“… kalian sangat fanatik dengan keyakinan kalian. Ini menunjukkan kemiskinan imajinasi, setidaknya.”
Dorothy hilang ingatan dan saat siuman ia sudah bukan lagi si gadis taat, putri semata wayang pendeta. Hidupnya yang teratur dan tak neko-neko berganti dengan episode luntang-lantung di sekitaran London. Dari kuli musiman, guru di sekolah abal-abal, sampai mengemis—semua dilakoni Dorothy demi bertahan hidup. Sambil, ia terus mengais kembali ingatannya yang timbul tenggelam.
Diterjemahkan dari A Clergyman’s Daughter, Luntang-lantung si Gadis Taat mengenalkan jurus sinisme khas George Orwell sang pengarang sebelum kelahiran mahakaryanya 1984 dan Animal Farm. Dorothy di sini bisa jadi adalah kita semua—dalam bentuk ekstremnya—yang berusaha menjawab pertanyaan abadi: Siapa kita?
***
“Sekali lagi, Orwell menghadirkan sebuah hidup dalam jeratan takdir—yang kusut, yang seolah tak bisa diurai.”—Nathan Waddell, Profesor bidang Sastra Abad Dua Puluh, University of Birmingham