Tag Archive for: Perempuan

Wanita Dalam Islam Perspektif Jurnalisme Sastrawi

Bagi beberapa kalangan, peran wanita dalam islam menjadi suatu tolok ukur norma dan etika. Terlepas dari perintah dan tuntutan dalam agama, wanita diiringi stereotip dan stigma-stigma dalam kehidupan sosial. Stereotip itu melekat dan hinggap di pikiran masyarakat dan berkemungkinan akan terus diingat. Namun, beberapa aktivis wanita mulai merombak, baik dengan tegas atau dengan cara-cara lembut seperti dalam penyampaian kritik tertulis yang implisit. Feby Indirani dalam beberapa cerpennya berusaha menawarkan alternatif pandangan terkait wanita—terutama dalam stereotip religi yang melingkupinya.

Wanita dalam islam

Stereotip Wanita dalam Islam 

Meski dalam kurun waktu belakangan perempuan mulai memutuskan kebebasannya sendiri, beberapa orang masih banyak yang keukeuh terkait “kodrat” yang selalu dielu-elukan. Banyak pihak yang mulai merekonstruksi pengertian kodrat dan memberikan sebuah sudut pandang yang terbaru tanpa meningalkan ajaran yang telah ditentukan. Bagi Feby Indirani misalnya, pengertian kodrat menjadi dipersempit dalam beberapa cerpennya. Kodrat bukan lagi suatu kata yang membelenggu dan menakutkan bagi para wanita.

Melalui pengamatannya pada lingkungan sosial, warta perihal wanita dalam islam dibalut dalam diksi-diksi menggelitik. Diksi-diksi yang membungkus topik sensitif ini dengan pembawaan yang lebih ramah terhadap para pembacanya. Meski gaya tulisnyaya yang tidak terlalu serius, pesan yang dihadirkan tetap dapat sampai. Tidak sungkan-sungkan Feby Indirani membuat pernyataan tegas tentang keadilan antara wanita dan pria yang selama ini terlihat timpang. Berangkat dari pengamatan internal, misalnya kasus-kasus yang sering ditemui dalam lingkungan rumah tangga, hingga topik mengenai wanita dalam lingkup yang lebih luas. Kebebasan berpendapat dalam aspek-aspek religi juga tidak luput dari karyanya ini.

(Baca artikel terkait yang berjudul Rekomendasi Kumpulan Cerpen Sosial dan Religi)

Opsi Sudut Pandang 

Tidak banyak orang yang mampu vokal dalam pendapatnya. Apalagi mereka yang berpendapat berdasarkan data dan peristiwa. Dalam tajuk Bukan Perawan Maria ini, Feby Indirani menawarkan banyak perspektif untuk ditelaah dan diinterpretasikan dalam kehidupan dan nilai sosial. Masihkah wanita dalam islam terkungkung dalam stereotip buatan manusia? Masihkah manusia menjadikan gender sebagai tolok ukur keberhasilan dan kebahagiaan? Banyak kasus yang bisa ka

seorang perempuan yang merindukan kebebasan

Citra Perempuan dalam Balutan Kekangan Religi

Perihal status dan tingkatan perempuan seolah menjadi topik yang tidak ada habisnya. Perempuan dan lelaki seolah memiliki perbedaan atas keleluasaan, bahkan untuk diri mereka sendiri. Pemahaman dan pemikiran mengenai hal tersebut telah ada dan eksis dalam masyarakat secara umum. Proses awal dan pemulaannya, tidak diketahui pasti tepatnya. Namun, jika ditarik garis dari masa lalu, masa-masa yang dipercaya dalam beberapa kepercayaan, bahwa ada masa-masa ketika perempuan begitu menjadi “objek”. Menjadi sesuatu yang terkontrol penuh dari orang yang dianggap wali atau berhak atas setiap hak-haknya. Seiring berjalannya waktu, pemikiran ini tergerus oleh pemikiran-pemikiran baru, terutama dari mereka yang terkena imbas buruk atas keberadaan pola pikir yang sedemikian rupa.

Membongkar Atas Dasar Luka

Dalam Sayap-Sayap Patah, pemahaman ini dibuat sebagai sesuatu antagonis yang sedang diperangi oleh sang tokoh utama yang jelas memiliki posisi sebagai protagonis. Dalam kisah ini, tokoh Aku sekaligus narator menceritakan pasang surut perasaannya pada Selma Karamy. Selma Karamy adalah wanita yang dijelaskan sebagai anak dari latar belakang yang begitu spesial, sebab ayahnya merupakan keluarga Uskup. Latar belakang ini sekaligus menjadi ranjau bagi hubungan tokoh Aku dan Selma. Sebab, tidak mudah bagi Selma Karamy untuk bisa semaunya memilih pasangan. Latar belakang itu mengikatnya, dan merenggut haknya untuk memilih.

Sayap-Sayap patah dipercaya sebagai suatu kisah yang diambil dari kehidupan sang maestro dunia, Kahlil Gibran. Tokoh Selma Karamy disebut-sebut sebagai sosok yang berasal dari masa lalunya, sekaligus cintanya yang pertama. Meski harusnya diterima sebagai fiksi belaka, beberapa orang masih beranggapan bahwa tulisan ini adalah cara Kahlil Gibran mengritik pandangan sosial pada era tersebut.

Dibalut dengan Religi

Meski berusaha  membongkar, Kahlil tidak menghilangkan jati dirinya sebagai seorang penyair yang lihai dalam pemilihan kata. Dipilihnya serangkaian diksi yang indah, sehingga baik impresi pembaca terhadap Selma Karamy, kisah cinta antarkeduanya, bahkan kasus keagamaan yang membungkusnya menjadi begitu padu. Kisah dengan kasus citra perempuan dalam hal hak yang terenggut ini seperti yang akan mengingatkan pembaca pada beberapa kisah sejenis, seperti Romeo dan Juliet. Kisah membawa perempuan-perempuan mereka pada belenggu yang memberi mereka akhir yang begitu mengenaskan. Kisah ini mengantarkan keindahan pada pembaca, membeberkan pandangan Kahlil dengan balutan latar religi yang pas.

Dapatkan bukunya di  https://mizanstore.com/sayap-sayap_patah_republish_70424

Pembebasan Perempuan Dimulai dengan Revolusi Hati

Pembebasan Perempuan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan punya beragam persoalan tentang kesetaraan gender yang menghambat upaya pembebasan perempuan. Mulai dari persoalan hubungan tak setara dalam pernikahan, terbatasnya akses pendidikan, maraknya pernikahan dini terhadap anak perempuan, kerja reproduktif tak berbayar, hingga persoalan timpangnya angka partisipasi perempuan di parlemen.

Perempuan berdaya

Credit : Picsart

Dari segudang persoalan tersebut, perlu adanya wadah bagi perempuan untuk berbagi keluh kesah dan merancang langkah-langkah strategis untuk mengubah budaya masyarakat yang patriarkis menjadi lebih setara.

Ketika perempuan memiliki wadah untuk berkumpul dan berbagi cerita, perempuan merasa saling memiliki satu dengan yang lain. Lalu, ketika perasaan itu tumbuh, perempuan akan menghargai diri sendiri sehingga dapat mendorong bersatu dan menuntut hak-haknya.

Perempuan tidak lagi manusia terasing, tetapi orang yang sadar akan kekuatan dan potensi dirinya sendiri. Ia dapat menciptakan budaya baru yang lebih manusiawi dan setara. Dari sana, ia memiliki keluarga dan rumah untuk berpulang. Dan, perlahan-lahan mereka mulai berusaha menghilangkan ilusi yang didesakkan oleh masyarakat patriarkis tentang ketidakberdayaannya.

Kekuatan dari Perdamaian dengan Hati

Selain dengan gigih membentuk wadah untuk menyusun langkah strategis, ada satu prinsip dasar yang coba ditawarkan oleh Melinda Gates dalam membebaskan perempuan dari ketimpangan gender. Prinsip tersebut adalah revolusi hati dengan cara berdamai dengan perasaan sakit.

Ketika seorang perempuan terluka, ketika ia sakit hati, ketika ia marah kepada masyarakat atas perbuatan mereka padanya, hanya ada satu jalan untuk mengakhiri semua perasaan ini, yaitu dengan menerima perasaan-perasaan itu. Pelajaran tersebut didapatkan Melinda dari para perempuan dalam gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia. Untuk mewujudkan revolusi hati, kita harus merelakan hati kita terluka dan melebur dalam kesakitan yang mendasari kemarahan.

Akan tetapi, penerimaan bukan berarti menerima dunia apa adanya tanpa berusaha mengubah keburukan di dalamnya. Artinya, berdamai dengan rasa sakit, kita dapat membedakan mana motif balas dendam dan mana motif keadilan.

Para pemimpin besar tidak pernah mencampuradukkan motif penegakan keadilan dengan keinginan untuk membalas dendam. Para pemimpin yang dapat mengendalikan rasa sakitnya telah menanggalkan kepentingan pribadi demi berkumandangnya nilai-nilai kemanusiaan.

Seorang perempuan yang memiliki keteguhan hati seperti itu dapat membebaskan masyarakatnya dari cengkeraman budaya yang merendahkan perempuan. Lewat kemampuannya menggalang solidaritas dan keluasan hatinya, akan ada banyak perlawanan dan kemajuan. Dan, kemajuan ini bukan berasal dari perjuangan menggunakan kekuatan fisik, melainkan pendekatan moral.

Saat kita memperjelas bias gender yang tersamar, akan ada lebih banyak laki-laki dan perempuan melihat bias di tempat yang tak mereka duga, dan akan berdiri untuk menentangnya. Itulah cara kita mengubah norma-norma yang menyembunyikan bias-bias yang tidak kita ketahui. Kita melihatnya, dan kita mengakhirinya. (Zahra)

Pernikahan Dini: Bencana bagi Perempuan


Pernikahan dini bagi perempuan adalah sebuah penderitaan atau sebuah bencana. Bagaimana tidak disebut sebagai bencana manakala ia dapat memupuskan harapan seorang anak perempuan mengembangkan bakat dan meraih cita-citanya?

Seorang anak yang masih penuh mimpi dan cita-cita besar terpaksa menikah dan dituntut mengerjakan pekerjaan domestik yang melelahkan. Sementara jikalau ia hamil, ia harus menanggung risiko kematian sebab tubuhnya belum terlalu kuat untuk mengandung. Di dunia ini, terdapat jutaan anak perempuan terpaksa berhenti bersekolah karena berbagai hal, salah satunya adalah karena pernikahan dini.

Salah satu kisah yang dibagikan Melinda Gates lewat bukunya The Moment of Lift adalah kisah perjalanannya ke India 20 tahun silam. Di sana, ia melihat potret kemiskinan paling muram dan keras di seluruh India. Kebanyakan dari mereka hidup dari mengumpulkan botol, mencari kepingan uang logam di jalanan, dan tentu saja dengan mencopet.

Sebagaimana jamaknya hidup di daerah tertinggal, angka pernikahan dini meroket tajam. Anak-anak yang baru pubertas akan dipaksa untuk meninggalkan bangku sekolah dan menikahi seseorang yang dipilihkan orang tuanya. Setelah menikah, tak jarang mereka dipukuli dan diancam oleh suaminya sendiri untuk dijual atas alasan pihak keluarga si anak memberikan maskawin yang jumlahnya kurang. Alasannya, menurut adat istiadat di India waktu itu, pihak perempuan yang harus memberikan mahar maskawin.

Kisah itu terpatri dalam ingatan Melinda sebagai pengalaman traumatik dan tragis atas pernikahan di bawah umur. Baginya, pernikahan dini merupakan kemitraan yang timpang dan berlawanan dengan kemitraan setara yang dapat meningkatkan kesehatan, kemakmuran, dan kemajuan manusia.

Kemitraan setara dapat mengangkat derajat suami dan istri di dalam hubungan rumah tangga dan hubungan sosial di masyarakat. Pernikahan di bawah umur membuat hubungan menjadi hierarkis sehingga bersifat merendahkan salah satu pihak. 

Hubungan Tak Setara Berakibat Penganiayaan

Ketika seorang anak perempuan dipaksa untuk menikah pada usia dini, ia akan terjebak dalam situasi sulit yang membuatnya tertekan. Dalam konteks pernikahan dini di India, misalnya. Semakin muda usia perempuan, semakin rendah pendidikannya, semakin sedikit pula maskawin yang harus dibayarkan keluarga perempuan itu.

Dalam situasi seperti ini, pasar memperjelas bahwa semakin lemah si gadis, semakin menarik dirinya bagi keluarga yang menerimanya. Mereka tidak menginginkan gadis yang punya suara, keterampilan, atau ide-ide. Perempuan ibarat barang dagangan sekaligus seorang hamba yang patuh dan tidak melawan.

Keadaan yang demikianlah yang dimanfaatkan oleh sang suami untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap sang istri. Mereka harus kehilangan keluarga, teman, sekolah mereka, dan segala kemungkinan untuk berkembang.

Bahkan, saat usianya yang baru genap 10 tahun, mereka sudah dihadapkan pada kenyataan hidup yang pahit—harus memasak, bertani, membersihkan rumah, memberi makan ternak, dan mengambil air—untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari.

Jika penderitaan seorang perempuan yang dipaksa menikah, kehilangan cita-cita dan masa depan, dipaksa untuk melakukan kerja berat, dan senantiasa terancam untuk dianiaya tidak bisa kita sebut sebagai tragedi, bisakah kita menyebutnya sebagai suatu bencana bagi kemanusiaan? (Tejo)

Melinda Gates dalam Pusaran Aktivisme

Nama Melinda Ann French mungkin terdengar asing di telinga kita manakala nama itu disebut. Namun, ketika nama Melinda Gates disebut, orang-orang akan mulai mengasosiasikan Melinda sebagai konglomerat karena menyandang nama “Gates” di belakangnya. Pandangan yang demikian mungkin sedikit seksis. Alasannya, Melinda sendiri sudah punya segudang prestasi untuk membuat namanya harum.

Sosok perempuan yang lahir pada 15 Agustus 1964 di Dallas, Texas, ini telah menyabet berbagai jenis penghargaan selama hidupnya. Misalnya, ia mampu menduduki peringkat 3 besar dalam daftar 100 Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia versi Forbes pada 2013, 2014, dan 2017; peringkat 4 pada 2012 dan 6 pada 2011.

Melinda muda mengawali kariernya sebagai pengajar Matematika dan Pemrograman Komputer untuk anak-anak. Setelah lulus dari Duke University, Melinda bergabung dengan Microsoft sebagai manajer pemasaran pada 1987. Di sana, ia bertanggung jawab untuk memimpin pengembangan berbagai produk multimedia Microsoft.

Karier dan kehidupan sosialnya berubah drastis pada awal 1990-an ketika ia diangkat sebagai General Manager Informasi Produk. Dan, selang empat tahun berikutnya, ia memutuskan untuk menikah dengan bos yang sekarang menjadi suaminya, Bill Gates. Setelah menikah dengan Bill, Melinda Gates berusaha mengaktualisasikan idealismenya bahwa perempuan di seluruh dunia ini harus bisa berdaya di seluruh bidang kehidupan.

Oleh karena itulah, pada tahun yang sama (1994), ia dan Bill mendirikan Yayasan Bill & Melinda Gates dengan tujuan mengatasi kesenjangan gender. Tepat saat itulah, Melinda mulai dikenal sebagai filantropis sekaligus aktivis perempuan yang banyak menginspirasi perempuan untuk berdaulat atas hidupnya sendiri. 

Mengapa Melinda Memilih Aktivisme?

Perempuan berzodiak Leo ini mempunyai passion yang luar biasa besar terhadap teknologi. Ia dan Bill meyakini dengan sepenuh hati bahwa teknologi harus bisa digunakan oleh semua orang. Mereka yakin suatu saat teknologi dapat mengubah dunia menjadi lebih baik.

Akan tetapi, sayang, dalam masyarakat yang timpang ini tidak banyak perempuan bisa meraih kesempatan untuk mendapatkan hak-hak dasarnya. Banyak perempuan tidak memiliki akses untuk memperoleh pendidikan, mencari nafkah, dan mengembangkan diri. Walhasil, perempuan-perempuan ini tak mampu untuk mengembangkan potensi terbesar dirinya.

Poin inilah yang ditekankan Melinda Gates ketika mencoba menjembatani antara privilege yang kita punya dengan keterlibatan untuk melakukan kegiatan sosial di masyarakat. 

Sebagai seorang feminis, Melinda menyadari pentingnya perempuan berjuang bersama-sama melawan ketimpangan gender. Ketika perempuan biasa memperoleh haknya, keluarganya ikut berkembang bersama dirinya—begitu pula masyarakat yang menghargai hak-hak perempuan juga akan ikut berkembang. Melinda meyakini bahwa terdapat prinsip kebenaran sederhana bahwa kesetaraan gender mengangkat harkat semua orang.

Kapan pun kita melibatkan suatu kelompok yang telah diasingkan, dianggap tidak ada, dan diminoritaskan, kita dapat mendatangkan manfaat bagi semua orang. Dan, ketika kita mau bekerja dalam skala global untuk melibatkan perempuan dan gadis, yang jumlahnya setengah dari tiap populasi, kau bekerja untuk mendatangkan manfaat bagi semua anggota dari setiap komunitas.

Seperti yang Melinda katakan dalam buku The Moment of Lift, “Jika kamu ingin memperjuangkan kemanusiaan, berdayakanlah perempuan. Sebab, ia merupakan investasi paling komprehensif, luas, dan besar dampaknya yang bisa kamu sumbangkan bagi manusia.” Dan, tentu saja di buku The Moment of Lift banyak pelajaran tentang pemberdayaan perempuan yang dapat kita teladani. (Tejo)

Bagaimana Islam Memuliakan Perempuan?

Islam adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Di dalam Al-Quran, cukup banyak kisah yang menggambarkan betapa Islam memuliakan kaum perempuan. Hal itu juga membuktikan bahwa Islam adalah agama yang tidak membeda-bedakan. Islam tidak mendiskriminasi salah satu jenis kelamin seperti banyak opini yang berkembang. Banyak orang yang kurang memahami Islam memandang Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap kaum perempuan dengan segala batasan yang diberlakukan kepada mereka.

Beberapa kisah dalam Al-Quran membuktikan bahwa Islam benar-benar agama yang memuliakan kedudukan seorang perempuan, di antaranya kisah Maryam binti Imran, Khaulah binti Tsa’labah, kisah Ibunda Nabi Musa, serta kisah Aisyah radhiyallahu anha yang tidak lain adalah istri Nabi Muhammad Saw.

Maryam binti Imran

Maryam merupakan satu-satunya perempuan yang namanya disebut oleh Allah di dalam Al-Quran. Bahkan, ada satu surah, yaitu surah ke-19 di dalam Al-Quran yang dinamai Maryam. Selain di dalam surah Maryam, nama Ibunda Nabi Isa itu juga disebut dalam Surah Ali-Imran, Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Ma’idah, At-Taubah, Al-Mukminun, Al-Ahzab, Al-Hadid, As-Shaff, dan surah At-Tahrim.

Maryam sempat dicemooh dan dituduh telah melakukan zina karena mengandung Nabi Isa as. tanpa seorang suami. Ketika orang-orang di sekitarnya meragukan kesucian keturunan Nabi Daud as. itu, Allah sendiri yang kemudian menjamin kesucian dan kehormatan Maryam. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Surah Ali-Imran ayat 42 yang berarti “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).’”

Maryam merupakan seorang perempuan yang sangat memelihara kehormatannya, karena itu Allah meniupkan roh ke dalam rahimnya yang kemudian lahirlah Nabi Isa a.s. Al-Quran menggambarkan Maryam sebagai seorang perempuan yang suci dan terhormat sehingga Allah meninggikannya.

Khaulah binti Tsa’labah

Kisah lain yang menggambarkan bagaimana Islam memuliakan perempuan terdapat pada Surah Al-Mujadilah ayat pertama. Surat itu turun ketika seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah mengajukan gugatan kepada Nabi Muhammad Saw. tentang zhihar yang diakukan suaminya, Aus bin Ash Shamit. Khaulah mengeluhkan sikap kasar suaminya yang sudah tua kepada Nabi. Namun, Nabi justru menyuruh Khaulah untuk kembali ke rumahnya dan berbakti kepada suaminya yang sudah tua itu.

Saat itulah turun Surah Al-Mujadilah ayat pertama yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan, Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Nabi kemudian membenarkan sikap Khaulah. Begitu juga dengan para sahabat yang mengakui juga keutamaan perempuan tersebut. Para sahabat selalu diam mendengarkan perkataannya sebagai penghormatan terhadap perempuan yang telah didengar pengaduannya oleh Allah. Hal itu membuktikan bahwa Islam juga memiliki hukum yang adil untuk perempuan, tidak mendiskriminasi seperti yang sebagian orang sangkakan.

Ibunda Nabi Musa

Kisah berikutnya menceritakan tentang seorang perempuan, ibunda Nabi Musa as, Yokhebed. Saat melahirkan anak laki-lakinya, Fir’aun, penguasa saat itu tidak mengizinkan kelahiran anak laki-laki. Apabila ada anak laki-laki bani Israil, Fir’aun akan membunuhnya. Kisah ini diceritakan dalam Al-Quran di dalam Surah Al-Qassas ayat 7 yang artinya “Dan, kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan, janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”

Sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan anak yang sangat dicintainya, perintah tersebut sungguh berat bagi Yokhebed. Namun, keimanan dan ketaatannya kepada Allah mengalahkan segala rasa sedih dan khawatir, ia pun dengan tabah dan tawakal akhirnya memasukkan Musa ke dalam peti dan menjatuhkannya ke sungai Nil sehingga terbawa arus.

Kisah selanjutnya sudah kita kuasai, Musa kecil kemudian diselamatkan sendiri oleh Fir’aun atas permintaan istrinya. Dan, kemudian Musa-lah yang meruntuhkan pemerintah tiran Fir’aun.

Aisyah radhiyallahu‘anha

Kisah terakhir datang dari istri Nabi Saw, Aisyah radhiyallahu anha. Kisah tersebut terjadi ketika Aisyah dituduh berzina dengan seorang sahabat bernama Shafwan bin Muaththal oleh seorang munafiq bernama Abdullah bin Ubay. Berita tersebut dengan cepat tersebar, tetapi kemudian Allah sendiri yang membela Aisyah. Bahkan, melalui 10 ayat di dalam Surat An-Nur.

Allah juga memperingatkan kepada orang-orang yang memfitnah Aisyah berzina tersebut. Seperti yang disebutkan dalam ayat ke-17 yang artinya “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”

Beberapa kisah di atas membuktikan bahwa Islam adalah agama yang begitu memuliakan perempuan. Islam tidak membeda-bedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam artian yang diskriminatif. Sebaliknya, Islam sangat menjunjung kesetaraan melalui banyaknya kisah-kisah para perempuan terhormat yang Allah ceritakan di dalam Al-Quran.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

© Copyright - Bentang Pustaka