Tag Archive for: Pemberdayaan Perempuan

Kerja Tanpa Dibayar dan Dua Kali Lebih Berat

Banyak perempuan di dunia ini yang menghabiskan setiap jam dalam hidupnya untuk bekerja tanpa dibayar. Dan, pekerjaan sehari-hari itu membunuh mimpi-mimpinya seumur hidup. Ini adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan perempuan di masyarakat kini.

Apa Itu Kerja Tanpa Dibayar?

Pekerjaan reproduktif adalah pekerjaan yang dilakukan di rumah, seperti mengurus anak atau bentuk pekerjaan lainnya seperti memasak, mencuci, dan berbelanja. Di berbagai negara miskin, jutaan perempuan melakukan kerja tanpa dibayar jauh lebih banyak demi keberlangsungan kehidupan rumah tangga.

Menurut Melinda Gates dalam The Moment of Lift, rata-rata perempuan di seluruh dunia menghabiskan waktu mereka dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki untuk melakukan pekerjaan domestik yang tidak dibayar.  Di India, perempuan menghabiskan 6 jam sehari melakukan pekerjaan domestik tak berbayar, sementara laki-laki menghabiskan kurang dari 1 jam.

Rata-rata perempuan Amerika Serikat menghabiskan lebih dari 4 jam melakukan kerja tanpa dibayar  sementara rata-rata laki-laki hanya 2,5 jam. Di Norwegia, para perempuan menghabiskan 3,5 jam sehari untuk melakukan pekerjaan tanpa dibayar, sementara para laki-laki menghabiskan kira-kira 3 jam.

Dari riset tersebut, secara rata-rata para perempuan menjalani 7 tahun lebih banyak untuk bekerja tanpa dibayar daripada laki-laki. Kira-kira jumlah waktu yang diperlukan untuk meraih gelar sarjana dan master. Bayangkan betapa banyaknya waktu tersebut jika digunakan sebaik mungkin untuk mengembangkan potensi yang dimiliki perempuan untuk berkembang.

Pengakuan Atas Kerja Tak Dibayar

Ketika para perempuan dapat berkompromi dengan laki-laki untuk mengurangi waktu yang mereka habiskan untuk bekerja tanpa dibayar, bertambahlah waktu yang mereka miliki untuk melakukan kerja produktif.

Menurut Melinda, mengurangi kerja tanpa dibayar dari 5 jam sehari menjadi 3 jam saja akan meningkatkan partisipasi para perempuan dalam angkatan kerja hingga kira-kira 20 persen. Angka tersebut adalah jumlah yang signifikan untuk meningkatkan derajat perempuan dalam mencapai kesetaraan dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan.

Kerja tanpa dibayar inilah salah satu sumber tertinggalnya para perempuan untuk bersaing di berbagai sektor produktif dalam dunia kerja. Kerja tanpa dibayar yang dilakukan perempuan di rumah menjadi batu sandungan dari ragam aktivitas yang dapat meningkatkan derajat mereka. Misalnya, mengenyam pendidikan tinggi, memperoleh pendapatan dari luar, berorganisasi, dan lebih aktif menyuarakan aspirasi politiknya. Ketidakseimbangan kerja tanpa dibayar menutup jalan seorang perempuan menuju pemberdayaan diri.

Seorang ahli ekonomi bernama Marilyn Waring melihat bias yang mendalam dalam sistem kerja tak berbayar dan mulai mencari berbagai cara untuk mengubahnya. Ia berkeliling dunia untuk mempelajari praktik kerja tak berbayar dan membuat perhitungan yang mencengangkan.

Menurut Waring, jika kita mempekerjakan pegawai dengan upah yang berlaku di pasar kerja guna menangani semua pekerjaan tak dibayar yang dilakukan para perempuan, kerja tanpa dibayar akan menjadi sektor terbesar dalam ekonomi global!

Waring memaparkan dalam bukunya If Women Counted: A New Feminist Economics (1988) bahwa, “Kau membayar seseorang untuk penitipan anak, membayar gas untuk menyalakan kompor. Kau membayar pabrik untuk mengolah makanan dari gandum, membayar air yang mengalir melalui keran. Kau membayar makanan yang disajikan di restoran dan membayar pakaian yang dicuci di tempat laundryNamun, jika seorang perempuan melakukan semua itu sendirian—mengurus anak-anak, memotong kayu bakar, menggiling gandum, mengambil air, memasak, dan mencuci pakaian—tidak ada yang membayarnya untuk semua itu. Bahkan, tidak ada yang memperhitungkannya, karena itu ‘pekerjaan rumah’ dan itu seharusnya ‘gratis’!” (Tejo)

Peran Perempuan Mengubah Budaya di Tempat Kerja

Banyak perusahaan memiliki budaya di tempat kerja yang kompetitif, meledak-ledak, dan penuh argumen. Orang-orang bertengkar sampai membeberkan secara terperinci seluruh data yang ada dalam tiap kesempatan, entah hanya untuk menjatuhkanmu atau membuatmu malu.

Dalam setiap rapat, gladi resik, atau pun lokakarya keadaan kompetitif ini selalu mencoba untuk menampakkan sifat aslinya yang kejam. Jika kau tak cukup pandai mendebat dengan sengit, berarti kau tak menguasai data, tidak cerdas, atau tidak paham betul apa yang sedang kita kerjakan. Seolah dalam dunia kerja, semua orang dituntut bersifat tangguh dan tidak ada ruang bagimu untuk bersikap manusiawi seutuhnya.

Dalam kondisi kerja yang kompetitif, setiap orang enggan untuk memuji dan menyatakan rasa terima kasih kepada seseorang yang telah melakukan pekerjaan sesuatu dengan baik. Hal tersebut didasari oleh prinsip alamiah dari sistem kompetitif itu sendiri bahwa kau harus menjatuhkan lawanmu sebanyak mungkin untuk menjadi seorang pemenang.

Ekosistem kerja yang seperti ini sudah bersifat toxic bagi kesehatan mental seseorang, baik laki-laki atau perempuan. Walhasil, karena tingginya persaingan di dalam budaya kerja, sulit rasanya mencoba untuk menjadi diri sendiri di tempat kerja.

Perempuan Membuat Ekosistem Kerja menjadi Lebih Manusiawi

Perempuan dapat mengubah budaya di tempat kerja yang toxic ini ketika mereka mencoba untuk membuka tangan dan hati mereka lebar-lebar. Ketika semua orang merasa terasing oleh budaya kerja yang menganggap semua orang itu tangguh, rasional, dan kompetitif, ia dapat mempertanyakan. “Mengapa perempuan tidak boleh menangis di kantor, tetapi laki-laki boleh membentak di kantor? Respons emosional mana yang lebih dewasa?” tanya Melinda Gates dalam bukunya The Moment of Lift.

Pertanyaan ini coba dijawab oleh Melinda dalam kisahnya mengenai kolega perempuan yang mampu menciptakan budaya empati di lingkungan kerjanya di Microsoft. Namanya Patty Stonesifer, ia adalah atasan, mentor, dan sosok teladan Melinda di Microsoft.

Patty menjadi sosok teladan di Microsoft karena dianggap punya gaya yang khas sehingga menjadi magnet bagi orang-orang untuk bekerja sama dengannya. Rahasia kepemimpinannya ialah ia membiarkan seseorang untuk bisa jujur tentang kekuatan dan kelemahannya. Ia adalah seseorang yang memulai budaya baru di Microsoft untuk berani berkata, “Aku salah.” Mampu mengakui kelemahan dan kesalahan tanpa khawatir semua itu akan digunakan untuk menjatuhkan mereka adalah perasaan yang menakjubkan.

Bagi Melinda, menjadi diri sendiri mungkin terdengar sebagai sikap muluk-muluk untuk bertahan dalam sebuah budaya kerja yang agresif. Namun, hal tersebut punya maksud untuk membuat seseorang berani dan tidak menjadi pengecut hanya untuk diterima di lingkungan kerja. Dengan begitu, kita punya kesempatan untuk berani menunjukkan bakat, prinsip, pendapat, guna mempertahankan hak-hak kita. Pada saat yang bersamaan, kita juga tidak perlu mengorbankan rasa hormat kepada diri sendiri. Di situlah kekuatan muncul dan budaya yang toxic itu berangsur-angsur berubah menjadi lebih manusiawi. (Tejo)

Pernikahan Dini: Bencana bagi Perempuan


Pernikahan dini bagi perempuan adalah sebuah penderitaan atau sebuah bencana. Bagaimana tidak disebut sebagai bencana manakala ia dapat memupuskan harapan seorang anak perempuan mengembangkan bakat dan meraih cita-citanya?

Seorang anak yang masih penuh mimpi dan cita-cita besar terpaksa menikah dan dituntut mengerjakan pekerjaan domestik yang melelahkan. Sementara jikalau ia hamil, ia harus menanggung risiko kematian sebab tubuhnya belum terlalu kuat untuk mengandung. Di dunia ini, terdapat jutaan anak perempuan terpaksa berhenti bersekolah karena berbagai hal, salah satunya adalah karena pernikahan dini.

Salah satu kisah yang dibagikan Melinda Gates lewat bukunya The Moment of Lift adalah kisah perjalanannya ke India 20 tahun silam. Di sana, ia melihat potret kemiskinan paling muram dan keras di seluruh India. Kebanyakan dari mereka hidup dari mengumpulkan botol, mencari kepingan uang logam di jalanan, dan tentu saja dengan mencopet.

Sebagaimana jamaknya hidup di daerah tertinggal, angka pernikahan dini meroket tajam. Anak-anak yang baru pubertas akan dipaksa untuk meninggalkan bangku sekolah dan menikahi seseorang yang dipilihkan orang tuanya. Setelah menikah, tak jarang mereka dipukuli dan diancam oleh suaminya sendiri untuk dijual atas alasan pihak keluarga si anak memberikan maskawin yang jumlahnya kurang. Alasannya, menurut adat istiadat di India waktu itu, pihak perempuan yang harus memberikan mahar maskawin.

Kisah itu terpatri dalam ingatan Melinda sebagai pengalaman traumatik dan tragis atas pernikahan di bawah umur. Baginya, pernikahan dini merupakan kemitraan yang timpang dan berlawanan dengan kemitraan setara yang dapat meningkatkan kesehatan, kemakmuran, dan kemajuan manusia.

Kemitraan setara dapat mengangkat derajat suami dan istri di dalam hubungan rumah tangga dan hubungan sosial di masyarakat. Pernikahan di bawah umur membuat hubungan menjadi hierarkis sehingga bersifat merendahkan salah satu pihak. 

Hubungan Tak Setara Berakibat Penganiayaan

Ketika seorang anak perempuan dipaksa untuk menikah pada usia dini, ia akan terjebak dalam situasi sulit yang membuatnya tertekan. Dalam konteks pernikahan dini di India, misalnya. Semakin muda usia perempuan, semakin rendah pendidikannya, semakin sedikit pula maskawin yang harus dibayarkan keluarga perempuan itu.

Dalam situasi seperti ini, pasar memperjelas bahwa semakin lemah si gadis, semakin menarik dirinya bagi keluarga yang menerimanya. Mereka tidak menginginkan gadis yang punya suara, keterampilan, atau ide-ide. Perempuan ibarat barang dagangan sekaligus seorang hamba yang patuh dan tidak melawan.

Keadaan yang demikianlah yang dimanfaatkan oleh sang suami untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap sang istri. Mereka harus kehilangan keluarga, teman, sekolah mereka, dan segala kemungkinan untuk berkembang.

Bahkan, saat usianya yang baru genap 10 tahun, mereka sudah dihadapkan pada kenyataan hidup yang pahit—harus memasak, bertani, membersihkan rumah, memberi makan ternak, dan mengambil air—untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari.

Jika penderitaan seorang perempuan yang dipaksa menikah, kehilangan cita-cita dan masa depan, dipaksa untuk melakukan kerja berat, dan senantiasa terancam untuk dianiaya tidak bisa kita sebut sebagai tragedi, bisakah kita menyebutnya sebagai suatu bencana bagi kemanusiaan? (Tejo)

© Copyright - Bentang Pustaka