Sujiwo Tejo: Mau Mantenan, Belum Ada Mempelai
Keinginan Sujiwo Tejo untuk menulis komik telah ia pendam sejak lima sampai sepuluh tahun yang lalu. Tak hanya ingin menyajikan cerita lewat gambar saja, rupanya Sujiwo juga berniat untuk menambahkan unsur musik dalam komiknya.
Mudah saja bagi Sujiwo untuk mengarang lagu. Karena baginya, mencipta lagu bukanlah perkara target. Setiap saat Sujiwo mengarang lagu, ia menulis atau merekamnya seketika. Lain halnya dengan membuat komik, menggambar ala komik adalah hal yang sama sekali baru bagi Sujiwo. Dirinya memang sering melukis, tetapi ketika mencoba menggambar untuk komik, ia kesulitan. Sujiwo bahkan mengaku sempat stress, lantaran sembilan lagu untuk pengiring komiknya hampir rampung ia karang, tetapi, tak satu pun gambar Sujiwo bisa hasilkan. “Kira-kira kalau kita mau mantenan itu, janur sudah datang, katering sudah datang, tetapi mempelainya belum ada,” katanya miris.
Demi mewujudkan keinginnya menulis komik, Sujiwo lantas belajar menggambar menggunakan Adobe Ilustrator dan Adobe Photoshop. Tak hanya itu, ia mulai membaca komik-komik Manga dan Eropa. Namun, ketika berniat menirukan gaya menggambar ala komik-komik tadi, Sujiwo justru merasa apa yang digoreskannya adalah bukan dirinya. Makin stress, barulah dua tahun kemudian Sujiwo sadar bahwa ia harus menjadi diri sendiri, termasuk ketika menggambar. Ia lantas mengukuhkan aliran gambarnya sebagai aliran ngawur karena benar. “Kan kita harus jadi diri sendiri. Yaudah yang kita bisa aja, aku bisanya nggambar ngawur karena benar itu,” bebernya. Sejak saat itu, tak sampai dua bulan kemudian, Sujiwo berhasil melahirkan 6000-an gambar.
Tekad Sujiwo untuk menggambar serta melahirkan lagu pengiring lantas ia kemas menjadi novel-grafis-bermusik, berjudul Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati. Awal dari trilogi Serat Tripama ini telah diterbitkan Bentang Pustaka sejak akhir Maret lalu.
Keinginan Sujiwo Tejo untuk menulis komik telah ia pendam sejak lima sampai sepuluh tahun yang lalu. Tak hanya ingin menyajikan cerita lewat gambar saja, rupanya Sujiwo juga berniat untuk menambahkan unsur musik dalam komiknya.
Mudah saja bagi Sujiwo untuk mengarang lagu. Karena baginya, mencipta lagu bukanlah perkara target. Setiap saat Sujiwo mengarang lagu, ia menulis atau merekamnya seketika. Lain halnya dengan membuat komik, menggambar ala komik adalah hal yang sama sekali baru bagi Sujiwo. Dirinya memang sering melukis, tetapi ketika mencoba menggambar untuk komik, ia kesulitan. Sujiwo bahkan mengaku sempat stress, lantaran sembilan lagu untuk pengiring komiknya hampir rampung ia karang, tetapi, tak satu pun gambar Sujiwo bisa hasilkan. “Kira-kira kalau kita mau mantenan itu, janur sudah datang, katering sudah datang, tetapi mempelainya belum ada,” katanya miris.
Demi mewujudkan keinginnya menulis komik, Sujiwo lantas belajar menggambar menggunakan Adobe Ilustrator dan Adobe Photoshop. Tak hanya itu, ia mulai membaca komik-komik Manga dan Eropa. Namun, ketika berniat menirukan gaya menggambar ala komik-komik tadi, Sujiwo justru merasa apa yang digoreskannya adalah bukan dirinya. Makin stress, barulah dua tahun kemudian Sujiwo sadar bahwa ia harus menjadi diri sendiri, termasuk ketika menggambar. Ia lantas mengukuhkan aliran gambarnya sebagai aliran ngawur karena benar. “Kan kita harus jadi diri sendiri. Yaudah yang kita bisa aja, aku bisanya nggambar ngawur karena benar itu,” bebernya. Sejak saat itu, tak sampai dua bulan kemudian, Sujiwo berhasil melahirkan 6000-an gambar.
Tekad Sujiwo untuk menggambar serta melahirkan lagu pengiring lantas ia kemas menjadi novel-grafis-bermusik, berjudul Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati. Awal dari trilogi Serat Tripama ini telah diterbitkan Bentang Pustaka sejak akhir Maret lalu.
Fitria Farisabentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!