Tag Archive for: Kesehatan Mental Anak

secure attachment

Secure Attachment Anak Dapat Terbentuk Lewat Bermain

Kalau ditanya, semua orang tua pasti ingin anak mereka memiliki secure attachment. Ternyata, secure attachment pada anak dapat dibentuk melalui kegiatan yang orang pikir hanya buang-buang waktu, yaitu bermain.

Sebelum membahas secure attachment, tentu kita perlu tahu dulu apa itu attachment. Attachment adalah kelekatan hubungan. Attachment dapat merujuk pada hubungan antara anak dan orang tua, atasan dan bawahan, hingga teman. Jadi. anak dengan secure attachment memiliki kelekatan hubungan yang positif dan sehat dengan orang lain, terutama orang tua, Kelekatan hubungan seperti itu berarti harmoni, kuat, dan tak tergoyahkan.

Anak yang memiliki dengan attachment tersebut akan merasakan ketenangan dan kenyamanan saat bersama orang tua. Sebaliknya, saat orang tua pergi, mereka akan merasa resah. Namun, keresahan tersebut akan hilang ketika orang tua kembali. Pada orang dewasa, attachment tersebut membantu mereka untuk mencintai dirinya dan melihat bahwa dirinya berharga. Secure attachment dibutuhkan untuk membantu anak tumbuh dengan empati, kesehatan mental, dan regulasi diri yang baik, serta self-esteem.

Kebalikan dari secure attachment, terdapat insecure attachment yang terdiri dari dua jenis, yaitu insecure-avoidant dan insecure-ambivalent. Secara umum, insecure attachment adalah hubungan yang negatif antara anak dengan orang tua. Ketika dewasa, mereka cenderung mempertanyakan keberhargaan dirinya,

  • Insecure-ambivalent

Anak dengan insecure-ambivalent attachment akan merasa resah ketika orang tua pergi, namun tidak pula mendapat rasa nyaman saat bersama orang tua. Hal tersebut membuat kebingungan pada dirinya sendiri. Anak dengan unsecure-ambivalent juga memiliki tendensi untuk menolak kontak atau kenyamanan dari orang tua.

Baca juga: Rekomendasi Buku Parenting Terbaru: Play The Danish Way

  • Insecure-avoidant

Terlihat jelas dari namanya, anak dengan insecure-avoidant attachment menolak kontak dengan orang tua mereka. Mereka berusaha untuk tidak terikat secara secara emosional dengan orang tua. Mereka tidak terlalu membedakan antara orang tua dan orang asing.

Cara Membentuk Secure Attachment pada Anak

Bermain adalah salah satu cara membentuk secure attachment. Orang tua dapat mendorong secure attachment dengan mengerti bahwa setiap anak memiliki keunikan masing-masing, tanggap terhadap kebutuhan anak, dan mendorong anak untuk bermain dan tertawa. Mengerti keunikan anak akan membuatnya merasa dihargai sebagai individu utuh. Sementara, tanggap atas kebutuhan mereka akan membuat mereka merasa dicintai oleh orang terdekatnya.

Bermain yang dapat membantu mendorong attachment yang sehat adalah bermain bebas. Cara inilah yang dilakukan orang Denmark. Dalam buku Play The Danish Way, penulis menyebutkan bahwa orang Denmark sangat menghargai bermain bebas. Berbeda dari permaian yang memerlukan pengawasan orang tua, bermain bebas membantu anak memiliki kendali pada hidupnya sebagai individu, memiliki daya juang, kemampuan bersosialisasi dan bahagia. Manfaat dari bermain bebas tersebut yang akan membantu anak memiliki kesehatan mental yang positif yang memengaruhi hubungan positif dengan orang lain.

Denmark telah membuktikan manfaat bermain bebas tersebut dengan menjadi negara paling bahagia selama bertahun-tahun. Buku Play The Danish Way dapat menjadi panduan orang tua yang ingin mempelajari manfaat dan cara orang Denmark bermain. Buku Play The Danish Way dapat di pesan di Mizan Store.

Manfaat Bermain Bersama Anak: Dari Meningkatkan Kesehatan Mental hingga Edukasi

Sebelum pandemi, banyak dari kita yang menghabiskan waktu di luar rumah untuk bekerja. Karena jarang di rumah, kita juga jarang bermain dengan anak. Selama pandemi, artinya kita lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Inilah kesempatan kita untuk merasakan manfaat bermain bersama anak.

Banyak alasan orang tua jarang bermain bersama anak. Mulai dari tidak adanya waktu hingga tidak memiliki energi. Untuk masalah waktu, kita memang perlu mengatur supaya dapat memiliki waktu bermain dengan anak. Jika terhalang waktu dan tenaga, kita bisa memilih memilih permainan yang tidak banyak menguras tenaga dan waktu. Contohnya, kita bisa bermain board game atau activity book di mana kita hanya perlu duduk dan bebas menentukan waktu bermain.

Memang banyak yang menganggap bermain bersama anak itu tidak terlalu penting. Mereka bisa bermain sendiri, kok. Kan mereka juga udah punya mainan sendiri. Lagi pula mereka punya teman sebaya untuk diajak bermainan. Kira-kira begitu yang sering kita pikirkan untuk membenarkan alasan kita tidak bermain bersama anak. Padahal, bermain bersama anak memiliki berbagai manfaat baik untuk anak itu sendiri hingga keluarga. Berikut manfaat bermain bersama anak:

  1. Manfaat bermain bersama anak untuk membangun bonding antara anak dan orang tua

Ketika bermain bersama anak, kita sekaligus membangun ikatan emosional dengan anak. Ikatan ini terjadi karena anak akan merasakan kasih sayang orang tua saat bermain dengan mereka. Rasa percaya anak ke orang tua juga akan meningkat. Inilah yang akan meningkatkan bonding antara orang tua dana anak. Bonding dengan anak sangat penting untuk menjaga keharmonisan keluarga dan membuat anak mau mendengarkan hingga menghargai orang tua.

Baca juga: CARI TAHU! AKTIVITAS SERU UNTUK MELATIH MOTORIK HALUS ANAK USIA DINI

  1. Menjaga kesehatan mental anak

Anak yang jarang menghabiskan waktu dengan orang tua rentan mengalami gangguan kesehatan mental, baik muncul sejak dini atau ketika tumbuh dewasa. Kurangnya kehangatan dari orang tua membuat mereka merasa kurang dicintai. Efeknya, anak bisa kesulitan untuk mencintai dirinya sendiri hingga memendam masalah sendiri yang berujung pada stress. Bermain dengan anak dapat menjaga kesehatan mental mereka karena akan mendapat kasih sayang yang cukup dan memiliki orang untuk berbagi cerita.

  1. Manfaat bermain  bersama anak untuk meningkatkan kemampuan motorik anak

Dengan bimbingan orang tua, anak dapat meningkatkan kemampuan motoriknya dengan maksimal. Ketika bermain dengan board game atau activity book, anak akan mengasah kemampuan motorik halus. Saat berlari atau memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain, motorik kasar mereka akan terasah.

  1. Mengedukasi anak

Edukasi memang bisa dilakukan di sekolah. Tapi, masih banyak hal yang perlu anak tahu yang tidak diajarkan di sekolah. Seperti cara menjaga hidup sehat. Walaupun mereka masih anak-anak, bukan berarti mereka tidak perlu diajari cara menjaga kesehatan sendiri. Bermain bersama anak adalah momen tepat menyisipkan pengetahuan tersebut tanpa terkesan menggurui. Terlebih lagi jika kita menggunakan sarana bermain tepat seperti starter kit Healthy Kids yang fokus mengajarkan anak menjaga kesehatan diri.

Manfaat bermain bersama anak sendiri sudah memiliki manfaat yang signifikan untuk keluarga. Supaya manfaat bermain bersama anak tercapai secara efektif, kita perlu menggunakan alat permainan yang tepat. Salah satu sarana efektif adalah starter kit Healthy Kids yang berisi board game dan activity book untuk meningkatkan kesadaran anak tentang kesehatan diri.

Mulai Perhatikan Emosi dan Perasaan Anak, Yuk!

Emosi dan perasaan sering kali dikesampingkan dalam proses belajar anak. Sementara itu, keterampilan membaca, menulis, dan berhitung biasanya justru menjadi prioritas teratas. Pendidikan yang kita terima semenjak taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, hingga pendidikan tinggi masih sangat berfokus pada bagaimana mengembangkan kecerdasan intelektual saja. Terlebih ketika ada sistem kompetisi di dalam kelas, seperti ranking, maka para guru dan orang tua ikut berlomba dalam menjejali anak-anak dengan materi-materi yang memusingkan.

Semakin maju peradaban dunia, tentu kompetisi akan semakin ketat dan tekanan yang dialami individu semakin besar. Menurut studi pada 2007 yang dilakukan oleh Jean Twenge, seorang profesor psikologi dari San Diego State University, bersama tim peneliti dari Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) menunjukkan bahwa tingkat stres dan gangguan kesehatan mental pelajar dan mahasiswa meningkat lima kali lipat dibandingkan dengan kondisi yang diderita pelajar dan mahasiswa pada The Great Depression Era atau era depresi besar pada 1938. Hal ini dipicu oleh kegiatan di sekolah dan budaya populer dalam kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh hal-hal eksternal, seperti kekayaan, penampilan, dan status.

Dr. Elizabeth Alderman, dokter spesialis di Pusat Medis Montefiore, New York mengatakan, “Jika anak tidak memiliki keterampilan dalam menghadapi dunia yang sebenarnya, akan sangat normal ketika mereka memiliki kekhawatiran yang berlebihan.” Kekhawatiran yang berlebihan yang dimaksud adalah ketakutan-ketakutan akan kegagalan yang berakibat pada stres. Jika pada usia muda mereka telah mengalami stres, tentu pada masa-masa mendatang tekanan yang diterima akan jauh lebih berat dan risiko peningkatan gangguan kesehatan mental akan semakin besar.

Oleh karena itu, baik aspek kognitif maupun emosional perlu diseimbangkan agar anak tidak hanya mampu menjalani kehidupan dengan keterampilan-keterampilan yang mendukung kesuksesan pendidikan dan kariernya, tetapi juga keterampilan mengelola hubungan intrapersonal dan interpersonal. Hal ini penting dalam pencapaian kebahagiaan sehingga akan tercipta generasi yang kuat secara fisik dan jiwanya.

Menurut Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Padjadjaran, Veranita Pandia, di sela acara “Seminar Skizofrenia dan Deteksi Mental Emosional pada Anak Usia Dini” di Kantor Desa Cihanjuang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, pada 18 Oktober 2018, “Untuk sehat itu tidak cukup dengan dikatakan sehat secara fisik saja, tetapi juga sehat mental. Sehat jiwa artinya sehat pikiran, perasaan, dan perilaku atau kehendak kita. Oleh karena itu, kalau kita ingin membangun generasi muda yang sehat, kita harus juga memperhatikan kesehatan jiwa anak-anak.”

Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa kecerdasan intelektual bukanlah hal yang terpenting untuk dimiliki individu. Ini diungkapkan oleh Daniel Goleman, seorang psikolog yang memperkenalkan istilah EQ (Emotional Quotient) pada 1995. Melalui bukunya yang berjudul “Emotional Intelligence”, ia memaparkan berbagai data yang menunjukkan bahwa kesuksesan lebih berkorelasi dengan bagaimana seseorang mampu mengelola emosi dalam dirinya dan membina hubungan dengan orang lain.

Orang tua dan para pendidik saat ini perlu memberi perhatian yang lebih pada bagaimana anak mengelola emosi dan perasaannya. Tidak hanya untuk mencegah gangguan kesehatan mental yang semakin rawan terjadi pada generasi muda, tetapi juga untuk membantu mereka mencapai kebahagiaan dan mendorong kesuksesan pada masa yang akan datang.

Dalam buku Islamic Montessori Inspired Activity yang akan terbit, akan dibahas pula mengenai pengelolaan emosi pada anak dan berbagai metode yang dapat dilakukan untuk melatih anak mengenal dan mengelola emosinya. Buku ini ditulis oleh Zahra Zahira, perintis Indonesia Islamic Montessori Community (IIMC) yang sudah berpengalaman dalam bidang pendidikan anak usia dini. Nantikan, ya!

© Copyright - Bentang Pustaka