Tag Archive for: Tionghoa

Apa Itu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)?

Pada 14 April 1961, umat Tionghoa Muslim di Indonesia mendirikan sebuah wadah yang menaungi mereka. Wadah tersebut bernama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Adapun tokoh-tokoh utama yang mendirikan organisasi tersebut antara lain Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong, serta Kho Goan Tjin.

PITI adalah gabungan dari organisasi umat Muslim Tionghoa yang sudah lahir terlebih dulu di Indonesia. Organisasi itu adalah Persatuan Islam Tionghoa (PIT) yang saat itu dipimpin oleh Abdusomad Yap A Siong. Kedua,  Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) pimpinan Kho Goan Tjin.

Saat itu, PIT dan PMT masih bersifat lokal atau kedaerahan sehingga belum begitu dirasakan oleh umat Muslim Tionghoa di Indonesia secara luas. Adapun daerah-daerah tumbuhnya PIT dan PMT saat itu adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, serta Lampung.

Pindah Kantor

Dengan alasan untuk memperkuat ukhuwah islamiah antara umat Muslim Tionghoa di Indonesia, dua organisasi yang bermarkas utama di Medan, akhirnya pindah ke Jakarta. Mereka bergabung dan mendeklarasikan diri menjadi PITI. Sampai saat ini, kantor pusat PITI beralamat di Jl. Gunung Sahari Raya No. 28 D, Lantai 3, Jakarta Pusat.

Dalam perkembangannya, PITI menganut paham Ahlussunah wal Jamaah yang metodologi dalam bidang tauhid atau ketuhanannya merujuk pada pemikiran ulama salaf yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Sementara itu, dalam bidang fiqh mereka ber-mahzab Imam Syafi’i. Dalam bidang tasawuf, PITI berpedoman pada metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi yang mengintegrasikan antara tasawuf dan syariat.

Saat awal berdirinya, PITI banyak mengampanyekan tentang orang Tionghoa untuk masuk Islam. Selain itu juga mempromosikan hubungan baik antara orang Tionghoa dan Muslim Indonesia.

Perubahan Nama

Pada 15 Desember 1972, PITI sempat mengubah namanya menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Kondisi politik saat itulah yang memaksa mereka mengubah namanya. Saat itu, pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), pemerintah tengah menggencarkan gerakan nation and character building serta persatuan dan kesatuan bangsa. Akibatnya, simbol-simbol atau identitas yang sifatnya disosiatif atau menghambat persatuan, misalnya bahasa, istilah, dan budaya asing dilarang oleh pemerintah.

PITI pun terkena imbasnya karena di dalamnya menggunakan nama Tionghoa. Akhirnya, para pimpinan PITI saat itu memutuskan untuk menghilangkan kata Tionghoa dalam namanya supaya organisasi tersebut tetap boleh berdiri. Sejak saat itu, nama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia berganti nama menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.

Dikutip dari buku Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya Hew Wai Weng, pada masa itu juga, pimpinan PITI yang semula hampir semua orang Tionghoa mulai dimasuki orang-orang militer. Tokoh-tokoh militer banyak dimasukkan sebagai Dewan Penasihat PITI sehingga mengakibatkan percampuran etnis di komposisi dewan pimpinannya. Tokoh-tokoh yang menjadi anggota baru PITI di antaranya Letjen H. Sudirman yang dijadikan ketua serta Buya Hamka sebagai penasihat.

Masa Reformasi

Hampir tiga dekade, mereka menggunakan nama tersebut untuk organisasinya. Hingga pada pertengahan Mei 2000, ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang terkenal sangat pluralis, mereka diizinkan kembali untuk menggunakan nama Persatuan Islam Tionghoa Islam, seperti nama semula mereka.

Sejak saat itu, budaya Tionghoa Muslim di Indonesia pun mulai diterjemahkan dalam simbol-simbol, media populer, serta ritual. Misalnya masjid-masjid berarsitektur Tionghoa, pendakwah Tionghoa, sampai perayaan Imlek. Tokoh-tokoh Tionghoa Muslim juga mengusung identitas mereka yang unik dengan cara menghidupkan kembali sejarah dan merawat ikatan mereka dengan umat Muslim di Tiongkok. Hingga saat ini, PITI terus berkembang. Bahkan, kantor-kantornya sudah menjangkau di banyak kabupaten dan kota di Indonesia.

