Kesalehan dan Domestikasi Perempuan, Bagaimana Bisa Diukur?
Domestikasi, apa itu? Bagi perempuan, domestikasi sering kali dirasakan pada sehari-harinya. Hal ini merujuk pada keadaan perempuan yang selalu disangkutpautkan dengan tugas rumah tangga.
Melalui buku “Muslimah Bukan Agen Moral” karya Maria Fauzi, para perempuan diajak untuk mengerti, paham, dan membela diri terhadap adanya domestikasi perempuan itu sendiri. Seperti selayaknya perempuan, bukan berarti menjadi budak dalam kehidupan berumah tangga.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai kesalehan dan domestikasi perempuan, kamu bisa membaca artikel Bentang Pustaka ini untuk lebih lanjutnya ya!
Domestikasi Perempuan, Apa itu?
Domestikasi, sering dikenal sebagai pemujaan terhadap feminitas sejati, adalah ungkapan yang digunakan oleh para sejarawan untuk mendefinisikan sistem nilai yang berlaku di kalangan kelas atas dan menengah pada abad kesembilan belas di Amerika Serikat. Sistem nilai ini mempromosikan gagasan baru tentang feminitas, peran perempuan di rumah, dan dinamika pekerjaan-keluarga.
Hal ini jugamerupakan filosofi di mana nilai perempuan didasarkan pada kemampuannya untuk tinggal di rumah dan melakukan “tugas” sebagai istri dan ibu serta kesediaannya untuk mematuhi serangkaian kebajikan yang sangat spesifik.
Menurut gagasan ini, “wanita sejati” harus memiliki empat sifat utama: kesalehan, kesucian, kerumahtanggaan, dan kepatuhan. Konsepnya berpusat pada wanita sebagai pusat keluarga; dia dianggap sebagai “cahaya rumah”.
Perempuan dan laki-laki yang paling aktif dalam mendukung norma-norma ini sebagian besar adalah orang kulit putih dan Protestan, dengan mayoritas dari mereka tinggal di New England dan Amerika Serikat Bagian Timur Laut.
Meskipun semua perempuan diharapkan mendambakan cita-cita feminitas ini, perempuan kulit hitam, kelas pekerja, dan imigran sering kali dikecualikan dari gagasan “perempuan sejati” karena prasangka sosial.
Baca Juga:
Feminisme Islam dari Perspektif Perempuan Muslim
4 Sifat Keutamaan Domestikasi
Ideologi “Domestikasi Rumah Tangga” menetapkan rumah sebagai “lapangan layak” bagi perempuan sebagai bagian dari konsep lapangan tersendiri. Perempuan diharapkan tinggal di daerah terpencil, mengurus rumah tangga dan produksi pangan (termasuk pembantu rumah tangga), membesarkan anak, dan merawat suaminya. Barbara Welter (1966) percaya bahwa “Wanita Sejati” harus memiliki dan mempraktikkan empat kebajikan utama:
Kesalehan
Kesalehan sangat dihargai karena, tidak seperti kegiatan akademis, agama tidak memisahkan perempuan dari “lingkungan yang layak”, terutama keluarga, dan agama membatasi kerinduan perempuan.
Kesucian
Harta terbesar seorang wanita, keperawanan, tidak boleh hilang sampai malam pernikahannya, dan seorang wanita yang sudah menikah harus berkomitmen sepenuhnya pada pasangannya.
Ketundukan
Laki-laki dianggap lebih unggul dari perempuan “sesuai ketentuan Tuhan”, maka perempuan sejatinya harus lemah lembut dan penurut “seperti anak kecil”.
Domestikasi
Posisi perempuan yang layak dalam masyarakat adalah di rumah, dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri adalah menjaga suami dan anak-anaknya. Memasak, menjahit, merapikan tempat tidur, dan merawat bunga dipandang sebagai tugas alami feminin, sedangkan membaca apa pun selain biografi agama tidak disukai.
Baca Juga:
Sejarah Awal Gerakan Feminisme di Indonesia
Feminisme dan Domestikasi
Konstruksi sosial tentang keperempuanan sejati mengarah langsung pada perkembangan feminisme, karena gerakan perempuan terbentuk sebagai respons langsung terhadap standar ketat yang ditetapkan oleh kultus kerumahtanggaan.
Perempuan kulit putih yang harus bekerja mendapati diri mereka dikucilkan dari konsep keperempuanan sejati, dan dengan sadar menolak pedomannya. Perempuan kulit hitam, baik yang diperbudak maupun yang merdeka, tidak memiliki kemewahan perlindungan yang diberikan kepada perempuan sejati, tidak peduli seberapa saleh atau murninya mereka.
Pada tahun 1848, konvensi gerakan perempuan pertama diadakan di Seneca Falls, New York, dan banyak perempuan merasa bahwa sudah waktunya bagi mereka untuk mulai memperjuangkan persamaan hak. Selama paruh kedua abad ke-19, ketika hak untuk memilih diperluas ke semua laki-laki kulit putih, perempuan yang mendukung hak pilih dianggap tidak feminin dan tidak wajar.
Pada saat Era Progresif dimulai, sekitar tahun 1890, perempuan secara vokal menganjurkan hak untuk mengejar pendidikan, profesional, dan intelektual mereka sendiri, di luar lingkup rumah dan keluarga. Cita-cita yang muncul dari “Perempuan Baru” ini sangat kontras dengan kultus kerumahtanggaan, dan perempuan mulai mengambil pekerjaan di sektor publik, merokok, menggunakan metode pengendalian kelahiran, dan membuat keputusan keuangan sendiri. Pada tahun 1920, perempuan akhirnya memperoleh hak untuk memilih.
Kembalinya Domestikasi Cult
Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, terdapat sedikit kebangkitan kembali kultus kerumahtanggaan, terutama ketika masyarakat Amerika berupaya untuk kembali ke kehidupan keluarga ideal yang mereka kenal sebelum tahun-tahun perang. Film dan acara televisi populer menggambarkan perempuan sebagai fondasi rumah tangga, kehidupan rumah tangga, dan pengasuhan anak.
Namun, karena banyak perempuan yang tidak hanya mempertahankan kehidupan keluarga mereka tetapi juga kehilangan pekerjaan, sekali lagi muncul penolakan. Tak lama kemudian, feminisme muncul kembali, yang oleh para sejarawan disebut sebagai gelombang kedua.
Sehingga perempuan sekali lagi mulai berjuang dengan sungguh-sungguh demi kesetaraan, sebagai respons langsung terhadap standar penindasan yang diberikan kepada mereka oleh kultus kerumahtanggaan.
Kesalehan dan Domestikasi Perempuan pada Buku “Muslimah Bukan Agen Moral”
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pada buku “Muslimah Bukan Agen Moral” karya Maria Fauzi, kamu akan mempelajari bagaimana seharusnya kehidupan berumahtangga seorang perempuan tanpa adanya unsur perbudakan. Ditambah lagi tuntutan keluarga dengan sifat keutamaan domestikasi yang menjerumuskan pihak perempuan.
Selain domestikasi sendiri, kamu juga akan mempelajari bagaimana seharusnya perempuan tidak dijadikan sebagai agen moral untuk agamanya. Perempuan juga bisa berdiri sendiri tanpa adanya tuntutan masyarakat. Dan yang lebih penting, perempuan juga mempunyai hak yang setara dengan laki-laki.
Kamu bisa membaca lebih lanjutnya melalui buku “Muslimah Bukan Agen Moral” karya Maria Fauzi tersebut. Untuk bisa membelinya, kamu bisa datang pada toko-toko buku kesayanganmu secara offline. Atau membelinya secara online melalui official store milik Bentang Pustaka!
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!