Tag Archive for: sarah ockwell-smith

metode pengasuhan

Metode Pengasuhan Dikritik Orang Lain, Coba Tip Ini

“Metode pengasuhan apa ini, anak kok dibiarin main-main dengan remahan roti?”

“Anaknya nangis, kok dibiarin sih? Kalau anakku, udah kucubit.”

“Di sekolah, anakmu kok cuma di suruh beres-beres ruangan? Mending di rumah aja.”

Kritik, saran, dan pujian adalah hal-hal yang tidak terlewatkan dalam hidup. Banyak sekali hal yang menjadi celah untuk orang lain memberikan kritikan pada kita. Salah satunya adalah kritikan terhadap prinsip-prinsip tentang pengasuhan yang kita terapkan. Meskipun setiap orang percaya bahwa masing-masing orang memiliki cara tersendiri dalam mendidik anak-anaknya, kritikan itu tidak pernah lepas.

Kritik adalah hal yang wajar dan bisa dijadikan perbaikan. Tetapi penyampaian kritik memiliki cara dan tidak sembarangan. Fenomena yang sering terjadi adalah dengan mudahnya seseorang mengkritik metode pengasuhan orang lain tanpa mempertimbangkan banyak hal. Misalnya, tujuan dari metode pengasuhan tersebut. Cara mengkritik yang salah pada orangtua ini biasa kita kenal dengan istilah mom shaming.

Sarah Ockwell-Smith dalam bukunya yang berjudul Gentle Discipline memberikan beberapa cara menyikapi kritikan terhadap metode pengasuhan yang kita terapkan pada anak, yaitu dengan memahami tiga hal berikut.

Memahami Motivasi di Balik Kritik Metode Pengasuhan yang Diterapkan

Memahami hampir menjadi satu solusi untuk menghadapi kritikan. Ketika kita mencoba untuk memahami mengapa orang lain berkata demikian, kemungkinan kita untuk merasa tersinggung semakin kecil. Misalnya, ketika metode pengasuhan kita dikritik oleh orang terdekat karena kita membiarkan anak menangis ketika sedang tantrum, kita bisa mengambil pemahaman bahwa mereka peduli kepada kita. Hanya saja, mereka tidak tahu cara menyampaikan rasa peduli yang tidak menyakitkan. Selain itu, kita juga bisa memberi pemahaman dan memberi tahu kepada mereka tentang pilihan kita dan mengapa solusi mereka tidak cocok dengan kita. Jangan lupa untuk berterima kasih dan mengapresiasi masukan dari mereka.

Menjelaskan Alasan dengan Hati-Hati

Orang yang memahami cara pengasuhan yang kita terapkan pada anak adalah kita sendiri. Sehingga, ketika mendapatkan kritikan, kita coba jelaskan dengan hati-hati tentang metode pengasuhan kita. Orang yang mengkritik tidak memahami pilihan kita, sehingga dengan mudah melontarkan kata-kata yang mereka anggap benar.

Melakukan Cara yang Berbeda dari Cara Kita Dibesarkan

Orang yang sering mengkritik metode pengasuhan kita terkadang adalah orang-orang terdekat, bahkan orangtua kita. Salah satu penyebab mengapa metode pengasuhan kita dikritik adalah karena kita melakukan gaya pengasuhan anak yang berbeda dengan apa yang orangtua kita lakukan dahulu.  Dalam hal ini, kita bisa mencoba menjelaskan kepada mereka dengan hati- hati tentang perkembangan ilmiah yang sudah berubah. Perbedaan metode pengasuhan yang berbeda dengan cara kita diasuh dulu, bukanlah sebuah refleksi dari kesalahan orangtua dalam mengasuh kita.

Orang yang memberi kritik terkadang orang yang juga masih mengalami kesalahan dalam mengasuh anaknya. Bahkan ia adalah orang yang pernah tersakiti dengan teramat dalam dan melampiaskan rasa sakitnya dengan mengkritik kita.

Pada akhirnya, kritikan adalah hal yang sangat wajar dalam kehidupan ini. Kritik juga bisa membangun kita untuk menjadi lebih baik lagi. Tetapi ada hal yang lebih penting dalam memberikan kritik, yaitu bagaimana cara kita menyampaikan dan memahami kritik tersebut. (Annisa)

 

 

 

 

Memahami Penyebab Pertengkaran Antara Anak

Dalam sesi seminar parenting, sering sekali orang tua bertanya bagaimana mengatasi anak yang suka bertengkar, atau bagaimana cara mempersiapkan anak pertama menjadi seorang kakak. Dua hal ini menjadi masalah umum dalam pengasuhan. Sebagai orang tua dan keluarga, menyambut anggota keluarga baru adalah sebuah momen yang sangat dinantikan. Berharap anak kita memiliki teman di masa depannya setelah kita tidak ada. Akankah hal yang sama dirasakan oleh anak pertama? Jawabannya adalah belum tentu. Anak pertama akan merasa bahwa ia akan memiliki saingan dan cinta yang diberikan orang tua tidak cukup baginya. Oleh karena itu, ia menciptakan berbagai drama.

Ketika anak kedua lahir, mereka tumbuh dan di besarkan oleh orang tua yang sama dan dengan pola asuh yang sama. Tapi mengapa mereka sering mengalami pertengkaran dan bersaing? Orang tua merasa bahwa ia telah cukup dan banyak cinta untuk dibagikan kepada anak-anaknya. Tetapi, anak belum tentu merasakan hal itu.

Untuk mengatasi penyebab dari pertengkaran antara anak, kita perlu mengetahui penyebab yang memicunya. Dalam buku Gentle Discipline yang ditulis oleh Sarah Ockwell-Smith, disebutkan bahwa setidaknya ada beberapa penyebab pertengkaran anak.

Kurangnya Perhatian Individu

Berusaha untuk memberikan perhatian penuh secara personal kepada anak lebih dari satu adalah hal yang tidak mudah. Terlebih jika orang tua bekerja. Namun, hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan. Orang tua bisa membuat jadwal untuk mengajak anak pertama saja untuk sekadar jalan- jalan bertiga. Lalu, minggu selanjutnya membawa anak kedua untuk jalan-jalan bertiga dengan orang tua. Hal tersebut akan membuat anak merasa dianggap dan dipedulikan. Keluarga juga harus sering melakukan kegiatan bersama di tengah-tengah kesibukan. Kegiatan tersebut bisa membantu untuk mengurangi pertengkaran anak.

Membandingkan

Sebagai orang tua, kita sering melihat perilaku beragam dari anak-anak kita. Setiap anak dengan perilaku dan tingkahnya masing-masing. Tidak semua perilaku dan tingkah anak disukai oleh orang tua. Ketika orang tua mulai membandingkan baik dan buruk antara satu anak dengan saudaranya, saat itu juga orang tua sudah merusak hubungan antara anak-anaknya. Membandingkan akan membuat anak terputus dari orang tuanya dan pasti akan menyimpan iri kepada saudaranya, sehingga timbullah pertengkaran antara anak. Jika ingin melindungi hubungan anak dengan saudara kandungnya, hindari membandingkan mereka.

Melabeli

Dalam lingkup keluarga, memberi label adalah hal yang biasa. Mengatakan anak dengan “si lucu”, “anak yang nakal”, dan label lainnya yang terkadang disampaikan langsung di depan salah seorang dari anak kita. Hal ini jelas akan menimbulkan pertengkaran antara anak. Setidaknya ada dua masalah yang akan timbul ketika memberikan label pada anak yaitu, harapan yang tidak disadari dan menumbuhkan pola pikir permanen.

Terlalu Banyak Tekanan pada Anak Sulung

Terkadang orang tua meminta anak sulungnya untuk menjaga adik-adiknya, menjadi contoh terbaik, harus lebih memiliki pemahaman lebih, dan keinginan lainnya yang seakan harus ada pada anak sulung. Beberapa anak sulung akan menerima hal tersebut dan sebagian mereka merasa keberatan karena mendapat tanggung jawab dan tugas ekstra. Terlalu banyak kewajiban dan tekanan pada anak sulung akan memicu pertengkaran antara anak karena anak sulung merasa tidak adil dalam pembagian peran tertentu. (Annisa)

Gentle Discipline

Pujian dan Motivasi dalam Mendisiplinkan Anak

Benarkah pujian bisa mendisiplinkan anak?

Cerita Sarah Ockwell-Smith (penulis buku Gentle Discipline) bersama ahli pendidikan John Holt tentang pujian dan motivasi.

Ide bahwa anak-anak tidak akan belajar tanpa hadiah dan penalti dari luar, atau yang dalam jargon para behaviourism disebut sebagai “penguatan positif dan negatif” biasanya menjadi ramalan yang terwujud dengan sendirinya. Jika kita memperlakukan anak-anak dengan cara tertentu untuk waktu yang cukup lama seolah-olah itu benar, mereka akan menjadi percaya bahwa hal tersebut memang benar. Banyak orang yang berkata kepada saya, “Jika kita tidak menyuruh anak-anak melakukan sesuatu, mereka tidak akan melakukan apa pun.” Bahkan, yang lebih parah, mereka mengatakan, “Jika saya tidak disuruh melakukan sesuatu, saya tidak akan melakukan apa pun.” Ini adalah keyakinan seorang budak.

Inti dari diskusi di atas menunjukkan bahwa tidak selamanya hal positif selalu membawa hasil yang positif. Sebagai contoh dalam dunia parenting. Misalnya, kita terlalu banyak menerapkan sistem pujian dan motivasi. Ternyata, kita secara tidak langsung menanamkan pemahaman pada anak untuk fokus pada hal positif semata. Hal ini  bisa jadi berujung pada tidak realistis.

Hmmm, jadi gimana, nih, baiknya menggunakan pujian dan motivasi dengan tepat? Nah, kalau belajar dari buku Gentle Discipline karya Sarah Ockwell-Smith, ada yang namanya konsekuensi positif ketika kita masih tetap bisa memberikan pujian dan motivasi sebagai alat bantu pendisiplinan anak.

Kuncinya adalah konsekuensi positif terjadi ketika anak berperilaku baik dan dihadiahi dengan hasil alami yang tidak kita rencanakan sebelumnya, ya. Contohnya, setelah selesai makan, anak membantu membereskan meja tanpa diminta. Lalu kita bisa memberikan konsekuensi positif dengan mengajak mereka bermain ke taman dan sebagainya. Asalkan konsekuensi positif ini tidak diucapkan dan direncanakan.

Sebab, kalau konsekuensi positif ini kita rencanakan, dia akan berubah menjadi hadiah. Dan, metode pemberian hadiah itu sangat penuh dengan masalah bila terus-terusan kita terapkan.

Sama halnya dengan konsep motivasi yang sering kali salah praktik ketika masuk dalam ranah sekolah. Misalnya, pemberian hadiah-hadiah seperti sertifikat, piala, atau stiker “Kamu bekerja baik” kepada anak berprestasi. Mungkin tidak kelihatan seperti hukuman ya, tetapi dia akan menjadi hukuman untuk anak yang tidak bisa mendapatkannnya, lo.

Kenapa? Karena motivasi seperti ini berdasarkan riset bisa menimbulkan efek negatif pada perilaku anak di masa depan. Mereka yang menerima hadiah tidak akan melakukan kebaikan yang sama untuk kali keduanya bila tidak ada hadiah yang mereka terima. Adapun anak yang tidak bisa mendapatkan hadiah akan mengalami situasi rendah diri. Ia akan merasa buruk karena tidak punya keterampilan untuk mendapatkan hadiah.

Itulah kenapa sekolah di Negara Finlandia tidak menggunakan sistem ranking. Hasilnya? Anak-anak tumbuh dengan memiliki motivasi positif eksternal yang kuat dan menghasilkan perilaku yang baik. Itulah kenapa Finlandia akhirnya juga dinominasikan sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

 

Sumber gambar: amazonaws.com

mendisiplinkan anak

Mitos Mendisiplinkan Anak dengan Ancaman

Cerita Ibu Ajeng ….

“Sering kali anak saya berperilaku tidak sopan dan suka membantah. Kalau tidak dengan hukuman, mau didisiplinkan bagaimana lagi? Sepertinya cara lembut malah tidak mempan untuk dia.”

Jadi gimana, benar, nggak sih, sudah tidak ada cara lain untuk mendisiplinkan anak selain melalui hukuman?

Hmmm, kalau kita malas mencari jawaban dan ilmu, sih, sepertinya jadi benar-benar saja, ya. Namun, kenyataannya, pola pikir seperti Ibu Ajeng ini yang justru akhirnya benar-benar membuat mendisiplinkan anak tanpa hukuman jadi mitos!

Seperti yang ditulis Sarah Ockwell-Smith dalam bukunya Gentle Discipline, untuk mendisiplinkan anak, kita harus tahu dulu akar permasalahan kenapa dia berperilaku buruk. Dan, akar permasalahan ini dibagi Sarah ke dalam 3 faktor: Neurologis, Fisiologis, dan Psikologis.

Ketiga faktor ini adalah pemicu perilaku anak yang sebenarnya sudah banyak kita ketahui, tetapi tidak dipahami, lo. Alhasil ancaman dan hukuman, deh, yang jadi last option.

Padahal, dengan mencoba memahami faktor Neurologis anak berperilaku buruk, kita bisa jadi “melek” bahwa pada hakikatnya otak manusia itu berbeda secara dramatis dari bayi ke remaja, ke dewasa, yang berarti nggak realistis, dong, kalau kita mengharapkan anak berperilaku sama dengan orang dewasa???

Nah, setelah merenung dari faktor Neurologis, kita bergeser ke faktor Fisiologis, ya. Faktor ini pastinya sudah banyak yang tahu kan, seperti anak akan jauh lebih rewel ketika mereka sedang lapar atau capek gitu. Berbeda lagi dengan psikologis, kalau faktor ini biasanya dipicu karena anak kurang memiliki kendali terhadap kehidupan mereka sendiri. Bisa juga karena ada perilaku orang lain yang tidak mereka inginkan, atau anak merasa rendah harga diri.

Dengan memahami faktor ini, kita jadi sadar, deh, cara mendisiplinkan anak dengan ancaman atau hukuman sama sekali salah. Bahkan, pemicu perilaku buruk anak yang sering kali dikatakan karena faktor “Hormon” itu hanya mitos!

Terus, kalau sudah paham dengan faktor-faktornya, langkah apa lagi, nih, yang perlu kita ambil untuk bisa mendisiplinkan anak dengan lembut dan efektif?

Buat hierarki kebutuhan anak pakai konsep Abraham Maslow. Nah lo, kira-kira masih pada ingat seperti apa? Hehehe.

Oke, next step-nya apalagi, nih? Yuk, cari tahu dalam buku Gentle Discipline karya Sarah Ockwell-Smith.

Sudah tersedia di seluruh toko buku Indonesia!

 

© Copyright - Bentang Pustaka