Antara NU dan Muhammadiyah: Senada, tapi Tak Sama

Antara NU dan Muhammadiyah: Senada, tapi Tak Sama <p align="center"><em>Hai, selamat siang Sahabat Bentang! Bagaimana puasa Ramadan hari ini? Masih lancar? Kalau sh</em><em>a</em><em>lat Tarawih</em><em>-</em><em>nya, bagaimana? Masih lancar juga? Sahabat Bentang biasanya sh</em><em>a</em><em>lat </em><em>T</em><em>arawih di</em> <em>mana? Lalu, Sahabat Bentang kalau sh</em><em>a</em><em>lat </em><em>T</em><em>arawih berapa rakaat? </em><em>Dua puluh rakaat</em><em>? Atau</em><em>,</em> <em>delapan rakaat</em><em>?</em></p>

<p style="text-align: justify;">Pertanyaan terakhir memang terdengar sensitif, khususnya bagi penganut agama Islam di Indonesia. Sahabat Bentang ada yang tahu mengapa?</p>

<p style="text-align: justify;">Yaps. Meskipun hanya soal jumlah rakaat shalat Tarawih, itu dapat mewakili sebuah jawaban yang lebih mendasar, lebih sensitif, dan lebih bersifat pribadi. Kira-kira apa ya?</p>

<p style="text-align: justify;">Ternyata, penduduk Indonesia bukan hanya ber-<em>b</em><em>h</em><em>i</em><em>n</em><em>neka tunggal ika</em> dalam ranah antaragama, dalam satu agama pun ternyata masih terselip perbedaan. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah misalnya. Sahabat Bentang pernah mendengar dua organisasi sosial keagamaan tersebut, kan?</p>

<p style="text-align: justify;">Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua organisasi sosial keagamaan (Islam) terbesar di Indonesia. NU didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 1 Januari 1926, sementara Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Basis massa kedua organisasi ini begitu besar. Bahkan, NU sendiri merupakan organisasi Islam yang mempunyai anggota terbanyak di dunia. Seperti halnya manusia yang memiliki jalan berpikir sendiri-sendiri, NU-Muhammadiyah pun demikian. Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar di antara keduanya dalam hal ibadah maupun muamalah. Dalam hal ini, MinTang akan membahas tiga perbedaan mendasar dari dua organisasi Islam ini.</p>

<p style="text-align: justify;"><strong>Cara Berdakwah: Tradisional </strong><strong>v</strong><strong>s Modern </strong></p>

<p style="text-align: justify;">“Tradisional vs Modern”, sepertinya sudah menjadi ciri mendasar dari dua aliran atau organisasi agama ini. Dilihat dari cara berdakwah dan pegangan tuntunannya, memang terlihat perbedaan yang cukup mencolok. NU dalam prosesnya berdakwah, gemar melakukan pendekatan-pendekatan kultural yang cenderung mudah diterima oleh masyarakat. NU menggunakan pendekatan “<em>cultural and local wisdom</em>” yaitu berdakwah dengan menyesuaikan kondisi budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat. NU berusaha untuk memasukkan nilai-nilai Al-Quran dan sunah ke dalam budaya masyarakat agar mudah diterima. Contoh dari pendekatan ini adalah diadakannya tradisi “kenduri” atau “kenduren” yang dimodifikasi menjadi “yasinan” atau “tahlilan”. Pendekatan halus yang masih mempertimbangkan budaya setempat ini menjadi daya tarik tersendiri sehingga NU mendapat sambutan yang hangat. Tak heran jika pengikutnya sangat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia.</p>

<p style="text-align: justify;">Berbeda dengan NU, majelis tarjih Muhammadiyah yang disebut “Tajdid” menekankan pendekatan murni atas dasar Al-Quran dan sunah. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memurnikan kembali ajaran Al-Quran dan sunah dari serangan TBC (takhayul, bidah, <em>churafat</em>). Ini sesuai dengan jargon yang diusung pengikut Muhammadiyah yang berbunyi “<em>back to Qur’an and Hadits</em>”. Berdasarkan jargon dan tujuannya saja, sudah terlihat jelas bahwa Muhammadiyah memang tidak mengamalkan lagi budaya-budaya lokal yang memang tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran dan hadis.</p>

<p style="text-align: justify;"><strong>Cara Beribadah: Dua </strong><strong>P</strong><strong>uluh </strong><strong>v</strong><strong>s Delapan</strong></p>

<p style="text-align: justify;">Berbicara soal cara beribadah, akan terdapat banyak sekali perbedaan yang ditemukan antara NU dan Muhammadiyah. Bukan hanya jumlah rakaat shalat Tarawih yang berbeda, yaitu dalam NU berjumlah 20 rakaat tarawih dan 3 witir sementara Muhammadiyah 8 tarawih dan 3 witir. Kedua aliran ini juga memiliki perbedaan cara beribadah yang lain. Bagi warga Nahdliyin (sebutan untuk pengikut NU), malam Jumat adalah malam yang sakral. Pada malam ini masjid diramaikan dengan bacaan maulid Nabi, tahlil, yasin, manakib Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, barzanji, dan sebagainya. Sementara itu, tidak demikian yang dilakukan warga Muhammadiyah. Lantas, khotbah shalat Id dilakukan sebanyak dua kali oleh warga Nahdliyin sedangkan warga Muhammadiyah khotbahnya hanya sekali. Dalam shalat Id, kalimat “Allahu Akbar” dalam takbiran hari raya Idulfitri diucapkan sebanyak tiga kali untuk warga NU sedangkan warga Muhammadiyah melafalkannya sebanyak dua kali. Perbedaan lain terletak pada isbat penentuan 1 Syawal yang juga jatuhnya hari raya Idulfitri. NU memakai dasar rukyat sedangkan Muhammadiyah memakai hilal sebagai dasarnya. Terakhir, perbedaan yang paling terlihat mencolok adalah perbedaan dalam menjalankan shalat Shubuh. Warga Nahdliyin melaksanakan ibadah shalat Shubuh disertai bacaan doa <em>qunut</em>, sedangkan Muhammadiyah tanpa membaca doa <em>qunut</em>.</p>

<p style="text-align: justify;"><strong>Perspektif Pendidikan: Pesantren </strong><strong>v</strong><strong>s Pendidikan Formal</strong></p>

<p style="text-align: justify;">Bukan hanya soal ibadah dan pendekatan, dua aliran atau organisasi agama ini juga memiliki pandangan dan cara yang berbeda dalam pendidikan. Nahdliyin banyak menghabiskan waktu untuk belajar di pesantren salafi. Mereka mempelajari cara mengolah emosi dan “<em>sendik</em><em>a</em><em> d</em><em>h</em><em>awuh</em>” terhadap ucapan sang kiai atau ulama sehingga kedua tokoh ini dianggap sangat berpengaruh dan dihormati di masyarakat. Di lain sisi, warga Muhammadiyah lebih banyak mengenyam pendidikan formal dengan pengajaran yang lebih rasional dan objektif. Sejak awal berdirinya Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan memang ingin melakukan propaganda pendidikan bagi rakyat Indonesia. K.H. Ahmad Dahlan, ingin menciptakan pendidikan formal yang kala itu sangat susah dijangkau oleh rakyat Indonesia. Dalam pendidikan yang ia dirikan tersebut, ia memadukan antara pendidikan formal, modern, dan agama.</p>

<p style="text-align: justify;"> </p>

<p style="text-align: justify;">Wah, ternyata banyak juga ya perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Menurut Sahabat Bentang, mungkin nggak sih antara NU dan Muhammadiyah bersatu dalam ikatan pernikahan? Kalau tidak mungkin, tapi telajur jatuh cinta bagaimana? Lantas kalau mungkin, bagaimana cara beribadahnya? Kalau ingin shalat Shubuh berjemaah caranya seperti apa? Shalat Tarawih-nya berapa rakaat? Lantas, merayakan Idulfitri-nya bagaimana? Penasaran? Yuk, kita sama-sama cari jawabannya di novel <a href="https://mizanstore.com/kambing_dan_hujan-new_60737_60737"><span style="color:#B22222;"><strong><em>Kambing dan Hujan</em></strong></span></a>!</p>Aini Syarifah

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta