Apa yang Saya Pikirkan Ketika Saya Sedang Bersepeda
Apa yang kamu pikirkan ketika kamu sedang bersepeda? Sekitar tahun 2009 saya mendapati sebuah buku kecil dengan judul yang tidak biasa, What I Talk About When I Talk About Running (WITAWITAR). Memoar ini lahir dari seorang penulis internasional kelahiran Jepang, Haruki Murakami. Tidak seperti para penulis pada umumnya, Murakami mengawali karier menulis di antara jadwal mengelola klub jazz dan menjadi bartender di tempatnya sendiri. Namun, yang unik dari kesehariannya adalah kecintaannya pada lari maraton. Aktivitas ini telah mulai lebih dulu sebelum ia menjadi penulis, dan tetap berlari bahkan ketika sudah menjadi penulis. Jadi, ya, sepertinya, lumayan membuat penasaran. Ada apa dengan berlari?
“Have you ever run 62 miles in a single day?
The vast majority of people in the world (those who are sane, I should say)
have never had that experience.” ―Murakami
Apa yang Saya Pikirkan Ketika Saya Sedang Bersepeda
Para pembaca Murakami, seperti yang ditunjukkan dalam pengantar memoarnya, menunjukkan ketertarikan luar biasa pada kebiasaan lari maraton si penulis. Sebegitu banyak sehingga Murakami sendiri mulai melihat bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini mungkin dibutuhkan sebuah buku tersendiri. Voila, akhirnya terbitlah memoar nonfiksi yang, kira-kira, kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya, ‘Apa yang Saya Pikirkan Ketika Saya Sedang Berlari’. Penulis yang lahir di Kyoto pada 12 Januari 1949, melahirkan karya pertamanya Kaze no uta o kike pada 1979 ketika berumur 30 tahun. Bukan sebuah karier menulis yang cepat bila dibandingkan dengan generasi Z kiwari yang memulai karier menulis di usia belasan. Dua dekade kemudian saya beruntung memasuki dunia Murakami melalui WITAWITAR.
Memoar Bersepeda Meresap Bersama
Yang saya tidak antisipasi, bertahun-tahun kemudian, saya baru sadar bahwa memoar itu tumbuh dan menetap bersama saya. Pertama, sejauh tertentu aktivitas atletik itu dapat diarahkan menuju dimensi yang lebih reflektif-spiritual. Terutama pada olah jasmani yang membutuhkan waktu-waktu panjang dengan menguras stamina dan mental. Ini misalnya bisa dibaca lewat pengalaman maraton kali pertamanya mengelilingi Danau Saroma di Hokkaido sejauh 100 km.
Kedua, mantra Murakami yang sering saya ulang-ulang sedemikian relevan sehingga dalam banyak kesempatan, kalau ada kutipan paling mendalam bagi saya adalah “pain is inevitable, suffering is optional”. Namun, mantra ini baru mendapatkan lokus realisasinya ketika saya sendiri memulai olahraga ultra delapan tahun kemudian ketika mengikuti Audax. Sebuah event sepeda jarak jauh secara serial mulai dari 200, 300, 400, dan 600 kilometer. Jarak terjauh yang pernah saya selesaikan adalah menghitung aspal jalanan Paris sampai ke Brest ulang-alik dengan catatan 100 jam menempuh 1.200 km. Dengan penuh hikmat saya mengamini kata-kata Murakami, “rasa sakit itu tak tertahankan, tapi menderita soal pilihan,”.
Pengalaman Menulis
Sebenarnya ada hal ketiga. Namun, hal ini biasanya menyangkut pengalaman menulis. Bagi mereka yang terbiasa menulis, proses menulis hakikatnya sebuah kegiatan yang menyakitkan tak ada bedanya dengan melahirkan. Sebab, menulis adalah proses melahirkan yang batin. Betapa banyak dari kita yang mengalami kegalauan, gabut―kata anak sekarang, kegamangan, kecemasan, kekhawatiran, keraguan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, semua ini berkumpul dalam pengalaman kolektif setiap manusia. Namun, tidak setiap orang bisa melahirkannya menjadi sebuah gagasan yang menyembuhkan. Ini di antaranya, yang mendorong menulis sebagai sebuah kegiatan terapi. Tidak perlu berpikir fancy dan ambisius menulis novel.
Buat pasangan, misalnya, hal sederhana berikut ini bisa Anda coba. Sesekali kalau kurang uang bulanan dan suami tidak paham juga tulislah begini, “Yah, Bunda telah bekerja siang-malam, menyiapkan anak-anak setiap hari sejak mereka akan berangkat sekolah dan mengurus keperluan mereka hingga jauh malam, sampai ketika waktunya Bunda tidur, Ayah pun masih membangunkan. Tidakkah Bunda boleh meminta uang bulanan tambahan?! Oya, sepeda Ayah kemarin yang katanya harganya cuma sejuta, Bunda cek di online rupanya 50-an juta, ya. Hmmm ….” Saya tidak menjamin hasilnya akan sesuai keinginan, tetapi, setidaknya, Anda memiliki medium untuk berekspresi, lewat tulisan. Inilah inti menulis, melahirkan yang batin.
Baca juga: Tips Menulis Buku Nonfiksi ala Dee Lestari
Berat Badan yang Membengkak
Sebagai informasi, baik Murakami maupun saya bukan olahragawan elite yang menghabiskan waktunya sepenuh waktu untuk melatih kemampuan berlari atau bersepeda. Saya menekuni kegiatan sepeda karena terpaksa. Akhir 2015, berat badan saya membengkak hampir menyentuh 90 kg. Kedua lutut saya sering sakit ketika mencoba melakukan lari ringan atau joging. Dalam keterbatasan olahraga yang cocok dan tidak ribet saya menemukan bersepeda adalah yang paling cocok. Tidak perlu persiapan. Asal ada waktu, sepeda siap dipancal kapan pun. Selain itu, secara teknis, bersepeda membagi titik tumpu berat badan kita pada tiga titik vital di handlebar (setang), sadel, dan pedal. Lutut saya aman. Problemnya kemudian butuh waktu agar bokong terbiasa duduk berlama-lama. Masalah yang kemudian selesai dengan bike-fitting. Saya punya beberapa sepeda besi yang dibuat secara custom dengan mengukur detail panjang lengan, jangkauan lengan, inseam, dan detail lainnya yang membuat sepeda nyaman, terutama untuk perjalanan jarak jauh.
Fase Kesulitan
Setelah melewati fase kesulitan teknis, saya bisa sampaikan, barangkali secara meyakinkan, bahwa di antara hal-hal yang membahagiakan, perasaan bahagia yang sama juga menjalar ketika saya memiliki waktu berkendara di atas sadel. Menurut kesehatan, bersepeda yang benar mendukung otak melepaskan hormon endorfin, hormon yang bertanggung jawab memberikan rasa bahagia, perasaan positif, dan berfungsi sebagai pain-killer. Namun, sedikit disclaimer, perasaan bahagia ini harus paralel dirasakan pasangan yang kita tinggalkan di rumah. Kalau tidak, endorfin yang kita rasakan pada hari kita bersepeda, melahirkan kortisol pada pasangan kita yang berakibat stres. Bermurah hatilah. Tinggalkan sangu yang cukup sebelum bersepeda. Ini sebenarnya tantangan khas bapak-bapak. Tetapi, tidak perlu datang ke psikolog untuk menyelesaikannya. Kuncinya adalah komunikasi.
Bersepeda Melahirkan Kreativitas Baru
Bersepeda seturut pengalaman pendek saya adalah cara paling efektif untuk melahirkan kreativitas baru. Urut-urutannya sederhana sebenarnya; mood yang baik melahirkan perasaan positif, dan ketika kita merasa nyaman dan bergairah, kreativitas baru pun lahir. Saat menapaki jalan-jalan yang sunyi, sendiri saja, hanya ada dengkus napas dan suara rantai yang bersemadi pada orbitnya melalui crank dan menuruni pulley pada sebuah mekanisme rear derailleur, saya menemukan pikiran saya begitu bening dan hening.
Paradoks pada apa yang sering kita lakukan selama jam kantor, misalnya, yang menuntut kita harus produktif, karena setiap jamnya kita diupah, saat-saat penuh ilham biasanya datang pada situasi seperti ini. Gairah meluap-luap. Saya bisa fokus memahami sepenuhnya kompleksitas yang terjadi dalam bisnis penerbitan yang saya geluti. Seolah-olah memasuki momen pencerahan yang terlatih. Momen meditatif yang menjaga gerak tubuh kita di bumi selagi pikiran berkelana ke luasnya semesta yang tak berhingga. Ini barangkali mengapa bersepeda jarak jauh menjadi sedemikian candu. Anda akan merasa sakit, pada awalnya. Sesekali menyerah. Tetapi, hasilnya sepadan. Tertarik untuk memulai?
(Salman)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!