Sujiwo Tejo Kembali Gegerkan Panggung Seni

IMG_entt4i

Sujiwo Tejo sukses menyutradarai pergelaran seni bertajuk Sinden Republik. Acara yang digelar pada Jumat dan Sabtu, 2 dan 3 April lalu ini berhasil memadatkan Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Tak sendiri, Sujiwo menggaet seniman kawakan Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto sebagai tim kreatif. Tampil sebagai pemain, Sujiwo sendiri sebagai Nyi Sinden Sepuh, juga tampil sebagai sinden, Soimah, Endah Laras, Sruti Respati, Rita Tila, dan Kelompok Sahita, tak ketinggalan peran komedian Miing Bagito, Cak Lontong, Akbar, hingga Trio GAM.
Sinden Republik sendiri berkisah tentang tokoh Nyi Sinden Sepuh yang prihatin melihat murid-murid sindennya belum bisa memaknai hakikat seorang sinden. Oleh karenanya, Nyi Sinden Sepuh mengutus para muridnya untuk mencari Ngatijah, pesinden legendaris, dan belajar darinya. Di saat yang bersamaan, Nyi Sinden Sepuh juga meminta kedua sahabatnya, Butet dan Miing, yang dikawal Cak Lontong dan Akbar, juga mencari Ngatijah. Di akhir pertunjukkan, tanpa disangka, muncul penyanyi berjuluk “Ratu Keroncong”, Waldjinah. Kehadiran Waldjinah di atas panggung membawakan lagu Walang Kekek, memberi suasana haru dan tenteram. Sebagai penutup, Waljinah, juga Sujiwo, dan pemain lainnya, berhasil mengundang standing ovation yang meriah dari penonton.
“Sinden yang kami maksud di sini bukan sinden secara fisik, tapi suara. Sinden Republik itu artinya Suara Republik. Cerita tentang sinden yang hilang dan kurang diperhatikan maksudnya tentang suara-suara yang selama ini dianggap angin lalu,” kata Sujiwo.
Usainya pementasan Sinden Republik menambah rekor panjang karya seni yang ditorehkan Sujiwo. Tak hanya menggelar pentas dari panggung ke panggung, jiwa seni Sujiwo juga ia alirkan lewat berbagai buku yang ia garap. Salah satu buku terbarunya adalah Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati. Baru saja terbit akhir Maret lalu, buku ini menjadi tak biasa lantaran berbentuk novel grafis bermusik. Artinya, tak hanya mengusung kata-kata, tetapi juga menawarkan gambaran Sujiwo, serta sembilan lagu pengiring yang Sujiwo ciptakan khusus bagi buku terbarunya.
Buku yang diterbitkan di bawah naungan Bentang Pustaka ini bercerita tentang cerita pewayangan cinta dilematis antara Sumantri, Arjuna Sasrabahu, dan Citrawati. Sebagai penggubah, Sujiwo menawarkan kejutan-kejutan tak terduga dalam buku terbarunya. Misalnya, ketidaktaatan Sujiwo dalam menuliskan cerita sesuai dengan cerita asli, hingga aliran menggambar Sujiwo yang ia namai aliran Ngawur Tapi Benar. Saat ini, Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati telah tersedia di seluruh toko buku di Indonesia, dibandrol dengan harga 99 ribu rupiah.

Fitria Farisa IMG_entt4i

Sujiwo Tejo sukses menyutradarai pergelaran seni bertajuk Sinden Republik. Acara yang digelar pada Jumat dan Sabtu, 2 dan 3 April lalu ini berhasil memadatkan Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Tak sendiri, Sujiwo menggaet seniman kawakan Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto sebagai tim kreatif. Tampil sebagai pemain, Sujiwo sendiri sebagai Nyi Sinden Sepuh, juga tampil sebagai sinden, Soimah, Endah Laras, Sruti Respati, Rita Tila, dan Kelompok Sahita, tak ketinggalan peran komedian Miing Bagito, Cak Lontong, Akbar, hingga Trio GAM.
Sinden Republik sendiri berkisah tentang tokoh Nyi Sinden Sepuh yang prihatin melihat murid-murid sindennya belum bisa memaknai hakikat seorang sinden. Oleh karenanya, Nyi Sinden Sepuh mengutus para muridnya untuk mencari Ngatijah, pesinden legendaris, dan belajar darinya. Di saat yang bersamaan, Nyi Sinden Sepuh juga meminta kedua sahabatnya, Butet dan Miing, yang dikawal Cak Lontong dan Akbar, juga mencari Ngatijah. Di akhir pertunjukkan, tanpa disangka, muncul penyanyi berjuluk “Ratu Keroncong”, Waldjinah. Kehadiran Waldjinah di atas panggung membawakan lagu Walang Kekek, memberi suasana haru dan tenteram. Sebagai penutup, Waljinah, juga Sujiwo, dan pemain lainnya, berhasil mengundang standing ovation yang meriah dari penonton.
“Sinden yang kami maksud di sini bukan sinden secara fisik, tapi suara. Sinden Republik itu artinya Suara Republik. Cerita tentang sinden yang hilang dan kurang diperhatikan maksudnya tentang suara-suara yang selama ini dianggap angin lalu,” kata Sujiwo.
Usainya pementasan Sinden Republik menambah rekor panjang karya seni yang ditorehkan Sujiwo. Tak hanya menggelar pentas dari panggung ke panggung, jiwa seni Sujiwo juga ia alirkan lewat berbagai buku yang ia garap. Salah satu buku terbarunya adalah Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati. Baru saja terbit akhir Maret lalu, buku ini menjadi tak biasa lantaran berbentuk novel grafis bermusik. Artinya, tak hanya mengusung kata-kata, tetapi juga menawarkan gambaran Sujiwo, serta sembilan lagu pengiring yang Sujiwo ciptakan khusus bagi buku terbarunya.
Buku yang diterbitkan di bawah naungan Bentang Pustaka ini bercerita tentang cerita pewayangan cinta dilematis antara Sumantri, Arjuna Sasrabahu, dan Citrawati. Sebagai penggubah, Sujiwo menawarkan kejutan-kejutan tak terduga dalam buku terbarunya. Misalnya, ketidaktaatan Sujiwo dalam menuliskan cerita sesuai dengan cerita asli, hingga aliran menggambar Sujiwo yang ia namai aliran Ngawur Tapi Benar. Saat ini, Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati telah tersedia di seluruh toko buku di Indonesia, dibandrol dengan harga 99 ribu rupiah.

Fitria Farisabentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta