menyongsong laju kereta yang sedang berlari mengejar setoran. Ada banyak variasi. Namun, seperti yang ditunjukkan Kenshin, hidup jelas membutuhkan keberanian. Buruh berupah rendah setiap hari melakukan uji nyali, memerah sumber daya mereka demi imbalan yang tidak pernah bisa mengkompensasi butiran keringat yang mereka curahkan. Para pekerja berupah rendah memutus sendiri urat takut, menggelantungkan hidup pada temali nasib yang tidak tentu. Bagi mereka mati hanya sejarak beberapa milimeter saja.

Pertanyaannya, mengapa lebih banyak yang memutuskan bertahan hidup ketimbang memilih mati? Pertanyaan ini juga mengagetkan Albert Camus, salah satu tokoh filsuf eksistensialis. Baginya, kematian seharusnya menjadi pilihan banyak orang saat hidup dirasa tidak layak dijalani. Barangkali, di sinilah letak kekuatan manusia ketika beririsan dengan harapan. Harapan menyegarkan jiwa dan menghibur kepedihan. Harapan menyuling airmata dan penderitaan menjadi keperkasaan–yang bahkan tidak perlu ditambah senyawa yang dijajakan di outlet obat kuat bermerek A Long. Mari kita rayakan secara istimewa hari-hari kita agar “kematian tidak akan pernah bertahta atas diriku,” demikian judul lain puisi Dylan Thomas yang menggugah.

@salmanfaridi Do not go gentle into that good night,
Old age should burn and rave at close of day;
Rage, rage against the dying of the light.
(Dylan Thomas)

Konon, seorang filsuf besar Yunani, Socrates, pernah mengatakan bahwa hidup yang tak dicermati tidaklah layak dijalani. Kehidupan, bagi sang filsuf, pastilah begitu istimewa sehingga setiap momen yang datang adalah momen yang spesial, tidak datang dua kali, apalagi akan terulang berkali-kali, dengan sedikit bekal keyakinan bahwa esok matahari akan tetap terbit di ufuk timur. Dari perspektif ini, dapat dimaklumi  jika kemudian Socrates lebih mengakhiri hidupnya tatkala dipertentangkan dengan keyakinan yang harus dikompromikan menurut keinginan orang banyak. Socrates lebih memilih mengakhiri hidupnya yang berharga di tangannya sendiri … dengan bantuan racun.

Akan tetapi jalan kematian bukanlah pilihan setiap orang. Ada orang-orang yang menolak menyerah bahkan ketika kanker ganas dan atau penyakit terminal lainnya mengintip dari balik jubah malaikat maut. Randy Pausch, seorang profesor di Universitas Carnegie Melon, membuat sebuah postingan video di kanal Youtube yang kemudian menjadi viral dan menyulut sensasi berjudul The Last Lecture: Achieving Your Childhood Dreams. Video yang kemudian dituliskan menjadi sebuah buku dengan judul yang sama dan telah terjual 5 juta kopi, menceritakan akhir hidup sang profesor yang manis. Menyadari bahwa hidupnya tinggal hitungan tahun, Randy Pausch membagi hal penting dalam hidup, yang perlu dicermati, dengan melihat kembali hal-hal luar biasa yang pernah diimpikan ketika masa kanak-kanak.

Lini masa dalam hidup memang linier. Kecuali Anda tokoh yang diperankan Brad Pitt dalam film The Curious Case of Benjamin Button, yang terlahir renta dan mati dalam keadaan bayi, semua manusia mengawali siklus hidupnya dengan menjadi jabang bayi. Bagian di mana orangtua kita ketemu dan saling jatuh cinta bisa kita lewatkan. Intinya, hidup kita selalu bergerak bersama waktu ke masa depan, bukan kembali ke masa lalu. Menariknya, seperti yang ingin disampaikan Randy, ada bagian penting dalam masa kanak-kanak kita yang ikut lenyap, atau sementara terkubur ketika tumbuh dan menua. Ironinya, konon, di antara banyak yang menua tidak semua berakhir dewasa.

Pentingnya memori masa kecil ini mungkin menjadi tema yang ditulis oleh seorang penulis Prancis yang wafat dalam perang dunia kedua, Antoine de Saint-Exupéry, penulis The Little Prince. Narasi yang dibangun dalam buku sang pangeran kecil adalah betapa rapuhnya dunia yang dihuni oleh orang dewasa yang tampaknya telah kehilangan keasyikan bermain layaknya anak-anak. Socrates tentu saja tidak mengajarkan ini, akan tetapi filsuf-filsuf yang datang kemudian semua sama sepakat bahwa anak-anak menyimpan jiwa murni akan pertanyaan-pertanyaan esensial-filosofis tentang hidup yang perlu dicermati.

Suatu kali dalam sebuah cerita animasi samurai jepang yang sangat populer, Samurai X, musuh kenshin yang baru saja dikalahkan segera bersiap harakiri,mengakhiri hidupnya demi kehormatan. Sebuah kekalahan bagi seorang samurai adalah hinaan tak tertanggungkan yang hanya bisa dibayar impas dengan kematian. Konon begitu pulalah yang terjadi ketika jepang menyerah kepada sekutu.

Namun, adegan berikutnya dalam film animasi itu menggetarkan saya, yang kelak saya kenang bahkan sampai saat ini. Dalam hitungan detik ketika si samurai kalah tarung hendak menghabisi nyawanya sendiri, kenshin mencegah dengan kalimat yang bahkan lebih cepat dari kelebat pedang, “mati itu soal mudah … namun untuk hidup butuh keberanian.”

Inilah kalimat pendek bak kilat yang kemudian menghentikan upaya bunuh diri si samurai yang merasa kalah abu. Saya sendiri tidak kalah terperanjat mendapatkan nilai begitu dalam yang dikemas apik dalam tema film kartun laga jepang yang, ternyata, selain disukai anak-anak, juga dinikmati banyak orang dewasa.

Tafsir atas peristiwa dalam scene yang mendebarkan itu sebenarnya tidak rumit. Variasi kematian, bahkan–mengutip agus noor–yang seksi sekalipun, tersedia dengan mudah. Cukup kumpulkan koran ibu kota dalam 7 hari terakhir dan kita akan menemukan beragam cara mati mulai dari menenggak racun, menggantung diri, terjun dari ketinggian di sebuah mall, atau berjalan secara heroik menyongsong laju kereta yang sedang berlari mengejar setoran. Ada banyak variasi. Namun, seperti yang ditunjukkan Kenshin, hidup jelas membutuhkan keberanian. Buruh berupah rendah setiap hari melakukan uji nyali, memerah sumber daya mereka demi imbalan yang tidak pernah bisa mengkompensasi butiran keringat yang mereka curahkan. Para pekerja berupah rendah memutus sendiri urat takut, menggelantungkan hidup pada temali nasib yang tidak tentu. Bagi mereka mati hanya sejarak beberapa milimeter saja.

Pertanyaannya, mengapa lebih banyak yang memutuskan bertahan hidup ketimbang memilih mati? Pertanyaan ini juga mengagetkan Albert Camus, salah satu tokoh filsuf eksistensialis. Baginya, kematian seharusnya menjadi pilihan banyak orang saat hidup dirasa tidak layak dijalani. Barangkali, di sinilah letak kekuatan manusia ketika beririsan dengan harapan. Harapan menyegarkan jiwa dan menghibur kepedihan. Harapan menyuling airmata dan penderitaan menjadi keperkasaan–yang bahkan tidak perlu ditambah senyawa yang dijajakan di outlet obat kuat bermerek A Long. Mari kita rayakan secara istimewa hari-hari kita agar “kematian tidak akan pernah bertahta atas diriku,” demikian judul lain puisi Dylan Thomas yang menggugah.

@salmanfaridibentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta