Sihir Penulis Indonesia di Frankfurt 2015

Setelah dipersiapkan secara marathon selama tiga tahun, sejak 2012, akhirnya keikutsertaan Indonesia sebagai tamu kehormatan di pesta buku terbesar di dunia pun usai sudah. Melibatkan ratusan orang kreatif, asosiasi penerbit buku Indonesia serta kerjasama dengan beberapa kementerian, terutama kementerian pendidikan dan kebudayaan, Frankfurt book fair kini menyisakan kenangan, dan sejumlah pekerjaan rumah. Menjadi tamu kehormatan untuk pertama kali bukan tugas mudah, akan tetapi selalu ada kesempatan pertama untuk semua hal. Dan, saya percaya, Indonesia telah membuka lapisan demi lapisan dirinya ke dalam bentuk karya tulis kepada dunia.

foto: dw.com

foto: dw.com

Di antara berita gembira yang perlu dikabarkan kepada publik pembaca di Indonesia adalah terpilihnya Svetlana Alexievich sebagai pemenang Nobel tahun ini. Saya cukup beruntung berkesempatan bertemu dengan penerbitnya di Jerman yaitu Hanser, yang bermarkas di Berlin. Karsten Kredel, direktur penerbit Hanser, dengan ramah membuka kantornya untuk kami dan berdiskusi tentang pilihan karya sastra yang sangat selektif, hanya sekitar 20 karya penulis dalam setahun, dengan sekitar 7 orang pekerja kreatif. di tangan orang-orang hebat, dan penerbit yang sangat selektif ini pulalah naskah Andrea berlabuh, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Bahwa salah seorang penulis dari Indonesia dapat bersanding manis dengan penulis lainnya pemenang Nobel dalam satu rumah penerbitan adalah sebuah suka cita yang tak terlukiskan.

foto: detik.com

foto: detik.com

Tahun ini pula banyak kawan penulis lainnya yang mendapatkan kontak agen naskah yang terpercaya, maupun mendapatkan rumah penerbitan yang baik. Karya Eka Kurniawan berjudul Cantik Itu Luka (Beauty is a wound), dan Leila S. Chudori, Pulang (Home) dipegang oleh Pontas literary and film agency. Pontas adalah agen naskah yang berkantor di Barcelona, Spanyol, dan sudah malang melintang memegang banyak tokoh penting penulis sastra dunia, termasuk sebelumnya telah sukses mengenalkan karya Pramoedya Ananta Toer kepada dunia, bekerja sama dengan yayasan Lontar. Pada 2012 Pontas merayakan buku ke-1000 yang berhasil diageni sejak berdiri pada 1992,  serta keberhasilan naskah debut Jonas Jonasson, 100 Year Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared, yang terjual lebih dari 1 juta kopi dalam bahasa Jerman. Penulis lainnya seperti Okky Madasari telah berhasil terbit dalam bahasa Jerman melalui penerbit Sujet untuk karyanya Pasung Jiwa (Gebunden), sedangkan karya Laksmi Pamuntjak, Amba (Alle Farben Rot), diterbitkan oleh Ullstein.

Namun, menurut desas-desus yang saya dengar dari kawan-kawan agen, termasuk Pontas, Eka Kurniawan tampaknya akan menjadi bintang terang yang membuka lebih lebar lagi mata dunia terhadap karya sastra Indonesia. berturut-turut ulasan buku Eka muncul dalam berbagai media penerbitan internasional seperti The New York Times atau Publishers Weekly, beberapa waktu sebelum pameran buku Frankfurt 2015. Benedict R. Anderson, seorang Indonesianis, menyebut karya Eka, terutama untuk buku Cantik Itu Luka, sebagai karya fiksi yang “orisinal, mendalam, dan imajinatif, bak meteor yang paling terang dan tak terduga.” Anderson bahkan kemudian menyebut Eka sebagai penerus Pramoedya Ananta Toer. Tak pelak lagi, ulasan Anderson ini menjadi pemikat untuk banyak pengulas dan kritik sastra di luar negeri, sehingga dalam waktu singkat hak terjemahannya sudah terjual ke dalam 11 bahasa.

Indonesia, tentu saja, masih banyak menyimpan para penulis luar biasa dari sedikit yang saya sebutkan. Generasi penulis seperti Seno Gumira Ajidarma, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dewi Lestari, Fira Basuki, adalah para penulis prolifik yang tak pernah lelah berkarya. Karya Ayu Utami bahkan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di Asia dan Eropa. Selain itu penulis yang lebih muda dan menekuni karya sastra berbeda yang berhubungan dengan perjalanan seperti Trinity dan Agustinus Wibowo termasuk di antara yang sedikit berhasil mengenalkan genre berbeda dan diminati, utamanya saat ini di kalangan banyak pembaca Indonesia. Barangkali keragaman (karya) seperti ini yang juga diharapkan oleh Juergen Boos, direktur Frankfurt Book Fair, yang secara sengaja memilih Indonesia karena tidak banyak yang diketahui tentang peta Indonesia secara budaya, politik maupun ekonomi.

Meski telah berakhir, pameran Frankfurt menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi para penerbit dan tentunya penulis. Berbeda dengan sebelum menjadi tamu kehormatan, kini para penulis Indonesia memiliki kesempatan untuk ditemukan oleh agen-agen internasional dan terbit di luar kawasan sastra dalam negeri. Penerbit kini memiliki jaringan luas dan massif dan memberikan kemudahan untuk mempromosikan penulis ke luar negeri. Dengan cara ini juga, penerbit memiliki alasan untuk berinvestasi pada penulis-penulis Indonesia dan menerjemahkan karya mereka ke dalam bahasa Inggris. Siapa tahu, tahun depan kita akan dikejutkan oleh lebih banyak lagi penulis muda yang tampil di pentas dunia. Semoga.

@salmanfaridi

*Artikel ini terbit di Harian Bernas, 9 November 2015 Setelah dipersiapkan secara marathon selama tiga tahun, sejak 2012, akhirnya keikutsertaan Indonesia sebagai tamu kehormatan di pesta buku terbesar di dunia pun usai sudah. Melibatkan ratusan orang kreatif, asosiasi penerbit buku Indonesia serta kerjasama dengan beberapa kementerian, terutama kementerian pendidikan dan kebudayaan, Frankfurt book fair kini menyisakan kenangan, dan sejumlah pekerjaan rumah. Menjadi tamu kehormatan untuk pertama kali bukan tugas mudah, akan tetapi selalu ada kesempatan pertama untuk semua hal. Dan, saya percaya, Indonesia telah membuka lapisan demi lapisan dirinya ke dalam bentuk karya tulis kepada dunia.

foto: dw.com

foto: dw.com

Di antara berita gembira yang perlu dikabarkan kepada publik pembaca di Indonesia adalah terpilihnya Svetlana Alexievich sebagai pemenang Nobel tahun ini. Saya cukup beruntung berkesempatan bertemu dengan penerbitnya di Jerman yaitu Hanser, yang bermarkas di Berlin. Karsten Kredel, direktur penerbit Hanser, dengan ramah membuka kantornya untuk kami dan berdiskusi tentang pilihan karya sastra yang sangat selektif, hanya sekitar 20 karya penulis dalam setahun, dengan sekitar 7 orang pekerja kreatif. di tangan orang-orang hebat, dan penerbit yang sangat selektif ini pulalah naskah Andrea berlabuh, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Bahwa salah seorang penulis dari Indonesia dapat bersanding manis dengan penulis lainnya pemenang Nobel dalam satu rumah penerbitan adalah sebuah suka cita yang tak terlukiskan.

foto: detik.com

foto: detik.com

Tahun ini pula banyak kawan penulis lainnya yang mendapatkan kontak agen naskah yang terpercaya, maupun mendapatkan rumah penerbitan yang baik. Karya Eka Kurniawan berjudul Cantik Itu Luka (Beauty is a wound), dan Leila S. Chudori, Pulang (Home) dipegang oleh Pontas literary and film agency. Pontas adalah agen naskah yang berkantor di Barcelona, Spanyol, dan sudah malang melintang memegang banyak tokoh penting penulis sastra dunia, termasuk sebelumnya telah sukses mengenalkan karya Pramoedya Ananta Toer kepada dunia, bekerja sama dengan yayasan Lontar. Pada 2012 Pontas merayakan buku ke-1000 yang berhasil diageni sejak berdiri pada 1992,  serta keberhasilan naskah debut Jonas Jonasson, 100 Year Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared, yang terjual lebih dari 1 juta kopi dalam bahasa Jerman. Penulis lainnya seperti Okky Madasari telah berhasil terbit dalam bahasa Jerman melalui penerbit Sujet untuk karyanya Pasung Jiwa (Gebunden), sedangkan karya Laksmi Pamuntjak, Amba (Alle Farben Rot), diterbitkan oleh Ullstein.

Namun, menurut desas-desus yang saya dengar dari kawan-kawan agen, termasuk Pontas, Eka Kurniawan tampaknya akan menjadi bintang terang yang membuka lebih lebar lagi mata dunia terhadap karya sastra Indonesia. berturut-turut ulasan buku Eka muncul dalam berbagai media penerbitan internasional seperti The New York Times atau Publishers Weekly, beberapa waktu sebelum pameran buku Frankfurt 2015. Benedict R. Anderson, seorang Indonesianis, menyebut karya Eka, terutama untuk buku Cantik Itu Luka, sebagai karya fiksi yang “orisinal, mendalam, dan imajinatif, bak meteor yang paling terang dan tak terduga.” Anderson bahkan kemudian menyebut Eka sebagai penerus Pramoedya Ananta Toer. Tak pelak lagi, ulasan Anderson ini menjadi pemikat untuk banyak pengulas dan kritik sastra di luar negeri, sehingga dalam waktu singkat hak terjemahannya sudah terjual ke dalam 11 bahasa.

Indonesia, tentu saja, masih banyak menyimpan para penulis luar biasa dari sedikit yang saya sebutkan. Generasi penulis seperti Seno Gumira Ajidarma, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dewi Lestari, Fira Basuki, adalah para penulis prolifik yang tak pernah lelah berkarya. Karya Ayu Utami bahkan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di Asia dan Eropa. Selain itu penulis yang lebih muda dan menekuni karya sastra berbeda yang berhubungan dengan perjalanan seperti Trinity dan Agustinus Wibowo termasuk di antara yang sedikit berhasil mengenalkan genre berbeda dan diminati, utamanya saat ini di kalangan banyak pembaca Indonesia. Barangkali keragaman (karya) seperti ini yang juga diharapkan oleh Juergen Boos, direktur Frankfurt Book Fair, yang secara sengaja memilih Indonesia karena tidak banyak yang diketahui tentang peta Indonesia secara budaya, politik maupun ekonomi.

Meski telah berakhir, pameran Frankfurt menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi para penerbit dan tentunya penulis. Berbeda dengan sebelum menjadi tamu kehormatan, kini para penulis Indonesia memiliki kesempatan untuk ditemukan oleh agen-agen internasional dan terbit di luar kawasan sastra dalam negeri. Penerbit kini memiliki jaringan luas dan massif dan memberikan kemudahan untuk mempromosikan penulis ke luar negeri. Dengan cara ini juga, penerbit memiliki alasan untuk berinvestasi pada penulis-penulis Indonesia dan menerjemahkan karya mereka ke dalam bahasa Inggris. Siapa tahu, tahun depan kita akan dikejutkan oleh lebih banyak lagi penulis muda yang tampil di pentas dunia. Semoga.

@salmanfaridi

*Artikel ini terbit di Harian Bernas, 9 November 2015bentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta