Misteri Wong Banaspati

Aroma Karsa: Misteri Wong Banaspati

Berkurangnya jumlah dan jenis vegetasi di sekitar mereka mengungkap sesuatu yang disamarkan oleh hutan lebat tadi. Kedua pria yang bersama Jati itu tidak mengeluarkan aroma khas manusia pada umumnya. Bau mereka saru dengan tanaman hidup. Wangi pinang muda menguar dari pria yang rambutnya bergelung. Yang rambutnya terurai menguarkan wangi asam jawa. Bukan wangi hasil sulingan, melainkan wangi pohon sebagaimana tertanam lengkap dengan buah dan daunnya. Manusia pohon, batin Jati.

Ketika penjelajah Aroma Karsa tiba pada bagian ini, maka sebagian besar pertanyaan yang akan terlintas adalah: Banaspati itu apa? Fakta atau hanya legenda? Nyata atau hanya imajinasi Ibu Suri?

Dee Lestari, sang Ibu Suri ini memang selalu mampu ‘menakhodai’ para pembacanya untuk menikmati setiap lika-liku negeri dongengnya. Pun ketika ia menciptakan kerajaan baru bernama Aroma Karsa. Lalu, ketika sampai pada di lembar ke-533, muncul sebuah penggambaran tokoh yang ia namai Wong Banaspati, manusia setengah dewa yang bertugas sebagai penjaga Alas Kalingga. Nah, kira-kira kalau penggambaran sosok Banaspati yang ada di masyarakat seperti apa ya?

Secara umum, cerita tentang sosok Banaspati sendiri memiliki berbagai macam versi. Keberadaannya pun duduk di tengah-tengah fiksi dan nonfiksi. Ketika kalian mencoba mencari tahu lebih jauh mengenai Banaspati, maka penggambaran yang muncul akan beraneka ragam.

Ada yang menggambarkan sebagai sosok hantu bola api menyeramkan, sosok manusia api, sampai titisan dewa yang seram dari Bali. Kalau ada versi lain yang muncul, maka penggambarannya akan sedikit berbeda, yaitu sebagai bangunan penjaga bangunan suci.

Pada versi hantu bola api, Banaspati digambarkan sebagai bola api yang membahayakan. Siapa pun yang bertemu dengan bola api ini maka akan gila dan yang paling parah meninggal. Ia digambarkan seperti bola api sebesar kepalan tangan manusia. Namun, jika kita melihat dan tidak segera menghindar, konon Banaspati ini perlahan akan membesar layaknya kobaran api yang membahayakan. Dikabarkan juga bola api ini mampu melayang di udara serta berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lain. Tempat favorit yang menjadi persinggahan jenis Banaspati ini sangat beragam, mulai dari dari rumpun bambu, pohon kelapa, hingga pemakaman umum.

Sementara itu, versi lain menggambarkan Banaspati sebagai manusia api yang mampu mematikan korbannya. Pada versi ini manusia Banaspati digambarkan memiliki tubuh menyala dan memancarkan cahaya layaknya kobaran api. Konon, manusia api ini berjalan menggunakan kedua tangannya sementara kakinya berada di atas. Biasanya, Banaspati ini dimanfaatkan oleh manusia sebagai alat santet. Banaspati ini akan dikirimkan kepada orang yang dituju, dan ketika sampai maka Banaspati akan secara langsung mematikan korbannya. Wah, ngeri juga ya.

Versi yang selanjutnya adalah Banaspati versi Bali. Hyang/Sang Banaspati Penghuni Sungai, Batu Besar. versi ini sering digambarkan sebagai dewa yang seram dan mengerikan. Banaspati versi ini bertugas mengendalikan kehidupan dan menemani saat kelahiran manusia sebagaimana disebutkan dalam mitologi Kandapat Rare dan Agastia Prana. Ia dikenal sebagai sosok yang tegas, seram, berlaku cepat, adil, dan penentu segalanya.

Terakhir, Banaspati versi penjaga bangunan suci. Banaspati versi ini digambarkan sebagai bangunan yang berada pada ambang pintu gapura candi yang terletak di kawasan lereng gunung Lawu. Banaspati versi ini, berfungsi sebagai penjaga candi. Biasanya ia diletakkan pada ambang pintu gapura yang berguna untuk mengusir roh-roh jahat seseorang yang ingin memasuki bangunan suci.

Wah, cerita tentang sosok Banaspati ternyata ada banyak versi, ya. Jika masih penasaran sama versi yang lainnya, Sahabat Bentang bisa menguliknya sendiri lebih dalam. Nah, dalam Aroma Karsa, Ibu Suri juga memunculkan sosok Wong Banaspati. Samakah sosok Wong Banaspati dalam Aroma Karsa dengan Banaspati yang selama ini kita kenal? Kalau Sahabat Bentang penasaran, kalian bisa kenalan sama Wong Banaspati ala Jati Wesi di Aroma Karsa karya Ibu Suri.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta