Tag Archive for: Novel Sejarah

Al-Masih 2: Lelaki yang Diurapi

Al-Masih 2: Lelaki yang Diurapi: Kisah Perjalanan Al Masih dalam Novel Karya Tasaro GK

Kisah tentang perjalanan hidup Al Masih seorang tokoh besar atau sosok yang tersohor namanya selalu menarik untuk disimak. Hidupnya penuh dengan perjuangan. Dari tantangan demi tantangan itulah yang membuat kisah hidupnya dapat dijadikan teladan bagi banyak orang lain. Salah satu kisah perjalanan hidup yang menarik untuk diketahui adalah kisah Al-Masih.

 

Al-Masih 2: Lelaki yang Diurapi

Setelah sukses dengan Al-Masih 1: Putra Sang Perawan, kini Tasaro GK meluncurkan buku kelanjutan dari serial Al-Masih. Buku kedua ini berjudul Al-Masih 2: Lelaki yang Diurapi. Masih tentang satu sosok yang sama, yaitu Al-Masih, buku kedua ini menghadirkan banyak kebaruan dari segi cerita. Banyak kisah menarik yang ditulis hingga mampu memperkaya wawasan pembaca tentang sosok Al-Masih. Penasaran?

 

Proses Kreatif Tasaro GK

Dalam menulis novel, ada proses kreatif yang harus ditempuh seorang penulis. Proses tersebut meliputi pencarian ide, riset, kepenulisan, dll. Tak main-main, untuk dapat menulis kisah Al-Masih, Tasaro GK melakukan riset selama 10 tahun. Selain itu, proses penulisannya juga melibatkan Romo Indra Sanjaya, yaitu dosen Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, sebagai editor ahli.  Hal ini bertujuan untuk memastikan kebenaran cerita yang ditulis. Ide cerita ini unik karena berasal dari berbagai sudut pandang agama. Ide cerita ini mendapatkan penghargaan juara ke-3 Ide Terbaik se-Asean dalam event International Malaysian Book Fair.

 

Sudut Pandang Cerita yang Semakin Kompleks

Jika dalam Al-Masih 1: Putra Sang Perawan lebih di dominasi kisah dari sudut pandang Islam dan Kristen, buku kedua ini muncul sudut pandang baru, yaitu Yahudi. Dengan membacanya, kita akan diajak mengenal sosok Al-Masih yang lain. Dalam Islam, kita mengenalnya sebagai Nabi Isa. Dalam Kristen ia dikenal sebagai Yesus Kristus. Nah, dalam kepercayaan Yahudi, sosok Al-Masih disebut sebagai Yeshua. Jika Al-Masih 1 lebih banyak bercerita tentang kelahiran Al-Masih, novel Al-Masih 2 bercerita tentang perjalanan dakwahnya.

 

Selain tokoh utama Al-Masih, buku ini juga menghadirkan sosok ibunya. Dia adalah perempuan suci yang melahirkan Al-Masih tanpa perantara ayah. Sama dengan Al-Masih, sosok ini juga dihadirkan dalam tiga sudut pandang berbeda. Dalam kepercayaan Islam, ia dikenal sebagai Maryam, dalam agama Kristen ia bernama Maria, dan dalam keyakinan Yahudi ia disebut sebagai Miryam. Tiga sudut pandang berbeda inilah yang membuat serial Al-Masih menjadi kompleks dan kaya akan wawasan. Kisah perjalanan Al Masih bisa kamu temukan di sini.

 

  • Putri Maulita

Menapaki Jejak Raden Saleh

Dengan diberi judul berbahasa Jerman ”Historische Tableau die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”, lukisan itu memberikan imajinasi pada kita terhadap peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro yang bersiap memulai perjalanan menuju ke pengasingan. Melihat karya Raden Saleh itu tak bias dimungkiri jika sebagian di antara kita menilainya asli sesuai dengan kejadian.

Raden Saleh menuntaskan penciptaan lukisan berukuran 112 x 178 sentimeter itu pada tahun 1857. Adapun sketsa sebagai rancangan awal lukisan mulai dia goreskan pada tahun 1856. Raden Saleh terinspirasi membuat lukisan tersebut setelah membaca De Javasche Courant edisi 3 Februari 1855 yang mewartakan kematian Pangeran Diponegoro pada 8 Januari 1855 (Harsja Bachtiar dalam Carey, 2002; Kraus&Vogelsang, 2018). Benarkah?

Kabar soal pengasingan Pangeran Diponegoro ke luar Jawa kemungkinan besar sudah diketahui Raden Saleh tahun 1830-an. Bahkan, dia sempat bersua Jenderal Hendrik Merkus de Kock ketika menempuh pendidikan seni lukis di bawah asuhan Cornelis Kruseman. Raden Saleh mengunjungi studio Kruseman pada tahun 1932. Di studio itu, dia berinteraksi dengan masyarakat kelas atas yang menjadi model lukisan Kruseman, salah satunya jenderal yang mengakhiri Perang Jawa (1825-1830) itu.

Sebelum itu, pada tahun 1831, Raden Saleh terenyak ketika diminta mengidentifikasi sebuah keris oleh Reiner Pieter van de Kasteele. Keris itu bukan keris sembarangan, melainkan salah satu keris milik Pangeran Diponegoro bernama Kiai Naga Siluman. Jenderal de Kock menghadiahkan keris itu kepada Raja Willem I (halaman 96-102).

Hubungan dengan Pangeran Diponegoro tanpa jumpa fisik itu setidaknya tidak melenyapkan jejak Raden Saleh dalam ingatan publik Indonesia. Raden Saleh lahir di sebuah desa kecil di Semarang, Terboyo. Tahun kelahirannya simpang-siur. Namun, lahir tahun 1811 lebih sesuai dengan data-data kehidupan Raden Saleh. Orang tuanya menitipkan dia sejak kecil kepada Bupati Terboyo, Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V. Dalam lingkungan keluarga angkatnya itu, Raden Saleh sebenarnya telah menyelami perjuangan Pangeran Diponegoro. Sura Adimenggala V dan kedua putranya kelak menanggung akhir kehidupan memilukan akibat mendukung Perang Jawa.

Bersimpang Jalan

Takdir bagi Raden Saleh memang bersimpang jalan. Kejeniusannya dalam mengayunkan kuas tercium oleh pejabat kolonial. Sekitar usia Sembilan tahun, dia meninggalkan Terboyo untuk mendapatkan kemewahan fasilitas mengembangkan bakat seni melukis. Bermula di Buitenzorg (kini Bogor) dalam asuhan Antoine Auguste Joseph Payen, Raden Saleh selanjutnya belajar melukis di belantara Eropa. Dia menghabiskan masa hidupnya selama 22 tahun di Belanda, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris, serta menjadi bagian dari sejarah kesenian Eropa. Dia pulang ke Jawa dan wafat di Buitenzorg pada tahun 1880. Di makam Raden Saleh tertulis Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kanjeng Raja Walanda.

Penulis novel ini tak bisa menghindar dari fakta pemosisian Raden Saleh dalam sejarah Indonesia. Untuk meramu jejaknya, novel mereka bagi dalam dua arus zaman. Pertama, abad ke-19, masa kehidupan Raden Saleh. Kedua, abad ke-20, masa pergerakan nasional menuju ke kemerdekaan. Dari tokoh Syamsudin dan Syafei dalam novel ini, pembaca bisa mengikuti semarak opini mengenai Raden Saleh. Dari dua tokoh itu, novel ini juga mengalirkan kisah romansa yang menggairahkan.

Menulis fiksi sejarah tentu berbeda dari menulis fiksi an sich. Yang paling sulit adalah menentukan cara bertutur yang pas tanpa mengorbankan tulang punggung sejarah ataupun bangunan kisah fiktifnya. Bila terlalu banyak fakta sejarah, novel bias semacam diktat kuliah. Penulis novel yang malang-melintang dalam jagat sastra dan beberapa kali menyabet penghargaan prestisus diyakini lulus meracik fiksi sejarah.

Penulisan novel ini sebenarnya dimulai pada tahun 1999. Di tengah pasang surut penulisan justru muncul anugerah pengayaan literatur sejarah. Tak sekadar riset pustaka, tetapi juga menginjakkan kaki di sejumlah lokasi yang dirambah Raden Saleh. Diskusi suntuk dengan pakar Raden Saleh seperti Warner Kraus tak alpa mereka lakukan. Dengan basis pendidikan seni rupa, penulis novel ini menyuguhkan kepada pembaca geliat sosok dan gaya lukis abad ke-19.

Judul novel ini sebenarnya semacam tanda tanya, siapakah Pangeran dari Timur? Ada tiga sosok yang disematkan dengan julukan itu dalam novel ini. Terlepas dari julukan itu, Raden Saleh tercatat sebagai intelektual mumpuni pada zamannya. Selain sebagai pelukis, dia juga kolektor dokumen etnografi dan arkeologi, arsitek, ahli palentologi, perancang pertamanan, dan pendiri berbagai taman margasatwa

Apakah novel ini kerja besar ketika pada tahun 2020 ini berhasil terbit? Pembaca bisa menilai dengan menelusuri novel setebal 500 halaman lebih ini, ukuran lebar kertas 15 cm dan panjang 23,5 cm. Selamat membaca untuk menambah penasaran.

 

Hendra Sugiantoro, penikmat buku dan pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

*Pernah dipublikasikan di koran Suara Merdeka, Minggu 5 Juli 2020

© Copyright - Bentang Pustaka