[CERMIN] Lamaran
“Sania”
Sania duduk tepat setelah aku menyesap kopi. Di matanya kulihat ada amarah dan serapah yang siap ditumpahkan ke wajahku. Selalu saja kerutan di keningnya ingin kusentil dan menggamit bibirnya yang sedang cemberut.
“Are you kidding me? Kamu simpan nama siapa di halaman depan ini? Rosa? Yang terkasih Rosa?”
Sudah kuduga ia akan mempersalahkan tentang itu. Kutangkap lagi wajahnya, sekarang ia sedang menggigit bibir bawahnya sambil melengos. Kemudian, sampai akhirnya ia berpaling lagi, buru-buru kukunci tatapannya. Sungguh, dia satu-satunya yang kuinginkan dalam hidup.
“Kamu mau kopi?” kataku sambil mengambil sebuah buku di hadapannya.
“Aku tidak akan memberi tahu Sean.” Sania melipat tangannya di depan dada sambil bersandar di punggung kursi.
Kuamati dia baik-baik. Masih ada wajah cantik yang sering aku temukan sejak dua puluh tahun yang lalu.
“Aku putus!”
“Lagi?”
Aku mengangguk sambil tersenyum kepadanya. Usahaku selama ini untuk melupakannya hanya sia-sia. Aku tahu dia masih mencintaiku, dia pun begitu. Tapi kami malah saling menjauh dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Suatu hari akan kukatakan lagi di depan pelaminan bahwa aku mencintai Sania. Dan sekarang adalah permulaannya.
“Ah, sudahlah. Bye!” Ia berdiri sambil menyerahkan selembar undangan pernikahannya, sedangkan aku menarik lagi cincin dalam genggaman dan memerhatikan ia berlalari keluar dari kedai.
***
Oleh Julia Primadani (@Juliaaprima)
11 Januari 2015 “Sania”
Sania duduk tepat setelah aku menyesap kopi. Di matanya kulihat ada amarah dan serapah yang siap ditumpahkan ke wajahku. Selalu saja kerutan di keningnya ingin kusentil dan menggamit bibirnya yang sedang cemberut.
“Are you kidding me? Kamu simpan nama siapa di halaman depan ini? Rosa? Yang terkasih Rosa?”
Sudah kuduga ia akan mempersalahkan tentang itu. Kutangkap lagi wajahnya, sekarang ia sedang menggigit bibir bawahnya sambil melengos. Kemudian, sampai akhirnya ia berpaling lagi, buru-buru kukunci tatapannya. Sungguh, dia satu-satunya yang kuinginkan dalam hidup.
“Kamu mau kopi?” kataku sambil mengambil sebuah buku di hadapannya.
“Aku tidak akan memberi tahu Sean.” Sania melipat tangannya di depan dada sambil bersandar di punggung kursi.
Kuamati dia baik-baik. Masih ada wajah cantik yang sering aku temukan sejak dua puluh tahun yang lalu.
“Aku putus!”
“Lagi?”
Aku mengangguk sambil tersenyum kepadanya. Usahaku selama ini untuk melupakannya hanya sia-sia. Aku tahu dia masih mencintaiku, dia pun begitu. Tapi kami malah saling menjauh dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Suatu hari akan kukatakan lagi di depan pelaminan bahwa aku mencintai Sania. Dan sekarang adalah permulaannya.
“Ah, sudahlah. Bye!” Ia berdiri sambil menyerahkan selembar undangan pernikahannya, sedangkan aku menarik lagi cincin dalam genggaman dan memerhatikan ia berlalari keluar dari kedai.
***
Oleh Julia Primadani (@Juliaaprima)
11 Januari 2015bentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!