Menengok Kembali “Civil Islam”
Lima belas tahun setelah penerbitan Civil Islam, apa yang terjadi dengan Islam di dalam masyarakat Indonesia yang pernah dikesankan secara positif oleh Robert Hefner, professor Antropologi di Boston University? Apakah Islam [di] Indonesia tetap menawarkan gagasan Islam alternatif terhadap mainstream Islam yang umumnya berkiblat ke Timur Tengah? Sebagai informasi, bagi banyak yang tidak menekuni Islam Indonesia, adalah sesuatu yang asing bahwa Islam tampil sebagai sesuatu yang sipil, sebab pada banyak praktik Islam di negara Arab, misalnya, Islam (politik) muncul sebagai sebuah kekuasaan teokratik dan monolitik. Kritik lainnya terhadap Hefner juga muncul pada peran-peran tokoh intelektual muslim seperti Cak Nur, Gus Dur pada masanya, berperan signifikan mendorong Islam, padahal jumlahnya “hanya” segelintir. Selain itu, eksistensi organisasi masyarakat seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai penyokong gerakan Islam sipil ini juga tak luput dari tudingan bahwa tata kelola kedua ormas besar itu cenderung hirarkis, sehingga cukup aneh jika karakter lembaga yang bertingkat, didorong faktor senioritas kyai atau pemimpin organisasi yang dianggap berpengaruh, ini membidani lahirnya nilai-nilai demokratis.
Namun, perbincangan sore itu dengan Hefner awal tahun 2015, dalam sebuah diskusi informal di Majlis Fikir Mizan, yang secara khusus diundang memberikan wawasan baru atas peta Islam Indonesia terkini memberikan cukup kabar gembira di tengah mengganasnya virus intoleransi. Sebagai informasi peta Islam Indonesia di kawasan, terutama di antara negara-negara muslim, bagi beberapa peminat studi Islam, diduga mengalami kemunduran ketika radikalisme menguat. Sebab, salah satu akibat yang ditimbulkan oleh mengerasnya Islam di Indonesia ini menjadikan Islam di nusantara tak ubahnya praktik Islam di Timur Tengah yang menggunakan pendekatan kekerasan dan terus bergolak di kawasan. Hal ini belakangan diperburuk oleh dugaan proxy wars, terutama di antara Amerika dan Rusia, dua kekuatan besar yang mendukung dua kubu berbeda yang bertikai antara kekuatan Bashar Assad dan lawan politiknya. Singkat kata, tak ada sisi menarik Islam, di manapun ajaran itu berada, sebab karakter yang muncul seperti juga yang dominan terjadi di Timur Tengah adalah radikal. Dus, efek lanjutan dari situasi ini adalah munculnya Islam sebagai agama yang paling doyan kekerasan. Benarkah?
Islam Mistik
Jika diurut genealogi Islam yang sampai ke wilayah Nusantara, menurut Laffan (2015), penulis Sejarah Islam di Nusantara, terdapat karakter transmisi Islam yang penting namun mungkin tidak banyak dicatat dalam sejarah kecuali jalur perdagangan dari Gujarat, yaitu karakter ajaran Islam yang lebih menekankan pada aspek mistik atau tasawuf. Islam mistik ini dipercaya masuk dari Hadramaut, menyusuri lautan India hingga ke Selat Malaka. Para penyebar Islam ini umumnya diterima dengan baik dan bahkan menempati pos-pos penting dalam kerajaan, seperti yang bisa kita temukan pada sosok Nur al-din al-Raniri, seorang Hadramy/Yaman, yang pernah menjadi ulama penting sekaligus penasihat di kerajaan Samudra Pasai. Adalah menarik membayangkan Nusantara pada abad-abad yang didominasi pengaruh Hindu-Budha, Islam yang tiba sebagai sebuah ajaran baru waktu itu muncul dari jalur mistik yang memberikan Islam kesempatan untuk dikenal dan tumbuh, alih-alih menggunakan pendekatan syariah atau hukum Islam. Sinkretisme, karena itu, dari sudut pandang mistik ini, secara tak terhindarkan adalah sebuah cara Islam beradaptasi dengan kebudayaan tempatan.
Di antara subjek studi Islam yang paling banyak dibahas adalah hubungan erat antara Islam dan Jawa. Indonesianis seperti Clifford Geertz, bahkan menulis buku terpisah mendedah agama Jawa, sebagai sebuah bentuk sinkretik antara Islam dan falsafah Jawa. Bahkan, karena Geertz pula, banyak studi Islam di Jawa sesudahnya selalu meminjam tipologi Islam Santri, Abangan, dan Priyayi yang dia formulasikan ketika meneliti Islam di Kediri, yang disamarkan sebagai Mojokuto. Islam dan Jawa adalah subjek menarik, sebab, dalam sejarahnya, konversi ke dalam Islam sebagai sebuah ajaran dilakukan pada level kerajaan, yaitu Mataram pada abad ke-14, terutama mengemuka pada masa Sultan Agung, dan memiliki efek jangka panjang hingga sekarang. Sedemikian besar pengaruh Mataram Islam ini, menyebabkan Islamnya orang-orang nusantara (terutama di Jawa) memiliki karakter yang khas dibandingkan saudara muslimah lainnya yang berkecambah dengan budaya berbeda di benua-benua yang berbeda pula.
Alhasil dari pergulatan panjang melampaui abad-abad penuh tantangan, Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang. Pergumulan yang datang kemudian sebagai akibat mendekatnya banyak kekuasaan lokal dalam upayanya mencari legitimasi Makkah kemudian mendatangkan gelombang baru modernisme. Nahdatul Ulama bertahan dengan pribumisasi Islam, sementara kelompok cendekiawan muslim modern, di antaranya Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) memilih pendekatan progresif didasarkan pada konsep ajaran, utamanya Fiqih, yang lebih murni sebagaimana diajarkan dalam sunnah nabi Saw. Terkadang istilah ahlus sunnah wal jamaah dipilih untuk membedakan prinsip fiqih yang lebih murni, tidak dicampur dengan tradisi Hindu-Buddha sebelumnya. Perlu juga dicatat bahwa karena sifatnya organisasi masyarakat (ormas), hampir semua ormas saling berpacu mengembangkan program pemberdayaan masyarakat meliputi pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Memasuki fase modern ini, perlahan tapi pasti gagasan mistik Islam pun menguap.
Civil Islam
Dapat dikatakan bahwa hasil penelitian Hefner lima belas tahun lalu masih berdering keras dengan apa yang terjadi dewasa ini. Di balik banyak kritik yang pernah disampaikan bahwa nyaris tidak mungkin Islam menjadi sebuah konsep kewargaan, nyatanya Islam di Indonesia selamat dari tantangan besar luar biasa dan sekaligus meninggalkan luka mendalam bagi banyak pihak di Poso, Ambon. Secara kolektif umat Islam dan Kristen di Ambon bahu membahu membangun kembali hubungan ke arah yang lebih baik. Hal ini, ditekankan Hefner, misalnya tidak pernah terjadi antara etnis Bosnia dan Serbia yang mungkin selamanya akan terkutubkan.
Kata kunci polarisasi atau pengkutuban yang digunakan teroris melalui metode teror adalah tujuan tertinggi yang ingin dicapai. Di Eropa upaya teror ini dilakukan agar Islamophobia dan para pendukungnya di ranah politik meraih suara signifikan mengalahkan kelompok lainnya yang pro sosial demokratis seperti di Prancis. Harapannya umat Islam terkucilkan dari masyarakat Eropa lainnya. Sementara itu di Indonesia upaya melakukan pengkutuban ini kelihatannya tidak akan mudah berhasil sebab upaya-upaya warga yang mengerahkan segenap kekuatan mengatasi ketidaktakutan atau teror meskipun “hanya” menggunakan tanda pagar (tagar). Lucunya, seperti yang dihimpun twitter selepas beberapa jam, tagar #KamiTidakTakut dengan cepat berubah menjadi #KamiNaksir, gara-gara foto seorang polisi muda dan ganteng yang tengah terlibat dalam pengejaran teroris Thamrin. Seperti Hefner, penulis masih punya alasan yang cukup bahwa Islam dan masyarakat muslim akan terus memainkan perannya ke arah demokratisasi Indonesia. Semoga.
Lima belas tahun setelah penerbitan Civil Islam, apa yang terjadi dengan Islam di dalam masyarakat Indonesia yang pernah dikesankan secara positif oleh Robert Hefner, professor Antropologi di Boston University? Apakah Islam [di] Indonesia tetap menawarkan gagasan Islam alternatif terhadap mainstream Islam yang umumnya berkiblat ke Timur Tengah? Sebagai informasi, bagi banyak yang tidak menekuni Islam Indonesia, adalah sesuatu yang asing bahwa Islam tampil sebagai sesuatu yang sipil, sebab pada banyak praktik Islam di negara Arab, misalnya, Islam (politik) muncul sebagai sebuah kekuasaan teokratik dan monolitik. Kritik lainnya terhadap Hefner juga muncul pada peran-peran tokoh intelektual muslim seperti Cak Nur, Gus Dur pada masanya, berperan signifikan mendorong Islam, padahal jumlahnya “hanya” segelintir. Selain itu, eksistensi organisasi masyarakat seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai penyokong gerakan Islam sipil ini juga tak luput dari tudingan bahwa tata kelola kedua ormas besar itu cenderung hirarkis, sehingga cukup aneh jika karakter lembaga yang bertingkat, didorong faktor senioritas kyai atau pemimpin organisasi yang dianggap berpengaruh, ini membidani lahirnya nilai-nilai demokratis.
Namun, perbincangan sore itu dengan Hefner awal tahun 2015, dalam sebuah diskusi informal di Majlis Fikir Mizan, yang secara khusus diundang memberikan wawasan baru atas peta Islam Indonesia terkini memberikan cukup kabar gembira di tengah mengganasnya virus intoleransi. Sebagai informasi peta Islam Indonesia di kawasan, terutama di antara negara-negara muslim, bagi beberapa peminat studi Islam, diduga mengalami kemunduran ketika radikalisme menguat. Sebab, salah satu akibat yang ditimbulkan oleh mengerasnya Islam di Indonesia ini menjadikan Islam di nusantara tak ubahnya praktik Islam di Timur Tengah yang menggunakan pendekatan kekerasan dan terus bergolak di kawasan. Hal ini belakangan diperburuk oleh dugaan proxy wars, terutama di antara Amerika dan Rusia, dua kekuatan besar yang mendukung dua kubu berbeda yang bertikai antara kekuatan Bashar Assad dan lawan politiknya. Singkat kata, tak ada sisi menarik Islam, di manapun ajaran itu berada, sebab karakter yang muncul seperti juga yang dominan terjadi di Timur Tengah adalah radikal. Dus, efek lanjutan dari situasi ini adalah munculnya Islam sebagai agama yang paling doyan kekerasan. Benarkah?
Islam Mistik
Jika diurut genealogi Islam yang sampai ke wilayah Nusantara, menurut Laffan (2015), penulis Sejarah Islam di Nusantara, terdapat karakter transmisi Islam yang penting namun mungkin tidak banyak dicatat dalam sejarah kecuali jalur perdagangan dari Gujarat, yaitu karakter ajaran Islam yang lebih menekankan pada aspek mistik atau tasawuf. Islam mistik ini dipercaya masuk dari Hadramaut, menyusuri lautan India hingga ke Selat Malaka. Para penyebar Islam ini umumnya diterima dengan baik dan bahkan menempati pos-pos penting dalam kerajaan, seperti yang bisa kita temukan pada sosok Nur al-din al-Raniri, seorang Hadramy/Yaman, yang pernah menjadi ulama penting sekaligus penasihat di kerajaan Samudra Pasai. Adalah menarik membayangkan Nusantara pada abad-abad yang didominasi pengaruh Hindu-Budha, Islam yang tiba sebagai sebuah ajaran baru waktu itu muncul dari jalur mistik yang memberikan Islam kesempatan untuk dikenal dan tumbuh, alih-alih menggunakan pendekatan syariah atau hukum Islam. Sinkretisme, karena itu, dari sudut pandang mistik ini, secara tak terhindarkan adalah sebuah cara Islam beradaptasi dengan kebudayaan tempatan.
Di antara subjek studi Islam yang paling banyak dibahas adalah hubungan erat antara Islam dan Jawa. Indonesianis seperti Clifford Geertz, bahkan menulis buku terpisah mendedah agama Jawa, sebagai sebuah bentuk sinkretik antara Islam dan falsafah Jawa. Bahkan, karena Geertz pula, banyak studi Islam di Jawa sesudahnya selalu meminjam tipologi Islam Santri, Abangan, dan Priyayi yang dia formulasikan ketika meneliti Islam di Kediri, yang disamarkan sebagai Mojokuto. Islam dan Jawa adalah subjek menarik, sebab, dalam sejarahnya, konversi ke dalam Islam sebagai sebuah ajaran dilakukan pada level kerajaan, yaitu Mataram pada abad ke-14, terutama mengemuka pada masa Sultan Agung, dan memiliki efek jangka panjang hingga sekarang. Sedemikian besar pengaruh Mataram Islam ini, menyebabkan Islamnya orang-orang nusantara (terutama di Jawa) memiliki karakter yang khas dibandingkan saudara muslimah lainnya yang berkecambah dengan budaya berbeda di benua-benua yang berbeda pula.
Alhasil dari pergulatan panjang melampaui abad-abad penuh tantangan, Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang. Pergumulan yang datang kemudian sebagai akibat mendekatnya banyak kekuasaan lokal dalam upayanya mencari legitimasi Makkah kemudian mendatangkan gelombang baru modernisme. Nahdatul Ulama bertahan dengan pribumisasi Islam, sementara kelompok cendekiawan muslim modern, di antaranya Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) memilih pendekatan progresif didasarkan pada konsep ajaran, utamanya Fiqih, yang lebih murni sebagaimana diajarkan dalam sunnah nabi Saw. Terkadang istilah ahlus sunnah wal jamaah dipilih untuk membedakan prinsip fiqih yang lebih murni, tidak dicampur dengan tradisi Hindu-Buddha sebelumnya. Perlu juga dicatat bahwa karena sifatnya organisasi masyarakat (ormas), hampir semua ormas saling berpacu mengembangkan program pemberdayaan masyarakat meliputi pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Memasuki fase modern ini, perlahan tapi pasti gagasan mistik Islam pun menguap.
Civil Islam
Dapat dikatakan bahwa hasil penelitian Hefner lima belas tahun lalu masih berdering keras dengan apa yang terjadi dewasa ini. Di balik banyak kritik yang pernah disampaikan bahwa nyaris tidak mungkin Islam menjadi sebuah konsep kewargaan, nyatanya Islam di Indonesia selamat dari tantangan besar luar biasa dan sekaligus meninggalkan luka mendalam bagi banyak pihak di Poso, Ambon. Secara kolektif umat Islam dan Kristen di Ambon bahu membahu membangun kembali hubungan ke arah yang lebih baik. Hal ini, ditekankan Hefner, misalnya tidak pernah terjadi antara etnis Bosnia dan Serbia yang mungkin selamanya akan terkutubkan.
Kata kunci polarisasi atau pengkutuban yang digunakan teroris melalui metode teror adalah tujuan tertinggi yang ingin dicapai. Di Eropa upaya teror ini dilakukan agar Islamophobia dan para pendukungnya di ranah politik meraih suara signifikan mengalahkan kelompok lainnya yang pro sosial demokratis seperti di Prancis. Harapannya umat Islam terkucilkan dari masyarakat Eropa lainnya. Sementara itu di Indonesia upaya melakukan pengkutuban ini kelihatannya tidak akan mudah berhasil sebab upaya-upaya warga yang mengerahkan segenap kekuatan mengatasi ketidaktakutan atau teror meskipun “hanya” menggunakan tanda pagar (tagar). Lucunya, seperti yang dihimpun twitter selepas beberapa jam, tagar #KamiTidakTakut dengan cepat berubah menjadi #KamiNaksir, gara-gara foto seorang polisi muda dan ganteng yang tengah terlibat dalam pengejaran teroris Thamrin. Seperti Hefner, penulis masih punya alasan yang cukup bahwa Islam dan masyarakat muslim akan terus memainkan perannya ke arah demokratisasi Indonesia. Semoga.
bentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!