Review Dee Lestari: This is THAT book!
Dalam sebuah blog Deelestari.com, Dee Lestari mereview salah satu buku yang ia akui sebagai buku favoritnya, The Life-changing Magic of Tidying Up. Dia mengatakan, “This is THAT book (yang menggerakan saya menghampiri penerbit dan berusaha meyakinkan mereka untuk menerjemahkannya).” Mau tahu ungkapan lengkapnya? Begini reviewnya…
Jika menemukan buku yang menurut kita bagus, apa yang biasanya yang kita lakukan? Merekomendasikan ke teman? Menulis resensi? Cukup sering saya bertemu buku yang bikin saya melintir lalu dengan berbusa-busa saya promosikan ke orang-orang. Tapi, tidak banyak buku yang sampai menggerakkan saya untuk menghampiri penerbit dan berusaha meyakinkan mereka untuk menerjemahkannya. This is THAT book.
Buku 224 halaman ini telah terjual lebih dari 5 juta kopi di seluruh dunia. Penulisnya, Marie Kondo, dinobatkan sebagai salah satu 100 Most Influential People of 2015 oleh majalah Time. Namanya bahkan menjadi istilah tersendiri dalam khazanah rapi-rapi (“Have you kondoed your closet?”, “I need to kondonize my library.”)
Awal tahun 2015, saya membaca versi Bahasa Inggris-nya di iBooks. I was mindblown. Tak lama, saya pun “menghasut” CEO Bentang Pustaka, Salman Faridi, untuk mengajukan hak penerjemahan ke penerbit aslinya di Jepang, Sunmark Publishing. Betapa bahagianya saya ketika bulan Agustus lalu redaksi Bentang mengirimkan surel pemberitahuan bahwa buku Marie Kondo akan segera diterbitkan dalam Bahasa Indonesia. Redaksi Bentang menanyakan kesediaan saya menuliskan secuplik endorsement, dan saya pun segera merespons balik, “Jangankan endorsement, resensi panjang juga ayo!”
Perlu saya jelaskan bahwa niat saya menulis panjang lebar bukan untuk mendeskripsikan betapa bagus atau serunya buku ini, melainkan untuk menekankan bahwa buku ini penting.
Anda punya baju-baju yang sudah tidak dipakai dalam setahun terakhir? Buku-buku yang tidak terbaca? Alat masak yang lama tidak disentuh? Makanan kedaluwarsa? Onggokan majalah dan koran? Tumpukan kertas entah apa? Botol sampo, sabun, dan produk perawatan tubuh lain yang seakan tidak habis-habis? Ceceran pernak-pernik? Kabel-kabel misterius bekas gawai entah yang mana?
Tahan jawaban Anda. Pelajari dulu reaksi internal yang terjadi. Mungkin sebagian dari kita tanpa ragu berteriak “YA!” untuk semua pertanyaan di atas. Mungkin sebagian dari kita masih enggan menjawab dan segera mencari pembenaran atas kehadiran barang-barang yang kita miliki, baik yang disadari maupun tidak (“semuanya terpakai, kok”, “semua ada gunanya”, “nggak mungkin dibuanglah, sayang dong”, dst).
Don’t worry. We’re all on the same boat. Most of us are. Betul, di luar sana ada jutaan orang di bawah garis kemiskinan yang hidup dengan segelintir barang, tapi saya berbicara kepada Anda. Golongan ekonomi kelas menengah yang bernapas dalam atmosfer konsumerisme dan selalu punya barang baru untuk diinginkan meski sudah punya barang lebih banyak dari yang dibutuhkan. Kondisi itu, ditunjang oleh kesulitan membuang barang, membawa kita ke sebuah pandemi yang saya namakan “obesistuff”. Dari sudut pandang itulah buku ini menjadi penting.
Buku ini bukan hanya berbicara soal seni beres-beres meski itulah judul besar yang tertera di kover. Pada level yang lebih dalam, buku ini berbicara tentang awareness akan kepemilikan, dan apa yang harus kita lakukan untuk kembali punya kendali.
Marie Kondo bukan orang pertama yang mendalami seni beres-beres. Decluttering sebagai sebuah seni (dan obsesi bagi beberapa orang), sudah cukup sering diulas dan diulik. Nama-nama seperti Francine Jay dan Peter Walsh sudah cukup lama menggaungkan tema decluttering sebelum buku Marie Kondo menggebrak pasar buku dunia. Lalu, apa yang membuat buku ini unik?
Marie Kondo, atau KonMari, begitu ia dipanggil (dan juga menjadi nama metode berbenahnya), memang sesosok pribadi yang tidak biasa. Sejak kecil, ia terobsesi dengan rapi-rapi. Ia merapikan kelas, merapikan rumah, merapikan barang-barang setiap anggota keluarganya. Dengan tekun ia mempelajari dan mencoba berbagai teknik decluttering serta metode penyimpanan di luar sana. Tiada ada hari terlewat tanpa berbenah atau memikirkan tentang berbenah. Saking intensnya beres-beres, ia pernah terbangun dengan badan kaku, tak sanggup turun dari tidur dan terpaksa menelepon ambulans. Marie Kondo menduga, ia mungkin satu-satunya pasien dengan rekam medis “kebanyakan berbenah”. She’s that hardcore.
Diceritakan dari sudut pandang orang pertama, lewat buku ini kita melihat realitas dari kacamata seorang Marie Kondo. Sungguh, saya terhibur. Entah berapa kali saya tertawa terpingkal-pingkal. Pengalamannya sebagai konsultan berbenah profesional (yes, turns out it’s a profession!) mempertemukan Marie dengan berbagai macam profil klien yang kasus-kasusnya sangat menarik untuk diikuti. Saya bisa melihat profil-profil itu ada di sekitar saya, termasuk diri saya sendiri (Penimbun alat tulis? Hadir! Kolektor buku yang tak terbaca? Hadir juga!).
Buku ini akan menuntun kita untuk berbenah dengan urutan spesifik. Buku ini juga mengajarkan bagaimana cara menyimpan baju paling efektif dan cara memperlakukan kaus kaki kita dengan benar. Buku ini akan memberikan inspirasi sekaligus keberanian untuk menghadapi setiap sudut tak tertata, baik itu di kamar, tempat kerja, atau seisi rumah.
Namun, buku ini pun mengusik kita untuk merenungkan relasi manusia dengan barang. Buku ini mengajak kita menata ulang dinamika dengan benda mati pada tingkat emosional, bahkan spiritual. Membaca perjalanan personal Marie Kondo tak ubahnya mengikuti proses seorang cantrik yang bertransformasi menjadi seorang empu.
Suatu hari, pada puncak frustrasinya karena merasa terus menerus gagal merapikan tempat tinggalnya sendiri, Marie terkapar, marah dan lelah. Saat ia terbangun, secercah ilham menghampirinya. Momen yang barangkali menyerupai epifani. Marie menyadari satu keping yang luput. Selama ini, ia begitu fokus kepada menyingkirkan barang hingga ia mengabaikan sisi lain.
“Kita semestinya memilih apa yang hendak kita simpan, bukan apa yang hendak kita singkirkan.”
Perspektifnya pun berubah. Ia masih Marie Kondo si maniak berbenah, tapi kesadaran baru telah lahir. Sejak saat itu, fokusnya berganti. Metode KonMari tidak fokus hanya pada membuang barang, melainkan juga mengidentifikasi dan kemudian mempertahankan barang-barang yang membawa kebahagiaan.
“Agar bisa sepenuh hati mensyukuri hal-hal yang paling penting bagi Anda, pertama-tama Anda harus membuang barang-barang yang sudah tidak bermanfaat.”
Untuk itu, ia mengajak para kliennya merasakan ke dalam, perasaan apa yang ditimbulkan ketika mereka memegang barang tertentu? Jika barang itu sudah tidak lagi menimbulkan rasa bahagia, maka lepaskanlah. Tak lupa, Marie juga mengajak para kliennya untuk berterima kasih kepada barang-barang yang mereka lepaskan.
“Semua yang Anda miliki ingin bermanfaat bagi Anda. Kalaupun Anda membuang atau membakarnya, hanya jejak ‘ingin berjasa’ yang ingin ditinggalkannya.”
Dengan mempertemukan para kliennya kepada setiap benda di rumah mereka, sebuah elemen baru terpicu hadir di dalam dinamika para klien itu dengan benda yang mereka miliki. Kesadaran.
Berapa kali kita membeli sesuatu hanya untuk kemudian melupakannya beberapa hari kemudian? Berapa banyak tumpukan barang yang akhirnya berubah “transparan” di mata kita? Kita tahu barang-barang itu ada, tapi kita tidak lagi melihatnya. Kita bahkan tak tahu kita punya benda apa saja.
Marie juga mengingatkan bahwa menata barang agar “tampak rapi”, termasuk godaan untuk memperbesar kapasitas storage (lengkap dengan godaan membeli aneka kotak penyimpanan yang lucu-lucu), seringkali adalah jebakan yang menunda kita berhadapan dengan masalah sesungguhnya.
“Menyimpan” adalah istilah yang menjebak. Piawai menyimpan saja dengan menimbun.
Bertahun-tahun saya fokus kepada storage. Setelah membaca buku ini, saya sadar bahwa menimbun dengan amat rapi sekalipun tetap lebih mudah ketimbang menghadapi dilema Simpan vs Buang yang harus dilewati dalam proses berbenah. Menyimpan menjadi jalan pintas karena kita menghindari dilema yang kita tak sukai.
Pada akhirnya, barang yang kita miliki adalah cerminan pilihan-pilihan kita, termasuk ketidakmampuan kita mengatakan ‘tidak’, baik kepada orang lain maupun kepada impuls kita mengonsumsi. Barang-barang itu sesungguhnya berpotensi mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. The thing is, sometimes we don’t like what we see, and maybe that’s what we’ve been trying to avoid. But, what if there’s something under those unappealing piles? Something fresh, insightful, and perhaps enlightening?
Ketika kita berhasil melampaui tantangan itu. Ketika kita berhasil dengan sadar memilih, memilah, melepas, dan mensyukuri, transformasi pun terjadi. Setidaknya itu yang dialami oleh banyak dari klien Marie Kondo, dari yang punya karier baru sampai turun berat badan. Salah seorang dari mereka berkata:
“Saya menyadari sesuatu. Mengikhlaskan justru lebih penting daripada berbenah.”
Marie Kondo tiba pada esensi berbenah selayaknya seorang Master Zen tiba pada esensi kehidupan.
Dari aspek teknis, saya berharap buku ini mengulas lebih detail mengenai metode KonMari untuk menangani lebih banyak variasi barang. Nothing much about kitchen. Nothing much about children’s toys.Dari aspek filosofis, saya juga berharap buku ini bisa membahas bagaimana mencegah penumpukan barang dari fase prakonsumsi, bukan hanya ketika barang itu sudah ada di rumah kita. Mungkin Marie Kondo akan mengulasnya di buku berikut? We’ll see.
Buku ini bisa jadi hanya akan mengubah meja kerja Anda sedikit lebih manusiawi. Buku ini mungkin membawa Anda jauh bertransformasi. Sekecil dan sebesar apa pun itu, saya yakin The Life-Changing Magic of Tidying Up akan menjadi salah satu buku paling bermanfaat yang pernah Anda miliki.
Leovita Augusteen Dalam sebuah blog Deelestari.com, Dee Lestari mereview salah satu buku yang ia akui sebagai buku favoritnya, The Life-changing Magic of Tidying Up. Dia mengatakan, “This is THAT book (yang menggerakan saya menghampiri penerbit dan berusaha meyakinkan mereka untuk menerjemahkannya).” Mau tahu ungkapan lengkapnya? Begini reviewnya…
Jika menemukan buku yang menurut kita bagus, apa yang biasanya yang kita lakukan? Merekomendasikan ke teman? Menulis resensi? Cukup sering saya bertemu buku yang bikin saya melintir lalu dengan berbusa-busa saya promosikan ke orang-orang. Tapi, tidak banyak buku yang sampai menggerakkan saya untuk menghampiri penerbit dan berusaha meyakinkan mereka untuk menerjemahkannya. This is THAT book.
Buku 224 halaman ini telah terjual lebih dari 5 juta kopi di seluruh dunia. Penulisnya, Marie Kondo, dinobatkan sebagai salah satu 100 Most Influential People of 2015 oleh majalah Time. Namanya bahkan menjadi istilah tersendiri dalam khazanah rapi-rapi (“Have you kondoed your closet?”, “I need to kondonize my library.”)
Awal tahun 2015, saya membaca versi Bahasa Inggris-nya di iBooks. I was mindblown. Tak lama, saya pun “menghasut” CEO Bentang Pustaka, Salman Faridi, untuk mengajukan hak penerjemahan ke penerbit aslinya di Jepang, Sunmark Publishing. Betapa bahagianya saya ketika bulan Agustus lalu redaksi Bentang mengirimkan surel pemberitahuan bahwa buku Marie Kondo akan segera diterbitkan dalam Bahasa Indonesia. Redaksi Bentang menanyakan kesediaan saya menuliskan secuplik endorsement, dan saya pun segera merespons balik, “Jangankan endorsement, resensi panjang juga ayo!”
Perlu saya jelaskan bahwa niat saya menulis panjang lebar bukan untuk mendeskripsikan betapa bagus atau serunya buku ini, melainkan untuk menekankan bahwa buku ini penting.
Anda punya baju-baju yang sudah tidak dipakai dalam setahun terakhir? Buku-buku yang tidak terbaca? Alat masak yang lama tidak disentuh? Makanan kedaluwarsa? Onggokan majalah dan koran? Tumpukan kertas entah apa? Botol sampo, sabun, dan produk perawatan tubuh lain yang seakan tidak habis-habis? Ceceran pernak-pernik? Kabel-kabel misterius bekas gawai entah yang mana?
Tahan jawaban Anda. Pelajari dulu reaksi internal yang terjadi. Mungkin sebagian dari kita tanpa ragu berteriak “YA!” untuk semua pertanyaan di atas. Mungkin sebagian dari kita masih enggan menjawab dan segera mencari pembenaran atas kehadiran barang-barang yang kita miliki, baik yang disadari maupun tidak (“semuanya terpakai, kok”, “semua ada gunanya”, “nggak mungkin dibuanglah, sayang dong”, dst).
Don’t worry. We’re all on the same boat. Most of us are. Betul, di luar sana ada jutaan orang di bawah garis kemiskinan yang hidup dengan segelintir barang, tapi saya berbicara kepada Anda. Golongan ekonomi kelas menengah yang bernapas dalam atmosfer konsumerisme dan selalu punya barang baru untuk diinginkan meski sudah punya barang lebih banyak dari yang dibutuhkan. Kondisi itu, ditunjang oleh kesulitan membuang barang, membawa kita ke sebuah pandemi yang saya namakan “obesistuff”. Dari sudut pandang itulah buku ini menjadi penting.
Buku ini bukan hanya berbicara soal seni beres-beres meski itulah judul besar yang tertera di kover. Pada level yang lebih dalam, buku ini berbicara tentang awareness akan kepemilikan, dan apa yang harus kita lakukan untuk kembali punya kendali.
Marie Kondo bukan orang pertama yang mendalami seni beres-beres. Decluttering sebagai sebuah seni (dan obsesi bagi beberapa orang), sudah cukup sering diulas dan diulik. Nama-nama seperti Francine Jay dan Peter Walsh sudah cukup lama menggaungkan tema decluttering sebelum buku Marie Kondo menggebrak pasar buku dunia. Lalu, apa yang membuat buku ini unik?
Marie Kondo, atau KonMari, begitu ia dipanggil (dan juga menjadi nama metode berbenahnya), memang sesosok pribadi yang tidak biasa. Sejak kecil, ia terobsesi dengan rapi-rapi. Ia merapikan kelas, merapikan rumah, merapikan barang-barang setiap anggota keluarganya. Dengan tekun ia mempelajari dan mencoba berbagai teknik decluttering serta metode penyimpanan di luar sana. Tiada ada hari terlewat tanpa berbenah atau memikirkan tentang berbenah. Saking intensnya beres-beres, ia pernah terbangun dengan badan kaku, tak sanggup turun dari tidur dan terpaksa menelepon ambulans. Marie Kondo menduga, ia mungkin satu-satunya pasien dengan rekam medis “kebanyakan berbenah”. She’s that hardcore.
Diceritakan dari sudut pandang orang pertama, lewat buku ini kita melihat realitas dari kacamata seorang Marie Kondo. Sungguh, saya terhibur. Entah berapa kali saya tertawa terpingkal-pingkal. Pengalamannya sebagai konsultan berbenah profesional (yes, turns out it’s a profession!) mempertemukan Marie dengan berbagai macam profil klien yang kasus-kasusnya sangat menarik untuk diikuti. Saya bisa melihat profil-profil itu ada di sekitar saya, termasuk diri saya sendiri (Penimbun alat tulis? Hadir! Kolektor buku yang tak terbaca? Hadir juga!).
Buku ini akan menuntun kita untuk berbenah dengan urutan spesifik. Buku ini juga mengajarkan bagaimana cara menyimpan baju paling efektif dan cara memperlakukan kaus kaki kita dengan benar. Buku ini akan memberikan inspirasi sekaligus keberanian untuk menghadapi setiap sudut tak tertata, baik itu di kamar, tempat kerja, atau seisi rumah.
Namun, buku ini pun mengusik kita untuk merenungkan relasi manusia dengan barang. Buku ini mengajak kita menata ulang dinamika dengan benda mati pada tingkat emosional, bahkan spiritual. Membaca perjalanan personal Marie Kondo tak ubahnya mengikuti proses seorang cantrik yang bertransformasi menjadi seorang empu.
Suatu hari, pada puncak frustrasinya karena merasa terus menerus gagal merapikan tempat tinggalnya sendiri, Marie terkapar, marah dan lelah. Saat ia terbangun, secercah ilham menghampirinya. Momen yang barangkali menyerupai epifani. Marie menyadari satu keping yang luput. Selama ini, ia begitu fokus kepada menyingkirkan barang hingga ia mengabaikan sisi lain.
“Kita semestinya memilih apa yang hendak kita simpan, bukan apa yang hendak kita singkirkan.”
Perspektifnya pun berubah. Ia masih Marie Kondo si maniak berbenah, tapi kesadaran baru telah lahir. Sejak saat itu, fokusnya berganti. Metode KonMari tidak fokus hanya pada membuang barang, melainkan juga mengidentifikasi dan kemudian mempertahankan barang-barang yang membawa kebahagiaan.
“Agar bisa sepenuh hati mensyukuri hal-hal yang paling penting bagi Anda, pertama-tama Anda harus membuang barang-barang yang sudah tidak bermanfaat.”
Untuk itu, ia mengajak para kliennya merasakan ke dalam, perasaan apa yang ditimbulkan ketika mereka memegang barang tertentu? Jika barang itu sudah tidak lagi menimbulkan rasa bahagia, maka lepaskanlah. Tak lupa, Marie juga mengajak para kliennya untuk berterima kasih kepada barang-barang yang mereka lepaskan.
“Semua yang Anda miliki ingin bermanfaat bagi Anda. Kalaupun Anda membuang atau membakarnya, hanya jejak ‘ingin berjasa’ yang ingin ditinggalkannya.”
Dengan mempertemukan para kliennya kepada setiap benda di rumah mereka, sebuah elemen baru terpicu hadir di dalam dinamika para klien itu dengan benda yang mereka miliki. Kesadaran.
Berapa kali kita membeli sesuatu hanya untuk kemudian melupakannya beberapa hari kemudian? Berapa banyak tumpukan barang yang akhirnya berubah “transparan” di mata kita? Kita tahu barang-barang itu ada, tapi kita tidak lagi melihatnya. Kita bahkan tak tahu kita punya benda apa saja.
Marie juga mengingatkan bahwa menata barang agar “tampak rapi”, termasuk godaan untuk memperbesar kapasitas storage (lengkap dengan godaan membeli aneka kotak penyimpanan yang lucu-lucu), seringkali adalah jebakan yang menunda kita berhadapan dengan masalah sesungguhnya.
“Menyimpan” adalah istilah yang menjebak. Piawai menyimpan saja dengan menimbun.
Bertahun-tahun saya fokus kepada storage. Setelah membaca buku ini, saya sadar bahwa menimbun dengan amat rapi sekalipun tetap lebih mudah ketimbang menghadapi dilema Simpan vs Buang yang harus dilewati dalam proses berbenah. Menyimpan menjadi jalan pintas karena kita menghindari dilema yang kita tak sukai.
Pada akhirnya, barang yang kita miliki adalah cerminan pilihan-pilihan kita, termasuk ketidakmampuan kita mengatakan ‘tidak’, baik kepada orang lain maupun kepada impuls kita mengonsumsi. Barang-barang itu sesungguhnya berpotensi mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. The thing is, sometimes we don’t like what we see, and maybe that’s what we’ve been trying to avoid. But, what if there’s something under those unappealing piles? Something fresh, insightful, and perhaps enlightening?
Ketika kita berhasil melampaui tantangan itu. Ketika kita berhasil dengan sadar memilih, memilah, melepas, dan mensyukuri, transformasi pun terjadi. Setidaknya itu yang dialami oleh banyak dari klien Marie Kondo, dari yang punya karier baru sampai turun berat badan. Salah seorang dari mereka berkata:
“Saya menyadari sesuatu. Mengikhlaskan justru lebih penting daripada berbenah.”
Marie Kondo tiba pada esensi berbenah selayaknya seorang Master Zen tiba pada esensi kehidupan.
Dari aspek teknis, saya berharap buku ini mengulas lebih detail mengenai metode KonMari untuk menangani lebih banyak variasi barang. Nothing much about kitchen. Nothing much about children’s toys.Dari aspek filosofis, saya juga berharap buku ini bisa membahas bagaimana mencegah penumpukan barang dari fase prakonsumsi, bukan hanya ketika barang itu sudah ada di rumah kita. Mungkin Marie Kondo akan mengulasnya di buku berikut? We’ll see.
Buku ini bisa jadi hanya akan mengubah meja kerja Anda sedikit lebih manusiawi. Buku ini mungkin membawa Anda jauh bertransformasi. Sekecil dan sebesar apa pun itu, saya yakin The Life-Changing Magic of Tidying Up akan menjadi salah satu buku paling bermanfaat yang pernah Anda miliki.
Leovita AugusteenLeovita Augusteen
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!