Kiai Hologram: Hakikat Berbangsa dan Bernegara dalam Sudut Pandang Islam
Emha Ainun Nadjib atau yang lebih populer dengan nama Cak Nun, melalui buku terbarunya ini, mengajak kita untuk merenungi secara mendalam tentang hakikat berbangsa dan bernegara kita.Kita hidup di negeri yang tidak hanya memiliki kekayaan alam. Tapi juga budaya, agama, ras, dan bahasa yang beranekaragam. Kendatipun demikian, bangsa Indonesia sejak dulu dikenal hidup rukun dan damai. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai lini tersebut justru dimanfaatkan sebagai alat untuk merajut tali persaudaraan. Tidak heran bila Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan bangsa kita.
;Sayangnya, akhir-akhir ini kita nyaris kehilangan jati diri tersebut. Berbagai ancaman persatuan terus-menerus menghantui nasionalisme kita. Perundungan, persekusi, ujaran kebencian, intoleransi, hedonis, dan beberapa kasus lainnya merupakan problematika sosial yang tidak boleh dianggap sepele jika kita berkomitmen untuk merawat eksistensi kebhinekaan kita. Karena meski sudah diancam dengan sejumlah sanksi, tapi masih saja tindakan asosial tersebut menjadi santapan di kalangan tertentu.
Emha Ainun Nadjib atau yang lebih populer dengan nama Cak Nun, melalui buku terbarunya ini, mengajak kita untuk merenungi secara mendalam tentang hakikat berbangsa dan bernegara kita. Jika ditilik dari judulnya, pembahasan buku ini seakan berkutat hanya pada persoalan agama saja. Memang, sebagian besar konten esai bahkan temanya berkaitan dengan agama. Akan tetapi, itu tidak terlepas dari persoalan kemanusiaan dan kebangsaan. Dengan kata lain, beliau (penulis) hendak mengemukakan bagaimana seharusnya berbangsa dan bernegara dalam konteks agama.
Pada esai yang berjudul Mengantar Anak-Anakku ke Gerbang Peradaban Baru misalnya. Penulis memaparkan transformasi peradaban lama (bersahaja) menuju peradaban baru (canggih). Menurutnya, banyak pergeseran (nilai) yang terjadi sejak Indonesia menjadi modern. Fondasi sosial banyak yang berubah, konstruksi bangunan budaya berubah, landasan dan tujuan hidupnya berubah. Manusia tidak lagi mengedepankan kemanusiaan, melainkan status sosial, harta benda, dan kekuasaannya. Masyarakat Indonesia didesak tanpa bisa mengelak untuk memeluk agama globalisasi (Hal. 41).
Pada esai lain, Tongkat Perppu dan Tongkat Musa. Penulis membahas tentang makna khilafah yang baru-baru ini ramai diperdebatkan. Menurutnya, khilafah itu adalah benih atau biji. Bukan barang jadi semacam makanan yang sudah matang dan sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maiidah (hidangan). Dengan demikian, khilafahkan berjodoh dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda. Biji khilafah bisa tumbuh menjadi pohon kesultanan, kekhalifahan, kerajaan, republik, federasi, perdikan, padepokan, atau komunitas saja (Hal. 157).
Buku ini terdiri dari 5 bagian dan 45 judul esai. Semuanya membahas berbagai persoalan kebangsaan dari sudut pandang Islam. Namun, tentu ia tidak berupa semacam rumusan falsafah negara. Melainkan melalui esai-esai tersebut, penulis pada dasarnya mengajak kita untuk berpikir dan memikirkan Indonesia. Dikemas dengan bahasa yang santai—dalam arti tidak menggunakan bahasa formal dan sesekali diselingi lelucon, menjadikan kita tidak jenuh menikmati esai demi esai. Buku ini sangat layak dibaca oleh setiap elemen bangsa untuk merawat kebhinekaan kita.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!