Keep The Aspidistra Flying: Sebuah Potret Getir Pria yang Memerangi Uang di Tengah Kemiskinan

Tepat di jantung kota london yang kelabu pada tahun 1936, George Orwell menerbitkan sebuah novel yang berjudul “Keep the Aspidistra Flying”. Novel ini mengisahkan potret getir seorang pria bernama Gordon Comstock, yang memiliki idealisme untuk menolak uang dan kapitalisme. 

Sebagai salah satu karya terbaik George Orwell di abad ke-20, novel “Keep the Aspidistra Flying” menawarkan sebuah gambaran puitis tentang perlawanan terhadap norma-norma sosial dan tekanan ekonomi yang melibatkan tokoh utamanya. Dengan latar belakang depresi yang sangat besar dan kehidupan urban di London, Orwell mengisahkan pemberontakan seorang penulis muda yang menolak kemewahan hidup borjuis demi mengikuti panggilan seninya.

Gordon Comstock, adalah tokoh protagonis utama dalam novel ini yang mewakili banyak pemuda yang merasa terkekang oleh norma sosial dan ekonomi pada masa itu. Sebagai seorang penulis, Gordon ingin memperjuangkan sekaligus mempertahankan integritas artistiknya di tengah gempuran dan tekanan untuk bisa sukses finansial.

Jika kita mengamati dengan jeli, hal yang Gordon alami pada masa itu, tentu tak jauh beda dengan yang banyak pemuda alami di masa sekarang. Karena itulah, meski sudah berusia lebih dari 70 tahun, novel fiksi ini tetaplah bisa menjadi bacaan yang menarik dan relate terhadap kondisi kita saat ini.

Gordon Comstock, Pemuda yang Menolak Uang di Tengah Kemiskinan

Kisah ini dimulai dengan Gordon Comstock, seorang pemuda yang menolak memiliki gaya hidup borjuis yang bergelimang uang dan kapitalisme. Ia percaya bahwa kebahagiaan bisa didapatkan dengan hidup sederhana dan terbebas dari sikap materialistik. Karena Bagi Gordon, uang hanya akan menjadi “akar segala kejahatan”. 

Dilansir dari situs lensasastra.id, Gordon adalah seorang pria yang lebih memilih menjalani hidup miskin dan melarat di sudut apartemen kumuh di kota London, dengan hanya sejumlah uang di kantongnya. Menghitung setiap kepingan Corn dan beberapa Poundsterling demi menyambung hidup, atau demi sekotak rokok dan segelas bir murah. 

Pekerjaannya yang hanya sebagai seorang penjaga toko buku sekaligus pustakawan, ternyata tidak mampu untuk memberikannya kehidupan yang layak. Tentu saja ini karena pendapatan yang bisa ia raih terlewat sadis jumlahnya. 

Tapi tentu Gordon memahami bahwa inilah konsekuensi yang akan ia dapatkan ketika ia lebih memilih memperjuangkan idealismenya. Ia rela mengorbankan kehidupan yang cukup gemerlap saat masih bekerja di sebuah perusahaan iklan, sebab ia tidak mau dirinya dikendalikan oleh kapitalisme dan tumpukan uang yang ia miliki. Egois? Tentu saja.

Namun jika kita melihat dengan pandangan yang realistis, siapa sih orang yang bisa hidup tanpa uang sepeserpun? Memang ada ya orang yang bisa makan atau memiliki tempat tinggal tanpa uang?

Pertanyaan seperti itu, mungkin sudah Gordon lupakan sejak dulu. Kepribadiannya yang keras kepala, sok menolak pesona dan kegemerlapan uang, tapi nyatanya ia tetap saja tak bisa menahan diri untuk mencari uang. Jadi seakan Orwell menceritakan sosok Gordon adalah seorang pria yang hipokrit, karena merasa sok gak butuh uang, tapi aslinya ia sangat membutuhkan uang.

Kurniawan melalui lensasastra.id juga mengatakan bahwa, wajar saja banyak pembaca yang merasa jengkel dengan sikap dari sosok tokoh utama yang satu ini. Terlepas dari itu, tak sedikit pula pembaca yang curiga bahwa Orwell sedang menceritakan kisah saat dia masih menjadi penulis miskin di awal kepengarangannya. 

Keberuntungan Hidup yang Terbuang Sia-sia

Bukan dari golongan keluarga yang sempurna, Gordon justru berangkat dari keluarga gagal karena kemiskinan dan kemelaratan. Orang tuanya dikisahkan meninggal dalam keadaan miskin dan menderita sakit. Ia tak hidup sendiri, karena masih ada sosok kakak perempuan yang memilih melajang seumur hidupnya, dan Gordon menjadi orang yang paling beruntung di keluarga itu.

Sejak bangku sekolah, Gordon memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang cukup layak. Ia pun sampai bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lumayan, yang sudah mengantarkannya meraih kesempatan memperoleh pekerjaan yang bagus. 

Tapi semua keberuntungan yang Gordon dapat terbuang secara sia-sia. Karena Gordon lebih memilih keluar dari pekerjaan yang bagus, karena prinsip idealismenya dan kemudian membuat keluarganya kecewa.

Sialnya, perjalanan hidup yang Gordon rasakan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Menjalani hidup untuk perang melawan uang di tengah kemiskinan ternyata tidaklah mudah.

Awalnya ia berharap bisa hidup dengan cukup, tanpa terjerumus ke dalam roda kapitalisme, dan melakukan apapun yang ia sukai. Namun tetap saja, gambaran itu pupus begitu saja. Karena faktanya untuk bisa hidup, manusia tetaplah membutuhkan uang.

Situasi keuangan yang semakin memburuk, membuat Gordon harus merasakan pengusiran dari pemilik tempat tinggalnya. Ia pun harus hidup luntang-lantung dan kemudian menumpang di rumah pamannya. 

Bukannya bisa memperbaiki hidup, Gordon justru terkesan membebani pamannya. Dari sinilah akhirnya Gordon kembali masuk ke roda sistem kapitalisme, setelah pamannya membantunya mendapatkan pekerjaan di perusahaan iklan. 

Keuangan Membaik, Namun Ketenangan Tak Didapatkan

Setelah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, Gordon juga bertemu dengan calon pacarnya disana, yaitu Rosemary. 

Tapi lagi-lagi, Gordon kembali merasa tidak tenang selama bekerja disana, karena idealismenya tetaplah sangat kuat. Ia merasa kembali terjebak di dalam lingkaran setan kemewahan dan kemiskinan. Akhirnya, Ia pun kembali meninggalkan pekerjaannya demi menjadi penjaga sebuah toko buku bekas di sudut kota London.

Kekonyolan idealisme Gordon yang menjauhkannya dari uang dan kapitalisme, nyatanya juga masih ia langgar selama ini. Apakah kalau sudah begini idealisme tersebut patut masih dijunjung tinggi dan dibanggakan?

Apalagi melihat Gordon yang hipokrit dengan apa yang ia percayai. Sebut saja saat ia jatuh miskin, ia selalu mengutuk uang dan kapitalisme. Tapi saat ia sedang punya uang akibat puisinya dimuat di surat kabar dan mendapatkan uang dari sana, malah uangnya ia pakai untuk foya-foya. Seolah-olah tindakan Gordon justru bertentangan dengan idealismenya selama ini.

Keep the Aspidistra Flying: Gambaran Kompleksitas Manusia 

Meskipun “Keep the Aspidistra Flying” memaparkan gambaran yang cukup pesimis tentang manusia dan masyarakat, Orwell tetap memberikan sentuhan kemanusiaan melalui kompleksitas karakter-karakternya. Gordon Comstock, dengan semua kelemahannya, tetap menjadi tokoh yang dapat dipahami dan empatik bagi pembaca.

Gordon Comstock, melalui perjalanan hidupnya, menjadi perwakilan dari ketidakpuasan terhadap tekanan materialisme yang mendominasi masyarakat pada saat itu. Orwell menyampaikan pesan bahwa kebutuhan akan kekayaan dan status sosial seringkali mengalahkan hasrat untuk mengejar kebenaran dan kebahagiaan sejati.

Selain itu, Orwell juga menggarisbawahi ketidakstabilan psikologis yang diakibatkan oleh tekanan ekonomi. Melalui karakter Gordon, pembaca disuguhkan dengan gambaran mendalam tentang perjuangan internal seseorang yang terperangkap dalam jebakan kemiskinan dan ketidakpastian finansial. Kehidupan Gordon yang penuh dengan konflik moral dan keputusasaan mencerminkan kenyataan pahit banyak individu pada masa Depresi Besar.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulannya, “Keep the Aspidistra Flying” oleh George Orwell bukan hanya sekedar kisah tentang perlawanan seorang individu terhadap tekanan ekonomi dan norma-norma sosial pada masa Depresi Besar. 

Lebih dari itu, novel ini adalah refleksi mendalam tentang hakikat manusia, perjuangan moral, dan konflik internal yang muncul ketika individu berhadapan dengan tuntutan materialisme yang tak kenal lelah. 

Melalui kisah Gordon Comstock, Orwell mengajak pembaca untuk merenung tentang nilai-nilai sejati kehidupan dan arti kebebasan sejati di tengah gempuran tekanan sosial dan ekonomi.

Untuk info pemesanan novel “Keep the Aspidistra Flying” oleh George Orwell, silahkan kunjungi website resmi kami di Bentangpustaka.com 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta