Tag Archive for: sastra indonesia

Cerita Fiksi Sejarah ala Pinto Anugrah

Mendulang cerita fiksi sejarah selalu menjadi hal yang tidak mudah bagi para penulis. Menciptakan dunia fiktif dan mencari kebenaran yang akurat selalu menjadi dua hal yang saling kontradiktif, tapi tentunya dapat bertemu dalam sebuah buku yang berkualitas. Dalam hal ini, seorang penulis dituntut untuk memahami betul peristiwa dan nilai kesejarahan yang hendak diangkat untuk menghidupkan semesta barunya. Seperti halnya Pinto Anugrah, seorang penulis dari tanah Minang yang menuangkan kembali lokalitas asalnya. Meski mendarah daging, novel terbarunya ini menggali serangkaian data dan berlandaskan peristiwa yang terjadi di masa lalu: Perang Padri.

Cerita fiksi sejarah

Lokalitas Minangkabau

Sebagai warga lokal, Pinto tidak serta-merta menghadirkan nilai-nilai Minang tanpa landasan. Dengan perlahan, Pinto mengenalkan esensi Minangkabau dari banyak aspek. Menciptakan latar dan suasana yang menduplikasi tempat asalnya ini mungkin tidak instan, tapi dengan perlahan, pembaca akan dibawa pada tujuannya ini. Dengan membangun kedekatan dengan pembacanya, Pinto Anugrah menghadirkan nilai-nilai Minangkabu dari banyak aspek, seperti tuturan lokal, kebiasaan, hingga perawakan yang dijelaskan dengan padat dan jelas.

Alih-alih membicarakan sejarah, Pinto memulainya dari konflik batin para tokohnya. Lagi-lagi dengan perlahan, esensi Minangkabau hadir sebagai suatu hal yang tersirat. Hal ini tidak hanya bertujuan agar semata-mata pembaca mengetahui, tapi membuat pembaca begitu dekat dengan konflk dan kehidupan yang sedang diciptakannya. Sejarah membalut fiksi dengan cara Pinto, dihadirkan dengan memasukkan pembaca pada tiap-tiap pintu yang menghubungkan unsur-unsur Minangkabau.

Baca artikel terkait Historiografi Perang Padri 

Sejarah dalam Fiksi

Semua yang telah dideskripsikan singkat di atas adalah komponen minor dari cerita fiksi sejarah terbaru Pinto Anugrah, yakni Segala yang Diisap Langit yang bisa kamu dapatkan di sini atau di Mizanstore. Kisah yang mengajak pembaca mengenal nilai sejarah dari sudut pandang baru—suatu sejarah yang berada di luar mainstream. Aspek fiktif membuat pembaca tidak serta-merta belajar mengenai sejarah, tapi hidup dengan sejarah itu sendiri. Segala yang Diisap Langit membuat pusarannya sendiri yang berisikan warisan dan peninggalan leluhur di masa lalu. Menjelajahi sejarah dalam bentuk fiksi dapat menjadi alternatif bagi mereka yang haus akan sejarah, sambil “hidup” berdampingan di dalamnya.

Wanita Dalam Islam Perspektif Jurnalisme Sastrawi

Bagi beberapa kalangan, peran wanita dalam islam menjadi suatu tolok ukur norma dan etika. Terlepas dari perintah dan tuntutan dalam agama, wanita diiringi stereotip dan stigma-stigma dalam kehidupan sosial. Stereotip itu melekat dan hinggap di pikiran masyarakat dan berkemungkinan akan terus diingat. Namun, beberapa aktivis wanita mulai merombak, baik dengan tegas atau dengan cara-cara lembut seperti dalam penyampaian kritik tertulis yang implisit. Feby Indirani dalam beberapa cerpennya berusaha menawarkan alternatif pandangan terkait wanita—terutama dalam stereotip religi yang melingkupinya.

Wanita dalam islam

Stereotip Wanita dalam Islam 

Meski dalam kurun waktu belakangan perempuan mulai memutuskan kebebasannya sendiri, beberapa orang masih banyak yang keukeuh terkait “kodrat” yang selalu dielu-elukan. Banyak pihak yang mulai merekonstruksi pengertian kodrat dan memberikan sebuah sudut pandang yang terbaru tanpa meningalkan ajaran yang telah ditentukan. Bagi Feby Indirani misalnya, pengertian kodrat menjadi dipersempit dalam beberapa cerpennya. Kodrat bukan lagi suatu kata yang membelenggu dan menakutkan bagi para wanita.

Melalui pengamatannya pada lingkungan sosial, warta perihal wanita dalam islam dibalut dalam diksi-diksi menggelitik. Diksi-diksi yang membungkus topik sensitif ini dengan pembawaan yang lebih ramah terhadap para pembacanya. Meski gaya tulisnyaya yang tidak terlalu serius, pesan yang dihadirkan tetap dapat sampai. Tidak sungkan-sungkan Feby Indirani membuat pernyataan tegas tentang keadilan antara wanita dan pria yang selama ini terlihat timpang. Berangkat dari pengamatan internal, misalnya kasus-kasus yang sering ditemui dalam lingkungan rumah tangga, hingga topik mengenai wanita dalam lingkup yang lebih luas. Kebebasan berpendapat dalam aspek-aspek religi juga tidak luput dari karyanya ini.

(Baca artikel terkait yang berjudul Rekomendasi Kumpulan Cerpen Sosial dan Religi)

Opsi Sudut Pandang 

Tidak banyak orang yang mampu vokal dalam pendapatnya. Apalagi mereka yang berpendapat berdasarkan data dan peristiwa. Dalam tajuk Bukan Perawan Maria ini, Feby Indirani menawarkan banyak perspektif untuk ditelaah dan diinterpretasikan dalam kehidupan dan nilai sosial. Masihkah wanita dalam islam terkungkung dalam stereotip buatan manusia? Masihkah manusia menjadikan gender sebagai tolok ukur keberhasilan dan kebahagiaan? Banyak kasus yang bisa ka

Rekomendasi Kumpulan Cerpen Sosial dan Religi

Di kondisi yang serba sempit, kita perlu melihat dunia dengan lebih luas, seperti yang digambarkan dalam buku. Untuk mendapatkan kisah yang cocok untuk kamu, mungkin rekomendasi kumpulan cerpen bisa menjadi opsi. Cerpen dengan konflik yang tidak terlalu kompleks dalam memberi dunia yang singkat tapi tetap berbekas. Seperti rekomendasi kumpulan cerpen karya Feby Indirani yang berjudul Bukan Perawan Maria yang baru saja diterbitkan Bentang Pustaka pada Mei 2021 ini. Ada banyak penjelasan, lho, terkait alasan kumpulan kisah ini harus menjadi salah satu daftar bacaan kamu. Apa aja, sih?

Rekomendasi Kumpulan Cerpen

Merangkum Fenomena Religi

Dalam dua karyanya, Feby Indirani banyak menyuarakan kisah-kisah perihal religi dan stereotipnya. Banyak hal yang kiranya luput dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, tentang kebiasaan beragama dalam lingkup sosial yang mengacuhkan hubungan antarmanusia. Dari kasus yang sering kali dianggap angin lalu ini, Feby Indirani ingin mengangkatnya ke permukaan. Tanpa membuatnya sebagai media tulisan yang penuh kebencian, Feby Indirani membalut kisahnya dengan keindahan sastrawi.

Baca artikel terkait dengan judul Bukan Perawan Maria: Rekonstruksi Impresi Religi

Bukan Perawan Maria termasuk kisah yang gencar menyuarakan hal-hal yang dikesampingkan ini. Masyarakat yang sibuk dengan urusan ketuhanan dan melupakan harmonisme kemanusiaan. Banyaknya fenomena ini dirangkum dengan baik menjadi 12 kumpulan cerita. Buku ini memberi pembacanya sebuah sudut pandang yang begitu luas meski halamannya tidak terlalu tebal. Bak mengantongi kehidupan sosial, rekomendasi kumpulan cerpen yang satu ini merangkum segala peristiwa menarik di dalamnya.

Rekomendasi Cerpen Sosial

Kisah fiksi banyak menyorot kehidupan manusia, tapi tidak semua mampu menjadi mediator untuk “menunjukkan” kebenaran. Bukan Perawan Maria mengajak pembaca kritis dengan objek lingkungan dan masyarakat. Rekomendasi kumpulan cerpen ini memberi pembacanya aktvitas pembacaan yang aktif dengan wadah interpretasi yang begitu luas. Feby Indirani berusaha menyuguhkan kritiknya dalam bentuk kasus yang membiarkan pembacanya menerka isi, bukan semata-mata doktrinasi atas pola pikirnya sendiri.

Membaca Bukan Perawan Maria membawamu pada sebuah aktivitas membaca kehidupan sosial. Sekumpulan kisah ini bisa kamu boyong di Mizanstore, sehingga kamu bisa memulai proses pembacaanmu yang menyenangkan. Jangan melewatkan buku ini dalam daftar bacaanmu.

gambar siluet candi di tengah hutan - Fakta Kitab Omong Kosong, Cerita Ramayana ala Seno Gumira Ajidarma

Fakta Kitab Omong Kosong, Cerita Ramayana ala Seno Gumira Ajidarma

Ada fakta-fakta menarik tentang Kitab Omong Kosong, buku karya Seno Gumira Ajidarma. Walau premis utamanya adalah Ramayana, Seno Gumira mengambil kebebasan untuk memodifikasi kisah Ramayana secara kreatif dan dengan sentuhan khasnya.

Berikut 4 fakta tentang Kitab Omong Kosong:

Baca juga: Kitab Omong Kosong: Buku Seno Gumira Ajidarma yang Akan Terbit Ulang

 

Penulisan Nama dan Latar yang Tidak Konvensional

Kita mengenal Sinta, Rama, Rahwana, Kota Ayodya, dan Hanoman. Namun, di Kitab Omong Kosong, Seno Gumira menuliskan nama-nama tersebut dengan unik. Sinta menjadi Sītā, Rama menjadi Rāma, Rahwana menjadi Rāwana, Ayodya menjadi Ayodhyā, Hanoman menjadi Sang Hanūmān, dan penulisan nama-nama lain yang turut berubah.

Mereka tetaplah tokoh yang sama, tapi penulisan nama yang tidak “konvensional” ini telah menghidupkan ceritanya. Pemakaian aksen pada nama-nama tokoh cerita—yang memang berlatar di zaman dahulu—memperkuat latar cerita dan membangun suasana “Ayodya” tempat berlangsungnya kejadian.

 

Fokus pada Kisah yang Berbeda

Jika Ramayana berputar pada dinamika Rama-Sinta dan Rahwana-Sinta, serta peristiwa pengobongan dan pengasingan Sinta di Hutan Dandaka, Kitab Omong Kosong dimulai dengan upacara Persembahan Kuda.

“Maka berlangsunglah bencana Persembahan Kuda, sebuah upacara untuk dewa-dewa atas nama perdamaian yang menginjak-injak hak asasi manusia.”

Rama, bertahun-tahun setelah mengasingkan Sinta dalam keadaan hamil, melakukan upacara Persembahan Kuda demi menebus rasa bersalahnya. Tapi, semakin ke belakang, kita akan melihat bahwa Rama sesungguhnya tidak melakukan itu demi Sinta. Jangankan melakukan persembahan, Rama saja bahkan tidak berusaha mencari Sinta!

 

Perbedaan Karakterisasi Tokoh Sri Rama

Sri Rama kerap diagung-agungkan sebagai raja yang baik budi, bijaksana, mencintai kerajaan dan rakyatnya. Kitab Omong Kosong berlari dengan penggambaran yang berbeda 180 derajat.

“Saya Sri Rāma, raja yang berkuasa di Ayodhyā, mengadakan Persembahan Kuda. Kerajaan mana pun yang dilewati kuda putih yang kami lepaskan pada malam bulan sabit setelah surat ini disampaikan, harus tunduk kepada kami atas nama perdamaian.”

Rama digambarkan sebagai raja yang ditakuti. Upacara Persembahan Kuda yang menelan jutaan korban dan meluluhlantakkan benua, menciptakan citra sebagai raja arogan. Walmiki, pencerita Ramayana, menembangkan kisah yang mengutuk Rama atas perbuatannya. Sinta kecewa luar biasa dan mengemukakan ratapannya terhadap perbuatan Rama yang tidak adil dan seenaknya.

Singkatnya, sangat susah untuk bersimpati dengan Rama dalam cerita ini.

 

Tokoh Sentral Karangan Seno Gumira

Upacara Persembahan Kuda berubah jadi bencana, memorak-porandakan setiap negeri yang dilewatinya. Masuklah dua tokoh utama kita: Maneka dan Satya, salah dua dari sekian banyak korban upacara tersebt.

Maneka adalah pelacur yang menerima rajah dari si kuda persembahan. Hal ini membuat reputasinya sebagai pelacur melejit pesat. Orang-orang berbondong datang dari sepenjuru negeri untuk tidur dengannya, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Maneka yang awalnya semringah lama-lama menjadi tersiksa.

Dia bertemu Satya, seorang budak berumur 16 tahun. Pertemuan ini membuat Satya berani untuk melarikan diri dari dunia perbudakan. Bersama-sama, mereka pergi mencari Walmiki untuk menanyakan mengapa mereka dimasukkan ke dalam cerita Ramayana.

Di tengah perjalanan, tujuan mereka berubah menjadi mencari Kitab Omong Kosong, sebuah kitab peninggalan Hanoman yang berisi cara menghemat 300 tahun untuk membangun kembali peradaban yang dihancurkan Persembahan Kuda.

 

Kitab Omong Kosong sedang dalam masa prapesan. Pembelian via bit.ly/pesankitabomong sampai tanggal 14 April 2021 akan mendapatkan bonus poster dari Bentang Pustaka. Info lengkapnya dapat diakses di bit.ly/pesankitabomong, Instagram Bentang, atau Twitter Bentang.

 

Kontributor artikel: Anggarsih Wijayanti

© Copyright - Bentang Pustaka