Ketahui lebih banyak tentang PITI dalam buku Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info selengkapnya tentang buku tersebut di sini.


Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: Hew Wai Weng/2008

tionghoa atau cina

Mengapa Menyebut Tionghoa, Bukan Cina

Penggunaan istilah Cina atau Tionghoa kerap menjadi perdebatan. Saat ini, kita dianjurkan, bahkan ditekankan untuk tidak lagi memakai istilah “Cina”, tetapi “Tionghoa” untuk menyebut etnis keturunan Tionghoa. Mengapa kita harus menggunakan istilah Tionghoa?

 

Perdebatan panjang mewarnai penyebutan istilah untuk etnis keturunan Tionghoa di Indonesia. Karena dianggap menjadi masalah serius dan berkaitan dengan SARA, pada 2011 kemudian diadakan diskusi bahasa. Diskusi ini membahas tentang istilah Cina dan Tionghoa. Adapun pembicara dalam diskusi tersebut di antaranya wakil dari Kedutaan Besar Tiongkok, wakil dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, wakil dari Badan Bahasa, serta budayawan Remy Silado.

 

Dalam diskusi tersebut, wakil dari Kedutaan Besar Tiongkok menyarankan untuk tidak lagi menggunakan istilah Cina. Alasannya, istilah tersebut digunakan oleh Jepang terhadap Tiongkok pada masa perang yang memiliki konotasi negatif. Namun, lain dengan Abdul Gaffar Ruskhan dari Badan Bahasa. Beliau mengungkapkan bahwa istilah “Cina” merupakan istilah yang sudah biasa dan tidak memiliki konotasi negatif.

 

Perdebatan itu berujung pada diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keppres tersebut berisi tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, dalam surat edaran tersebut istilah resmi yang digunakan adalah “Tjina”, bukan Tionghoa. Namun sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Kepres tersebut, sebenarnya Presiden Abdurrahman Wahid sudah terlebih dulu memakai istilah Tionghoa ataupun Tiongkok. Hal tersebut bisa dilihat dari laporan kerja pemerintahannya pada Agustus 2000, saat Abdurrahman Wahid sudah menggunakan sebutan Republik Rakyat Tiongkok. Tidak hanya itu, Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh yang sangat plural itu juga telah mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang dinilai sangat diskriminatif dan tidak sesuai dengan norma-norma reformasi.

 

Pada masa kolonial Belanda, masyarakat Tionghoa di Indonesia juga sudah meminimalisasi pemakaian istilah Cina atau Tjina. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai publikasi dan percakapan-percakapan saat itu. Kenapa? Alasannya, istilah Cina saat itu dinilai merendahkan etnis keturunan Tionghoa.

 

Akan tetapi, pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, penggunaan istilah Tiongkok atau Tionghoa dilarang. Alasannya, istilah itu dinilai merugikan Indonesia. Imbasnya, disahkanlah Presidium Kabinet Ampera pada 25 Juli 1967, istilah yang boleh dipakai adalah Cina karena dinilai lebih disenangi rakyat Indonesia.

 

Terlepas dari persoalan historis pemakaian istilah Cina atau Tionghoa, kita perlu memahami juga perbedaan Cina, China, Tionghoa, dan Tiongkok.

 

Cina merupakan sebutan untuk orang yang berwarga negara China. Mereka setara dengan orang Jepang, Singapura, Malaysia, Eropa, maupun Amerika, yakni warga negara asing bagi Indonesia. China adalah penulisan resmi Kedutaan Republik Rakyat Cina, yang merujuk pada Republik Rakyat China jika dalam Bahasa Indonesia. Sementara itu, Tionghoa adalah warga negara Indonesia keturunan Cina. Mereka sama dengan orang Jawa, Batak, Madura, Sunda, atau suku-suku lain di Indonesia. Tiongkok adalah penyebutan negara China untuk Indonesia.

 

Dengan penjelasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok hanya ada di Indonesia. Dua istilah tersebut dipakai di Indonesia karena penyebutan istilah Cina dan China dinilai rasis berdasar pengaruh sejarah.

 

Setelah disahkannya Keppres No. 12 Tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hampir pada semua sektor pemerintahan maupun media, sudah tidak ada lagi penggunaan istilah Cina atau China. Mereka sudah menggunakan istilah resmi, yaitu Tionghoa dan Tiongkok.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info selengkapnya tentang buku tersebut di sini.

 

Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: voaindonesia.com

Audrey Yu Jia Hui

Klarifikasi Hoaks Audrey

Kemarin kami mendapatkan berita tentang #Audrey Yu Jia Hui yang ramai dibicarakan di berbagai media sosial. Berita itu menyebut bahwa Audrey bekerja di NASA dan dipanggil oleh Presiden Jokowi untuk mengabdi di BPPT. Kami merasa janggal karena Audrey tidak pernah bekerja di NASA. Kami mengenal baik Audrey karena pada 2014 dan 2015, Audrey menerbitkan 2 bukunya bersama Bentang Pustaka yang berjudul Mellow Yellow Drama dan Mencari Sila Kelima.

Siang ini kami mendapatkan klarifikasi langsung dari orang tua Audrey terkait berita tersebut yang dapat dilihat di sini. Maka, sudah jelas bahwa berita yang ramai dibahas itu hoaks. Namun, meski partisipasi Audrey di NASA dan tawaran pekerjaan di BPPT itu hoaks, tetapi kejeniusannya merupakan sebuah kebenaran.

Gadis dengan Banyak Prestasi

Audrey merupakan sosok perempuan keturunan Tionghoa yang dinobatkan sebagai satu dari 72 duta prestasi Indonesia. Audrey merupakan perempuan jenius yang memperoleh penghargaan dalam gelaran Festival Prestasi Indonesia. Acara yang digelar oleh Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP- Pancasila) ini berlangsung pada 21 dan 22 Agustus 2017 di Jakarta Convention Center (JCC). Festival Prestasi Indonesia digelar dalam rangka memperingati Dirgahayu Republik Indonesia ke-72.

Terpilihnya nama-nama 72 ikon prestasi Indonesia ini didasarkan pada raihan penghargaan nasional maupun internasional. Tim seleksi yang diwakili Nia Sjarifuddin menuturkan bahwa kriteria lainnya merujuk pada seberapa besar kontribusi dan pengaruh seorang ikon prestasi terhadap masyarakat, lingkungan maupun lingkup keprofesian di sekitarnya.

Memorabilia Audrey

Dipilihnya sosok Audrey bukanlah tanpa alasan. Audrey merupakan anak jenius yang mampu menyelesaikan jenjang SMP selama 1 tahun, SMA ditempuh 11 bulan dan menamatkan S1 di The College of Willliam and Mary, Virginia (AS) saat usianya yang masih menginjak 16 tahun. Akan tetapi, bakat yang luar biasa ini ternyata tidak cukup mampu membuat kehidupannya berjalan mulus. Label sebagai keturunan Tionghoa tetap menjadi momok yang cukup meresahkan bagi Audrey.

Keresahannya ini pun telah ia bagi melalui buku Mellow Yellow Drama (2014) yang berisi memorabilia Audrey. Ia berbagi cerita mengenai dirinya yang patah hati saat ia dinilai tidak pantas menjadi orang Indonesia seutuhnya. Darah Tionghoa yang mengalir dalam dirinya, membuat Audrey dipandang berbeda. Berbagai prestasi yang ia capai belum mampu membuat Audrey dihargai di negeri sendiri. Pada 2015, Audrey kemudian menulis buku Mencari Sila Kelima sebagai bentuk surat cinta kepada Indonesia. Di buku ini, Audrey merinci dan memaparkan secara detail tentang nilai-nilai Pancasila yang menjadi modal dasar pemersatu bangsa.

 

(Dhiemas Chrismansyah Supma)

© Copyright - Bentang Pustaka