Tag Archive for: Tiongkok

Catatan Harian Wuhan dan kota Wuhan Covid-19

Catatan Harian Wuhan: Beginilah Kondisi Wuhan selama Awal Penguncian Wilayah!

Catatan harian Wuhan yang dituliskan dalam sebuah buku Wuhan Diary oleh Fang Fang membuat kita disadarkan oleh realitas sosial, bahwa koronavirus tidak pernah main-main. Koronavirus itu nyata dan bisa menjamah siapa saja–tak pandang bulu, status sosial, dan jenis kelamin. Hingga saat ini, koronavirus telah menjamah hingga ke seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

Menilik ke belakang, koronavirus dahulu menyebar pertama kalinya di kota Wuhan. Saya masih teringat oleh berita di salah satu saluran televisi yang memberitakan ada beberapa orang yang meninggal dunia di Wuhan layaknya zombie. Koronavirus pun menyebar dari sari satu orang ke orang yang lain. Beberapa hari kemudian, aparat pemerintah pun mengambil tindakan untuk melakukan penguncian wilayah (lockdown) besar-besaran di sana.

Setelah saya pertama kalinya menceritakan penguncian wilayah di Wuhan dalam artikel Buku Wuhan Diary Kini Akan Segera Hadir di Indonesia!, kali ini saya menggambarkan beberapa poin lanjutan bagaimana kondisi di Wuhan saat menjalankan penguncian wilayah selama 76 hari. Mari kita simak!

Kota mati, sepi, dan seperti tak berpenghuni

Catatan harian Wuhan yang menampilkan kondisi penguncian wilayah tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia. Banyak akses jalanan yang ditutup (hanya satu dua jalanan saja yang dibuka). Jadi, jika ingin membeli bahan pokok makanan harus membeli dalam jumlah banyak sebagai bahan persediaan ke depan.

Sekalinya keluar ruangan, Wuhan terlihat seperti kota dengan peradaban baru (pada faktanya justru nasib kotanya tak jelas seperti apa), jalanan sunyi dan senyap, terbentang lebar dan kosong, dan layaknya jalanan yang terbengkalai. Penulis buku Wuhan Diary juga menumpahkan segala emosi sedihnya di dalam buku ini ketika melihat fakta jalanan kotanya benar-benar lengang dan hampa karena pandemi.

Catatan harian Wuhan tentang repotnya memenuhi kebutuhan harian

Saat awal karantina, bagi orang-orang yang sudah memiliki gejala ringan dan berat, mereka segera dilarikan ke rumah sakit utama dan beberapa hotel yang ditunjuk untuk merawat pasian koronavirus. Setelah dirawat beberapa masa, sekurang-kurangnya 14 hari, banyak pasien yang sudah pulih, tetapi kembali terinfeksi lagi. Setidaknya hingga dua kali terjangkit koronavirus baru para pasien bisa kembali ke rumah untuk isolasi diri dan melanjutkan penguncian wilayah.

Di sisi lain, banyak dari sembilan juta orang di Wuhan yang kerepotan memenuhi kebutuhan hariannya. Para warga bersama-sama berhimpun secara swakarsa per lingkungan dari tempat tinggal dan menggunakan teknologi daring untuk memesan berbagai kebutuhan grosiran. Intinya rasa kebersamaan dan kemanusiaan sangat dijunjung tinggi di sana, meskipun tetap ada juga yang tak peduli dengan orang-orang sekitar.

“Pemerintah memobilisasi seluruh pegawai negeri untuk diberdayakan di tiap-tiap dan seluruh lingkungan tempat tinggal, dalam rangka membantu melayani kebutuhan penduduk setempat. Kesembilan juta warga Wuhan bahu-membahu untuk menuruti seluruh permintaan pemerintah. Pengendalian diri dan kesabaran warga telah membantu Wuhan untuk mengendalikan penyebaran virus; mereka layak diberi penghargaan atas kerelaan mereka berkorban bersama-sama,” tulis Fang Fang dalam buku Wuhan Diary.

Hidup memang berat, tetapi selalu ada jalan keluar untuk solusinya

Penguncian wilayah memang menjadikan hidup sebagian besar warga Wuhan dan kita semua seperti berada dalam ke-linglung-an yang nyata. Adakalanya, sedih karena harus menemui masa seperti ini, keambangan hidup yang sudah terjerat dalam penyakit mematikan, tetapi di lain sisi juga koronavirus menyadarkan kita betapa pentingnya menjaga diri, kesehatan, keluarga, dan orang-orang tersayang lainnya. Dari adanya koronavirus, kita juga bisa merenungkan hal-hal yang sebaiknya kita prioritaskan dalam hidup itu apa saja dan seperti apa.

Kabar baik mulai terdengar dari Wuhan, seperti yang dikatakan Fang Fang dalam bukunya, ada beberapa di antaranya: (1) jumlah kasus terduga koronavirus di luar provinsi Hubei telah menurun secara drastis; (2) jumlah kasus terkonfirmasi dan kasus terduga baru di Hubei terus menurun; (3) jumlah kasus kritis secara nasional (termasuk di Hubei) telah menurun secara signifikan; (4) jumlah pasien sembuh terus meningkat; (5) obat antiiviral Amerika remdesivir secara klinis sangat efektif mengobati pasien; dan (6) wabah ini akan mencapai titik baliknya kira-kira sepuluh hari lagi.

Memang dalam wabah saat ini kita berharap akan ada pencerahan masa di mana koronavirus enyah dan tak datang lagi. Kita benar-benar menginginkan hidup kembali berjalan maju dan normal seperti sebelum adanya pandemi datang dansituasi membaik, benar-benar baik seperti harapan kita semua. Semoga doa kita turut mengiringi semua harap dan seluruh pasien yang sedang berjuang dari penyakitnya.

Ikuti masa pre-order buku Wuhan Diary yang akan dimulai dari tanggal 3 Desember-20 Desember 2020. Tetap jaga kesehatan dan kendalikan diri, ya, Sahabat Bentang!

Pamungkas Adiputra.

 

 

Wuhan Diary

Buku Wuhan Diary Kini Akan Segera Hadir di Indonesia!

Buku Wuhan Diary. Melihat dari judul bukunya, pasti semua orang akan menerka-nerka isi buku tidak lain merupakan diari kota Wuhan; sejarah kota Wuhan ataupun Wuhan dengan segala isinya yang berkaitan tentang koronavirus. Memang tidak salah, akan lebih baik saya beri sedikit penegasan, buku ini berisi segala catatan harian daring oleh salah seorang penulis kenamaan Tiongkok, Fang Fang, yang kemudian catatan tersebut diterbitkan pada Juni 2020.

Di balik hiruk pikuk wabah koronavirus yang telah menyebar pertama kali di kota Wuhan, masih ada orang yang memiliki niat untuk merekam segala kejadian awal hingga akhir bagaimana koronavirus menghantam kehidupan umat manusia. Fang Fang menceritakan segala luapan emosi di dalam bukunya itu, baik kegeraman terhadap aparat pemerintah, kemanusiaan yang hadir di tengah wabah, dan bagaimana masyarakat bisa beradaptasi dengan situasi krisis yang tak berkesudahan.

Berikut disajikan beberapa fakta atau spoiler terkait buku Wuhan Diary.

Buku Wuhan Diary ditulis oleh Fang Fang

Memiliki nama asli Wang Fang, sedangkan nama penanya ialah Fang Fang. Lahir di Nanjing, Tingkok, pada 11 Mei 1955. Wang Fang merupakan lulusan Universitas Wuhan. Pada tahun 1975, ia mulai menulis puisi dan pada tahun 1982, ia meluncurkan novel pertamanya, Da Peng Che Shang. Pada tahun 1987, ia merilis mahakaryanya “Feng Jing“, dan memenangkan penghargaan novel medium-length nasional yang luar biasa pada tahun 1987-1988. Karya lainnya, termasuk Qin Duan Kou, dan Xing Yun Liu Shui, “Jiang Na Yi An“, “Yi Chang San Tan“, telah diterima dengan baik juga.

Penguncian wilayah selama 76 hari

Buku Wuhan Diary memiliki cerita yang begitu mendetail, terutama saat awal penguncian wilayah (lockdown). Masyarakat dikagetkan dengan seruan aparat pemerintah setempat yang menyuruh masyarakat untuk segera mengisolasi diri dan menutup semua akses transportasi, jual-beli, dan hal-hal yang yang dijadikan tempat kerumunan. Hal tersebut bertolak belakang dengan seruan awal bahwa virus ini “Tidak Menular Antarmanusia; Bisa Dikendalikan dan Bisa Dicegah”. Wang Fang pun turut geram akan ketidakpastian aparat pemerintah terhadap nasib rakyatnya.

Ditambah lagi, sejak 20 Januari, ketika pakar penyakit infeksi Tiongkok, dr. Zhong Nanshan, mengungkapkan bahwa koronavirus bisa menulari antarmanusia dan terdapat fakta kalau sudah ada empat belas tenaga medis sudah terinfeksi virus. Wang Fang merasa terguncang, tentunya. Ia seketika langsung mengisolasi diri selama 14 hari (sesuai dengan informasi periode inkubasi virus) dan menuliskan di kertas siapa saja yang sudah ditemui 2 minggu ke belakang untuk memberikan informasi jikalau ia benar-benar terinfeksi. Ia pun berpikiran tidak mau kalau orang-orang tersayangnya ikut terinfeksi virus tersebut.

Wuhan layaknya kota mati tak berpenghuni

Kota sebesar Wuhan ditutup? Tak mungkin!

Wang Fang benar-benar tak bisa mengelak jika kota Wuhan harus benar-benar ditutup. Keadaan kota sangat sunyi dan senyap. Jalanan terbentang luas dan ibarat makanan sudah terbengkalai. Sedih rasanya melihat jalanan yang biasanya menjadi pusat keramaian tiba-tiba saja harus bernasib seperti ini. keresahan di dalam benak pun muncul, apakah orang-orang tersayang, termasuk anak dan keluarganya akan atau sudah terinfeksi virus, serta mempertanyakan keadaan masa depan kota Wuhan akan seperti apa.

Akibat penguncian wilayah yang menyebabkan kota Wuhan layaknya kota mati, masyarakat yang sudah memiliki gejala berat–yang ingin memeriksakan diri ke tenaga media–tidak memiliki akses untuk menjangkau pusat pelayanan kesehatan. Tak satu pun transportasi yang melintas di jalanan, sekali pun itu transportasi publik. Alhasil, orang-orang yang bergejala berat tersebut meninggal di tempat sebelum mendapat pertolongan medis.

Keadaan di Wuhan memang benar-benar miris saat awal kemunculan koronavirus. Beberapa bulan kemudian koronavirus menyerang berbagai negara, bahkan hingga saat ini sudah hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

Itulah sedikit simpulan dari isi buku Wuhan Diary. Nantikan segera di pasaran dan ikuti masa pre-order bukunya di Bentang Pustaka pada tanggal 30 November-15 Desember 2020.

Bagaimana pun keadaanmu pada masa pandemi sekarang ini, saya harap dirimu tetap bisa bertahan dan bangkit dari masa-masa sulit, ya!

Pamungkas Adiputra.

Baca juga: COVID-19: Musibah atau Konspirasi?

 

 

 

 

 

tionghoa atau cina

Mengapa Menyebut Tionghoa, Bukan Cina

Penggunaan istilah Cina atau Tionghoa kerap menjadi perdebatan. Saat ini, kita dianjurkan, bahkan ditekankan untuk tidak lagi memakai istilah “Cina”, tetapi “Tionghoa” untuk menyebut etnis keturunan Tionghoa. Mengapa kita harus menggunakan istilah Tionghoa?

