Tag Archive for: Quarter Life Crisis

Memberi Ruang: Kiat Mudah Menghadapi Quarter Life Crisis

Usia kepala dua terlihat istimewa, namun bagi sebagain orang masa-masa ini merupakan masa yang cukup rumit. Biasanya orang mengalami quarter life crisis pada usia-usia tersebut. Fenomena ini adalah saat dimana keadaan emosional sedang dilanda keraguan akan diri sendiri, kecemasan, atau kebingungan menentukan arah hidup.

Keadaan ini sangat wajar dialami oleh orang berusia sekitar 20-30 tahun, sebab pada masa ini orang sedang berproses dari masa remaja menuju dewasa. Hanya saja jika terlampau dibiarkan emosional yang krisis tersebut, akan menimbulkan hal-hal negatif seperti stress bahkan depresi.

Lantas, bagaimana tips untuk menghadapi masa krisis tersebut? Berikut uraian singkatnya:

  1. Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Pencapaian teman-teman biasanya akan menimbulkan perasaan iri tersendiri untuk kita. Teman yang dulu menjadi kawan dalam berproses bersama, belajar bersama, namun rupanya mereka mencapai keberhasilan lebih dulu dari kita. Hal ini secara tidak sadar menimbulkan pertanyaan pada diri kita, ‘kenapa aku belum seperti mereka?’

Berhentilah membandingkan diri dengan orang lain, bahkan teman kita sendiri. Membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain hanya akan memperparah masa quarter life crisis dan menambah beban pikiran kita.

  1. Terus Belajar dan Berproses saat Quarter Life Crisis

Yakinlah bahwa setiap orang punya timeline hidupnya masing-masing. Meskipun teman berjuang kita sudah mencapai keberhasilan mereka lebih dulu, jangan lantas membuat kita berhenti belajar. Hadapi quarter life crisis dengan terus berproses, belajar, dan terbuka degnan hal-hal baru. Hal ini tentu akan memberikan cakrawala baru untuk diri kita.

  1. Memberi Ruang bagi Diri Sendiri

Seringlah mengobrol dan bertanya pada diri sendiri. Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Apa impian kamu? Apa nilai hidupmu? Pertanyaan seperti ini akan membantu kita lebih mengenal diri. Sesekali menepilah dari keramaian, dan beri ruang bagi diri sendiri untuk sejenak rileks dalam menghadapi quarter life crisis. Saat kamu lebih mengenal dirimu, rasa cemas dalam diri akan sedikit berkurang.

Kurniawa Gunadi menulis sebuah buku untuk menemanimu agar lebih mengenal diri sendiri. Memberi Ruang hadir untuk kamu yang butuh kawan saat menepi. Segera lakukan pemesanan di linktr.ee/Bentang atau kunjungi toko buku kesayangan.

 

 

Oleh: Hafizh Nurul Faizah

menghadapi quarter life crisis

Quarter Life Crisis dengan Wejangan Puitis

menghadapi quarter life crisis

Masa quarter life crisis sering kali menjadi masa yang penuh akan nasihat yang merujuk pada ungkapan inspiratif yang memuakkan. Ketika menghadapi masa-masa ini, orang-orang mungkin mengharapkan sesuatu yang tidak melulu menggurui. Sebab, masa-masa ini kamu tidak hanya berurusan dengan diri sendiri, tetapi juga menyeimbangkan hubungan dengan sesama. Segala hal yang menggurui mungkin justru menjadi bumerang bagi mereka yang berada di posisi ini. Di masa-masa quarter life crisis, kamu mungkin membutuhkan masukan yang tidak mendoktrin atau sebuah wejangan dengan penyampaian yang tidak biasa. Tidak sedikit dari mereka yang menghadapi masa-masa berat ini mencari ketenangan dan solusi dari bacaan mereka. Almustafa karya Kahlil Gibran sangat layak menjadi rekomendasi kamu.

Wejangan yang Reflektif

Quarter life crisis bisa disebut sebagai titik lelah dan jenuh. Kamu mungkin kehilangan semangat dan mempertanyakan jati dirimu. Menghadapi momen ini, bacaan di Almustafa karya Kahlil Gibran bisa menjadi opsi untuk solusi kamu. Sebab, kisah satu ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di benakmu: perihal faktor-faktor yang kehilangan jawabannya. Almustafa menghadirkan rangkaian tema yang dimulai dari pertanyaan. Kahlil Gibran berdiri melalui tokoh utamanya, ia menjawab dengan pemaparan yang menjadi fasilitas bagi para pembacanya untuk berefleksi. Jawaban-jawaban yang tidak menohok dan menggurui.

Alasan lain kamu harus membaca Almustafa, baca di sini!

Tidak melulu perihal nasihat bermoral, karya ini sarat nasihat puitis. Seperti khas Kahlil Gibran, kalimat-kalimat di dalam prosa-puisi ini ditulis dengan keindahan yang memberimu kenyamanan saat membaca. Di setiap lembarannya, kamu akan menemui jawaban yang tetap inspiratif dan kaya akan motivasi. Refleksi dengan sesuatu yang implisit akan terdengar lebih menyenangkan daripada sesuatu yang terlalu memaksamu untuk berubah dalam waktu yang cepat. Menyenangkan dan menyamankan diri adalah yang penting di masa-masa ini

Hadapi Quarter Life Crisis dengan Ketenangan

Saat menghadapi quarter life crisis, kamu memerlukan waktu untuk meredam semua kegelisahanmu. Lingkungan dan pribadi yang tenang menjadi hal yang mendukungmu untuk melewati masa berat ini. Tidak perlu buru-buru, ambil jeda dan fasilitasi dirimu dengan asupan dan benda-benda yang membantu proses ini. Almustafa karya Kahli Gibran bisa kamu dapatkan di sini. Yuk, bekali dirimu dengan bacaan yang menenangkan dan mampu mendukungmu menghadapi masa quarter life crisis. Jangan kehilangan diri dan menjadi bahagia adalah hal yang penting. Selamat membaca!

dewasa dan sebuah fase kehidupan

Membaca Kehidupan dengan Almustafa

Semakin dewasa, kehidupan manusia pun semakin kompleks. Ada kewajiban baru, rasa baru, bahkan pemikiran-pemikiran yang terus-menerus terbarukan. Tingkatan kompleksitas dalam hidup manusia sering kali membuat manusia itu kesulitan memahami dirinya sendiri. Persoalan jati diri, kemauan, dan kewajiban seolah saling tumpang tindih dan meminta untuk segera dituntaskan. Banyak pertanyaan yang tidak jarang hinggap di benak. Alih-alih menjawabnya dengan penjelasan yang tuntas, kita sebagai manusia justru menjawab dengan pertanyaan baru yang justru tidak menemukan jawabannya.

Persoalan Kehidupan Diri

Dimulai dari konflik internal manusia, seperti halnya akal dan pikiran. Hal-hal yang senantiasa lekat dengan kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sesuatu yang bisa jadi tidak bisa dilepaskan dari identitas diri masing-masing orang. Lebih jauh sedikit, membicarakan perihal hubungan antarsesama, terhadap keluarga, orang yang dicintai, serta orang-orang yang kita anggap teman dan kerabat. Persoalan manusia yang tidak pernah berujung lainnya adalah hubungan dengan manusia lain yang meliputi kecocokan, bersinggungan, dan perasaan lainnya.

Di kehidupan dewasa pula, manusia akan memiliki satu rutinitas baru yang disebut pekerjaan. Rasa bosan akibat siklus tersebut mungkin pernah menjadi persoalan di benak kita. Untuk apa pekerjaan ini? apakah cocok untukku? Dan berbagai tanda tanya lain yang kadang diakhiri dengan kepasrahan sebagai jawabannya. Ketika sampai pada kasus ini, serangkaian fakta-fakta ekonomi memaksa kita untuk tetap terjun dalam bidang-bidang yang menimbulkan rasa tanpa aman dan nyaman. Pernahkan singgah di benakmu perihal gundah tersebut?

Dijawab dengan Keindahan Kata

Merangkum seluruh kegelisahan manusia dewasa dengan satu kepadatan karya yang luar biasa. Kahlil Gibran menjawab serangkaian pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan tulisan penuh kedamaian dan sarat akan cinta kasih yang kelembutan sebagai manusia. Manusia dengan segala hubungan yang pernah dijalaninya terhadap siapa pun dan apa pun. Persoalan antarsesama menjadi lebih tulus dan murni. Persoalan pekerjaan dan kewajiban menjadi hal yang hadir beriringan dengan rasa keikhlasan.

intip juga keindahan kata danaspek  inspiratif dalam Almustafa melalui https://bentangpustaka.com/pemaknaan-pada-sebuah-perjalanan/

Manusia berkaca bahwa menjadi dewasa adalah cara yang tidak terlampau buruk dengan segenap jawaban dari Almustafa yang ditulis dalam karya Kahlil Gibran ini. Dengan membaca karya sastra dunia yang satu ini, kita pun membaca kehidupan yang sedang membentang di hadapan kita.

omongan orang lain gambar perempuan berambut panjang dengan wajah blur dan ekspresi khawatir

Omongan Orang Lain, Haruskah Dipedulikan?

“Jangan pedulikan omongan orang lain tentang kamu!”

Sering, mendengar ucapan seperti itu?

Baik sadar atau tidak, kita kerap mendengarkan omongan orang lain. Terutama jika hal itu menyangkut diri kita sendiri. Hal ini pun mempengaruhi banyak aspek kehidupan kita: penampilan kita, keputusan yang kita ambil, sampai tindakan dan ucapan kita. Tidak jarang, kita batal melakukan sesuatu karena takut dengan omongan orang.

Sudah menjadi nasihat umum untuk tidak terlalu memedulikan anggapan orang lain. Tapi, kenapa, ya, kita bisa peduli sekali? Memangnya, apa, sih, yang kita dapatkan dari mendengarkan asumsi-asumsi orang lain?

 Baca juga: Hidup Terlalu Cepat? Coba 3 Tips Ini untuk Melambatkannya

 

Sudah Tertanam Jauh Sejak Zaman Nenek Moyang

Dulu, ketika nenek moyang masih hidup bersama hewan-hewan buas yang bertaring dan bergigi tajam, tidak seorang pun ingin ditinggalkan. Berkumpul dan diterima dalam satu kelompok menjadi hal penting untuk kelangsungan hidup.

Sekarang, walau ancamannya sudah bukan lagi hewan dan alam liar, kebutuhan untuk “diterima” tidaklah berubah. Ketika kita ingin diterima, kita pun kerap berujung mendengarkan—dan mengikuti—apa yang orang lain katakan. Alasannya sama, agar kita tidak merasa “ditinggalkan.”

 

Mencari Validasi

Pernah, tidak, kamu menerima pujian setelah melakukan sesuatu dan hal itu membuatmu senang bukan kepalang? Membuatmu termotivasi melakukan lebih demi mendapat pujian yang sama? Pujian adalah salah satu bentuk penerimaan—validasi— dari orang lain. Perasaan tervalidasi ini meningkatkan ego kita, baik secara sadar atau pun tidak.

Ketika kita menerima validasi, kita menjadi yakin telah melakukan hal yang benar. Kita yakin bahwa jika kita terus melakukan hal yang sama, validasi itu pun akan datang lagi. Karena hal itu membuat kita merasa lebih baik, kita pun cenderung terus mengejarnya.

 

Mendengarkan Omongan Orang Lain, Baik atau Buruk?

Walau mendengarkan omongan orang lain tidak dapat terhindarkan, ada saat ketika kita harus menyeleksi. Jika memang baik, kamu mungkin ingin mendengarkannya—kritik tentang pekerjaanmu yang dapat diperbaiki, bajumu yang terbalik, atau ritsletingmu yang terbuka. Tapi, ketika asumsi-asumsi orang ini mulai menginterupsi caramu hidup, atau lebih buruknya lagi, membuatmu meragukan diri sendiri, lebih baik kamu berhenti mendengarkan dan fokus pada kata hatimu.

 

Terkadang, bahkan ketika kita sudah berusaha mengabaikan omongan orang, hal itu masih mengganggu kita. Kita merasa takut akan penolakan yang datang dari mereka.

Kurniawan Gunadi, seorang pencerita yang kerap berbagi melalui situs blog dan akun Instagram, mengumpulkan keresahan mereka yang dirundung ekspektasi dan tuntutan orang lain ini menjadi satu buku berjudul Bising. Buku ini bisa kamu dapatkan mulai 5 November di Bentang Pustaka.

 

Cuplikan Bising:

Dulu sewaktu duduk di bangku SMP, aku begitu tak sabar ingin menjadi orang dewasa. Kukira, setelah dewasa, kita menjadi lebih leluasa, lebih bebas dalam membuat keputusan. Sesuatu yang tidak kumiliki saat menjadi anak-anak.

Kukira, menjadi dewasa akan membuat hidupku lebih bahagia.

Ternyata, semua itu omong kosong di hidupku.

 

Kontributor artikel: Anggarsih Wijayanti

Filsafat kehidupan membosankan: Patung Filsafat Tokoh Filsuf Marcus Aurelius, Seneca, Epictetus

Filsafat Kehidupan Membosankan, Kata Siapa? Inilah Beberapa Alasan Filsafat Membantu Menyelesaikan Permasalahanmu!

Filsafat kehidupan membosankan! Sangatlah monoton! Gelap! Tidak ada cerita seru dan gambar bergeraknya!

Boleh kita beranggapan seperti itu. Memang pada kenyataannya, berbagai buku, film, ataupun musik bergenre filsafat tidaklah sama dengan yang lainnya. Gambar menarik tak ada, sekalinya ada itu pun hitam putih berlatar belakang seorang filsuf.

Namun, adakalanya kita menilik lebih lanjut untuk apa filsafat kehidupan lahir dan hadir kalau tidak berguna memberikan pencerahan terhadap kegelapan hidup kita. Justru, ketika saya menuliskan hal ini, masih saja ada yang berpendapat bahwasanya filsafatlah yang membuat hidup menjadi gelap gulita. Tak apa, dengan adanya kamu membaca artikel ini hingga selesai, kita akan memiliki sudut pandang pemikiran yang lebih luas dan mampu berkaca pada ilmu filsafat.

Baca Dulu: Sakit Hati Berkepanjangan? Kendalikan Diri dengan Ekspektasimu Sendiri!

Filsafat Kehidupan Membosankan? Nyatanya Berawal dari Pengalaman Hidup

Empirisitas filsafat kehidupan tidak lain, ya, bermula dari pengalaman hidup itu sendiri. Saya mengambil contoh yang pernah dihadapi oleh Jules Evans, salah seorang penulis sekaligus praktisi filsafat di London. Semasa mudanya, ia dikelilingi dengan permasalahan hidup yang hampir serupa dengan kita: quarter life crisis, kesulitan mengendalikan emosi, dan bahkan sekecil permasalahan ditinggal pergi sahabat atau kesayangannya menjauh.

Mulai dari kompleksitas permasalahannya, ia beranjak dari duduk perkara dan memulai menuangkan kisah pembelajaran hidup yang berarti ke dalam sebuah buku. Faktanya, hidup kehilangan arah tak selamanya memberikan dampak buruk jika kita tak menginterpretasikannya ke dalam hal-hal buruk tersebut. Memang, pikiran manusia senang sekali melanglang buana. Maka dari itu, patutlah kita untuk terus mengontrolnya.

Perpaduan Ilmu Filsafat dan Psikologi

Jules Evans, selaku penulis buku Philosophy for Life And Other Dangerous Situations, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bentang Pustaka ini telah menuangkan segala pengalaman hidupnya ke dalam buku yang memadukan ilmu filsafat dan psikologi.

Di dalam bukunya tersebut, memberikan rasa yang berbeda dari buku-buku filsafat atau bahkan pengembangan diri lainnya. Mengapa? Karena, Jules Evans menggabungkan ilmu psikologi dan filsafat. Jules Evans berani menggabungkan kedua ilmu tersebut karena memang sudah bertahun-tahun ia mengurus klub filsafat dan menjadi pembicara sebagai seorang praktisi filsafat di seluruh dunia. Karya-karya yang lainnya bisa ditengok di Wall Street Journal, The Times, Spectator, Prospect, dan Psychologies.

Obat untuk Jiwa

Dalam menjalani kehidupan, kita terus disibukkan dengan hal-hal yang bersifat duniawi dan hal-hal luar yang semestinya jauh dari jangkauan kita. Artinya, kita terlalu mengurusi segala hal yang bukan menjadi kendali kita, namun kita menaruh ekspektasi besar di sana. Alhasil, sering kita terima kenyataan hidup pahit yang tiada henti, kekecewaan yang tak kunjung reda, dan emosi yang selalu membara setiap saat.

Ada celah di dalam filsafat kehidupan masuk ke dalam permasalahan tersebut. Mudah kita pahami, bahwa filsafat kehidupan mampu digunakan sebagai obat untuk jiwa. Salah seorang filsuf, Socrates, pernah memberikan catatan optimistis kalau sebenarnya kita sebagai manusia punya daya untuk menyembuhkan luka diri sendiri. Kita dapat menguji prinsip, memilih untuk mengubahnya, dan hal tersebut akan mengubah emosi kita.

Montaigne pun menyahut Socrates dengan jawaban sarkasme untuk kita semua, bahwa memang kita sebenarnya lebih kaya daripada yang kita pikir. Namun, kita lupa kekuatan itu ada di dalam diri kita, sehingga kita mengemis ke sana kemari di luar sana.

Saya jadi teringat oleh perkataan Rob Lewis, salah satu pendiri gerakan Philosophy in Pubs (PIP), “Mempraktikkan filsafat membantuku mengatasi rasa terkucil yang kadang melanda kebanyakan kita, yang muncul karena berada di tengah masyarakat yang ingin menghakimi kita dan melihat kesempatan hidup macam apa yang layak untuk kita peroleh.”

3 poin di atas bisa dijadikan alasan kuat kenapa buku filosofi yang baru saja diterbitkan Bentang Pustaka bisa segera meredakan kembimbangan hidup ataupun menyelesaikan masalahmu. Sebenarnya, ada satu lagi yang menjadi paket komplet untuk melengkapinya, kelengkapannya ada di dalam buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Ikuti masa pre-order­-nya hingga 11 Oktober mendatang di bit.ly/pesanfilosofi.

Teruntuk yang hidupnya sedang tak baik-baik saja, semoga lekas pulih dengan segera, ya!

Pamungkas Adiputra.

 

meredakan cemas

Latihan Dasar Meredakan Cemas: Berani Menemui Cemas

Apakah kamu perlu untuk menenangkan pikiran dan meredakan cemas? Anxiety. Begitu banyak dari kita yang sering mengucapkan kata tersebut ketika berada dalam sebuah kebimbangan. Banyak dari kita pula yang tak sadar akan datangnya sebuah anxiety tersebut. Sering kali itu multitafsir dan pada akhirnya membuat pikiran kita menjadi kacau balau.

Suatu ketika, saya mendengar percakapan Adjie Santosoputro yang sedang bercengkerama dengan Sunyi, si pakar dari segala permasalahan pikiran dan batin. Tampak begitu syahdu mereka saling menuangkan pikiran dalam sebuah topik tentang “kecemasan dalam kehidupan”.

Suatu hari, Sunyi berkata kepadaku, ketika berani menemui rasa cemas, kita akan sadar bahwa hidup yang serba nggak pasti ini sudah sempurna apa adanya.

Meredakan Cemas ala Mengheningkan Cinta

meredakan cemas

Sadari sensasi tubuhmu, temani rasa dan masukilah, tersenyumlah, dan luangkan waktu untuk keluar ruangan dan lihatlah langit

“Boleh-boleh saja, setiap merasa cemas, kita berusaha mengusirnya. Kita melarikan diri darinya atau kita berupaya mengatasinya dengan mengalihkan perhatian, makan, belanja, minum alcohol, atau pakai obat-obatan … atau dengan melakukan reframing (mengubah sudut pandang) akan sumber kecemasan itu. Namun, sehebat apa pun usaha kita melawan cemas dan melarikan diri darinya, cemas akan selalu ada, bahkan cemas terasa lebih mengerikan,” ucap beberapa nasihat dari Sunyi kepada Adjie dengan perkataan yang jelas.

“Cemas” ada di dalam rumah kita. Ketika melarikan diri darinya, kita pergi, kita nggak bersamanya. Namun, mau nggak mau, akhirnya kita harus pulang ke rumah dan bertemu dengannya. Begitu pula ketika kita melawannya 100%, bersiaplah untuk mendapatkan serangan balik darinya 100%.

Sering kali, saat kita cemas, kita berusaha melawannya atau melarikan diri darinya … kita berpikir, Pergilah, Cemas! Kamu menyebalkan! Kenapa kamu menemuiku? Begitulah kira-kira gambaran yang kita bayangkan ketika cemas selalu datang menghantui diri kita. Terus berandai-andai … bakalan menyenangkan kalau kita nggak pernah merasakan sebuah kecemasan.

Beberapa tips meredakan cemas dari buku Mengheningkan Cinta karya dari Adjie Santosoputro di bawah ini dapat kalian jadikan referensi latihan dasar untuk membuat suasana diri dan sekitar menjadi aman serta nyaman ketika sebuah kecemasan datang menghampiri.

Ketika Merasa Cemas, Sadari Sensasi Tubuhmu

Jangan menghindar. Menghindar dari sebuah kecemasan dengan usaha yang keras justru akan melemahkan pikiran dan batinmu. Terima semua hal yang datang, terima sensasinya, dan jangan pernah menolaknya.

“Belajar untuk tidak memercayai cerita-cerita yang berkecamuk di kepalamu. Cerita-cerita itulah yang bikin kamu cemas. Sadari saja apa yang dirasakan tubuhmu. Di bagian mana rasa cemas itu berada?”

Kamu berhak atas semua kendali yang ada di tubuhmu. Kamu punya otoritas akan hal itu. Kendalikanlah, jangan pernah mudah digoyahkan oleh sebuah kecemasan. Kelabuhi “dia” dengan siasat-siasat yang sekiranya dapat kita robohkan.

Temui Rasa Cemas Itu … Temani Rasa Itu dan Masukilah

“Coba untuk tidak lari, tetapi temanilah sensasi tubuh yang kita rasakan. Ketimbang melawannya atau menginginkan rasa cemas itu berhenti … sebaiknya kita membuka diri untuk merasakan dengan sepenuhnya. Merasakan cemas dengan ikhlas. Layaknya anak kecil yang serba-ingin tahu. Rasa cemas ini sebenarnya bagaimana, sih? Apakah intensitasnya berubah-ubah? Reaksi pikiranku terkait rasa cemas ini bagaimana?”

Baca juga : Adjie Susantoputro Praktisi Mindfulness Milenial

Tersenyumlah

“Tumbuhkan sikap ramah terhadap rasa cemas. Sadari rasa cemas sebagai hal yang wajar, yang dirasakan sebagai manusia. Belajarlah ramah terhadap rasa cemas. Lihatlah ini sebagai kesempatan kita untuk berteman dengan cemas yang akan bersama kita sepanjang hidup. Sebuah peluang untuk belajar nyaman di tengah ketidaknyamanan. Kalau bisa melakukan ini, kita akan menjadi manusia bermental baja dan mudah berbahagia.

Luangkan Waktu Buat Keluar Ruangan dan Lihatlah Langit

“Ini akan membantu kita untuk meluaskan sudut pandangmu. Biasanya, reaksi kita saat cemas adalah berusaha melawannya karena kita terjebak dalam sudut pandang yang sempit, bahkan ada sebagian orang yang terbiasa egois. Sadari bahwa pikiran kita ini seperti langit biru … bukan sempit, melainkan sangat luas,” tegas ucapan Sunyi sembari menatap mata Adjie.

“Nah, kita bisa melihat rasa cemas layaknya sebuah awan di pikiran, di ruang yang sangat luas dan terbuka. Jadi, nggak perlu lalu larut dalam awan cemas itu. Kita bisa melihat rasa cemas seperti awan … sifat alaminya adalah temporer, sementara. Nggak kekal, nggak abadi. Rasa cemas hanya melintas dan akan berlalu. Bukan cemas, melainkan pikiran yang sangat luas dan terbukalah yang akan selalu menemani kita.”

Dari melihat ucapan Sunyi di atas, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa setiap insan yang merasakan sebuah kecemasan harus bisa dilihatnya sebagai sisi yang positif. Berarti insan tersebut sudah berani melangkah jauh angan dan pikirannya. Sudah mempersiapkan berbagai kemungkinan yang akan datang dan memikirkan apa saja yang perlu dijadikan amunisi.

Mengheningkan Cinta: Buku untuk Meredakan Cemas

Beberapa hal di atas merupakan latihan dasar dari Adjie Santosoputro yang dituangkan dalam karyanya berjudul Mengheningkan Cinta. Kalian bisa menemui kelengkapan kisah Sunyi dan petuah lainnya di mizanstore.com. Dilihat dari judulnya memang sepertinya membahas soal percintaan, tetapi lebih dari itu, buku Mengheningkan Cinta menghadirkan esensi penyembuhan luka batin dan cara menghadapinya.

Bagaimanapun, berbagai latihan yang ada sangat sulit memang. Saya pun tak menjamin latihan-latihan dasar di atas dapat mendapatkan testimoni baik secara langsung, tetapi setidaknya ada usaha yang kita kerahkan untuk mengobati rasa cemas yang sedang melanda.

Saya tahu kamu bisa. Anggap saja ini semua masa transisi untuk menjadikan dirimu lebih kuat dan tangguh pada masa mendatang. Cemas itu hal biasa, hal wajar yang bahkan semua manusia yang masih bernapas pun pernah atau sedang mengalaminya. Kamu tak perlu khawatir berlebihan. Kamu hanya perlu istirahat sejenak dari kepenatan yang ada.

Jangan pernah memaksakan sesuatu lebih dari takarannya. Berjalan atau berlarilah sesuai porsinya. Sebisa kamu, asalkan kamu mampu untuk menjalaninya. Sedihnya sudah? Mari kita saling merayakan keheningan pilu yang sudah berlalu dengan torehan senyum yang ada di parasmu.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

© Copyright - Bentang Pustaka