Seberapa Dewasa dan Romantis Sih “My Wedding Dress”?
My Wedding Dress, adalah buku kedelapan Dy Lunaly, sekaligus menjadi novel dewasa pertama yang berhasil Dy selesaikan. Sebelumnya, Dy banyak menulis cerita cinta remaja seperti Psst!, Mantan, Stalking, NY Over Heels, dan beberapa judul lainnya. Dalam My Wedding Dress, Dy masih menuliskan tentang cinta, namun dikemas dengan lebih dewasa.
“Sedewasa apa sih My Wedding Dress? Kalau berharap ada adegan dewasa, jawabannya nggak ada,” kekeh Dy. “Dewasa lebih karena konfliknya. Bukan diputus pacar, tapi ditinggal saat hari pernikahan. Serta cara tokoh dalam menyikapi permasalahannya pun terbilang dewasa,” kata Dy.
Dengan sasaran pembaca yang dewasa pula, Dy harus betul-betul memikirkan adegan dan percakapan yang ia bangun dalam novelnya. Dy mengaku, dirinya harus berkali-kali mengecek obrolan, interaksi, dan reaksi tokoh-tokoh yang ia ciptakan di My Wedding Dress. Ia harus memperhatikan betul kesesuaian beberapa aspek tadi dengan usia para tokoh.
Di samping itu, Dy mengaku kesulitan dalam membangun adegan romantis. Ia mengasumsikan, persepsi romantis yang ia miliki berbeda dengan kebanyakan orang.
“Buatku, melamar di resto yang ramai, berlutut, dan memegang cincin itu nggak romantis. Yang romantis itu dilamar pas lagi ngobrol santai berdua aja,” ujarnya.
Namun, sampai buku kedelapannya, Dy mengaku selalu menggunakan prinsip ‘mengalir saja’ dalam tulisannya.
“To be truth, aku nulis nggak memikirkan mau nulis pesan apa atau pengen ngasih kesan apa,” aku penulis yang punya keinginan menulis cerita thriller awal tahun depan ini.
My Wedding Dress, adalah buku kedelapan Dy Lunaly, sekaligus menjadi novel dewasa pertama yang berhasil Dy selesaikan. Sebelumnya, Dy banyak menulis cerita cinta remaja seperti Psst!, Mantan, Stalking, NY Over Heels, dan beberapa judul lainnya. Dalam My Wedding Dress, Dy masih menuliskan tentang cinta, namun dikemas dengan lebih dewasa.
“Sedewasa apa sih My Wedding Dress? Kalau berharap ada adegan dewasa, jawabannya nggak ada,” kekeh Dy. “Dewasa lebih karena konfliknya. Bukan diputus pacar, tapi ditinggal saat hari pernikahan. Serta cara tokoh dalam menyikapi permasalahannya pun terbilang dewasa,” kata Dy.
Dengan sasaran pembaca yang dewasa pula, Dy harus betul-betul memikirkan adegan dan percakapan yang ia bangun dalam novelnya. Dy mengaku, dirinya harus berkali-kali mengecek obrolan, interaksi, dan reaksi tokoh-tokoh yang ia ciptakan di My Wedding Dress. Ia harus memperhatikan betul kesesuaian beberapa aspek tadi dengan usia para tokoh.
Di samping itu, Dy mengaku kesulitan dalam membangun adegan romantis. Ia mengasumsikan, persepsi romantis yang ia miliki berbeda dengan kebanyakan orang.
“Buatku, melamar di resto yang ramai, berlutut, dan memegang cincin itu nggak romantis. Yang romantis itu dilamar pas lagi ngobrol santai berdua aja,” ujarnya.
Namun, sampai buku kedelapannya, Dy mengaku selalu menggunakan prinsip ‘mengalir saja’ dalam tulisannya.
“To be truth, aku nulis nggak memikirkan mau nulis pesan apa atau pengen ngasih kesan apa,” aku penulis yang punya keinginan menulis cerita thriller awal tahun depan ini.
@fitriafarisabentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!