 

Perdebatan panjang mewarnai penyebutan istilah untuk etnis keturunan Tionghoa di Indonesia. Karena dianggap menjadi masalah serius dan berkaitan dengan SARA, pada 2011 kemudian diadakan diskusi bahasa. Diskusi ini membahas tentang istilah Cina dan Tionghoa. Adapun pembicara dalam diskusi tersebut di antaranya wakil dari Kedutaan Besar Tiongkok, wakil dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, wakil dari Badan Bahasa, serta budayawan Remy Silado.

 

Dalam diskusi tersebut, wakil dari Kedutaan Besar Tiongkok menyarankan untuk tidak lagi menggunakan istilah Cina. Alasannya, istilah tersebut digunakan oleh Jepang terhadap Tiongkok pada masa perang yang memiliki konotasi negatif. Namun, lain dengan Abdul Gaffar Ruskhan dari Badan Bahasa. Beliau mengungkapkan bahwa istilah “Cina” merupakan istilah yang sudah biasa dan tidak memiliki konotasi negatif.

 

Perdebatan itu berujung pada diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keppres tersebut berisi tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, dalam surat edaran tersebut istilah resmi yang digunakan adalah “Tjina”, bukan Tionghoa. Namun sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Kepres tersebut, sebenarnya Presiden Abdurrahman Wahid sudah terlebih dulu memakai istilah Tionghoa ataupun Tiongkok. Hal tersebut bisa dilihat dari laporan kerja pemerintahannya pada Agustus 2000, saat Abdurrahman Wahid sudah menggunakan sebutan Republik Rakyat Tiongkok. Tidak hanya itu, Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh yang sangat plural itu juga telah mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang dinilai sangat diskriminatif dan tidak sesuai dengan norma-norma reformasi.

 

Pada masa kolonial Belanda, masyarakat Tionghoa di Indonesia juga sudah meminimalisasi pemakaian istilah Cina atau Tjina. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai publikasi dan percakapan-percakapan saat itu. Kenapa? Alasannya, istilah Cina saat itu dinilai merendahkan etnis keturunan Tionghoa.

 

Akan tetapi, pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, penggunaan istilah Tiongkok atau Tionghoa dilarang. Alasannya, istilah itu dinilai merugikan Indonesia. Imbasnya, disahkanlah Presidium Kabinet Ampera pada 25 Juli 1967, istilah yang boleh dipakai adalah Cina karena dinilai lebih disenangi rakyat Indonesia.

 

Terlepas dari persoalan historis pemakaian istilah Cina atau Tionghoa, kita perlu memahami juga perbedaan Cina, China, Tionghoa, dan Tiongkok.

 

Cina merupakan sebutan untuk orang yang berwarga negara China. Mereka setara dengan orang Jepang, Singapura, Malaysia, Eropa, maupun Amerika, yakni warga negara asing bagi Indonesia. China adalah penulisan resmi Kedutaan Republik Rakyat Cina, yang merujuk pada Republik Rakyat China jika dalam Bahasa Indonesia. Sementara itu, Tionghoa adalah warga negara Indonesia keturunan Cina. Mereka sama dengan orang Jawa, Batak, Madura, Sunda, atau suku-suku lain di Indonesia. Tiongkok adalah penyebutan negara China untuk Indonesia.

 

Dengan penjelasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok hanya ada di Indonesia. Dua istilah tersebut dipakai di Indonesia karena penyebutan istilah Cina dan China dinilai rasis berdasar pengaruh sejarah.

 

Setelah disahkannya Keppres No. 12 Tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hampir pada semua sektor pemerintahan maupun media, sudah tidak ada lagi penggunaan istilah Cina atau China. Mereka sudah menggunakan istilah resmi, yaitu Tionghoa dan Tiongkok.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info selengkapnya tentang buku tersebut di sini.

 

Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: voaindonesia.com

© Copyright - Bentang Pustaka