Dunia, Sebelum Manusia Menciptakan Liburan

Sudah menjadi hal jamak, pada masa pandemi ini protokol kesehatan menganjurkan satu dari beberapa pencegahan persebaran virus: menggunakan masker, sering mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik, tidak berdekatan, apalagi berkerumun. Aktivitas rutin ini akan menjadi situasi normal baru, kecuali kita mau menjadi martir, memaparkan diri terhadap virus. Yang juga berubah adalah cara kita bekerja. Semula berduyun-duyun, berderap rapi mengejar jam kantor, kini sebagian besar dari kita melakukannya dari rumah. Pertemuan penting beralih menjadi virtual, bertemu dan berdoa bersama dalam ruang yang infrastrukturnya dibangun di atas jaringan pita lebar. Konsekuensinya, bekerja dan tidak bekerja semua berlangsung dalam ruang dan waktu yang sama. Batas antara
liburan dan ngantor tak lagi tegas. Maka, pekerja dari rumah sering sekali digambarkan berkemeja rapi, tapi bercelana pendek nan kasual. Selamat datang di budaya kerja baru.

Akan tetapi, yang luput dicatat dalam adaptasi gaya bekerja baru ini, tidak sedikit laporan yang mengindikasikan ketegangan domestik di antara pasangan. Perempuan menjadi sasaran kekerasan, termasuk di dalamnya anak-anak, dan kalau kita masukkan komponen suami-suami yang baru saja dilepas perusahaan, angkanya mungkin akan jauh lebih tinggi. Namun, hal yang tidak kalah merisaukan pemerintah terutama penanggung jawab badan koordinasi keluarga berencana, diperkirakan terjadi 7 juta kehamilan selama masa rebahan #dirumahaja. Kombinasi waktu luang, liburan rasa bekerja atau sebaliknya, dan keharusan tidak keluar rumah telah membuat kita gagap mengantisipasi hal baru. Padahal sejatinya, umat manusia ini baru sebentar saja mengenal liburan.

Dalam lintasan sejarah, hanya pada masa revolusi industri, artinya sekitar abad ke-20, setelah manusia menciptakan mesin-mesin produksi, kebutuhan akan liburan memiliki sejenak waktu luang di antara bengisnya para pemilik modal yang tidak mau melihat mesinnya berhenti, para pekerja menuntut waktu ketika mereka bisa memiliki waktu lebih untuk beristirahat. Manusia modern yang telah mengenal tujuh hari dalam seminggu, pada awalnya tidak memiliki privilege, hak istimewa untuk bersantai. Sampai akhirnya, sebuah revolusi lahir dari industri otomotif yang dinilai paling berhasil mengenalkan sebuah model massal yang dinamai Model T. Rancang bangun kendaraan roda empat ini lahir dari gagasan brilian pengusaha otomotif Henry Ford. Namanya dipatenkan menjadi salah satu merek mobil terkemuka di dunia. Sewaktu Henry Ford memikirkan cara menjual mobilnya lebih banyak, ia mengasumsikan beberapa hal ini: menaikkan upah per jam, membatasi hari efektif bekerja karyawannya. Ia muncul dengan solusi lima hari kerja. “Orang-orang yang memiliki lebih banyak waktu luang, pastilah memiliki lebih banyak pakaian,” demikian argumentasi Ford.

Dan, ketika mereka memiliki waktu lebih banyak untuk bersantai, selagi menggunakan outfit yang bukan seragam bekerja, orang akan terdorong untuk berlibur. Lalu, keinginan berlibur dengan anggota keluarga Amerika pada saat itu, memunculkan keinginan untuk jalan-jalan dengan kendaraan roda empat, sudah bisa ditebak, ya, Mobil Ford model T yang dijualnya. Jadi, Anda keliru kalau beranggapan waktu liburan adalah masa yang tepat menumbuhkan benih spiritual, menyucikan jiwa, sementara muasalnya sendiri adalah konsumsi. Namun, tak apalah. Minimal dalam tujuh hari, kita memiliki dua hari yang dapat kita habiskan semau kita. Sebagian kita pergi ke tempat terjauh hanya untuk menemukan dirinya, sebagian lagi bahkan tak tahu bahwa mereka hidup dan teramat penting, tapi selalu kalah prioritas oleh mantra dunia modern, waktu adalah uang. Jangan sia-siakan!

Kalau bisa, gunakan seluruh waktu untuk menjadi Paman Gober berikutnya, dari klan Donald bebek yang paling tajir. Berkat Henry Ford terhitung sejak 1929 warga Amerika telah bekerja lima hari, diikuti oleh Kanada, Inggris, dan sebagian Eropa yang pada hari Sabtu dengan durasi kerja yang singkat, hingga sepenuhnya mengadopsi lima hari kerja pada 1970-an.

Penemuan liburan juga erat kaitannya dengan penemuan hari. Sebab, tanpa formulasi Senin sampai Minggu sebagai sebuah kalender atau penanggalan harian yang genap seluruhnya membentuk tujuh hari, kita tidak akan memiliki sensasi berlibur dua hari setelah berjibaku selama lima hari: buka file, menuliskan laporan, melakukan rapat-rapat maraton, update status, klik like, berikan komentar dan bagikan konten yang menarik, sesekali membuka market place mencari barang-barang menarik di antara jam-jam sibuk harian kita di kantor, semua episode melelahkan ini haruslah diberikan hadiah berupa akhir minggu yang keren. Tempat kita memiliki me-time, sepenuhnya waktu hanya untuk diri kita sendiri. Untuk pengetahuan luar biasa akan konsep “hari” ini, setidaknya kita perlu mengangkat topi untuk manusia terpelajar pada masa Babylonia dalam kurun waktu 4000 tahun SM, sampai
akhirnya masuk dalam kalender Barat masa 250 SM.

Konon jumlah tujuh planet pada masa itu yang teramati, menjadi dasar penentuan angka 7 dalam menjalani hari-hari. Sebuah konsep waktu yang secara gegabah diadopsi waralaba minimarket 7―11, yang tidak menyangka akan dengan mudah ditikung oleh convenient stores yang menguji nyali karyawannya dengan membuka gerai 24 jam
sehari, 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun. Kapital sebagaimana ditunjukkan Marx, mengisap mereka yang tidak memiliki modal, dan salah satu cara menunjukkan cara melucuti modal adalah dengan berdemo, berhenti bekerja, melakukan unjuk rasa. Sebab, pada mesin-mesin yang setiap jamnya menghasilkam output setara sejumlah nominal tertentu, ketiadaan manusia yang mengendalikannya berarti kerugian besar. “Baru nyaho, kau,” kata-kata Marx berdengung dari dalam kubur. Dari sini lalu kita mengenal jenis liburan yang lain, Mayday, diperingati sebagai Hari Buruh, ditetapkan sebagai tanggal merah, dinikmati semua kelas.

Menjelang libur Lebaran, salah satu kegiatan berfaedah yang akan meningkatkan derajat spiritual Anda adalah membeli buku. Orang-orang yang mencintai buku, terlebih yang secara teratur membeli, tidak saja tampak lebih keren—dulu saya anggap sebagai salah satu rumus mendapatkan pacar di kampus—melainkan memberikan aura bijak-bestari. Kalaupun Anda tak jua bijak, percayalah satu hal, kedermawanan Anda telah menyelamatkan ekosistem perbukuan. Mari berlibur bersama, merayakan Lebaran dengan yang terkasih, dan bermain di komidiputar.id. Saya tunggu.

(Salman)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta