Surat untuk Sang Juru Cerita

Beberapa waktu lalu, sebuah surat elektronik masuk ke inbox CEO Bentang Pustaka, Salman Faridi. Ternyata, isinya adalah sebuah surat dari sahabat kami tercinta. Kau mau dengar penuturannya? Begini katanya..

 

Teruntuk Mas Taufik Saptoto Rohadi, pendongeng empat hikayat Baginda Nabi

Bismillahirrahmannirrahim

Akhirnya, setelah sekian lama genaplah sudah bacaan saya tentang baginda Nabi yang Mas Tasaro tulis dengan sepenuh cinta. Meski, kita paham bahwa beda seringkali membuat segalanya keruh di sana. Tapi, saya justru belajar banyak dari apa yang Mas tulis. Saya belajar bahwa akhirnya menjadi beda bukanlah masalah apalagi sesuatu yang nantinya bisa melahirkan perdebatan-perdebatan panjang yang semakin meriuhkan kebersatuan kita di sana. Ya, pada satu masa dimana kita pernah merindu untuk sekali lagi berjumpa dalam doa-doa yang dirapalkan juga kesatuan cinta menuju-Nya sebab ajaran dan risalah yang disampaikan sang baginda adalah kesempurnaan yang tiada tara.

Mas, maafkan bilamana kedatangan surat ini terlambat. Maafkan pula bila kata-kata yang saya tulis begitu rapuh, tak rapi dan belepotan di sana-sini. Saya tahu, pada siapa saya hadapkan secarik surat ini. Namun, saya benar-benar belajar dari keterlambatan membaca keempat tulisanmu tentang sang baginda Nabi. Jujur, saya baru membacanya di pertengahan tahun 2013 dan itu pun saya mulai dari bukumu yang kedua. Ya, hikayat tentang para pengeja hujan yang belajar juga terus menerus mencari tentang betapa indah hidup bersama sang baginda meski jerih ujian dan cobaan tak kunjung mereda serta tetap bersetia menghadang. Saya teringat pada hikayat Sumayyah, Yasir, Khabbab juga kisah para sahabat lainnya yang tetap kukuh mempertahankan tauhid serta syahadat pengakuannya hingga ajal purna mempertemukan mereka dengan bahagia di seberang sana. Jujur, membaca potongan-potongan kisah ini tiba-tiba menimbulkan nyeri dan haru tak karuan di dada. Sebab, saya juga masih mengukur seberapa banyak perihal baik yang telah saya berikan untuk Islam sebagai agama kita. Sudah berapa banyak amal nafilah yang diajarkan baginda Nabi didawamkan dalam keseharian saya.

Tapi, dari bukumu saya belajar itu semua. Belajar bahwa cinta bukan sekedar kata dan ia butuh tindakan. Belajar bahwa Islam adalah kedamaian yang menuntun kita untuk tetap memanusiakan manusia. Ya, saya lahir dan besar di satu lingkungan ketika bab bid’ah, khurafat dan takhayul demikian deras dituduhkan kepada sebagian kalangan. Saya besar di lingkungan Persatuan Islam atau PERSIS yang barangkali mas pernah dengar lewat berita-berita atau apapun yang menyangkut itu. Tapi, kadang ketika saya memutuskan tegak berdiri di tempat ini. Sering kali saya merasa kering. Sering kali pula saya merasa seperti tak punya pijakan ketika debat-debat panjang tiada pangkal dan ujung dihadirkan. Tapi, saya beruntung bisa membaca tulisan Mas yang menakjubkan itu. Tulisan yang membuat saya akhirnya bisa mengerti bahwa risalah mesti disampaikan dengan kejelasan bukan hanya sekedar ketegasan. Terima kasih sudah mengingatkan saya tentang pribadi yang selalu mendamaikan dan meneduhkan itu. Terima kasih pula telah memberikan satu kesempatan untuk saya terus belajar dan belajar menjadi orang asing di sepotong perjalanan ini. Maafkan saya bilamana terlambat membaca kisah dan hikayat yang mas Tasaro panggungkan selama ini. Sebab saya masih terbata-bata dalam mengeja apalagi membaca. Namun, ketika membaca setiap kisah yang mas tuturkan. Saya justru seperti punya keberanian untuk berkawan dengan siapapun di luar sana. Kini, saya menikmati berkawan dengan orang-orang di lingkungan Nahdlatul Ulama, lingkungan Muhammadiyah, Salafi bahkan di lingkungan Hizbut Tahrir. Sebab, ketika bersama mereka saya merasa bahwa persatuan umat adalah keniscayaan yang pasti akan mewujud di kemudian hari. Seperti yang dijanjikan Allah dalam surat cinta terindahnya di Surat Al-Fath ayat pertama. Terima kasih saya haturkan kepada mas yang telah mengantarkan saya untuk tetap bertutur bahwa baginda Nabi adalah teladan paripurna untuk keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Serta Islam adalah petunjuk yang mendamaikan juga meneduhkan. Terima kasih telah mengizinkan saya untuk belajar pada adab dan cahaya yang dititipkan Allah melalui baginda Nabi. Dan mudah-mudahan ketika hari dimana kehancuran itu tiba dapat mempersatukan kita dalam tali cinta kepada Al-Musthafa sang pembawa cahaya.

Mas Tasaro, cukup sekian surat dari saya. Terima kasih pula telah berkenan mendengar dan membaca bisikan sederhana dari kata-kata yang belepotan dan tak beraturan ini. Semoga satu hari nanti kita bisa berjumpa dan mendiskusikan perihal-perihal terbaik tentang sang pemikul risalah, pejuang kebaikan serta utusan yang namanya akan tetap menggetarkan siapapun di sepanjang perjalanan singkat ini.

Ciparay, 03 Dzulqa’dah 1437 H (6 Agustus 2016)

Seorang amatiran dan biasa

Aldy Istanzia Wiguna

 Beberapa waktu lalu, sebuah surat elektronik masuk ke inbox CEO Bentang Pustaka, Salman Faridi. Ternyata, isinya adalah sebuah surat dari sahabat kami tercinta. Kau mau dengar penuturannya? Begini katanya..

 

Teruntuk Mas Taufik Saptoto Rohadi, pendongeng empat hikayat Baginda Nabi

Bismillahirrahmannirrahim

Akhirnya, setelah sekian lama genaplah sudah bacaan saya tentang baginda Nabi yang Mas Tasaro tulis dengan sepenuh cinta. Meski, kita paham bahwa beda seringkali membuat segalanya keruh di sana. Tapi, saya justru belajar banyak dari apa yang Mas tulis. Saya belajar bahwa akhirnya menjadi beda bukanlah masalah apalagi sesuatu yang nantinya bisa melahirkan perdebatan-perdebatan panjang yang semakin meriuhkan kebersatuan kita di sana. Ya, pada satu masa dimana kita pernah merindu untuk sekali lagi berjumpa dalam doa-doa yang dirapalkan juga kesatuan cinta menuju-Nya sebab ajaran dan risalah yang disampaikan sang baginda adalah kesempurnaan yang tiada tara.

Mas, maafkan bilamana kedatangan surat ini terlambat. Maafkan pula bila kata-kata yang saya tulis begitu rapuh, tak rapi dan belepotan di sana-sini. Saya tahu, pada siapa saya hadapkan secarik surat ini. Namun, saya benar-benar belajar dari keterlambatan membaca keempat tulisanmu tentang sang baginda Nabi. Jujur, saya baru membacanya di pertengahan tahun 2013 dan itu pun saya mulai dari bukumu yang kedua. Ya, hikayat tentang para pengeja hujan yang belajar juga terus menerus mencari tentang betapa indah hidup bersama sang baginda meski jerih ujian dan cobaan tak kunjung mereda serta tetap bersetia menghadang. Saya teringat pada hikayat Sumayyah, Yasir, Khabbab juga kisah para sahabat lainnya yang tetap kukuh mempertahankan tauhid serta syahadat pengakuannya hingga ajal purna mempertemukan mereka dengan bahagia di seberang sana. Jujur, membaca potongan-potongan kisah ini tiba-tiba menimbulkan nyeri dan haru tak karuan di dada. Sebab, saya juga masih mengukur seberapa banyak perihal baik yang telah saya berikan untuk Islam sebagai agama kita. Sudah berapa banyak amal nafilah yang diajarkan baginda Nabi didawamkan dalam keseharian saya.

Tapi, dari bukumu saya belajar itu semua. Belajar bahwa cinta bukan sekedar kata dan ia butuh tindakan. Belajar bahwa Islam adalah kedamaian yang menuntun kita untuk tetap memanusiakan manusia. Ya, saya lahir dan besar di satu lingkungan ketika bab bid’ah, khurafat dan takhayul demikian deras dituduhkan kepada sebagian kalangan. Saya besar di lingkungan Persatuan Islam atau PERSIS yang barangkali mas pernah dengar lewat berita-berita atau apapun yang menyangkut itu. Tapi, kadang ketika saya memutuskan tegak berdiri di tempat ini. Sering kali saya merasa kering. Sering kali pula saya merasa seperti tak punya pijakan ketika debat-debat panjang tiada pangkal dan ujung dihadirkan. Tapi, saya beruntung bisa membaca tulisan Mas yang menakjubkan itu. Tulisan yang membuat saya akhirnya bisa mengerti bahwa risalah mesti disampaikan dengan kejelasan bukan hanya sekedar ketegasan. Terima kasih sudah mengingatkan saya tentang pribadi yang selalu mendamaikan dan meneduhkan itu. Terima kasih pula telah memberikan satu kesempatan untuk saya terus belajar dan belajar menjadi orang asing di sepotong perjalanan ini. Maafkan saya bilamana terlambat membaca kisah dan hikayat yang mas Tasaro panggungkan selama ini. Sebab saya masih terbata-bata dalam mengeja apalagi membaca. Namun, ketika membaca setiap kisah yang mas tuturkan. Saya justru seperti punya keberanian untuk berkawan dengan siapapun di luar sana. Kini, saya menikmati berkawan dengan orang-orang di lingkungan Nahdlatul Ulama, lingkungan Muhammadiyah, Salafi bahkan di lingkungan Hizbut Tahrir. Sebab, ketika bersama mereka saya merasa bahwa persatuan umat adalah keniscayaan yang pasti akan mewujud di kemudian hari. Seperti yang dijanjikan Allah dalam surat cinta terindahnya di Surat Al-Fath ayat pertama. Terima kasih saya haturkan kepada mas yang telah mengantarkan saya untuk tetap bertutur bahwa baginda Nabi adalah teladan paripurna untuk keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Serta Islam adalah petunjuk yang mendamaikan juga meneduhkan. Terima kasih telah mengizinkan saya untuk belajar pada adab dan cahaya yang dititipkan Allah melalui baginda Nabi. Dan mudah-mudahan ketika hari dimana kehancuran itu tiba dapat mempersatukan kita dalam tali cinta kepada Al-Musthafa sang pembawa cahaya.

Mas Tasaro, cukup sekian surat dari saya. Terima kasih pula telah berkenan mendengar dan membaca bisikan sederhana dari kata-kata yang belepotan dan tak beraturan ini. Semoga satu hari nanti kita bisa berjumpa dan mendiskusikan perihal-perihal terbaik tentang sang pemikul risalah, pejuang kebaikan serta utusan yang namanya akan tetap menggetarkan siapapun di sepanjang perjalanan singkat ini.

Ciparay, 03 Dzulqa’dah 1437 H (6 Agustus 2016)

Seorang amatiran dan biasa

Aldy Istanzia Wiguna

Fitria Farisa

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta